Kitab Tasauf

Terjemah Kitab Minhajul Abidin

Di sini ia menghadapi jalan sulit, yakni “Aqabatut taubat.

Mau tidak mau ia harus melewati jalan tersebut agar bisa sampai ke tempat tujuan yang sebenarnya. Kemudian perlahanlahan ia melaluinya dengan menjalankan tobat sesuai hak dan syarat-syaratnya sampai ia dapat melalui jalan tobat yang rumit tersebut.

Setelah benar-benar berhasil dalam tobatnya, maka ia pun bersemangat untuk segera melakukan ibadah. Di tengah jalan ia berpikir dan memandang sekitarnya. Ternyata ia menemukan berbagai rintangan yang mengelilingi dan merintangi agar dia tidak jadi melaksankan niatnya untuk beribadah.

Setelah melihat dengan seksama, ternyata yang menghalangi ibadahnya ada empat macam, yaitu kepentingan duniawi, lingkungan, setan dan nafsu. Mau tidak mau ia harus mencari cara untuk menyingkirkan keempatnya. Jika tidak, tentu sangat sulit baginya sampai ke tempat tujuan yang diinginkannya, yakni beribadah.

Di sini ia dihadapkan pada ‘aqabatul-‘awaaiq atau jalan penuh rintangan.

Untuk menghindari empat rintangan tersebut ia juga memerlukan empat cara. Empat cara tersebut yang pertama adalah membebaskan diri dari kepentingan duniawi. Yang kedua menghindari pengaruh lingkungan. Ketiga menghadapi setan. Dan keempat menghancurkan nafsu (mengalahkannya).

Di antara keempatnya yang terberat adalah nafsu. Sebab tidak mungkin orang terlepas darinya, mengalahkan serta menghancurkannya sampai luluh, karena nafsu merupakan kendaraan dan sarana manusia untuk mendapatkan kebahagiaan.

Hamba yang hendak beribadah juga tidak bisa banyak berharap nafsu mau menyetujui dan mengikuti kehendaknya. Karena sudah menjadi watak nafsu selalu melawan kebaikan dan mengikuti kejahatan. Oleh karena itu, dibutuhkan rasa takwa untuk mengendalikannya agar ia selalu memberi keuntungan dan tunduk kepadanya dalam beribadah sehingga hamba tersebut tidak durhaka. Ia dapat menggunakan nafsu dalam berbagai kebaikan dan mencegahnya dari berbuat kerusakan.

Bila demikian keadaannya, dalam melangkah menghadapi nafsu hamba tersebut harus selalu memohon pertolongan Allah.

Setelah melewati jalan tersebut, tentu ia kembali meneruskan ibadahnya. Pada saat itulah tiba-tiba ia menghadapi berbagai rintangan baru yang membuatnya sibuk dan menghalangi ibadahnya.

Setelah berpikir jernih ia menemukan bahwa yang menghalangi ibadahnya ada empat:

Pertama: Rezeki.

Dalam hal ini nafsu selalu membujuk dan berbisik: “Aku harus mendapatkan rezeki dan penguat. Saat ini aku sudah membersihkan diri dari dunia (kebutuhan hidup) dan mengucilkan diri dari masyarakat. Lalu dengan apa aku bisa menjadi kuat (tegak), dan dari mana pula aku mendapatkan rezeki?”

kedua: Kekhawatiran (aneka gerak hati).

Yaitu perasaan takut, harapan ataupun apa yang dibencinya. Sementara itu, dia tidak tahu apakah yang dibayangkannya itu baik ataukah buruk bagi dirinya, sebab akibat dari segala sesuatu masih terlihat samar. Hatinya kemudian sibuk berpikir karena bisa saja ia terjerumus dalam kerusakan di kemudian hari.

Ketiga: Beragam bencana dan malapetaka.

Hal itu selalu dia dapati di sekelilingnya. Apalagi dia telah menempatkan diri sebagai orang yang menyimpang dari orang banyak, memerangi setan dan menolak ajakan nafsu. Banyak sekali halangan yang dirasakannya. Betapa banyak kesulitan yang dihadapinya. Betapa banyak kesedihan dan keresahan yang menghadang serta malapetaka yang menimpa.

Keempat: Berbagai keputusan Allah.

Satu persatu keputusan (takdir) yang dirasa manis dan pahit ja rasakan silih berganti. Sementara nafsu dengan cepat menampakkan kebencian dan membuat fitnah.

Di sini hamba tersebut menghadapi jalan yang dinamakan ‘aqabatul ‘awaridh atau jalan rumit berupa rintangan yang datang secara mendadak.

Untuk meniti jalan ini ia membutuhkan empat perkara.

Pertama, tawakal (berserah diri) kepada Allah dalam masalah rezeki.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah mengenai segala yang menjadi kekahwatirannya.

Ketiga, sabar menghadapi bencana. , Keempat, rida dengan segala ketentuan Allah.

Kemudian hamba tersebut beranjak melewati jalan ini dengan izin dan pertolongan yang baik dari Allah.

Setelah hamba tersebut berhasil melewatinya dan hendak kembali beribadah, ia memandang sekeliling dan mendapati nafsunya melemah, tidak bersemangat dan bergairah menjalankan ibadah seperti lazimnya. Ia cenderung lupa, berleha-leha dan menganggur bahkan mengajak berbuat buruk, omong kosong, merusak dan bertindak bodoh.

Dalam keadaan semacam ini hamba tersebut membutuhkan penyemangat yang mendorongnya berbuat kebaikan, taat kepada Allah, bergairah dalam kebaikan dan membutuhkan benteng yang akan menahannya dari berbuat maksiat serta mengendorkan dorongan nafsu untuk berbuat jelek.

Penyemangat dan penahan atau benteng tersebut adalah rajaa’ (mengharap pertolongan Allah) dan khauf (takut kepada tindakan Allah).

Harapan akan besarnya pahala yang diberikan yaitu janji Allah berupa kemuliaan akan mendorong dan menggiring nafsu berbuat kebaikan dan taat kepada Allah. Sedangkan perasaan takut terhadap siksa yang pedih bisa mencegah nafsu dari perbuatan maksiat dan mengendorkan keinginan untuk melakukannya.

Inilah yang dinamakan ‘aqabatul bawaa’its ataujalan-jalan rumit yang memberi dorongan. Untuk melintasi dan menghadapinya ia membutuhkan raja’ dan khauf. Dan dengan izin Allah ia dapat melintasinya dengan selamat.

Setelah berhasil melintasi jalan berliku ini hamba tersebut kembali beribadah. Ia merasa tak ada lagi halangan ataupun rintangan yang menghadang. Bahkan ia merasa sangat antusias, karena banyak pendorong yang memberinya semangat. Dengan giat ia pun beribadah penuh gairah hingga tak pernah berhenti. Akan tetapi ia merasakan adanya gejala buruk di dalam ibadahnya. Ia merasa bahwa dua penyakit berbahaya telah menjangkitinya, yakni ujub dan riya.

Suatu saat ia berpura-pura melakukan ibadah sekedar agar dilihat orang sehingga dapat merusak ibadahnya. Di saat lain ia mencela dirinya sendiri, menahannya dari parasaan riya namun yang muncul dalam dirinya justru malah sikap ujub (merasa dirinya baik) yang dapat merusak dan menghancurkan ibadahnya. Ia dihadapkan pada ‘aqabatul gawaadih (jalan rumpil yang membuat cacat suatu ibadah).

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker