
[Bab Kewajiban Haji bagi Laki-Laki yang Balig]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang muslim yang merdeka dan balig telah memenuhi syarat untuk menunaikan haji, maka hajinya dianggap sah sebagai haji Islam. Jika dia termasuk orang yang tidak mampu secara finansial tetapi tetap berhaji dengan berjalan kaki, maka dia telah berbuat baik dengan bersusah payah melakukan sesuatu yang sebenarnya dia boleh meninggalkannya, dan hajinya tetap sah selama dilaksanakan pada waktu yang tepat. Demikian pula jika dia menyewa dirinya kepada seseorang untuk melayani lalu berhaji. Muslim bin Khalid dan Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apakah aku boleh menyewa diriku kepada sekelompok orang untuk beribadah haji bersama mereka? Apakah itu sah bagiku?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, ‘Mereka mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah cepat perhitungan-Nya.’ (QS. Al-Baqarah: 202).”
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika dia berhaji sementara orang lain menanggung biayanya, karena dia berhaji untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. (Dia juga berkata): Demikian pula jika dia berhaji pada tahun di mana orang-orang keliru dalam menentukan hari Arafah, karena haji mereka dianggap sah pada hari mereka berhaji, sebagaimana puasa mereka dianggap sah pada hari mereka berpuasa dan kurban mereka dianggap sah pada hari mereka berkurban. Mereka hanya dibebani dengan apa yang tampak oleh mereka, sedangkan urusan batin diserahkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Demikian pula jika seseorang berhubungan suami-istri setelah melempar jumrah dan mencukur rambut, maka dia wajib menyembelih seekor unta, tetapi hajinya tetap sah. Demikian pula jika seseorang masuk Arafah setelah matahari tergelincir dan keluar sebelum matahari terbenam, hajinya sah tetapi dia wajib menyembelih hewan. Demikian pula semua perbuatan yang tidak membatalkan ihram selain berhubungan suami-istri, maka dia wajib membayar kafarat dan hajinya tetap sah sebagai haji Islam.
[Bab Haji Anak Kecil yang Balig, Budak yang Dimerdekakan, dan Kafir Dzimi yang Masuk Islam]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang anak kecil mencapai balig, seorang budak dimerdekakan, atau seorang kafir masuk Islam di Arafah atau Muzdalifah, lalu salah satu dari mereka berihram untuk haji dalam keadaan tersebut, kemudian sampai di Arafah sebelum fajar menyingsing pada malam Muzdalifah—baik dia berwukuf atau tidak—maka dia telah mendapatkan haji dan itu dianggap sah sebagai haji Islam, tetapi dia wajib menyembelih hewan karena tidak memulai ihram dari miqat.
Jika seorang budak atau anak kecil yang belum balig berihram untuk haji dengan niat haji wajib, sunah, atau tanpa niat, lalu budak itu dimerdekakan atau anak itu balig sebelum Arafah, di Arafah, di Muzdalifah, atau di mana pun, kemudian mereka kembali ke Arafah setelah balig atau merdeka, maka haji mereka dianggap sah sebagai haji Islam. Jika mereka berhati-hati dengan menyembelih hewan, itu lebih aku sukai, tetapi tidak jelas bagi saya bahwa itu wajib bagi mereka.
Adapun orang kafir, jika dia berihram dari miqatnya lalu masuk Islam di Arafah, dia wajib menyembelih hewan karena ihramnya tidak sah.
Jika seorang laki-laki mengizinkan budaknya untuk berihram haji, lalu budak itu merusak hajinya sebelum Arafah, kemudian dia dimerdekakan dan sampai di Arafah, maka hajinya tidak dianggap sah sebagai haji Islam karena dia sebelumnya wajib menyempurnakannya. Meskipun ihramnya sah karena izin tuannya, hajinya tetap tidak sah sebagai haji Islam. Jika dia merusaknya, dia harus melanjutkan hajinya yang rusak itu, mengqadhanya, dan menyembelih seekor unta. Setelah mengqadha, qadha itu dianggap sah sebagai haji Islam.
(Imam Syafi’i berkata) tentang anak kecil yang hampir balig: Jika dia berihram untuk haji lalu berhubungan dengan istrinya sebelum Arafah, kemudian bermimpi basah di Arafah, dia boleh melanjutkan hajinya, tetapi aku tidak menganggap haji ini sah sebagai haji Islam. Sebab, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menetapkan bahwa jika seorang anak kecil berhaji lalu berhubungan, hajinya batal dan dia wajib mengganti serta menyembelih unta. Jika dia telah mengganti dan menyembelih unta, maka itu dianggap sah sebagai haji Islam.
(Dia juga berkata): Jika seorang kafir dzimi atau kafir lainnya berihram untuk sesuatu yang bukan haji, lalu berhubungan, kemudian masuk Islam sebelum Arafah setelah berhubungan, lalu memperbarui ihram dari miqat atau di bawah miqat dan menyembelih hewan karena tidak memulai dari miqat, maka hajinya dianggap sah sebagai haji Islam. Sebab, dia tidak merusak haji dalam keadaan syirik karena sebelumnya tidak sah berihram.
Jika ada yang bertanya, “Jika menurutmu ihramnya sebelumnya tidak sah, apakah kewajiban haji gugur darinya?” Jawabannya: Tidak, kewajiban haji tetap berlaku baginya dan bagi setiap orang yang…
Beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung dan kepada Rasul-Nya, serta menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi kepada Nabi-Nya. Namun, Sunnah menunjukkan—dan sepengetahuanku kaum Muslim tidak berselisih dalam hal ini—bahwa setiap kafir yang masuk Islam, ia memulai kewajiban-kewajiban dari hari ia masuk Islam dan tidak diperintahkan untuk mengulangi apa yang ia tinggalkan selama dalam kesyirikan. Sesungguhnya Islam menghapus apa yang sebelumnya, jika ia masuk Islam kemudian istiqamah. Karena ia memulai amal-amal baru dan tidak ada amal yang dicatat baginya kecuali setelah masuk Islam, maka ihram yang tidak tercatat baginya bukanlah ihram yang sah. Amal dicatat untuk hamba yang sudah baligh. Jika Rasulullah � bersabda tentang anak kecil, “Baginya haji,” maka itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang haji dan hajinya—insya Allah Ta’ala—tercatat baginya.
[Bab: Seseorang yang Bernazar untuk Haji atau Umrah]
(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa mewajibkan atas dirinya haji atau umrah dengan nazar, lalu ia berhaji atau berumrah dengan niat menunaikan haji atau umrah nazarnya, maka haji dan umrah yang ia niatkan untuk menunaikan nazar tersebut menjadi haji Islam dan umrahnya. Setelah itu, ia masih wajib menunaikan haji nazar.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ia meninggal sebelum menunaikan nazar atau kewajiban, maka kewajiban haji Islam ditunaikan terlebih dahulu. Jika hartanya mencukupi atau ada orang yang berhaji atas namanya, maka nazarnya ditunaikan setelah itu.
(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berhaji untuknya dengan upah atau sukarela dengan niat menunaikan nazar, maka haji wajib (haji Islam) didahulukan, kemudian nazarnya ditunaikan setelahnya—jika ihram orang lain atas namanya sah. Jika seseorang ingin menunaikan kewajiban untuknya, maka ihram orang tersebut menggantikan ihramnya sendiri dalam menunaikan kewajiban. Demikian pula halnya dengan nazar. Wallahu a’lam. Jika dua orang berhaji untuknya, satu untuk kewajiban dan satu untuk nazar, maka itu lebih kusukai dan sah baginya.
[Bab: Perbedaan Pendapat dalam Masalah Ini]
(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam bab ini dan berkata, “Kami sependapat denganmu bahwa jika seseorang berhaji secara sukarela atau tanpa niat tertentu, maka itu dianggap sebagai haji Islam berdasarkan atsar dan qiyas, karena haji sukarela bukan kewajiban baginya. Lalu bagaimana pendapatmu tentang kewajiban nazar? Jika nazar itu wajib dan haji wajib adalah ibadah sukarela yang diwajibkan, mengapa engkau berpendapat bahwa jika ia berniat nazar—yang statusnya wajib—maka haji wajib (haji Islam) terpenuhi, seperti pendapatmu dalam haji sukarela? Padahal nazar bukanlah ibadah sukarela?”
Aku menjawab, “Pendapatku didasarkan pada fakta bahwa jika seseorang mampu (berhaji) sejak baligh hingga wafat, maka tidak ada waktu haji yang ia lalui kecuali kewajiban haji sudah melekat padanya tanpa ada tambahan kewajiban dari dirinya sendiri. Nazar tidak wajib baginya kecuali setelah ia mewajibkannya atas dirinya sendiri. Maka, nazar dalam hal ini serupa dengan haji sukarela, sedangkan kewajiban haji Islam lebih utama untuk didahulukan daripada nazar yang baru wajib karena ia mewajibkannya atas dirinya sendiri.”
Jika ada yang berkata, “Bagaimana nazar disamakan dengan ibadah sunnah?” Dijawab, “Jika ia memulai nazar setelah haji Islam, maka ia wajib menyelesaikannya. Namun, karena ketika ia memulai nazar, statusnya seperti memulai haji Islam dengan niat yang baru, maka memulai nazar tidak serta-merta mewajibkannya. Ia hanya mewajibkan sesuatu atas dirinya sendiri. Seandainya nazar itu diwajibkan atasnya, ia tetap diperintahkan untuk menyelesaikannya sebagaimana diperintahkan untuk menyelesaikan haji dengan tawaf dan diperintahkan untuk menunaikannya.”
Lalu ia berkata, “Engkau meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ditanya, lalu salah satunya berkata, ‘Aku menunaikan keduanya—Demi Tuhan Ka’bah—bagi orang yang bernazar haji lalu ia berhaji untuk menunaikan nazar dan haji wajib.’ Sedangkan yang lain berkata, ‘Ini adalah haji Islam.’”
Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
“Haruslah dia memenuhi nadzar, maka aku berkata, ‘Tetapi kamu menyelisihi keduanya, lalu kamu menganggap bahwa nadzar ini dan di atasnya ada kewajiban haji Islam, lalu bagaimana kamu berhujjah dengan sesuatu yang kamu selisihi?’ Dia berkata, ‘Dan kamu menyelisihi salah satunya.’ Maka aku berkata, ‘Jika aku menyelisihinya, aku menyelisihinya dengan makna Sunnah dan aku sepakat dengan yang lain.’ Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ats-Tsauri dari Zaid bin Jubair, dia berkata, ‘Aku berada di sisi Abdullah bin Umar ketika dia ditanya tentang hal ini, lalu dia menjawab, ‘Ini adalah haji Islam, hendaklah dia berusaha menunaikan nadzarnya.’”
(Asy-Syafi’i berkata): “Kami tidak melihat dua amalan yang wajib atasnya, sehingga tidak boleh meninggalkan salah satunya sejak awal, cukup baginya melakukan salah satunya. Maka kami katakan ini dalam haji yang dinadzarkan seseorang sedangkan dia masih memiliki kewajiban haji Islam. Jika dia telah menunaikan haji Islam dan masih ada kewajiban haji nadzar, lalu dia berhaji sunnah, maka itu menjadi haji nadzar. Tidak boleh berhaji sunnah sementara masih ada kewajiban haji. Jika haji sunnah bisa menggantikan haji wajib karena kami menganggap yang sunnah itu sebagai kewajiban dari fardhu, maka demikian pula jika dia melakukan sunnah sementara masih ada kewajiban nadzar, tidak ada perbedaan antara keduanya.”
[Bab Apakah Umrah Wajib Seperti Haji?]
(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 196). Maka manusia berselisih pendapat tentang umrah. Sebagian orang dari timur berkata, ‘Umrah itu sunnah.’ Ini juga dikatakan oleh Sa’id bin Salim dan berhujjah bahwa Sufyan Ats-Tsauri mengabarkan kepadanya dari Mu’awiyah bin Ishaq dari Abu Shalih Al-Hanafi bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Haji adalah jihad dan umrah adalah sunnah.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah engkau memiliki riwayat yang kuat seperti ini dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-?’ Dia menjawab, ‘Ini munqathi’ (terputus sanadnya). Meskipun tidak bisa dijadikan hujjah, hujjah kami bahwa umrah itu sunnah adalah firman Allah Azza wa Jalla, ‘Dan (kewajiban) haji ke Baitullah bagi orang yang mampu.’ (QS. Ali Imran: 97). Allah tidak menyebutkan kewajiban umrah di tempat yang menjelaskan kewajiban haji. Dan kami tidak mengetahui seorang pun dari kaum Muslimin yang diperintahkan untuk menunaikan umrah atas nama orang yang telah meninggal.’”
Aku berkata kepadanya, “Firman Allah Azza wa Jalla, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 196) bisa saja bermakna bahwa umrah diwajibkan bersamaan dengan haji. Kewajiban yang disebutkan dalam satu tempat bisa tetap berlaku di banyak tempat, seperti firman-Nya, ‘Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat.’ (QS. Al-Baqarah: 43), kemudian Dia berfirman, ‘Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.’ (QS. An-Nisa’: 103). Dia menyebutkannya sekali bersama shalat dan menyebut shalat secara terpisah di waktu lain tanpa zakat. Hal itu tidak menghalangi zakat untuk tetap diwajibkan. Kamu tidak memiliki hujjah dalam perkataanmu bahwa kami tidak mengetahui seorang pun yang diperintahkan menunaikan umrah untuk orang yang telah meninggal, kecuali hujjah yang sama bisa digunakan oleh orang yang mewajibkan umrah dengan mengatakan, ‘Kami tidak mengetahui seorang pun dari salaf yang dinyatakan darinya bahwa umrah tidak perlu ditunaikan untuk orang yang telah meninggal atau bahwa umrah itu sunnah seperti yang kamu katakan.’ Jika kamu tidak memiliki hujjah, maka perkataan orang yang mewajibkan umrah, ‘Kami tidak mengetahui seorang pun dari salaf yang dinyatakan darinya bahwa umrah itu sunnah dan tidak perlu ditunaikan untuk orang yang telah meninggal,’ adalah hujjah atasmu.”
(Dia berkata): “Orang yang berpendapat seperti ini lebih cenderung menafsirkan ayat, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 196) dengan makna ‘jika kalian telah memasukinya.’ Sebagian sahabat kami berkata, ‘Umrah itu sunnah, kami tidak mengetahui seorang pun yang memberikan keringanan untuk meninggalkannya.’”
(Dia berkata): “Ini adalah pendapat yang bisa mengandung makna kewajiban umrah jika yang dimaksud adalah bahwa ayat itu mengandung kemungkinan kewajiban umrah dan bahwa Ibnu Abbas berpendapat tentang kewajibannya tanpa ada imam lain yang menyelisihinya. Bisa juga bermakna penekanan, bukan kewajiban.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Pendapat yang lebih sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan lebih utama menurut para ulama menurutku -dan aku memohon kepada Allah taufiq- adalah bahwa umrah itu wajib. Karena Allah Azza wa Jalla menggandengkannya dengan haji dalam firman-Nya, ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat.’ (QS. Al-Baqarah: 196). Juga karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berumrah sebelum berhaji. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menetapkan ihram, keluar darinya dengan thawaf dan cukur, serta miqat untuk umrah. Sedangkan haji memiliki amalan tambahan dibanding umrah. Maka zhahir Al-Qur’an lebih utama selama tidak ada indikasi bahwa yang dimaksud adalah batin, bukan zhahir. Selain itu, ada pula perkataan Ibnu Abbas dan lainnya.”
Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami.
Dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ia adalah pasangannya dalam Kitab Allah: ‘Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah’ (QS. Al-Baqarah: 196).” Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, ia berkata: “Tidak ada seorang pun dari makhluk Allah Ta’ala melainkan ia wajib menunaikan haji dan umrah.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Pendapat ini juga dikatakan oleh ulama lain dari kalangan kami (penduduk Mekkah) dan merupakan pendapat mayoritas mereka.” (Asy-Syafi’i berkata): “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu yang mudah didapat’ (QS. Al-Baqarah: 196). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menetapkan penyembelihan hadyu bagi yang menggabungkan umrah dengan haji (Qiran). Seandainya asal umrah adalah sunnah, maka seharusnya tidak boleh seseorang menggabungkan umrah dengan haji, karena tidak boleh seseorang memasukkan amalan sunnah ke dalam amalan wajib sebelum keluar dari salah satunya sebelum memasuki yang lain. Seseorang boleh melakukan shalat sunnah empat rakaat atau lebih sebelum memisahkan keduanya dengan salam, namun hal itu tidak berlaku dalam shalat wajib dan sunnah. Oleh karena itu, seharusnya tidak wajib menyembelih hadyu ketika Tamattu’ atau Qiran jika asal umrah adalah sunnah dalam segala kondisi, karena hukum sesuatu yang hanya sunnah berbeda dengan hukum sesuatu yang wajib dalam kondisi tertentu.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Umrah telah masuk ke dalam haji hingga hari kiamat.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang bertanya tentang wewangian dan pakaian: ‘Lakukanlah dalam umrahmu apa yang biasa kamu lakukan dalam hajimu.’” (Muslim bin Khalid mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Amr bin Hazm disebutkan bahwa umrah adalah haji kecil. Ibnu Juraij berkata: “Abdullah bin Abi Bakar tidak menceritakan kepadaku tentang surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Amr bin Hazm kecuali aku bertanya: ‘Apakah kalian ragu bahwa itu adalah surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ada yang berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita untuk menunaikan haji atas nama ayahnya, namun tidak ada riwayat bahwa beliau memerintahkan untuk menunaikan umrah atas namanya,’ maka jawabannya -insya Allah- bisa jadi dalam hadits tersebut sebagiannya dihafal dan sebagian lainnya tidak, atau seluruhnya dihafal namun hanya sebagian yang disampaikan. Juga bisa dijawab dengan mengatakan bahwa jika haji bisa ditunaikan atas nama orang lain, maka umrah juga demikian. Jika ada yang bertanya: ‘Apa yang mendukung pendapatmu?’ Maka katakanlah: ‘Thalhah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Islam, lalu beliau menjawab: ‘Lima shalat dalam sehari semalam.’ Beliau menyebutkan puasa namun tidak menyebutkan haji atau umrah sebagai bagian dari Islam, dan masih banyak lagi yang semisal dengan ini.’ Wallahu a’lam.”
Jika ada yang bertanya: “Apa alasan hal ini?” Maka jawablah: “Seperti yang telah aku jelaskan, bahwa dalam sebuah hadits bisa jadi hanya sebagian yang disampaikan atau dihafal, atau penanya sudah mengetahui sebagiannya sehingga cukup dengan jawaban atas pertanyaannya saja, atau penanya mengetahui sisanya kemudian namun tidak disampaikan dalam pertanyaannya, namun disampaikan dalam pertanyaan lainnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang melakukan umrah secara terpisah (Ifrad), maka miqatnya sama dengan miqat haji. Umrah boleh dilakukan setiap bulan dalam setahun, kecuali kami melarang orang yang sedang berihram haji untuk melakukan umrah pada hari-hari Tasyriq karena ia sedang sibuk dengan amalan haji dan tidak boleh keluar dari ihramnya hingga menyelesaikan seluruh amalan ihram yang ia lakukan secara terpisah.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang belum menunaikan haji lalu menahan diri dari umrah hingga berlalu hari-hari Tasyriq, maka itu boleh. Namun jika ia tidak melakukannya, maka juga boleh baginya, karena ia tidak dalam keadaan ihram yang melarangnya dari ihram lainnya.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Cukup baginya menggabungkan haji dengan umrah (Qiran), dan itu sudah memenuhi kewajiban umrahnya serta wajib menyembelih hadyu, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) hadyu yang mudah didapat’ (QS. Al-Baqarah: 196). Orang yang Qiran lebih ringan keadaannya dibandingkan orang yang Tamattu’. Orang yang Tamattu’ memasukkan umrah lalu menyambungkannya dengan haji, sehingga miqat hajinya gugur. Sedangkan orang yang Qiran juga demikian, ia memasukkan umrah dalam hari-hari haji. Orang yang Tamattu’ memiliki kelebihan yaitu bisa menikmati kehalalan (tahallul) dari umrah hingga ihram haji, namun dalam hal kewajiban hadyu, orang yang Tamattu’ tidak lebih berat dari orang yang Qiran.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Umrah sebelum haji atau haji sebelum umrah sudah mencukupi kewajibannya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang berumrah sebelum haji, lalu menetap di Mekkah hingga memulai haji, maka ia memulainya dari Mekkah, bukan dari miqat.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang melakukan haji secara terpisah (Ifrad) lalu ingin berumrah setelah haji, maka ia keluar dari tanah haram kemudian berihram dari mana saja ia mau. Miqat hajinya sudah gugur dengan ihram hajinya, sehingga ia berihram umrah dari tempat terdekat dari miqat umrah, dan tidak ada miqat baginya.”
Tanpa penjelasan, berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dia memiliki tanpa solusi. Juga, waktu haji gugur jika umrah dilakukan sebelumnya karena salah satunya masuk ke dalam yang lain, dan lebih disukai untuk berumrah dari Ji’ranah karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berumrah dari sana. Jika tidak memungkinkan, berumrahlah dari Tan’im karena “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan Aisyah untuk berumrah dari sana, dan itu adalah tempat halal terdekat ke Ka’bah.” Jika itu juga tidak memungkinkan, berumrahlah dari Hudaibiyah karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – shalat di sana dan ingin memulai umrahnya dari sana. Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami bahwa dia mendengar ‘Amr bin Dinar berkata, aku mendengar ‘Amr bin Aus Ats-Tsaqafi berkata, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar mengabarkan kepadaku bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan dia untuk membonceng Aisyah dan mengumrahkannya dari Tan’im. Asy-Syafi’i berkata, “Aisyah adalah qarin (menggabungkan haji dan umrah), lalu menunaikan haji dan umrah yang wajib baginya. Dia ingin pulang dengan umrah yang tidak digabungkan dengan haji, maka dia meminta hal itu kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, lalu beliau memerintahkan untuk mengumrahkannya, sehingga itu menjadi sunnah baginya. Dia telah memasuki Mekkah dengan ihram, sehingga tidak perlu kembali ke miqat.” Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Umayyah dari Muzahim dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Khalid dari Muharisy Al-Ka’bi atau Muharisy “bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – keluar dari Ji’ranah pada malam hari, lalu berumrah dan pagi harinya berada di sana seperti bermalam.” Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dengan sanad ini, dan Ibnu Juraij berkata, “Dia adalah Muharisy.”
(Asy-Syafi’i berkata): Ibnu Juraij benar karena keturunannya di sisi kami adalah Bani Muharisy. Muslim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepada Aisyah, “Thawafmu di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwa cukup untuk haji dan umrahmu.” Sufyan mengabarkan dari Ibnu Abi Najih dari ‘Atha’ dari Aisyah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dengan riwayat serupa. Terkadang Sufyan berkata dari ‘Atha’ dari Aisyah, dan terkadang dia berkata, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepada Aisyah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Aisyah adalah qarin pada bulan Dzulhijjah, kemudian berumrah atas perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – setelah haji, sehingga dia memiliki dua umrah dalam satu bulan. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebelumnya berumrah dari Ji’ranah sebagai umrah qadha, sehingga umrah Ji’ranah adalah sunnah. Meskipun beliau memasuki Mekkah pada tahun Fathu Mekkah tanpa ihram karena perang, umrahnya dari Ji’ranah bukan qadha melainkan sunnah. Orang yang ingin bersunnah boleh berumrah dari mana saja di luar tanah haram.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang berihram untuk haji tetapi gagal, dia keluar dari hajinya dengan melakukan umrah, dan wajib baginya haji tahun depan serta menyembelih hadyu. Ini tidak menggugurkan kewajiban haji atau umrah wajibnya karena dia hanya keluar dari haji dengan melakukan umrah, bukan memulai umrah yang bisa menggugurkan umrah wajibnya.