Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 2

[Mengembalikan Kelebihan kepada Ahli Sahan]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika tidak ada mu’allaf dan tidak ada kaum dari penerima zakat yang ingin berjihad, maka tidak ada bagian untuk sabilillah atau mu’allaf. Bagian mereka dipisahkan. Demikian pula jika tidak ada ibnu sabil atau orang yang terlilit utang. Begitu juga jika mereka tidak hadir, lalu diberikan harta yang cukup untuk mereka dan masih ada sisa, atau jika di antara ahli saham lainnya ada yang memiliki sisa harta, maka kelebihan dari semua itu dipisahkan. Kemudian, dihitung sisa ahli saham yang belum menerima atau telah menerima tetapi belum mencukupi kebutuhannya. Lalu, pembagian harta ini dimulai untuk mereka sebagaimana pembagian zakat pertama kali, yaitu dibagi kepada ahli saham yang tersisa.

Baik yang tersisa adalah fakir miskin yang belum tercukupi, atau orang yang terlilit utang yang belum lunas seluruh utangnya, dan tidak ada lagi dari delapan golongan ahli saham selain mereka, maka seluruh sisa harta dibagi kepada mereka dalam tiga bagian. Jika orang yang terlilit utang sudah tercukupi dengan bagian mereka (sepertiga dari seluruh harta), maka kelebihan dari bagian mereka dikembalikan kepada fakir miskin, lalu dibagi kepada kedua golongan ini hingga habis. Jika setelah dibagi, fakir sudah tercukupi dengan sebagiannya, maka sisanya dikembalikan kepada miskin hingga mereka pun tercukupi.

Jika ada yang bertanya: “Mengapa engkau mengembalikan kelebihan dari saham yang tidak dibutuhkan oleh golongan yang memerlukan, termasuk yang tidak termasuk ahli saham seperti mu’allaf dan lainnya, padahal ketika mereka semua berkumpul, engkau memberikan setiap golongan bagiannya?”

(Imam Syafi’i menjawab): Ketika mereka semua berkumpul, mereka secara syar’i dalam keadaan membutuhkan, dan masing-masing berhak atas apa yang Allah tetapkan untuk mereka. Mereka ada delapan golongan, sehingga aku tidak boleh menghalangi salah satu dari mereka dari hak yang Allah berikan. Allah Ta’ala menyebutkan mereka secara umum tanpa mengkhususkan satu golongan atas yang lain, maka aku membagi untuk mereka bersama-sama sebagaimana Allah menyebut mereka bersamaan.

Yang menghalangiku untuk memberikan setiap golongan bagiannya secara penuh—meski mereka bisa tercukupi dengan kurang dari itu—adalah karena dalam ketetapan Allah, mereka hanya diberi berdasarkan kriteria yang Allah sebutkan. Jika kriteria itu hilang, seperti fakir dan miskin sudah kaya, atau orang yang berutang sudah bebas dari utang, maka mereka bukan lagi golongan yang berhak menerima. Jika aku tetap memberikannya, berarti aku memberi kepada yang tidak diperintahkan.

Seandainya boleh memberi mereka setelah mereka kaya atau bebas dari utang, maka berarti boleh juga memberi kepada orang kaya atau ahli waris mereka. Dengan demikian, hak dialihkan dari yang berhak kepada yang tidak berhak. Tidak boleh bagi siapa pun mengalihkan hak dari yang Allah tetapkan atau memberikannya kepada yang tidak berhak.

Aku mengembalikan kelebihan dari sebagian ahli saham kepada yang tersisa dari ahli saham yang belum tercukupi karena Allah Ta’ala mewajibkan orang kaya untuk mengeluarkan sebagian harta mereka untuk golongan tertentu dengan kriteria tertentu. Jika sebagian dari golongan yang Allah sebutkan sudah tidak ada atau sudah kaya, maka harta ini tidak memiliki pemilik tertentu dari kalangan manusia yang harus dikembalikan, berbeda dengan hibah atau wasiat manusia. Seandainya seseorang berwasiat untuk orang lain, lalu penerima wasiat meninggal sebelum pemberi wasiat, maka wasiat itu kembali kepada ahli waris pemberi wasiat.

Karena harta zakat berbeda dengan harta warisan, maka tidak ada seorang pun yang lebih berhak atas pembagian Allah selain golongan yang Allah sebutkan. Mereka adalah bagian dari yang Allah tetapkan sebagai penerima, dan tidak ada seorang muslim yang membutuhkan kecuali dia memiliki hak selain itu.

Adapun ahli fai’ (penerima harta fai’), mereka tidak masuk dalam penerima zakat. Sedangkan penerima zakat lainnya, zakat dibagi khusus untuk mereka. Sekalipun zakatnya banyak, tidak boleh diberikan kepada selain mereka, dan setiap dari mereka berhak menerimanya.

Sebagaimana mereka tidak memasukkan orang lain kepada mereka, begitu pula mereka tidak memasukkan kepada orang lain apa yang berasal dari orang lain yang berhak mendapat bagian darinya. Jika penduduk suatu pekerjaan mencukupi kebutuhan mereka dengan sebagian yang dibagikan untuk mereka dan masih ada kelebihan, maka aku berpendapat bahwa kelebihan itu dipindahkan kepada orang yang paling dekat hubungan kekerabatan dan tempat tinggalnya dengan mereka.

[Keterbatasan Bagian dan Apa yang Harus Dilakukan dalam Pembagian]

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Jika bagian-bagian itu terbatas, misalnya orang-orang fakir berjumlah seribu dan bagian mereka seribu, sedangkan orang-orang yang berutang (gharimin) berjumlah tiga dan utang mereka seribu serta bagian mereka seribu, lalu orang-orang fakir berkata: “Kami hanya membutuhkan seratus ribu, sedangkan mereka (gharimin) bisa melunasi utang mereka dengan seribu. Gabungkanlah bagian kami dan bagian mereka, lalu berikan kepada kami seratus bagian dari seribu dan kepada mereka satu bagian, sebagaimana harta ini dibagi jika berada di antara kami secara merata dengan makna yang sama.” Namun, hal itu tidak berlaku bagi mereka menurut kami—wallahu a’lam—karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menetapkan bagian untuk gharimin sebagaimana Dia menetapkan bagian untuk orang-orang fakir. Maka, bagian itu diberikan kepada gharimin meskipun mereka menghabiskan seluruh bagian itu, dan mereka tidak diberi lebih dari yang telah ditetapkan. Jika ada kelebihan dari bagian mereka, maka kalian tidak lebih berhak atasnya daripada orang lain, terutama jika ada kelompok lain yang juga disebutkan bersama kalian. Namun, kelebihan dari bagian mereka atau kelompok lain dikembalikan kepada kalian dan orang lain dari penerima bagian yang masih membutuhkan, sebagaimana pembagian awal di antara kalian.

Demikian pula, jika kalian yang sudah mencukupi kebutuhan sedangkan gharimin belum, kami tidak akan memasukkan mereka kepada kalian kecuali setelah kebutuhan kalian terpenuhi. Kami juga tidak membiarkan mereka menuntut kalian selama setiap orang dari kalian telah menerima bagiannya. Tidak ada batasan waktu dalam pemberian kepada orang fakir kecuali sampai mereka keluar dari batas kemiskinan menuju kecukupan, baik sedikit maupun banyak, baik harta itu wajib zakat atau tidak. Sebab, pada hari pemberian itu, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Seseorang bisa saja kaya tetapi tidak memiliki harta yang wajib dizakati, atau miskin karena banyak tanggungan meskipun memiliki harta yang wajib dizakati. Kekayaan dan kemiskinan dinilai berdasarkan kondisi nyata seseorang.

Orang Arab dahulu tinggal berdekatan di pedesaan atau perkampungan berdasarkan kekerabatan karena takut terhadap orang luar. Di masa jahiliyah, mereka tinggal berdekatan agar saling melindungi. Jika demikian halnya ketika mereka berzakat, zakat mereka dibagikan kepada fakir miskin di antara mereka dengan mempertimbangkan kekerabatan dan kedekatan tempat tinggal.

Jika mereka adalah penduduk pedesaan dan petugas zakat (amil) bertugas di satu atau dua kabilah, dan sebagian anggota kabilah bergaul dengan kabilah lain yang bukan kerabat mereka, serta kedekatan dan interaksi mereka seperti berpindah dan menetap bersama sehingga bagian zakat terbatas, maka kami membagikannya berdasarkan kedekatan tempat tinggal, bukan kekerabatan. Hal yang sama berlaku jika ada non-Arab yang bergaul dengan mereka dan ikut dalam pembagian berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Jika mereka terkadang berpisah dan terkadang berkumpul saat berpindah tempat, maka aku lebih suka membaginya berdasarkan kekerabatan jika kondisi mereka setara—sebab kekerabatan lebih utama menurutku. Namun, jika kondisinya berbeda, kedekatan tempat tinggal lebih utama daripada kekerabatan.

Jika seorang pemberi zakat berkata: “Kami memiliki fakir miskin di luar wilayah ini, dan mereka seperti yang kusebutkan—kadang berkumpul dan kadang berpisah saat berpindah tempat,” maka hitunglah mereka bersama-sama, lalu bagikan kelebihan itu kepada yang tidak hadir dan yang hadir. Jika mereka tinggal di ujung-ujung pedesaan yang berjauhan—misalnya sebagian di satu ujung yang lebih dekat dengan mereka—maka bagikanlah berdasarkan kedekatan wilayah, dan ujung yang lebih dekat dianggap seperti tempat tinggal tetap bagi mereka. Ini berlaku jika mereka adalah orang-orang yang berpindah-pindah tanpa tempat tinggal tetap. Namun, jika mereka memiliki tempat tinggal tetap, aku akan selalu membagikannya berdasarkan kedekatan tempat tinggal.

Suku-suku pedesaan seperti Irāk dan Hamdh yang menetap di tempat tinggal mereka, zakat dibagikan di antara mereka berdasarkan kedekatan tempat tinggal. Jika ada orang luar yang tinggal di dekat mereka, zakat dibagikan kepada tetangga mereka berdasarkan kedekatan tempat tinggal, atau berdasarkan kekerabatan dan kedekatan tempat tinggal jika keduanya ada.

Jika penduduk pedesaan memiliki tambang, hasil tambang dibagikan kepada orang yang tinggal di dekat tambang, meskipun mereka bukan kerabat pemilik tambang jika tempat tinggal mereka jauh.

Demikian pula jika mereka memiliki tanaman, hasil tanaman dibagikan kepada tetangga yang tinggal di sekitar lahan pertanian, bukan berdasarkan kekerabatan jika kerabat tinggal jauh dari lokasi pertanian. Zakat penduduk desa dibagikan kepada para penerima bagian (ashnaf) yang berhak.

Dari penduduk desa tanpa memandang nasab jika yang memiliki nasab tidak berada di desa dan mereka jauh darinya, demikian pula kurma mereka dan zakat harta mereka. Tidak boleh mengeluarkan sesuatu dari sedekah (zakat) dari satu desa ke desa lain jika di desa tersebut ada yang berhak menerimanya, juga tidak dari satu tempat ke tempat lain jika di tempat tersebut ada yang berhak. Orang yang paling berhak mendapat bagian adalah tetangga terdekat dari tempat harta itu diambil, meskipun nasabnya jauh jika tidak ada kerabat bersamanya. Jika seseorang bertugas mengeluarkan zakat hartanya dan ia memiliki kerabat di daerah tempat pembagian serta tetangga yang juga berhak menerima, lalu jika sempit (hartanya) maka ia lebih mengutamakan kerabatnya, maka itu baik menurutku selama mereka termasuk golongan yang berhak menerima.

(Imam Syafi’i berkata): Adapun ahli fai’ (penerima bagian dari harta rampasan perang) tidak boleh masuk ke dalam golongan penerima sedekah (zakat) selama mereka masih menerima bagian dari fai’. Seandainya ada seseorang yang menerima bagian (fai’) lalu ia ditugaskan untuk berperang, sedangkan ia berada di desa yang memiliki zakat, ia tidak boleh mengambil bagian dari zakat. Namun jika ia keluar dari penerima fai’ dengan alasan tidak mau berperang dan membutuhkan, maka ia boleh diberi dari zakat. Siapa saja dari penerima zakat di pedalaman atau desa yang tidak ikut memerangi musuh, maka ia bukan termasuk ahli fai’. Jika ia berhijrah, diberi bagian (fai’), dan ikut berperang, maka ia menjadi ahli fai’ dan mengambil bagian darinya. Jika ia membutuhkan saat masih termasuk ahli fai’, ia tidak boleh mengambil dari zakat. Namun jika ia keluar dari ahli fai’ dan kembali ke golongan penerima zakat, maka itu diperbolehkan baginya.

(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami berpendapat tidak ada lagi mu’allaf (orang yang dilunakkan hatinya), sehingga bagian mu’allaf dan bagian fi sabilillah dialokasikan untuk persiapan perang dan senjata di perbatasan kaum Muslimin sesuai kebijakan pemimpin. Sebagian lain berpendapat bahwa ibn sabil (musafir yang kehabisan bekal) termasuk yang berhak menerima zakat di daerah tempat zakat itu diambil, baik dari golongan penerima zakat maupun bukan. Ia juga berkata: Pembagian zakat didasarkan pada petunjuk (kebutuhan), di mana jumlah banyak atau kebutuhan mendesak, maka itu lebih utama. Seolah ia berpendapat bahwa jika bagian zakat seribu, sementara seorang gharim (orang yang terlilit utang) membutuhkan seribu, sementara para miskin membutuhkan sepuluh ribu, fakir juga demikian, dan ibn sabil serupa, maka gharim hanya diberi satu bagian dari mereka, sehingga sebagian besar harta diberikan kepada yang lebih banyak jumlah dan kebutuhannya. Seolah ia berpendapat bahwa harta itu diserahkan kepada mereka untuk dibagi berdasarkan jumlah dan kebutuhan, bukan setiap golongan mendapat bagian tertentu.

Sebagian sahabat kami berkata: Jika zakat suatu kaum diambil di suatu negeri, sementara ada penduduk di negeri lain yang dilanda paceklik, dan golongan penerima zakat di negeri asal masih mampu bertahan tanpa kesulitan seberat penduduk paceklik yang tidak memiliki zakat di negeri mereka atau hanya memiliki zakat sedikit yang tidak mencukupi, maka zakat itu boleh dipindahkan ke penduduk paceklik jika dikhawatirkan mereka akan mati kelaparan jika tidak diberi. Seolah ia juga berpendapat bahwa harta ini adalah harta dari Allah Yang Maha Mulia, yang dibagikan kepada golongan penerima zakat untuk kemaslahatan hamba-Nya. Maka pemimpin boleh mempertimbangkan untuk memindahkan bagian ini ke golongan penerima zakat di mana pun mereka berada, baik dekat maupun jauh, sesuai ijtihad. Aku menduga ia juga berkata: Bagian zakat penerima sedekah boleh dipindahkan kepada ahli fai’ jika mereka sangat membutuhkan.

Dan harta rampasan menjadi sempit bagi mereka.

Dan harta rampasan itu dialihkan kepada penerima zakat jika mereka kesulitan dan zakat menjadi sempit, dengan maksud untuk kebaikan hamba-hamba Allah Ta’ala. Namun, aku berpendapat berbeda dengan pendapat ini karena Allah Azza wa Jalla telah membagi harta menjadi dua bagian: satu bagian zakat yang disucikan untuk delapan golongan, dan telah ditegaskan dalam sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa zakat diambil dari orang kaya suatu kaum dan diberikan kepada fakir miskin mereka, bukan fakir miskin selain mereka. Maka, menurutku – dan Allah lebih tahu – tidak boleh ada penyimpangan dari apa yang kusampaikan, yaitu bahwa zakat tidak boleh dipindahkan dari satu kaum ke kaum lain sementara di antara mereka masih ada yang berhak menerimanya. Tidak boleh pula bagian seseorang yang berhak dialihkan kepada orang lain yang juga berhak. Bagaimana mungkin dibenarkan jika Allah Azza wa Jalla menetapkan golongan-golongan tertentu, lalu mereka ada bersama-sama, tetapi satu orang diberi bagiannya dan bagian orang lain? Jika ini dibenarkan menurutku, maka boleh saja satu bagian diberikan kepada satu orang sehingga tujuh golongan lain yang telah ditetapkan haknya terhalangi, sementara satu orang diberi apa yang bukan haknya.

Orang yang berpendapat demikian tidak akan berselisih dengan kami bahwa jika seseorang berkata, “Aku mewasiatkan untuk si Fulan, si Fulan, dan si Fulan,” atau “Aku mewasiatkan sepertiga hartaku untuk si Fulan, si Fulan, dan si Fulan,” maka tanah atau sepertiga harta itu dibagi rata di antara mereka. Demikian pula, tidak ada perselisihan bahwa jika seseorang berkata, “Sepertiga hartaku untuk fakir miskin Bani Fulan, orang yang terlilit utang Bani Fulan, dan musafir Bani Fulan,” maka setiap golongan ini berhak menerima bagian dari sepertiga tersebut, dan tidak boleh satu golongan diberi seluruh sepertiga sementara yang lain tidak.

Demikian pula, tidak boleh seluruh harta diberikan hanya kepada fakir miskin tanpa menyertakan orang yang terlilit utang, atau hanya untuk orang yang terlilit utang tanpa musafir, atau satu golongan yang disebutkan tanpa golongan lain yang lebih membutuhkan. Sebab, pemberi wasiat atau sedekah telah menetapkan golongan-golongan tertentu, sehingga harta satu golongan tidak boleh dialihkan ke golongan lain, dan hak yang telah ditetapkan tidak boleh diberikan kepada yang tidak berhak. Setiap golongan memiliki hak atas apa yang ditetapkan untuk mereka, sehingga hak satu golongan tidak boleh dialihkan ke golongan lain.

Jika ini adalah pendapat kami dan pendapat orang yang berpendapat demikian, maka pemberian manusia tidak boleh dilaksanakan kecuali sesuai dengan apa yang mereka berikan. Maka, pemberian Allah Azza wa Jalla lebih berhak untuk dilaksanakan sesuai dengan ketetapan-Nya. Jika dalam salah satu pemberian boleh dialihkan dari yang berhak kepada yang tidak berhak, atau hak satu golongan diberikan kepada golongan lain, tentu hal itu lebih pantas dilakukan dalam pemberian manusia. Namun, hal itu tidak dibenarkan dalam kedua kasus tersebut.

Ketika Allah Azza wa Jalla membagi harta rampasan dan berfirman,

“Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul…” (QS. Al-Anfal: 41),

dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan bahwa empat perlimanya diberikan kepada yang ikut berperang, dengan tiga bagian untuk penunggang kuda dan satu bagian untuk pejalan kaki, maka kami tidak mengetahui Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memberikan kelebihan kepada penunggang kuda yang paling berjasa dibanding yang lain. Kaum muslimin juga menyamakan hak antara dua penunggang kuda, bahkan mereka berkata, “Seandainya ada penunggang kuda yang paling besar jasanya dan seorang penakut, keduanya tetap diberi bagian yang sama.” Demikian pula halnya dengan pejalan kaki.

Bagaimana pendapatmu jika ada yang membantah kami dan mereka dengan berkata, “Jika empat perlima rampasan perang diberikan kepada yang hadir, padahal maksud kehadiran adalah untuk membela kaum muslimin dan memerangi orang musyrik, maka aku tidak akan memberikan empat perlima itu kepada semua yang hadir. Aku hanya akan menghitung orang-orang yang benar-benar berjasa, lalu memberi satu orang bagian seratus orang atau kurang jika jasanya setara atau lebih, sementara orang penakut atau yang tidak berniat baik tidak kuberi atau hanya kuberi seperseratus bagian dari orang yang berjasa, sesuai dengan kontribusinya.” Apa argumen melawannya kecuali dengan mengatakan, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – membagi tiga bagian untuk penunggang kuda dan satu bagian untuk pejalan kaki, dan hal ini bersifat umum. Kami tidak mengetahui beliau mengkhususkan bagi yang berjasa besar, tetapi beliau memberi semua yang hadir berdasarkan kehadiran dan kebebasan.”

Dan hanya Islam, tanpa nyanyian.

Barangsiapa yang berbeda pendapat dengan kami dalam pembagian sedekah, tidak akan berbeda pendapat dalam pembagian empat perlima dari harta rampasan perang. Bagaimana mungkin dia boleh berbeda pendapat dalam sedekah, padahal Allah telah menetapkan pembagian yang jelas bagi mereka, memberikan sebagian dan tidak kepada yang lain? Jika menurut kami dan menurutnya tidak boleh bagi para pejuang yang berperang—yang merupakan ahli perang tanpa nyanyian—untuk memberikan sebagian dari rampasan perang mereka kepada kaum lemah dari kalangan musyrikin yang juga tidak memiliki kemampuan, sementara di sisi lain ada pejuang Muslim yang kuat yang berperang melawan musuh yang tangguh, maka bagaimana bisa mereka tidak diberikan bagian dari rampasan perang yang diperoleh dari kaum Muslim yang lemah melawan kaum musyrikin yang lemah, sementara kaum Muslim yang kuat yang berperang melawan kaum musyrikin yang kuat dan banyak jumlahnya tidak diberikan bagian demi mempertimbangkan Islam dan pemeluknya? Seharusnya, bagian rampasan perang yang diperoleh dari kaum Muslim yang lemah melawan kaum musyrikin yang lemah diberikan kepada kaum Muslim yang kuat yang berperang melawan kesyirikan yang kuat, karena mereka menanggung beban besar dalam memerangi musuh dan mereka lebih besar manfaatnya bagi kaum Muslim. Namun, aku memberikan hak setiap pejuang sesuai haknya.

Lalu, bagaimana bisa dibenarkan memindahkan sedekah dari suatu kaum yang membutuhkannya kepada orang lain yang lebih membutuhkan, atau membagikannya bersama mereka, atau memindahkannya dari satu golongan ke golongan lain, sementara golongan yang sedekahnya dipindahkan itu juga membutuhkan hak mereka? Atau bagaimana pendapatmu jika ada seseorang berkata kepada suatu kaum yang kaya dan telah berperang melawan musuh: “Kalian orang kaya, maka aku akan mengambil rampasan perang kalian dan membagikannya kepada penerima sedekah yang membutuhkan di tahun paceklik, karena penerima sedekah adalah Muslim yang menjadi tanggungan Allah, dan ini adalah harta dari harta Allah. Aku khawatir jika aku menahan ini dari mereka dan tidak memiliki harta lain, akan membahayakan mereka, sementara mengambilnya dari kalian tidak merugikan kalian.” Bukankah bantahan terhadapnya hanyalah: “Orang yang telah ditetapkan bagiannya lebih berhak atas apa yang dibagikan daripada yang tidak ditetapkan, meskipun yang tidak ditetapkan lebih membutuhkan.” Demikian pula seharusnya dikatakan tentang penerima sedekah: ia telah ditetapkan pembagiannya dengan jelas.

Atau bagaimana pendapatmu jika ada yang berkata tentang ahli waris yang telah Allah tetapkan haknya atau yang disebutkan dalam hadits, bahwa mereka mewarisi karena kekerabatan dan musibah kematian. Jika di antara mereka ada yang lebih baik kepada si mayit semasa hidupnya dan lebih memperhatikan hartanya setelah kematiannya, serta lebih membutuhkan harta yang ditinggalkan, maka dia lebih berhak atas warisan, karena setiap orang memiliki hak dalam keadaan tertentu. Bukankah bantahan terhadapnya hanyalah: “Kami tidak melampaui apa yang telah Allah tetapkan.” Demikian pula argumen dalam pembagian sedekah.

(Imam Syafi’i berkata): Argumen terhadap orang yang berpendapat demikian lebih banyak dari ini, dan ini sudah cukup. Tidak ada keraguan dalam pendapat ini yang patut diikuti, karena menurutku—dan Allah lebih tahu—ini adalah pembatalan hak orang yang telah Allah berikan haknya, serta membolehkan penguasa mengambil sedekah dan memindahkannya kepada kerabat atau temannya di negeri lain, padahal penerima sedekah itu termasuk golongan yang berhak.

(Imam Syafi’i berkata): Seorang yang berargumen tentang pemindahan sedekah beralasan bahwa sebagian ulama yang diikuti berkata: “Jika engkau berikan kepada satu golongan saja, itu sudah cukup.” Namun, perkataan ini tidak bisa dijadikan hujjah yang mengikat. Seandainya dia berkata demikian, bukan berarti dia berkata: “Berikan kepada satu golongan sementara golongan lain ada.” Kami berkata seperti itu hanya jika tidak ada golongan lain selain satu golongan, maka boleh diberikan kepada mereka. Dia juga berargumen dengan riwayat Thawus bahwa Muadz bin Jabal berkata kepada sebagian penduduk Yaman: “Bawalah kain sebagai ganti gandum dan sya’ir, karena itu lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi Muhajirin di Madinah.”

(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ pernah berdamai dengan ahli dzimmi Yaman dengan ketentuan satu dinar per orang setiap tahun. Pada suatu tahun, jika tidak ada dinar, diambil nilai setara dari barang Ma’afir. Mungkin Muadz mengambil gandum dan sya’ir jika mereka kesulitan membayar dinar, karena itu yang paling banyak mereka miliki. Jika boleh meninggalkan dinar demi suatu tujuan…

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker