Kitab Tauhid

Terjemah Kitab Husunul Hamidiyah

3. Sifat Wajib para Rasul

Para rasul itu wajib bersifat Al-Amanah (tepercaya) dalam artian zhahir dan batin mereka terjaga dari perbuatan maksiat dan mustahil mereka bersifat kebalikannya yaitu khiyanah. Zhahir mereka terjaga dari perbuatan zina, minum khamer, bohong dan larangan-larangan zhahir yang lain. Batin mereka terjaga dari sifat dengki, sombong, riya, dan larangan-larangan batin yang lain.

Adapun nash-nash syari’at yang dzahirnya mengandung pengertian terjadinya maksiat atas diri para Rasul, maka nash-nash tersebut harus ditakwili dengan takwilan yang baik seperti yang tersebut dalam kitab-kitab tafsir dan syarah hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, maka bagi setiap orang mukallaf apabila menjumpai ketidakjelasan dalam nash-nash yang menyangkut para Rasul agar mengembalikan pentakwilannya kepada para ulama’ yang pandaipandai, agar dapat memahaminya dari mereka dan agar keyakinannya sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal jama’ah.

Bukti bahwa para Rasul itu pasti bersifat Al-Amanah dan mustahil bagi mereka bersifat khiyanah ialah seandainya mereka itu khiyanah dengan melakukan kemaksiatan, niscaya kita diperintah pula untuk melakukannya, karena Allah swt. memerintahkan kepada kita untuk mengikuti mereka baik perkataan, perbuatan dan tingkah laku mereka tanpa terperinci, padahal Allah swt. tidak memerintahkan kemaksiatan.

Para Rasul itu pasti bersifat As-Shiddig (benar) dan mustahil bagi mereka sifat kebalikannya yaitu kidzib (dusta). Adapun kepastian kebenaran mereka dan kemustahilan kedustaan mereka itu dalam hal-hal yang mereka sampaikan dari Allah swt.

Buku bahwa para rasul itu pasti bersifat Ash-Shiddiqu ialah seandainya Mereka berdusta dalam hal-hal tersebut. niscaya Allah pun berdusta pula dalam berita-Nya, karena Allah telah membenarkan mereka dengan mukjizat-mukjizat yang luar biasa, yang terjadi di atas tangan mereka sebagai penguat mereka. Mukjizat itu menduduki firman Allah “benarlah hambaKu dalam setiap apa yang ia sampaikan dari pada-Ku”. Sedang orang yang membenarkan dusta, ia berdusta pula. Dan dusta bagi Allah adalah muhal, maka kedustaan para rasul itu pun muhal. Apabila kedustaan mereka muhal, maka wajiblah mereka bersifat As-Shidgu (benar). Inilah yang dimaksudkan.

Adapun bukti wajibnya kebenaran mereka dan mustahil kedustaan mereka dalam menyampaikan sesuatu dari Allah, maka buktinya adalah seandainya mereka itu berdusta, padahal kedustaan itu merupakan khiyanah yang bertentangan dengan sifat wajib Al-Amanah dan keterjagaan mereka. Bukti wajibnya amanah bagi para rasul dan mustahilnya khiyanah atas mereka, telah diuraikan di atas.

Para rasul itu pasti bersifat Al-Fathonah, yaitu cerdas dan waspada pikirannya dan mustahil bersifat kebalikannya, yaitu lalai dan tidak cerdas. Buktinya ialah seandainya mereka tidak cerdas dan lalai, niscaya mereka tidak mungkin dapat mengemukakan hujjah (bantahan) terhadap lawan bicara mereka dan tidak mungkin mampu berdebat dengan mereka untuk menanamkan kebenaran pada mereka, sampai mereka merasa puas. Apabila para rasul itu tidak cerdas, maka jelas bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh Allah, yaitu menunjukkan kepada makhluk tentang kebenaran. Dengan demikian, maka pastilah para rasul itu cerdas dan mustahil sifat kebalikannya, yaitu lalai. Inilah yang dimaksudkan.

Para rasul itu wajib bersifat At-Tabligh, yakni menyampaikan kepada makhluk tentang sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. dan muhal bagi mereka sifat kebalikannya, yaitu menyimpan sesuatu daripadanya.

Bukti bahwa para rasul itu pasti bersifat At-Tabligh ialah seandainya mereka menyimpan sesuatu dari apa yang diperintahkan Allah untuk disampaikan kepada makhluk, niscaya kita diperintah untuk menyimpan (menyembunyikan) ilmu, karena Allah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti para rasul, padahal menyembunyikan ilmu itu adalah salah. Oleh karena itu, wajiblah bagi mereka menyampaikan sesuatu yang diperintahkan untuk menyampaikannya kepada makhluk dan mustahil mereka menyimpan atau menyembunyikan sesuatu daripadanya. Inilah yang dimaksudkan.

4. Sifat Jaiz Rasul

Adapun sifat jaiz bagi para rasul ialah semua sifat kemanusiaan yang tidak sampai mengurangi martabat mereka yang tinggi, misalnya makan, minum, menggauli istri secara halal dan sakit yang tidak mencacatkan kedudukan kerasulan mereka serta tidak menjadikan manusia lari dari bergaul dan belajar kepada mereka.

Bukti bahwa para rasul itu bersifat jaiz ialah terdapatnya sifat-sifat itu pada diri mereka dan sifat-sifat itu tidak mencacatkan atau menjadikan manusia lari dari mereka, misalnya gila, ayan yang lama, kusta, sopak dan buta 1tu sama sekali tidak pernah menimpa mereka dan tidak benar jika dikatakan, bahwa nabi Syu’aib itu buta, nabi Ayyub kudisen sampai berulat, dan cobaan yang menimpa nabi Ayyub sebetulnya hanya penyakit kulit biasa, yang tidak menjadikan manusia lari daripadanya. Adapun kisah yang ada dalam hikayat-hikayat yang mengatakan, bahwa penyakitnya menjadikan manusia lari daripadanya adalah salah.

Adapun lupa itu tidak boleh terjadi pada para rasul daiam menyampaikan berita-berita yang harus disampaikan kepada para makhluk, misalnya ayat:

“Sorga itu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”.

Ataupun dalam berita-berita yang bukan untuk disampaikan, mereka juga tetap terhindar dari kelupaan, misalnya ucapan Zaid berdiri, Amir pergi, karena hal itu menyebabkan keraguan pada sebagian orang-orang yang lemah terhadap berita-berita yang dibawa para rasul pada umumnya, dan hal itu dapat menjatuhkan kedudukan kerasulan.

Adapun lupa dalam perbuatan mereka sendiri, baik yang bukan untuk disampaikan seperti lupa dalam shalat, itu tidak mustahil bagi mereka. Hikmah terjadinya kelupaan mereka, agar orang-orang melihat cara yang mereka kerjakan di kala terjadinya kelupaan dalam ibadah. Karena petunjuk melalui perbuatan itu lebih jelas daripada petunjuk dengan perkataan.

Adapun lupa dalam perkara yang disampaikan, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka mereka terhindar daripadanya, misalnya yang berupa perkataan:

“Sorga itu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”

Sedangkan yang berupa perbuatan, misalnya: Shalat Dhuha. Apabila para rasul itu diperintahkan untuk mengerjakan, agar manusia mengikuti mereka, maka sedikit pun tidak boleh lupa sebelum disampaikan yang pertama dengan perkataan dan yang kedua dengan perbuatan. Apabila hal itu telah disampaikan, maka mereka mungkin bisa lupa, yang lupanya itu dari sisi Allah karena ada sesuatu hikmah tertentu yang diketahui-Nya. Adapun lupa dari setan, maka mustahil bagi mereka, karena setan tidak mempunyai jalan untuk mempengaruhi mereka. Godaan setan terhadap Adam a.s. adalah pada godaan zhahir, sedang yang tidak mungkin adalah mempermainkan batin mereka.

Kesimpulannya ialah, bahwasanya jaiz (boleh) atas zhahir para rasul segala sesuatu yang boleh terjadi pada manusia, berupa hal-hal yang tidak mengurangi dan mencacatkan kedudukan kerasulan. Adapun batin-batin mereka itu bersih, terjaga dan selalu berhubungan dengan Tuhan mereka. Apa saja yang menimbulkan keraguan, sehingga bertentangan dengan uraian ini, maka perlu ditakwilkan, dan untuk memahami takwilnya, hendaklah kembali kepada para ulama yang pandal-pandai.

Perlu diketahui, bahwa seluruh keterangan yang telah disebutkan tentang hak-hak para rasul, berupa sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz, itu juga wajib bagi para nabi, yang wajib kita percayai pula. Para nabi ialah orang lakilaki yang diberi wahyu oleh Allah dengan syarak, namun tidak diperintahkan untuk menyampaikannya kepada makhluk. Karena mungkin para nabi menjadi rujukan orang-orang, untuk meminta fatwa tentang hukum-hukum syan’at para rasul sebelum mereka. Dan karena mereka diperintahkan untuk menyampaikan kepada makhluk, bahwa diri mereka adalah Nabi, agar manusia menghormat mereka dan agar mereka tahu tentang apa-apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka.

Kemudian perlu dipahami, bahwa iman kepada para rasul dan para nabi secara global (ijmali) adalah wajib. Dengan arti setiap orang mukallaf wajib beriman kepada seluruh nabi dan rasul adalah milik Allah, dan mengimankan hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz bagi mereka. Lebih baik kita tidak menentukan jumlah para nabi, sebab ada perbedaan riwayat tentang jumlah mereka Allah berfirman:

“Sebagian dari mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu, dan sebagian mereka ada yang tidak Kami ceritakan kepadamu”.

Tetapi wajib mengimankan secara terperinci kepada para rasul yang nama-nama mereka tercantum di dalam Al-Qur’an yang mulia, yang kami kumpulkan dalam bait-bait berikut:

“Nama-nama utusan Allah dalam Al-Our’ an, Ada dua puluh lima, maka ambillah keterangan saya. Mereka itu adalah Adam, Idris, Nuh, Hud, Yunus, Ilyas, Al-Yasa’, Dawud. Ishaq, Ibrahim, Luth Musa: Dzulkifli, Yahya, Zakaria, Isa. Syu’aib, kemudian Shalih, Ayyub’ : Harun, kemudian Yusuf, Ya’qub. Kemudian Sulaiman dan Isma’il: Muhammad yang agung mengakhiri mereka.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker