
Kitab Shalat Khauf
Dan apakah shalat ini dilakukan oleh orang yang bermukim? Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu).” (QS. An-Nisa’: 101) — (Asy-Syafi’i berkata): Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengizinkan qashar dalam keadaan takut dan safar. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan apabila beliau berada di tengah-tengah mereka (para sahabat) untuk mengimami mereka shalat khauf, yaitu dengan sebagian mereka shalat setelah sebagian yang lain. Maka shalat khauf diperbolehkan bagi musafir dan mukim berdasarkan petunjuk Kitabullah ‘Azza wa Jalla, kemudian Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Asy-Syafi’i berkata): Bagi musafir dan mukim, apabila datang rasa takut, mereka boleh melaksanakan shalat khauf. Namun, bagi mukim tidak boleh melakukannya kecuali dengan menyempurnakan bilangan shalat mukim. Sedangkan musafir boleh mengqashar dalam shalat khauf jika dia menghendaki karena safar. Jika dia menyempurnakannya, shalatnya tetap sah, tetapi aku lebih memilih baginya untuk mengqashar.
[Cara Shalat Khauf]
(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka telah sujud (telah menyelesaikan rakaat pertama), maka hendaklah mereka pindah ke belakangmu (untuk menjaga). Lalu datanglah golongan yang kedua yang belum shalat, dan hendaklah mereka shalat bersamamu.” (QS. An-Nisa’: 102).
Malik mengabarkan kepada kami dari Yazid bin Ruman dari Shalih bin Khawwat bin Jubair, dari orang yang shalat bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada hari Dzatur Riqa’ (dalam shalat khauf), bahwa satu kelompok shaf berdiri bersamanya, sementara kelompok lain menghadapi musuh. Nabi shalat bersama mereka (kelompok pertama) satu rakaat, lalu tetap berdiri (menunggu), sementara mereka menyempurnakan shalat sendiri kemudian pergi dan berbaris menghadapi musuh. Kemudian datang kelompok kedua, lalu Nabi shalat bersama mereka untuk rakaat yang tersisa, kemudian tetap duduk (menunggu), sementara mereka menyempurnakan shalat sendiri, lalu Nabi mengucapkan salam bersama mereka.
(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang mendengar Abdullah bin Umar bin Hafs menyampaikan dari saudaranya, Ubaidullah bin Umar, dari Al-Qasim bin Muhammad, dari Shalih bin Khawwat bin Jubair, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hadis serupa atau maknanya yang tidak bertentangan.
(Imam Syafi’i berkata): Maka telah jelas dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla bahwa imam shalat bersama satu kelompok, dan ketika mereka sujud, mereka berpindah ke belakang, lalu datang kelompok lain yang belum shalat, dan mereka shalat bersamanya. Firman Allah ‘Azza wa Jalla “fa idza sajadu” (maka apabila mereka telah sujud) mencakup seluruh sujud dalam shalat. Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga menunjukkan hal itu, selain petunjuk Kitab Allah, karena disebutkan bahwa kedua kelompok dan imam selesai dari shalat tanpa ada kewajiban qadha bagi salah satunya.
(Imam Syafi’i berkata): Aku meriwayatkan beberapa hadis tentang shalat khauf dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan hadis Shalih bin Khawwat adalah yang paling sesuai dengan zhahir Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, maka kami berpegang padanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat khauf, maka dia shalat sebagaimana yang dijelaskan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan hadis Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat khauf dalam keadaan safar, maka setiap kelompok melakukan seperti ini: imam shalat bersama kelompok pertama satu rakaat, lalu tetap berdiri dan membaca (Al-Qur’an) dengan memanjangkannya. Sementara kelompok pertama menyempurnakan shalat sendiri dengan membaca Al-Fatihah dan surah (tidak boleh tidak, karena mereka telah keluar dari imam setelah Al-Fatihah dan surah pendek), lalu rukuk, sujud, tasyahud, dan menyempurnakan semua rukunnya dengan ringan, kemudian salam. Lalu datang kelompok kedua, dan imam membaca setelah mereka datang seukuran Al-Fatihah dan surah pendek. Tidak masalah jika tidak memulai dengan Al-Fatihah jika dia telah membacanya pada rakaat yang mereka ikuti setelah Al-Fatihah. Kemudian imam rukuk, dan mereka rukuk bersamanya, lalu sujud. Setelah selesai sujud, mereka berdiri dan membaca untuk diri mereka Al-Fatihah dan surah pendek dengan ringan, lalu duduk bersamanya. Imam duduk seukuran waktu yang cukup bagi mereka untuk tasyahud dan berhati-hati sedikit hingga yakin bahwa yang paling lambat pun telah menyempurnakan tasyahud atau lebih, kemudian salam bersama mereka.
Seandainya imam membaca Al-Fatihah dan surah sebelum mereka bergabung, lalu rukuk bersama mereka saat bergabung tanpa membaca atau mereka membaca sesuatu, itu sudah cukup bagi mereka. Mereka seperti orang yang mendapatkan satu rakaat bersama imam tanpa mendengar bacaannya. Namun, lebih aku sukai jika mereka membaca setelah takbir bersama imam, seperti sebelumnya, dengan Al-Fatihah dan surah ringan.
Jika shalat yang dipimpin imam adalah shalat yang tidak dikeraskan bacaannya, maka kelompok pertama tidak boleh tidak harus membaca pada dua rakaat pertama Al-Fatihah atau Al-Fatihah plus tambahan jika memungkinkan. Kelompok kedua juga tidak boleh tidak harus membaca Al-Fatihah atau Al-Fatihah plus tambahan jika mereka mendapatkan kesempatan membaca bersama imam.
(Imam Syafi’i berkata): Jika shalat khauf dilakukan dalam keadaan tidak safar (hazr) dan tidak dikeraskan bacaannya, maka tidak boleh satu pun dari kedua kelompok melewatkan satu rakaat tanpa membaca Al-Fatihah, kecuali jika mereka mendapatkan imam pada awal rakaat di waktu yang tidak memungkinkan membaca Al-Fatihah.
(Imam Syafi’i berkata): Jika shalat khauf atau lainnya yang dikeraskan bacaannya, maka dalam setiap rakaat yang dikeraskan bacaannya ada dua pendapat: Pertama, tidak sah shalat orang yang shalat bersamanya kecuali jika membaca Al-Fatihah jika memungkinkan. Kedua, cukup baginya tidak membaca dan mencukupkan dengan bacaan imam. Jika shalat itu empat atau tiga rakaat, maka dalam kedua pendapat itu, tidak sah kecuali jika membaca Al-Fatihah pada dua rakaat terakhir atau rakaat terakhir.
Al-Quran atau lebih, dan tidak cukup dengan bacaan imam.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat dengan kelompok pertama dan membaca ayat sajdah lalu sujud, dan mereka sujud bersamanya, kemudian datang kelompok kedua, maka mereka tidak perlu sujud karena mereka belum dalam keadaan shalat. Sebagaimana jika imam membaca ayat sajdah pada rakaat terakhir dan kelompok kedua sujud, kelompok pertama tidak wajib sujud bersama karena mereka tidak sedang shalat bersamanya.
Menunggu imam untuk kelompok kedua (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika imam yang sedang safar shalat Maghrib dengan kelompok pertama dua rakaat, lalu bangkit dan mereka menyempurnakan sendiri, itu baik. Jika imam tetap duduk dan mereka menyempurnakan sendiri, kemudian imam bangkit untuk menyelesaikan rakaat yang tersisa dengan kelompok yang datang setelahnya, maka itu diperbolehkan insya Allah. Yang lebih aku sukai adalah imam tetap berdiri karena diriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap berdiri. Aku memilih imam memanjangkan bacaan agar kelompok kedua sempat mendapat satu rakaat bersamanya, karena shalat khauf Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- hanya dua rakaat, dan tidak ada riwayat shalat Maghrib atau shalat khauf di tempat tinggal kecuali saat Perang Khandaq sebelum turunnya ketentuan shalat khauf. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetap berdiri karena posisi itu adalah posisi berdiri setelah sujud, bukan posisi duduk. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat Maghrib dengan kelompok pertama dua rakaat, lalu kelompok lain datang dan imam shalat satu rakaat bersama mereka, maka kelompok pertama telah terputus kepemimpinan imamnya dan mereka menyempurnakan shalat sendiri dalam posisi duduk imam. Boleh bagi imam duduk sebagaimana diperbolehkan, tetapi ia harus bangkit jika kepemimpinannya terputus pada posisi berdiri.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian juga jika imam shalat khauf bersama mereka, baik di tempat tinggal atau safar, empat rakaat, ia boleh duduk setelah dua rakaat hingga makmum menyelesaikan shalat mereka, sambil duduk untuk tasyahud dan berdzikir, lalu bangkit untuk menyempurnakan dengan kelompok kedua. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat Maghrib dengan kelompok pertama satu rakaat, lalu tetap berdiri dan mereka menyempurnakan sendiri, kemudian shalat dua rakaat dengan kelompok kedua, itu sah insya Allah. Namun, aku tidak menyukainya karena jika dua kelompok shalat bersamanya dengan jumlah rakaat berbeda, sebaiknya kelompok pertama mendapat lebih banyak rakaat bersama imam. Jika imam shalat dua rakaat dalam kondisi khauf, lalu shalat satu rakaat dengan kelompok pertama, kemudian duduk dan mereka menyempurnakan sendiri, lalu bangkit untuk shalat satu rakaat dengan kelompok berikutnya: jika duduknya karena lupa, shalatnya dan shalat makmum sah dengan sujud sahwi; jika karena uzur, shalat mereka sah tanpa sujud sahwi; jika tanpa uzur atau lupa dan duduk sebentar, shalatnya tidak batal; tetapi jika duduk lama, menurutku ia harus mengulang shalat. Jika kelompok lain datang saat imam duduk, lalu ia bangkit dan menyempurnakan shalat bersama mereka dalam keadaan berdiri, maka bagi yang tahu imam duduk lama tanpa uzur atau lupa lalu ikut shalat, menurutku wajib mengulang karena ia tahu imam telah keluar dari shalat tanpa memulai takbiratul ihram baru. Sebagaimana orang yang tahu seseorang shalat tanpa takbir atau melakukan hal yang membatalkan shalat, ia wajib menyempurnakan shalatnya. Adapun yang tidak tahu, shalatnya sah, seperti orang yang shalat di belakang seseorang tanpa wudhu atau yang membatalkan shalat tanpa pengetahuannya. Abu Muhammad berkata: Ada pendapat lain dalam hal ini jika…
Imam sengaja merusak shalat, maka shalat makmum di belakangnya, baik tahu atau tidak tentang kerusakan itu, adalah batal. Karena kita hanya membolehkan shalat di belakang imam yang tidak sengaja merusak shalatnya, sebagaimana Umar mengqadha shalatnya, sementara makmum di belakangnya tidak mengqadha. Umar hanya mengqadha karena lupa.” (Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang mengatakan, “Mungkin saja dia tidak tahu bahwa hal itu merusak shalat imam,” maka dijawab, “Demikian pula, dia mungkin tidak tahu bahwa imam meninggalkan takbiratul ihram atau berbicara yang merusak shalatnya. Namun, dia tidak dimaafkan jika shalat di belakang imam yang melakukan sebagian hal ini.” (Asy-Syafi’i berkata): Shalat jamaah pertama tidak batal karena mereka keluar dari shalat imam sebelum terjadi kerusakan. Seandainya imam bertakbir berdiri dengan niat takbiratul ihram setelah duduk, shalat jamaah pertama tetap sah karena mereka keluar sebelum shalatnya rusak, begitu pula jamaah kedua karena mereka belum masuk ke dalam shalatnya hingga imam memulai shalat yang sah baginya. Rak
Shalat Ketika Pembunuhan di Sumur Ma’unah
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, mengapa rakaat terakhir dalam shalat khauf lebih panjang daripada rakaat pertama, padahal dalam shalat biasa tidak demikian? Dijawab berdasarkan petunjuk Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, Sunnah Nabi-Nya ﷺ, dan pembedaan yang Allah ‘Azza wa Jalla buat antara shalat khauf dengan shalat lainnya. Tidak ada alasan untuk mempertanyakan perbedaan rakaat terakhir shalat khauf dengan rakaat terakhir shalat biasa kecuali ketidaktahuan atau sikap pura-pura tidak tahu dari penanya. Perbedaan seluruh tata cara shalat khauf dengan shalat lainnya lebih banyak daripada sekadar perbedaan satu rakaatnya.
[Kelupaan dalam Shalat Khauf]
(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Kelupaan dan keraguan dalam shalat khauf sama seperti dalam shalat lainnya. Dilakukan apa yang biasa dilakukan dalam shalat biasa. Jika imam lupa pada rakaat pertama, sebaiknya ia memberi isyarat kepada makmum agar mereka paham bahwa ia lupa. Setelah menyelesaikan rakaat yang tersisa, bertasyahud, mereka sujud sahwi karena imam, lalu salam dan pergi. (Imam Syafi’i berkata): Jika imam lupa memberi isyarat tetapi makmum tahu kelupaannya, mereka sujud sahwi. Jika imam lupa dan makmum tidak tahu, lalu pergi, kemudian baru tahu, maka jika masih dekat, mereka kembali untuk sujud. Jika sudah jauh, tidak perlu kembali. (Imam Syafi’i berkata): Jika mereka tidak tahu sampai mereka berbaris, musuh datang, dan kelompok lain datang untuk shalat, maka waktu sudah terlambat. Mereka telah melakukan aktivitas lain setelah shalat (seperti berbaris atau berjaga), sehingga tidak boleh meninggalkan tugas mereka. Siapa yang berpendapat harus mengulang shalat jika lupa sujud sahwi, maka perintahkan mereka mengulang. Namun, aku tidak melihat kewajiban mengulang shalat bagi yang meninggalkan sujud sahwi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam lupa sekali, lalu lupa lagi beberapa kali, cukup dua sujud sahwi untuk semuanya. Jika mereka sengaja atau tidak sengaja meninggalkannya, tidak ada keharusan mengulang shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam tidak lupa tetapi makmum lupa setelah imam, mereka sujud sahwi sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam lupa pada rakaat pertama, lalu kelompok lain shalat, mereka sujud sahwi bersamanya saat imam sujud. Kemudian mereka berdiri menyelesaikan shalat sendiri, lalu kembali dan sujud sahwi setelah selesai shalat karena itu waktu yang tepat. Jika tidak dilakukan, aku memakruhkannya, tetapi tidak wajib bagi imam, makmum, atau yang shalat sendirian untuk mengulang shalat jika meninggalkan sujud sahwi, baik karena kekurangan atau kelebihan dalam shalat. Sebab, kami memahami bahwa jumlah sujud dalam shalat sudah ditetapkan, sehingga sujud sahwi dianggap seperti tasbih dalam rukuk, sujud, atau ucapan saat pembukaan—semua memiliki hukum yang sama.
[Bab Hal-Hal yang Menimpa Imam dalam Shalat Khauf]
(Imam Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala mengizinkan shalat khauf dalam dua kondisi:
Ketakutan tingkat rendah, berdasarkan firman-Nya: “Dan apabila engkau berada di tengah mereka lalu engkau mendirikan shalat untuk mereka…” (QS. An-Nisa’: 102).
Ketakutan yang lebih parah, berdasarkan firman-Nya: “Jika kamu dalam ketakutan, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendara…” (QS. Al-Baqarah: 239).
Karena Allah membedakan keduanya dan Sunnah menunjukkan perbedaannya, maka wajib membedakan tata caranya. Allah Yang Maha Tahu, karena Dia membedakan keduanya sesuai perbedaan situasi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam memimpin shalat khauf dalam kondisi pertama, maka jamaah tidak boleh melakukan aktivitas selain shalat, sebagaimana dalam shalat biasa. Jika mereka melakukan hal yang membatalkan shalat biasa, shalat mereka batal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat satu rakaat dengan satu kelompok lalu tetap berdiri (untuk rakaat kedua), sementara mereka menyelesaikan shalat sendiri… (terjemahan dilanjutkan sesuai konteks asli).
Untuk diri mereka sendiri, lalu musuh menyerang mereka atau terjadi perang, sehingga mereka menghadapi musuh dengan tubuh mereka menyimpang dari kiblat, kemudian mereka merasa aman dari musuh setelah memutus shalat mereka. Mereka wajib mengulang shalatnya. Demikian pula jika mereka ketakutan dan menyimpang dari kiblat tanpa maksud berperang atau keluar dari shalat, sementara mereka tetap ingat bahwa mereka dalam shalat, hingga mereka membelakangi kiblat, maka mereka harus mengulang shalatnya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka menghadapi musuh sambil tetap menghadap kiblat sejauh satu langkah atau lebih, hal itu dianggap memutus shalat karena niat untuk berperang di dalamnya dan melakukan langkah tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika musuh menyerang mereka, lalu mereka bersiap dengan senjata, perisai, atau semacamnya, hal itu dianggap memutus shalat karena niat disertai tindakan untuk menghadapi musuh. Namun, jika musuh menyerang dan mereka takut, lalu berniat tetap dalam shalat tanpa berperang hingga menyelesaikannya, atau mereka bersiap dengan sesuatu yang ringan, ini tidak memutus shalat karena mereka tidak berniat untuk berperang meskipun bersiap, dan persiapan ringan itu diperbolehkan dalam shalat tanpa membatalkannya. Mereka hanya berniat bahwa jika terjadi peperangan, mereka akan memulai pertempuran, bukan karena peperangan telah terjadi atau mereka takut lalu berniat di tempat mereka berdiri dan melakukan sesuatu sesuai niat tersebut.
(Imam Syafi’i berkata): Jika musuh datang dan salah seorang dari mereka berbicara di hadapannya sementara ia ingat bahwa ia sedang shalat, maka shalatnya terputus. Namun, jika ia lupa sedang shalat, ia boleh melanjutkan dan sujud sahwi.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka melakukan sesuatu yang membatalkan shalat ketika terjadi peristiwa atau lainnya, seperti berniat memutus shalat atau berniat berperang di tempat mereka berdiri, maka shalat mereka terputus. Namun, jika mereka tetap berniat shalat lalu berniat bahwa jika musuh muncul mereka akan memeranginya, tetapi musuh tidak muncul, hal ini tidak membatalkan shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Siapa pun yang melakukan sesuatu yang telah aku sebutkan sebagai pembatal shalat, sementara yang lain tidak melakukannya, maka hanya dialah yang shalatnya batal. Jika imam melakukan hal itu, shalatnya batal, begitu pula orang yang mengikutinya setelah mengetahui apa yang dilakukan imam. Namun, shalat orang yang tidak mengetahui apa yang dilakukan imam tidak batal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mengangkat imam lain untuk menggantikannya dan ia memimpin shalat, maka shalat mereka sah insya Allah. Tetapi, aku lebih suka jika mereka shalat sendiri-sendiri. Demikian juga dalam setiap keadaan di mana imam melakukan sesuatu yang membatalkan shalat, aku lebih suka mereka shalat sendiri.
(Imam Syafi’i berkata): Shalat khauf yang lebih berat dari ini, baik bagi pejalan kaki maupun penunggang kuda, dibahas di tempat lain dan berbeda dengan shalat ini dalam beberapa hal.
Jika musuh berada di arah kiblat, (Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—menyampaikan dari sumber terpercaya, dari Manshur bin Al-Mu’tamir, dari Mujahid, dari Abu ‘Ayyasy Az-Zarqi, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Shalat khauf di ‘Usfan, sementara Khalid bin Al-Walid berada di pihak musuh pada hari itu, dan mereka berada di antara beliau dan kiblat. Rasulullah ﷺ bertakbir, lalu kami berbaris di belakangnya dalam dua shaf. Kemudian beliau rukuk, dan kami pun rukuk. Lalu beliau bangkit, dan kami semua bangkit. Kemudian Nabi ﷺ sujud bersama shaf yang dekat dengannya. Ketika mereka bangkit, shaf yang lain sujud di tempat mereka. Lalu Nabi ﷺ mengucapkan salam.”
(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zubair, dari Jabir, yang berkata: “Shalat khauf hampir seperti yang dilakukan para pemimpin kalian.” Maksudnya—wallahu a’lam—seperti ini.
(Imam Syafi’i berkata): Tempat di mana Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat ini adalah padang pasir yang tidak ada penghalang antara musuh dan Rasulullah ﷺ. Musuh berjumlah dua ratus orang berkuda sebagai pasukan pengintai, sementara Nabi ﷺ bersama 1.400 orang. Beliau tidak merasa takut karena banyaknya pasukan dan sedikitnya musuh. Seandainya mereka menyerang atau bergerak untuk menyerang, pergerakan mereka tidak akan mengkhawatirkan beliau. Mereka juga berada jauh, tidak hilang dari pandangan, dan tidak ada jalan tersembunyi bagi mereka.
Jika kondisi seperti ini terjadi, imam boleh memimpin shalat seperti ini: imam dan makmum berdiri dalam shaf, lalu imam bertakbir dan mereka ikut bertakbir bersama. Kemudian imam rukuk, dan mereka ikut rukuk. Lalu imam bangkit, dan mereka ikut bangkit. Kemudian imam sujud, dan mereka ikut sujud, kecuali shaf terdekat atau sebagian shaf yang mengawasi musuh agar tidak menyerang atau bergerak ke arah yang menghilangkan pandangan saat imam sujud. Ketika imam dan yang sujud bersamanya bangkit dari sujud, barulah shaf yang lain sujud.
Dan mereka bangkit untuk sujud. Orang-orang yang berdiri mengimami kemudian berdiri bersamanya, lalu rukuk, dan mereka rukuk bersama. Kemudian dia bangkit, dan mereka bangkit bersamanya. Lalu dia sujud, dan bersamanya sujud orang-orang yang sebelumnya sujud bersamanya, kecuali satu barisan yang berjaga-jaga di antara mereka. Ketika mereka telah sujud dua kali, mereka duduk untuk tasyahud. Maka orang-orang yang berjaga-jaga pun sujud, kemudian bertasyahud. Imam mengucapkan salam, dan orang-orang di belakangnya juga salam bersamanya.
(Imam Syafi’i berkata): Jika orang-orang yang berjaga-jaga khawatir terhadap keselamatan imam dan berbicara, maka mereka harus mengulangi shalat. Tidak mengapa jika imam memutus shalat, dan jika mereka semua merasa khawatir bersama.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat seperti ini, lalu barisan yang berjaga mundur ke barisan kedua, dan barisan kedua maju untuk menggantikan posisi penjagaan, maka itu tidak mengapa. Jika tidak melakukannya, itu juga diperbolehkan. Jika hanya satu barisan yang berjaga dalam kondisi ini, aku berharap shalat mereka tetap sah. Namun, jika mereka mengulangi rakaat kedua, itu lebih kusukai.
(Imam Syafi’i berkata): Jika keadaan seperti yang kujelaskan terjadi karena sedikitnya musuh dan banyaknya kaum Muslimin, serta kondisi negeri seperti yang kusebutkan, lalu imam shalat seperti shalat khauf pada hari Dzatur Riqa’, sedangkan orang-orang bersamanya tidak menyukainya, maka tidak wajib bagi siapa pun di belakangnya untuk mengulang shalat, begitu pula bagi imam.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat khauf dengan satu kelompok untuk satu rakaat, lalu mereka berpindah sebelum menyelesaikan shalat dan berdiri menghadap musuh, kemudian kelompok lain shalat satu rakaat dan berpindah sebelum menyelesaikannya untuk berhadapan dengan musuh—sedangkan keduanya tetap dalam keadaan shalat—maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, keduanya harus mengulang shalat karena berpaling dari kiblat sebelum menyelesaikan shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika kelompok lain shalat satu rakaat bersama imam lalu menyelesaikan shalatnya, sementara shalat kelompok pertama yang berpaling sebelum menyelesaikan shalat dianggap batal menurut pendapat ini. Orang yang berpendapat demikian menolak hadits yang diriwayatkan tentang hal ini dengan hadits lainnya.
(Imam Syafi’i berkata): Pendapat kedua menyatakan bahwa semua ini diperbolehkan dan termasuk dalam perbedaan yang dibolehkan. Bagaimanapun imam dan makmum melaksanakan shalat sesuai riwayat, itu sudah sah, meskipun memilih sebagian cara atas yang lain.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika kelompok pertama menyelesaikan shalatnya sebelum berpaling, sedangkan kelompok kedua belum menyelesaikan shalat sebelum berpaling, maka shalat kelompok pertama sah, sedangkan shalat kelompok kedua tidak sah menurut pendapat pertama.
(Imam Syafi’i berkata): Shalat imam dalam semua kondisi yang kujelaskan tetap sah karena dia tidak berpaling dari kiblat sebelum menyelesaikan shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam shalat seperti shalat khauf pada hari Dzatur Riqa’, lalu dia berpaling dari kiblat sebelum menyelesaikan shalat—baik shalat khauf atau lainnya—sedangkan dia sadar karena belum menyelesaikan shalat, maka dia harus memulai shalat dari awal.
(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah (Ibnu ‘Ulayyah atau lainnya), dari Yunus, dari Al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah: “Nabi ﷺ pernah melaksanakan shalat Zhuhur dengan shalat khauf di Bathni Nakhl. Beliau shalat dua rakaat dengan satu kelompok, lalu salam. Kemudian shalat dua rakaat lagi dengan kelompok lain, lalu salam.”
(Imam Syafi’i berkata): Jika imam melaksanakan shalat khauf seperti ini, maka shalatnya sah.
(Imam Syafi’i berkata): Ini serupa dengan shalatnya Mu’adz bersama Nabi ﷺ pada shalat Isya’, lalu dia mengimami kaumnya dengan shalat yang sama.
(Imam Syafi’i berkata): Hal ini menunjukkan bahwa niat makmum tidak membatalkan shalatnya meskipun berbeda dengan niat imam. Jika imam shalat khauf dengan satu kelompok untuk satu rakaat, lalu mereka salam sedangkan imam belum salam, kemudian imam menyelesaikan rakaat yang tersisa dengan kelompok lain untuk satu rakaat, lalu imam salam dan mereka salam, maka shalat imam sempurna. Namun, kedua kelompok wajib mengulang shalat jika mereka salam dalam keadaan sadar karena masih dalam shalat.
Abu Ya’qub berkata: Jika mereka menganggap telah menyelesaikan shalat, maka kelompok terakhir boleh menyempurnakan dan sujud sahwi, sedangkan kelompok pertama harus mengulang karena mereka telah lama keluar dari shalat.
(Imam Syafi’i berkata): Kewajiban makmum dalam jumlah rakaat shalat sama dengan imam; tidak ada perbedaan antara keduanya.
Setiap orang dari mereka menghitung dan tidak ada hadits yang diriwayatkan tentang shalat khauf di Dzi Qard. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami dalam Al-Amali, dia berkata:
Dan shalat khauf dalam keadaan tidak bepergian (hadhar) dilakukan empat rakaat, sedangkan dalam perjalanan (safar) dua rakaat. Jika melakukannya dalam perjalanan sementara musuh berada di arah selain kiblat, maka orang-orang dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok menghadap musuh tanpa shalat, dan kelompok lain shalat bersamanya.
Imam shalat satu rakaat bersama kelompok yang bersamanya, lalu tetap berdiri dan membaca (Al-Qur’an) dengan memanjangkan bacaannya. Sementara itu, orang-orang di belakangnya membaca untuk diri mereka sendiri Al-Fatihah dan surah, lalu rukuk, sujud, tasyahud, dan salam bersama-sama. Kemudian mereka pergi dan menggantikan posisi kelompok pertama. Kelompok pertama kemudian datang dan bergabung dengan imam, bertakbir bersama imam dengan takbir yang memasukkannya ke dalam shalat.
Imam melanjutkan bacaannya setelah mereka bergabung, sepanjang Al-Fatihah dan surah dari tempat dia berhenti, tanpa mengulang Al-Fatihah untuk mereka. Lalu dia sujud, duduk untuk tasyahud, berdzikir, bershalawat kepada Nabi ﷺ, dan berdoa. Sementara itu, mereka (kelompok pertama) berdiri ketika imam mengangkat kepala dari sujud, membaca Al-Fatihah dan surah, lalu rukuk, sujud, dan duduk bersama imam. Imam menambah dzikir sepanjang waktu yang dibutuhkan mereka untuk menyelesaikan tasyahud, lalu salam bersama mereka.
Jika imam shalat Maghrib bersama mereka, dia shalat satu rakaat pertama, lalu tetap berdiri, sementara mereka menyelesaikan shalat sendiri. Kemudian kelompok lain datang, dan imam shalat dua rakaat bersama mereka, lalu duduk, sementara mereka menyelesaikan rakaat yang tertinggal, kemudian salam bersama mereka. Shalat Maghrib dan Subuh, baik dalam hadhar maupun safar, sama caranya.
Jika shalat Zhuhur, Ashar, atau Isya’ sebagai shalat khauf dalam keadaan hadhar, dilakukan seperti ini, kecuali imam shalat dua rakaat bersama kelompok pertama, lalu tetap duduk sampai mereka menyelesaikan dua rakaat yang tersisa. Kelompok lain datang, dan ketika mereka bertakbir, imam berdiri dan shalat dua rakaat sisanya bersama mereka, lalu duduk sampai mereka selesai untuk salam bersama.
(Asy-Syafi’i berkata): Kami mengatakan “tetap duduk” berdasarkan qiyas dari apa yang datang dari Nabi ﷺ, karena tidak ada riwayat tentang shalat khauf kecuali dalam safar. Seluruh riwayat menunjukkan bahwa imam shalat satu rakaat dengan kelompok pertama, lalu tetap berdiri. Kelompok pertama hanya mengikuti imam dalam satu rakaat tanpa duduk, sedangkan kelompok lain mengikuti imam dalam satu rakaat dengan duduk. Kelompok lain sama seperti kelompok pertama dalam hal mengikuti imam dalam satu rakaat, tetapi mereka juga bersama imam dalam sebagian duduknya. Jadi, mereka berada dalam kondisi yang lebih besar daripada kelompok pertama.
Jika aku mengatakan bahwa imam tasyahud dengan kelompok pertama lalu tetap berdiri sampai mereka selesai, berarti kelompok pertama mendapatkan bagian yang sama atau lebih banyak dari imam dibanding kelompok lain. Namun, aku berpendapat bahwa imam tetap duduk sampai kelompok lain bergabung dalam duduknya, sehingga mereka mendapatkan duduk terakhir bersama imam, sehingga kondisi mereka lebih utama. Ini sesuai dengan qiyas berdasarkan riwayat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika musuh berada di antara imam dan kiblat, shalat seperti ini tetap sah selama dalam keadaan khauf. Namun, jika dalam keadaan aman karena musuh sedikit, kaum Muslimin banyak, atau mereka berada di padang terbuka tanpa penghalang, dan musuh tidak bisa menyerang dengan panah atau pedang, serta gerakan musuh terlihat jelas, maka mereka semua shaf di belakang imam, mengikuti shalatnya, rukuk dan bangkit bersamanya. Shaf terdekat tetap berdiri, sementara yang lain sujud. Ketika imam bangkit dari sujud, mereka yang di belakang mengikuti sujud, lalu bangkit bersamanya.
Demikianlah Abu ‘Ayyasy Az-Zuraqi meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ shalat di hari ‘Usfan sementara Khalid bin Al-Walid berada di antara beliau dan kiblat. Begitu pula Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Jabir bahwa shalat khauf adalah seperti yang dilakukan para pemimpin kalian.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikianlah para pemimpin melakukannya, kecuali mereka yang berdiri tanpa sujud bersama imam sampai imam tegak berdiri. Ini berlaku bagi yang dekat di shaf pertama, bukan yang jauh di kanan atau kirinya.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika kelompok penjaga mengeraskan suara ketika melihat gerakan musuh untuk bertempur, agar imam mendengar. Jika terjadi pertempuran, sebagian maju sementara sebagian lain tetap menjaga imam.
Jika melihat ada serangan dari arah lain, sebagian pasukan boleh bergerak ke sana. Disukai bagi imam, ketika mendengar hal itu, untuk membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Ikhlas, serta mempersingkat rukuk, sujud, dan duduk dengan sempurna. Jika musuh menyerang atau mengancam, maka beralihlah ke pertempuran dan putuskan shalat. Apakah shalat tersebut perlu diqadha setelahnya? Kesalahan dalam shalat khauf sama seperti shalat biasa, kecuali dalam satu hal: jika kelompok pertama yakin imam melakukan kesalahan pada rakaat yang mereka ikuti, mereka sujud sahwi setelah tasyahud sebelum salam. Mendahului imam dalam sujud sahwi tidak lebih dari mendahului dalam satu rakaat shalat. Jika imam hendak sujud sahwi, ia menundanya hingga kelompok kedua menyelesaikan tasyahud, lalu sujud bersama mereka, kemudian salam bersama. Jika kelompok pertama tidak menyadari kesalahan pada rakaat pertama atau imam khawatir mereka tidak menyadarinya, disukai bagi imam memberi isyarat agar mereka sujud tanpa menoleh. Jika tidak dilakukan dan mereka sujud sendiri hingga selesai atau imam selesai, tidak ada keharusan mengulang atau sujud lagi karena sujud sahwi bukan bagian inti shalat dan waktunya telah berlalu.