Macam-macam Qasam
Qasam itu adakalanya zdhir (jelas, tegas) dan adakalanya mudmar (tidak jelas, tersirat).
1). Zahir, ialah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi‘il qasam dan muqsam bih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi‘il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jarr berupa ba’, ”wawu” dan ”ta”.
Di beberapa tempat, fi‘il qasam terkadang didahului (dimasuki) “LA” nafy, seperti: (Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).) (al-Qiyamah [75]:1-2).
Dikatakan, ”LA” di dua tempat ini adalah “LA” nafy yang berarti “tidak”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan taqdir (perkiraan arti)-nya adalah: ”Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.” Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: ’”Aku bersumpah dengan hari kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan.” Dikatakan pula bahwa ”LA” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan: ”Aku tidak berSumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Sungguh masalahnya teramat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.” Tetapi dikatakan pula, ”LA” tersebut za’idah (tambahan). Pernyataan jawab qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan tetapi telah ditunjukkan oleh perkataan sesudahnya, ’Apakah manusia mengira…” (al-Qiyamah [75]:3). Taqdirnya ialah: ’”Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”
2). Mudmar, yaitu yang di dalamnya tidak dijelaskan fi‘il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “Lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah: (Kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.) (Ali ‘Imran [3]:186). Maksudnya, Demi Allah, kamu sungguh-sungguh akan diuji…
Hal Ihwal Muqsam ‘Alaih
1). Tujuan qasam adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ‘alaih (jawab qasam, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan). Karena itu, muqsam ‘alaih haruslah berupa hal-hal yang layak didatangkan qasam baginya, seperti hal-hal gaib dan tersembunyi jika qasam itu dimaksudkan untuk menetapkan keberadaannya.
2). Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan. Namun terkadang ada juga yang dihilangkan, sebagaimana jawab ”LAU” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah: (Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan “pengetahuan yang yakin.) (atTakasur [102]:5). Penghilangan seperti ini merupakan salah satu uslub paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan. Dan taqdir ayat ini ialah: ’Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya.”
Penghilangan jawab qasam, misalnya: (Demi fajar, dan malam yang ‘Sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad?) (al-Fajr [89]:1-6). Yang dimaksud dengan qasam di sini ialah, waktu yang mengandung amal amal seperti ini pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai muqsam bih. Karena itu ia tidak memerlukan jawaban lagi. Namun demikian, ada sementara pendapat mengatakan, jawab gasam itu dihilangkan, yakni: “Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Mekah.” Juga ada pendapat lain mengatakan, jawab itu disebutkan, yaitu firmanNya: (Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.) (al-Fajr [89]:14). Pendapat yang benar dan sesuai dalam hal jni adalah bahwa qasam tidak memerlukan jawaban.
Jawab qasam terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan sesudahnya, seperti: (Aku bersumpah dengan hari kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela.) (al-Qiyamah [75]:1-2). Jawab qasam di sini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya, yaitu: (Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?) (al-Qiyamah [75]:3). Taqdirnya ialah: Sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.
3). Fi‘l madi musbat mutasarrif yang tidak didahului ma‘mul-nya apabila menjadi jawab qasam, harus disertai dengan “lam” dan ”qad”. Dan salah satu keduanya ini tidak boleh dihilangkan kecuali jika kalimat terlalu panjang, seperti: (Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.) (asy-Syams [91]:1-9). Jawab qasamnya ialah (ayat ke-9). “Lam” pada ayat ini dihilangkan karena kalam terlalu panjang.
Atas dasar itu para ulama berpendapat tentang firman Allah: (Demi lahgit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit.) (al-Buruj [85]:1-4): Yang paling baik ialah qasam di sini tidak memerlukan jawab, sebab maksudnya adalah mengingatkan akan muqsam bih karena ia termasuk ayat-ayat Tuhan yang besar. Dalam pada itu ada yang berpendapat, jawab qasam tersebut dihilangkan dan ditunjukkan oleh ayat keempat. Maksudnya, mereka itu — yakni orang kafir Mekah — terkutuk sebagaimana ashébul ukhdiid terkutuk. Juga ada yang mengatakan, yang dihilangkan itu hanyalah permulaannya saja, dan taqdirnya ialah: sebab fi‘il madi jika menjadi jawab qasam harus disertai ”lam’’ dan ”qad’’, dan tidak boleh dihilangkan salah satunya kecuali jika kalam telalu panjang sebagaimana telah dikemukakan di atas, berkenaan dengan firman-Nya Q.S. 91:1-9.
4). Allah bersumpah atas (untuk menetapkan) pokok-pokok keimanan yang wajib diketahui makhluk. Dalam hal ini terkadang Ia bersumpah untuk menjelaskan tauhid, seperti firman-Nya:
“Demi (rombongan) yang bersaf-saf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (as-Saffat [37]:1-4).
Terkadang untuk menegaskan bahwa Qur’an itu hak, seperti firman-Nya:
”Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Qur’an. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahut. Sesungguhnya Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.”’ (al-Wagqi‘ah [56]:75-77).
Terkadang untuk menjelaskan bahwa Rasul itu benar, seperti dalam:
“Ya sin. Demi Qur’an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari rasul-rasul.”’ (Ya Sin [36]:1-3).
Terkadang untuk menjelaskan balasan, janji dan ancaman, seperti:
”Demi (angin) yang menebarkan debu dengan sekuat-kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (az-Zariyat [51}:1-6).
Dan terkadang juga untuk menerangkan keadaan manusia, seperti dalam:
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (al-Lail [92]:1-4).
Siapa saja yang meneliti dengan cermat qasam-qasam dalam Qur’an, tentu ia akan memperoleh berbagai macam pengetahuan yang tidak sedikit.
5). Qasam itu adakalanya atas jumlah khabariyah, dan inilah yang paling banyak, seperti firman-Nya:
”Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi).” (az-Zariyat [51]:23). Dan adakalanya dengan jumlah talabiyah secara maknawi, seperti:
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (al-Hijr (15): 92-93). Yang dimaksud dengan ayat ini ialah ancaman dan peringatan.
Qasam dan Syarat
Apabila gasam dan syarat berkumpul dalam suatu kalimat, sehingga yang satu masuk ke dalam yang lain, maka unsur kalimat yang menjadi jawab adalah bagi yang terletak lebih dahulu dari keduanya, baik qasam maupun syarat, sedang jawab dari yang terletak kemudian tidak diperlukan.
Apabila qasam mendahului syarat, maka unsur yang menjadi jawab adalah bagi qasam, dan jawab syarat tidak diperlukan lagi. Misalnya: “Jika kamu tidak berhenti, pasti kamu akan kurejam.” (Maryam [19]:46). Dalam ayat ini berkumpul qasam dan syarat, sebab taqdirnya ialah: ’Demi Allah, jika kamu tidak berhenti…”
Tam’ yang masuk ke dalam syarat itu bukanlah ”lam” jawab qasam sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
“Demi Allah, sungguh aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.” (al-Anbiya’ [21]:57). Tetapi ia adalah ”lam” yang masuk ke dalam ad@tusy syarat yang berfungsi sebagai indikator bahwa pernyataan jawab yang sesudahnya adalah bagi qasam yang sebelumnya, bukan bagi syarat. ’Lam’’ demikian dinamakan lam mu’zinah (indikator) dan juga dinamakan lam mauti’ah (pengantar), karena ia mengantarkan atau merintis jawaban: bagi qasam. Misalnya:
’Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munaftk itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (al-Hasyr [59]: 12).
Lam mauti’ah ini pada umumnya masuk ke dalam ”in syartiyah’, tetapi terkadang pula masuk ke dalam yang lain.
Tidak dapat dikatakan, kalimat ”syarat’’ itu adalah jawab bagi qasam yang dikira-kirakan, karena ’’syarat’’ tidak dapat menjadi jawab. Ini mengingat jawab haruslah berupa kalimat berita. Sedangkan “syarat” adalah insy@’, bukan kalimat berita. Dengan demikian, firman. Allah pada contoh pertama, Oran. adalah jawab bagi qasam yang. dikira-kirakan dan tidak diperlukan lagi jawab syarat.
Masuknya ”lam mauti’ah” qasam ke dalam syarat tidaklah wajib. Sebab ”lam” itu terkadang dihilangkan adahal qasam tetap diperkirakan sebelum syarat. Misalnya firman Allah: (Dan jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksa yang pedih.) (al-Ma’idah [5]:73).
Bukti bahwa jawab itu bagi qasam, bukan bagi syarat, adalab masuknya ”lam” ke dalamnya di samping lafaz yang menjadi jawab tersebut tidak majzum. Ini dapat dilihat, misalnya, pada ayat: (al-Isra’ [17]:88). Seandaiaya lafaz adalah jawab bagi syarat, tentu ia majzum.
Adapun firman-Nya: (Ali ‘Imran (3]: 158), maka “lam” pada adalah mauti’ah bagi qasam; sedang “lam” pada adalah “lam” qasam, yaitu lam yang terletak pada jawab qasam. Dan “nun taukid” (nun penguat) tidak dimasukkan ke dalam fi‘il (yang menjadi jawab)’ karena antara lam qasam dengan fi‘il tersebut terpisah oleh jar majrur. Asalnya ialah
Beberapa Fi‘il yang Berfungsi sebagai Qasam
Apabila qasam berfungsi memperkuat muqsam‘alaih, maka beberapa fi‘il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya: (Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan ist kitab itu kepada manusia…) (Ali ‘Imran [3]:187). ”Lam” pada adalah lam qasam, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab ”akhzul misaq” (mengambil janji) artinya adalah “istihlaf’ (mengambil sumpah).
Atas dasar ini para mufasir memfungsikan sebagai qasam firman Allah berikut:
(Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah…) (al-Baqarah [2]:83),
(Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)…) (al-Baqarah [2]:84), dan
(Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…) (an-Nur [24]:55).









One Comment