Terjemahan Kitab Kuning | Terjemahan Kitab Al Nasikh Wa Al Mansukh Karya Ibnu Hazm
- PENDAHULUAN
- PASAL PERTAMA
- PASAL KEDUA
- PASAL KETIGA
- PASAL KEEMPAT
- BAB PEMBAGIAN SURAT-SURAT YANG MENGANDUNG NASIKH, TETAPI TIDAK MENGANDUNG MANSUKH
- BAB PEMBAGIAN SURAT-SURAT YANG MENGANDUNG MANSUKH, TETAPI TIDAK MENGANDUNG NASIKH
- BAB PEMBAGIAN SURAT-SURAT YANG KEMASUKAN NASIKH DAN MANSUKH
- BAB BERPALING DARI ORANG-ORANG MUSYRIK
- BAB NASIKH DAN MANSUKH SESUAI DENGAN NUZUM (URUTAN) AL-QUR’AN
PENDAHULUAN
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Asy-Syekh Al-Imam Abu Abdullah Muhammad ibnu Hazm Rahimahullah, yang alim dalam berbagai macam ilmu, telah mengatakan: Segala puji bagi Allah Yang Maha perkasa, Mahakuasa, Maharaja, Maha menang, Maha agung, Maha Pengampun, Maha Penyantun lagi Maha Pemaaf. Semoga shalawat serta salam-Nya atas Nabi-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW., cahaya dari semua cahaya, dan pemimpin bagi orang-orang yang bercahaya menuju ke tempat yang tetap dan abadi. Semoga shalawat serta salam-Nya tercurahkah pula kepada keluarganya yang terpilih serta para sahabatnya yang berbakti.
Kemudian perlu diketahui, sesungguhnya cabang ilmu yang akan kami bahas ini merupakan ilmu pelengkap ijtihad, karena rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam Bab “Ijtihad” ialah mengetahui Naql. Termasuk di antara faedah ilmu Naql ini ialah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian kitab-kitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah dari berita-berita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanaannya. Hanya saja yang menjadi kesulitan itu ialah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna-makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut ialah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di dalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah asar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. Ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. bersua dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali r.a. bertanya kepadanya: “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan mansukh?” Si Qadi tadi menjawab: “Tidak”, Maka Ali r.a. menegaskan: “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”.
Ada sebuah asar lain yang berasal dari Sa’id ihnu Abul Hasan, bahwa pada suatu hari ia bertemu dengan Abu Yahya Al-Mu’arrif. Lalu Abu Yahya berkata kepadanya: “Hai Sa’id, Ketahuilah aku, Ketahuilah aku, sesungguhnya aku ini adalah dia”. Maka Sa’id menjawab: “Apakah maksudmu dengan dia? Aku masih belum mengerti.” Lalu Abu Yahya berkata: “Dialah aku sebagaimana yang akan aku kisahkan sekarang ini, yaitu bahwa pada suatu hari aku pertemu dengan Khalifah Ali r.a, sedangkan pada saat itu aku menjabat sebagai gadi atau hakim di kota Kufah. Lalu Khalifah Ali r.a. bertanya kepadaku: Siapakah kamu? Aku menjawab: ‘Aku adalah Abu Yahya’. Maka Khalifah Ali ya. menjawab: “Kamu bukanlah Abu Yahya, tetapi kamu adalah orang yang mengatakan: Ketahuilah aku, Ketahuilah aku’. Selanjutnya Khalifah Ali bertanya: ‘Apakah kamu mengetahui tentang nasikh dan mansukh? Aku menjawab: Tidak. Maka Khalifah Ali r.a. berkata: Engkau ini adalah orang yang celaka dan mencelakakan’. Sesudah itu aku berhenti dari jabatanku, dan aku tidak mau lagi melakukan peradilan kepada seorang pun. Aku katakan demikian supaya kamu mengambil manfaat dari kisahku ini, hai Sa’id”.
Abu Hurairah r.a. telah menceritakan, bahwa Huzaifah r.a. ditanya oleh muridnya tentang sesuatu masalah, lalu ia menjawab: “Sesungguhnya orang yang boleh memberikan fatwa itu hanya ada tiga macam orang, salah satu di antaranya yaitu seseorang yang mengetahui tentang masalah nasikh dan mansukh”. Lalu mereka (murid-muridnya) bertanya: “Siapakah yang mengetahui nasikh dan mansukh?” Huzaifah menjawab: “Umar, atau sultan yang terpaksa harus mengeluarkan fatwanya, atau seorang lelaki yang dibebani untuk memberi fatwa”.
Ad-Dahhak ibnu Muzahim telah menceritakan, bahwa pada suatu hari Ibnu Abbas r.a. bersua dengan seorang gadi yang sedang memutuskan suatu perkara, lalu ia menendang dengan kakinya seraya bertanya: “Apakah kamu telah mengetahui tentang mana yang nasikh dan mana yang mansukh?” Lalu gadi itu berkata: “Siapakah yang mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh?” Ibnu Abbas bertanya kembali: “Jadi, kamu masih belum mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh?” Qadi menjawab: “Tidak” Lalu Ibnu Abbas r.a. berkata: “Kamu ini adalah orang yang celaka dan mencelakakan”.
Asar-asar yang menyangkut masalah ini banyak sekali, dan di sini hanya diketengahkan sebagian kecil saja darinya, dengan maksud untuk diketahui bahwa betapa pentingnya kedudukan masalah nasikh dan mansukh di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di mata para sahabat, karena sesungguhnya kedudukan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itu adalah sama.
Al-Miqdad ibnu Ma’diykariba telah menceritakan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda:
“Ingatlah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitab ( Al-Qur’an) dan yang semisal dengannya (Sunnah) — sebanyak tiga kali — Ingatlah, hampir tiba saatnya ada seseorang lelaki yang mengatakan seraya bersandar pada singgasananya: Kamu sekalian harus berpegang teguh kepada Al-Quran ini, maka apa saja perkara yang dihalalkan di dalamnya, halalkanlah ia. Dan apa saja perkara yang diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah ia’.”
Sebelum kami memulai inti pembahasan masalah ini, terlebih dahulu kami mengemukakan mukadimah yang akan menjadi pengantar untuk mengetahui hal yang dimaksud. Di dalam mukadimah tersebut disebutkan hakikat dari nasakh dan ketetapan-ketetapannya serta hal-hal yang berkaitan erat dengannya.
Perlu diketahui bahwa istilah nasakh itu mempunyai akar kata di dalam ilmu bahasa, dan mempunyai definisi menurut ilmu Ma’ani (mantiq) serta memiliki syarat-syarat menurut ilmu fiqih.
Adapun bentuk asal dari lafaz an-naskhu menurut istilah bahasa, pengertiannya menunjukkan kepada suatu ungkapan yang berarti membatalkan sesuatu, kemudian menempatkan hal lainnya sebagai penggantinya. Sehubungan dengan hal ini Imam Abu Hatim telah mengatakan bahwa pengertian dari lafaz an-naskhu itu ialah memindahkan madu dari sarang lebah, kemudian lebahnya dipindahkan ke sarang yang lainnya. Termasuk pula ke dalam pengertian an-naskh yaitu memindahkan tulisan, dan di dalam sebuah hadis terdapat pula suatu ungkapan yang menunjukkan kepada pengertian ini, yaitu:
Tiada suatu kenabian pun, melainkan ia dinasakh (dihapus) oleh fatrah (masa kekosongan).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian lafaz an-naskhu menurut terminologi bahasa menunjukkan kepada dua pengertian, yaitu menghilangkan dengan pengertian menghapus sama sekali, dan menghilangkan dengan pengertian memindahkan.
Adapun lafaz an-naskhu yang bermakna menghilangkan, mengandung pengertian mengganti, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan orang-orang Arab: Nasakhatisy syaibusy syababa (Uban telah mengganti rambut yang hitam). Juga perkataan mereka yang lainnya, yaitu: Nasakhatisy syamsuz zilla (matahari telah mengganti kegelapan malam). Semuanya itu menunjukkan kepada pengertian menghilangkan, kemudian menggantikan kedudukannya.
Di samping itu terkandung pula pengertian menghilangkan tanpa mendatangkan penggantinya: dan menghilangkan hukum sesuatu serta membatalkannya tanpa mengadakan penggantinya, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan berikut ini, yaitu: Nasakhatir rihud diyara (Angin yang kencang telah melenyapkan dan menghapus bekas-bekas dari rumah-rumah itu).
Adapun mengenai lafaz an-naskhu yang bermakna memindahkan, diambil dari asal kata nasakhtal kitaba. Dikatakan demikian apabila kita memindahkan tulisan yang terdapat di dalamnya ke tempat yang lain. Atau dengan kata lain, kita menukil isi kitab tersebut. Dengan demikian, pengertiannya tidaklah menunjukkan bahwa kita menghilangkan tulisan yang terdapat di dalam kitab itu. Makna lain yang menunjukkan kepada pengertian ini ialah sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kalian kerjakan. (Q.S. 45 Al-Jasiyah, 29)
Yakni telah mencatatnya ke dalam kitab-kitab catatan amal perbuatan, atau memindahkan catatan dari suatu kitab ke tempat yang lain.
Hanya saja makna yang populer bagi lafaz an-naskh di dalam Al-Qur’an jalah membatalkan suatu hukum, tetapi tulisannya masih tetap ada. Demikian pula pengertiannya di dalam Sunnah atau di dalam Al-QQur’an sendiri, yaitu hendaknya ayat yang me-nasikh dan ayat yang di-mansukh masih tetap bacaannya. Akan tetapi, ayat yang di-mansukh tidak boleh diamalkan. Contohnya ialah dalam masalah iddah (masa tunggu) seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Sebelum ada ayat yang me-mansukh-nya, iddah baginya adalah satu tahun penuh, kemudian turunlah ayat lain yang me-mansukhnya, yaitu firman-Nya:
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (Q.S. 2 Al-Baqarah, 234)
Adapun definisi lafaz an-naskhu, sebagian ulama mengatakan bahwa ia berarti penjelasan bagi selesainya masa ibadah sesuatu masalah. Menurut pendapat yang lainnya berarti “habisnya masa laku suatu ibadah yang lahiriahnya masih tetap berlangsung”. Sedangkan menurut pendapat sebagian ulama lainnya, artinya “menghapus suatu hukum yang sebelumnya ditetapkan”.
Adapun mengenai syarat-syarat wawasan pengenalannya sangat terbatas, antara lain ialah hendaknya nasakh ini dianggap sebagai khitab. Karena dengan matinya orang yang terkena taklif, otomatis hukum yang dimaksud terputus. Mati adalah suatu hal yang membebaskan seseorang dari hukum taklif, maka ia tidak ada. yang me-mansukh-nya.
Yang lainnya ialah hendaknya hukum yang di-mansukh itu merupakan hukum syara’ (hukum yang wajib). Karena hal-hal yang bersifat aqliyah (rasio) yang sandarannya adalah baraatul asliyah tidak dapat di-mansukh, tetapi yang dapat di-mansukh itu hanyalah disebabkan ibadah-ibadah itu tadinya bersifat wajib.
Yang lainnya lagi ialah hendaknya janganlah hukum yang terdahulu terikat oleh waktu yang tertentu, sebagaimana hadis Rasulullah SAW. yang mengatakan:
Tidak ada salat sesudah salat Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada salat sesudah salat Asar hingga matahari terbenam.
Karena waktu yang diperbolehkan di dalamnya menunaikan salat-salat nafilah (salat sunat), yang tidak ada penyebabnya telah ditentukan waktunya, maka tidak ada larangan untuk mengerjakan salat-salat sunat ini pada waktu yang tertentu, me-nasakh ketentuan hukum sebelumnya, yaitu yang memperbolehkannya. Karena penentuan waktu itulah yang mencegah adanya penasakh-an.
Yang lainnya lagi ialah, hendaknya kedudukan nasikh datang sesudah mansukh dalam tenggang waktu yang cukup, dan penjelasan yang dikemukakan oleh nasikh adalah tujuan terakhir dari hukum yang dimaksud karena pergantian maslahat sesuai dengan berlalunya zaman. Seperti seorang dokter, ia melarang seseorang melakukan sesuatu hal pada musim panas, tetapi ia memerintahkannya pada musim dingin. Contoh lainnya ialah menghadap ke arah Baitul Muqaddas sewaktu di Mekah, yang demikian itu sesuai dengan pilihan orang-orang Yahudi. Seperti masalah diwajibkannya bersedekah atas harta yang lebih dari kebutuhan, hal ini diberlakukan pada permulaan Islam. Demikian itu karena bersemangatnya kaum muslim di dalam membersihkan diri dan menunaikan ajaran agamanya.
One Comment