Ulumul Quran

Terjemah Kitab Mabahits Fi Ulumil Qur’an Karya Manna Al Qattan

MANTUQ DAN MAFHUM

Petunjuk (dalalah) lafaz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun mengandung kemungkinan makna lain, dengan taqdir maupun tanpa taqdir. Dan adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhim, arti tersirat)-nya, baik hukumnya sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. Inilah yang dinamakan dengan mantiiq dan mafhim

Definisi Mantiq dan Macam-macamnya

Mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.

Mantiiq itu ada yang berupa nass, zahir dan mu’awwal.

Nass ialah lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Misalnya firman Allah:

”*Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”’ (al-Baqarah [2]:196). Penyipatan ”’’sepuluh’’ dengan “sempurna”’ telah mematahkan kemungkinan ’’sepuluh” ini diartikan jain secara majaz (metafora). Inilah yang dimaksud dengan nass. Telah dinukil dari suatu kaum yang mengatakan, jarang sekali terdapat mantuq mass dalam Kitab dan sunnah. Akan tetapi Imam Haramain secara berlebihan menyanggah pendapat mereka tersebut. Ia berkata: “Tujuan utama dari mantuq nass ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti dengan mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan. Yang demikian ini sekalipun jarang terjadi bila dilihat dari bentuk lafaz yang mengacu kepada bahasa, akan tetapi betapa panyak lafaz tersebut karena ia disertai qarinah haliyah dan maqaliyah.

Zahir ialah lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjaih). Jadi, zahir itu sama dengan dengan nass dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena nass hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir di samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna Jain meskipun lemah. Misalnya firman Allah: (al-Baqarah [2]:173). Lafaz “al-bag ” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan ”az-zalim’’ (melampaui batas, Zalim). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjah). Juga seperti firman-Nya:

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka berSuci…” (al-Baqarah [2]:222). Berhenti haid dinamakan ’’suci’’ (tuhr), berwudu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua lebih konkrit, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih, sedang penunjukan kepada makna yang pertama adalah marjih.

Mu’awwal adalah lataz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedang mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masingmasing kedua makna itu ditunjukkan oleh lafaz menurut bunyi ucapnya. Misalnya firman Allah: (al-Isra’ [17]:24). Lafaz “janah az-zulli ( ) diartikan dengan “tunduk, tawadu” dan bergaul secara baik’’ dengan kedua orang tua, tidak diartikan ”sayap”, karena mustahil manusia mempunyai sayap.

Dalalah Iqtida’ dan Dalalah Isyarah

Kebenaran petunjuk (dalalah) sebuah lafaz kepada makna terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Dalalah demikian disebut dalalah iqtidad’. Dan terkadang tidak bergantung pada hal tersebut tetapi lafaz itu. menunjukkan makna yang tidak dimaksud pada mulanya. Yang demikian disebut dalalah isyarah.

Yang pertama, misalnya firman Allah: (Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain). (al-Baqarah [2]:184). Ayat ini memerlukan sesuatu lafaz yang tidak disebutkan, yaitu (lalu ia berbuka maka….), sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedang jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Ini berbeda dengan pendirian golongan Zahiri. Contoh lain ialah: (Diharamkan atas kamu ibu-ibumu). (an-Nisa’ [4]:23). Ayat ini memerlukan adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata ’’al-wat’u” atau bersenggama, sehingga ia diartikan ”diharamkan atas kamu bersenggama dengan ibu-ibumu’’, sebab pengharaman itu tidak disandarkan pada benda. Oleh karena itu ayat ini memerlukan adanya “suatu perbuatan” (yang tidak disebutkan) yang berkenaan dengan pengharaman tersebut, yaitu bersenggama. Dalalah macam ini hampir sama dengan teori “membuang mudaf dan menempatkan mudaf ilaih pada tempatnya’”. Dan di dalam ilmu Balagah (retorika) hal demikan termasuk ijazul-qasr (pemadatan kalimat untuk meringkas). Dinamakan iqtida’ karena perkataan tersebut menuntut sesuatu tambahan lafaz (lain) atas lafaz yang ada.

Yang kedua, dalalah isyarah, misalnya firman Allah:

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”” (al-Baqarah [2]:187). Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang yang pagi-pagi masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untyk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan ”bercampur’ sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan pula berpagi dalam keadaan junub.

Kedua dalalah ini, iqtida’ dan isyarah, juga didasarkan pada manfaq, maka keduanya termasuk bagian dari mantuq. Dengan demikian, mantug meliputi a) naqas, b) zahir, c) mu’awwal, d) iqtida’, dan e) isyrah.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker