Ulumul Quran

Terjemah Kitab Mabahits Fi Ulumil Qur’an Karya Manna Al Qattan

Kadar Kemukjizatan Qur’an

1). Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keselurahan Qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap surahnya secara lengkap.

2). Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah:

*Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Qur’an…”” (at-Tur [52]:34).

3). Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.

Memang, Qur’an telah mengajukan tantangan agar didatangkan sesuatu yang sama persis dengan Qur’an; dengan keseluruhannya (Al-isra’ {17]:88), dengan sepuluh surah (Hud [11]:13), dengan satu surah (Yunus [10]:38), dan dengan suatu pembicaraan seperti Qur’an (at-Tur [52]:34).

Namun demikian, kita tidak berpendapat, kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surah-surahnya. Qur’an adalah Kalamullah. Ini saja sudah cukup.

Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mukjizat itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dan mencari kebenaran memperhatikan Qur’an dari aspek mana pun yang ia sukai, segi uslubnya, segi ilmu pengetahuannya, segi pengaruh yang ditimbulkannya di dalam dunia dan wajah sejarah yang diubahnya, atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan jelas dan terang.

Dan sudah sepantasnya bila di bawah ini kami membicarakan tiga macam aspek kemukjizatan Qur’an, aspek bahasa, aspek ilmiah dan aspek tasyri‘i (penetapan hukum).

Kemukjizatan Bahasa

Para ahli bahasa Arab telah menekuni ilmu bahasa ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai remaja dan mekar dan menjadi raksasa perkasa yang tegar dalam masa kemudaannya. Mereka menggubah puisi dan prosa, Kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya hakiki dan majazi (metafora), itndb dan ijaz, serta tutur dan ucapnya. Meskipun bahasa itu telah meningkat dan tinggi tetapi di hadapan Qur’an, dengan kemukjizatan bahasanya, ia menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut terhadap uslub Qur’an. Sejarah bahasa Arab tidak pernah mengenal suatu masa di mana bahasa berkembang sedemikian pesatnya melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut di hadapan baydn qur’Ani, sebagai manifestasi pengakuan akan ketinggiannya dan mengenali misteri-misterinya. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab “itulah sunnah Allah dalam ayat-ayat yang dibuat dengan kedua tangan-Nya. Semakin Anda mengenali dan mengetahui rahasia-rahasianya, akan semakin tunduk pula kepada kebesarannya dan semakin yakin akan kemukjizatannya. Ini sangat berbeda dengan karya-karya makhluk. Pengetahuan tentang rahasia-rahasianya akan menjadikan Anda menguasainya dan membukakan bagi Anda jalan untuk menambahnya. Atas dasar itulah tukang-tukang sihir Firaun adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Tuhan Musa dan Harun.”

Dalam pada itu mereka yang dirasuki ketertipuan dan ditimpa noda kesombongan serta berusaha menandingi uslub Qur’an, menirunya dengan bualan kosong yang lebih menyerupai kata-kata hina, rendah, igauan dan kesia-siaan. Dan akhirnya mereka kembali dalam keadaan rugi, seperti mereka yang mengaku menjadi nabi, para dajjal, pendusta, dan sebangsanya.

Sejarah inenyaksikan, ahli-ahli bahasa telah terjun ke dalam medan festifal bahasa dan mereka memperoleh kemenangan. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang berani memproklamirkan dirinya menantang Qur’an, melainkan ia hanya mendapat kehinaan dan kekalahan. Bahkan sejarah mencatat, kelemahan bahasa ini terjadi justru pada masa kejayaan dan kemajuannya ketika Qur’an diturunkan. Saat itu bahasa Arab telah mencapai puncaknya dan memiliki unsur-unsur kesempurnaan dan kehalusan di lembaga-lembaga dan pasar bahasa. Dan Qur’an berdiri tegak di hadapan para ahli bahasa dengan sikap menantang, dengan berbagai bentuk tantangan. Volume tantangan ini kemudian secara berangsur-angsur diturunkan menjadi lebih ringan, dari sepuluh surah menjadi satu surah, dan bahkan menjadi satu pembicaraan yang serupa dengannya. Namun demikian, tak seorang pun dari mereka sanggup menandingi atau mengimbanginya, padahal mereka adalah orang-orang yang sombong, tinggi hati dan pantang dikalahkan. Seandainya mereka punya kemampuan untuk meniru sedikit saja daripadanya atau mendapatkan celah-celah kelemahan di dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiah dan fi‘liah-nya, dalam nafi dan isbat-nya, dalam zkr dan hazf-nya, dalam tankir dan ta‘rif-nya, dalam taqdim dan ta’khir-nya, dalam itnab dan ijaz-nya, dalam umum dan khususnya, dalam mutlaq dan muqayyad-nya, dalam nass dan fahwa-nya, maupun dalam hal lainnya. Dalam hal-hal tersebut dan yang serupa Qur’an telah mencapai puncak tertinggi yang tidak sanggup kemampuan bahasa manusia untuk menghadapinya.

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, Walid bin Mugirah datang kepada Nabi lalu Nabi membacakan Qur’an kepadanya, maka hati Walid menjadi lunak karenanya. Berita ini sampai ke telinga Abu Jahal. Lalu ia mendatanginya seraya berkata: ”Wahai pamanku, Walid, sesungguhnya kaummu hendak mengumpulkan harta benda untuk diberikan kepadamu, tetapi kamu malah datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya.” Walid menjawab: ’Sungguh kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku adalah orang paling banyak hartanya.” Abu Jahal berkata: ’Kalau begitu, katakanlah tentang dia, kata-kata yang akan kau sampaikan kepada kaummu bahwa kamu mengingkari dan membenci Muhammad.” Walid menjawab: ”Apa yang harus kukatakan? Demi Allah, di antara kamu tak ada seorang pun yang lebih tahu dari aku tentang syair, rajaz dan qasidah-nya dan tentang syair-syair jin. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad itu sedikit pun tidak serupa dengan syair-syair tersebut. Demi Allah, kata-kata yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalirkan air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya.” Abu Jahal menimpali: “Demi Allah, kaummu tidak akan senang sampai kamu mengatakan sesuatu tentang dia.” Walid menjawab: ’’Biarkan aku berpikir sebentar.” Maka setelah berpikir, ia berkata: “Ini adalah sihir yang dipelajari. Ia mempelajarinya dari orang lain.” Lalu turunlah firman Allah: Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. (al-Muddassir [74}:11)

Setiap manusia memusatkan perhatiannya pada Qur’an, ia tentu akan mendapatkan rahasia-rahasia kemukjizatan aspek bahasanya tersebut. la dapatkan kemukjizatan itu dalam keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika ia mendengar harakat dan sukun-nya, madd dan gunnah-nya, fasilah dan maqta‘-nya, sehingga telinga tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.

Kemukjizatan itu pun dapat ia temukan dalam lafaz-lafaznya yang memenuhi hak setiap makna pada tempatnya. Tidak satu pun di antara lafaz-lafaz itu yang dikatakan sebagai kelebihan. Juga tak ada seseorang peneliti terhadap suatu tempat (dalam Qur’an) menyatakan bahwa pada tempat itu perlu ditambahkan sesuatu lafaz karena ada kekurangan.

Kemukjizatan didapatkan pula dalam macam-macam khitab di mana berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitas dapat memahami khitab itu sesuai dengan tingkatan akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya cocok dengan tingkatan akalnya dan sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli. Dan sesungguhnya Kami telah memudahkan Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (al-Qamar [54]:17).

Demikian pula kemukjizatan ditemukan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Qur’an dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan berimbang. Kekuatan pikir tidak akan menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak pula akan menindas kekuatan pikir.

Demikianlah. Setiap perhatian difokuskan maka akan tegaklah di hadapannya hujjah-hujjah Qur’an dalam sikap menantang dan memperlihatkan kemukjizatan.”

Qadi Abu Bakar al-Bagalani berkata:

Keindahan susunan Qur’an mengandung beberapa aspek kemukjizatan. Di antaranya ada yang kembali kepada kalimat, yaitu bahwa susunan Qur’an, dengan berbagai wajah dan mazhabnya berbeda deNgan sistem dan tata urutan yang telah umum dan dikenal luas dalam perkataan mereka. Ia mempunyai uslub yang khas dan berbeda dengan uslub-uslub kalam biasa. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, caracara membuat dan menentukan kalam yang indah dan teratur terbagi atas ‘arud-‘arud syair dengan berbagai macamnya; terbagi lagi atas macam-macam kalam ber-wazan tanpa memperhatikan qafiyah (kata terakhir dalam bait); kemudian atas macam-macam kalam yang berimbangan dan bersajak; kalam berimbangan dan berwazan tanpa sajak; prosa yang di dalamnya dituntut ketepatan, kemanfaatan dan pemberian makna yang dikemukakan dengan bentuk yang indah dan susunan yang halus sekalipun wazan-nya tidak seimbang. Dan itu serupa dengan sejumlah kalam yang direka-reka tanpa fungsi. Kita tahu bahwa Qur’an berlainan dengan cara-cara seperti itu dan berbeda dengan semua ragamnya. Qur’an tidak termasuk sajak dan tidak pula tergolong syair. Oleh karena berbeda dengan semua macam kalam dan uslub khitab mereka jelaslah bahwa Qur’an keluar dari kebiasaan dan ia adalah mukjizat. Inilah sifat-sifat khas yang kembali kepada Qur’an secara global dan berbeda dengan semuanya itu…

Orang Arab tidak mempunyai kalam yang mencakup fasahah, garabah (keanehan), rekayasa yang indah, makna yang halus faedah yang melimpah, hikmah yang meruah, keserasian balagah dan ketrampilan bard‘ah sebanyak dan dalam kadar seperti itu. Kata-kata hikmah (bijak) mereka hanyalah beberapa patah kata dan sejumlah lafaz. Dan para penyairnya pun hanya mampu menggubah beberapa buah qasidah. Itu pun mengandung kerancuan dan kontradiksi serta pemaksaan dan kekaburan. Sedangkan Qur’an, yang sedemikian banyak dan panjang, ke-fasGhah-annya senantiasa indah dan serasi, sesuai dengan apa yang digambarkan Allah:

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (az-Zumar [39]:23), dan:

“Dan sekiranya Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisa’ [4]: 82). Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa perkataan manusia itu jika banyak, maka akan terjadi kontradiktif di dalamnya dan akan nampak pula kekacauannya.

Betapa menakjubkan rangkaian Qur’an dan betapa indah susunannya. Tak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya, padahal ia membeberkan banyak segi yang dicakupnya, seperti kisah dan nasihat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita duka, serta akhlak mulia, pekerti tinggi, prilaku baik dan.lain sebagainya. Sementara itu kita dapatkan kalam pujangga pentolan, penyair ulung dan orator agitator akan berbeda-beda dan berlainan sesuai dengan perbedaan hal-hal tersebut. Di antara penyair ada yang hanya pandai memuji tetapi tidak pandai mencaci. Ada yang unggul dalam kelalaian tetapi tidak pandai dalam peringatan. Ada pula yang hanya pandai melukiskan unta dan kuda, memerikan perjalanan malam, menggambarkan peperangan, taman, khamar, senda gurau, cumbuan dan lain-lainnya yang dapat dicakup dalam syair dan dituangkan dalam kalam. Oleh karena itu maka dijadikanlah Umru’ul Qais sebagai contoh dalam berkendaraan, anNabigah sebagai contoh dalam mengancam dan Zuhair dalam membujuk. Dan yang demikian ini pun akan berbeda-beda pula dalam hal pidato, surat menyurat dan jenis-jenis kalam lainnya…

Setelah merenungkan sistem jalinan dan susunan Qur’an, kita akan mendapatkan bahwa semua aspek dan segi yang ditangani dan dikandungnya, sebagaimana telah kita sebutkan, berada dalam satu batas keindahan sistem dan keelokan susunan dan pemerian, tanpa perbedaan dan penurunan dari tingkat yang tinggi. Dan dengan demikian kita yakin, Qur’an adalah sesuatu hal di luar kemampuan manusia…

Kemukjizatan Ilmiah

Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika mereka menginginkan agar Qur’an mengandung segala teori ilmah. Setiap Jahir teori baru mereka mencarikan untuknya kemungkinannya dalam ayat, lalu ayat ini mereka takwilkan sesuai dengan teori ilmiah tersebut.

Sumber kesalahan tersebut ialah bahwa teori-teori ilmu pengetahuan itu selalu baru dan timbul sejalan dengan hukum kemajuan., Dengan demikian, ilmu pengetahuan selalu berada dalam kekurangan abadi, terkadang diliputi kekaburan dan di saat lain diliputi kesalahan. Ia akan senantiasa demikian sampai ia mendekati kebenaran dan mencapai tingkat keyakinan. Semua teori ilmu pengetahuan dimulai dengan asumsi dan hipotesis serta tunduk pada eksperimen sampai terbukti keyakinannya atau nampak jelas kepalsuan dan kesalahannya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan selalu terancam perubahan. Cukup banyak kaidah-kaidah ilmiah yang disangka orang sebagai hal yang diterima sebagai kebenaran menjadi goncang setelah mapan dan runtuh setelah mantap. Kemudian para peneliti memulai kembali percobaan ulang mereka.

Orang yang menafsirkan Qur’an dengan hal-hal yang sesuai dengan masalah ilmu pengetahuan dan berusaha keras menyimpulkan daripadanya segala persoalan yang muncul dalam ufuk kehidupan ilmiah, sebenarnya telah berbuat jahat terhadap Qur’an meskipun mereka sendiri mengiranya sebagai telah berbuat kebaikan. Sebab, masalah ilmu pengetahuan itu tunduk pada hukum kemajuan yang senantiasa berubah. Bahkan terkadang runtuh dari asas-asasnya. Jika kita menafsirkan Qur’an dengan ilmu pengetahuan maka kita menghadapkan penafsirannya kepada kebatilan jika kaidah-kaidah ilmiah itu berubah dan penemuan-penemuan baru membatalkan hasil penemuan lama, atau jika suatu keyakinan membatalkan hipotesa.

Qur’an adalah kitab akidah dan hidayah. la menyeru hati nurani untuk menghidupkan di dalamnya faktor-faktor perkembangan dan kemajuan serta dorongan kebaikan dan keutamaan.

Kemukjizatan ilmiah Qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teor! ilmiah yang selalu baru dan berubah serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada dorongannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Qur’an mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak mengebiri aktivitas dan kreatifitas akal dalam memikirkan alam semesta, atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya. Dan tidak ada sebuah pun dari kitab-kitab agama terdahulu memberikan jaminan demikian seperti yang diberikan oleh Qur’an.

Semua persoalan atau kaidah ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan, merupakan manifestasi dari pemikiran valid yang dianjurkan Qur’an, tidak ada pertentangan sedikit pun dengannya Ilmu pengetahuan telah maju dan telah banyak pula masalah-masalahnya, namun apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidak bertentangan sedikit pun dengan salah satu ayat-ayat Qur’an. Ini saja sudah merupakan kemukjizatan.

Qur’an menjadikan pemikiran yang lurus dan perhatian yang tepat terhadap alam dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai sarana terbesar untuk beriman kepada Allah.

Ia mendorong kaum Muslimin agar memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) mereka yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran [3]:190-191).

Qur’an mendorong umat Islam agar memikirkan dirinya sendiri, bumi yang ditempatinya dan alam yang mengitarinya:

“Dan mengapakah mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.”’ (ar-Rum [30]:8),

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (az-Zariyat [51]:20-21),

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunuang-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (al-Gasyiyah [88]:17-20),

Qur’an membangkitkan pada diri setiap Muslim kesadaran ilmiah untuk memikirkan, memahami dan menggunakan akal:

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (al-Baqarah [2]:219),

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kamit buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr [59]:21),

“Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.”’ (Yunus [10]:24),

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”’ (ar-Ra‘d [13]:3),

“Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (al-A‘raf [7}:32),

“Sungguh Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (kami) kepada kaum yang mengetahui.” (al-An‘am [6]:97),

“Perhatikanlah betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya). (al-An‘am [6]: 65) dan

“Sungguh Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.” (al-An‘am [6]:98).

Qur’an mengangkat kedudukan orang Muslim karena ilmu:

“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (al-Mujadalah [58]:11).

Qur’an tidak menyamakan antara orang berilmu dengan orang tak berilmu, jahil:

”.,.Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar [39]:9).

Qur’an memerintahkan umat Islam agar meminta nikmat ilmu pengetahuan kepada Tuhannya:

“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Taha [20]:114).

Allah dalam ayat berikut mengumpulkan ilmu falak, botani, geologi dan zologi, dan menjadikan semuanya sebagai pendorong rasa takut kepada-Nya:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatangbinatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fatir [35]:27-28).

Demikianlah. Kemukjizatan Qur’an secara ilmiah ini terletak pada dorongannya kepada umat Islam untuk berpikir di samping membukakan bagi mereka pintu-pintu pengetahuan dan mengajak mereka memasukinya, maju di dalamnya dan menerima segala ilmu pengetahuan baru yang mantap, stabil.

Di samping hal-hal di atas di dalam Qur’an terdapat isyaratisyarat ilmiah yang diungkapkan dalam konteks hidayah. Misalnya, perkawinan tumbuh-tumbuhan itu ada yang 2dti dan ada yang khallti. Yang pertama, ialah tumbuh-tumbuhan yang bunganya telah mengandung organ jantan dam betina. Dan yang kedua ialah tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betina, seperti nohon kurma, sehingga perkawinannya melalui perpindahan. Dan di antara sarana pemindahnya adalan angin. Penjelasan demikian terdapat dalam firman-Nya:

”Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)…” (al-Hijr [15]:22).

Oksigen sangat penting bagi pernafasan manusia, dan ia berkurang pada lapisan-lapisan udara yang tinggi. Semakin tinggi manusia berada di lapisan udara, maka ia akan merasakan sesak dada dan sulit bernafas. Allah berfirman:

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya la melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah la sedang mendaki ke langit.” (al-An‘am [6]:125).

Sudah menjadi kepercayaan yang telah berurat berakar bahwa atom adalah bagian yang tidak dapat dibagi-bagi. Sedang dalam Qur’an dinyatakan:

“Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun seberat zarrah (atom) di bumi atau pun di langit. Dan tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari. itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (Yunus (10):61). Dan tidak ada yang lebih kecil dari atom selain pecahan atom itu sendiri (maksudnya, ayat ini menunjukkan bahwa atom bukan merupakan benda terkecil yang tidak dapat dibagi lagi).

Berkenaan dengan embriologi datanglah firman Allah:

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? la diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (at-Tariq [86]:57), firman-Nya:

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (al‘Alaq [96]:2), dan firman-Nya:

”Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam. rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu_ sebagai bayi.” (al-Hajj [22]:5).

Tentang kesatuan kosmos dan butuhnya kehidupan akan air Allah berfirman:

”Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu; kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?” (al-Anbiya’ [21]:30).

Isyarat-isyarat ilmiah dan yang serupa dengannya yang terdapat dalam Qur’an itu datang dalam konteks petunjuk ilahi, hidayah ilahiah. Dan akal manusia boleh mengkaji dan memikirkannya.

Dalam menafsirkan firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu. adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”’ (al-Baqarah [2]:189), Prof. Sayid Qutub menjelaskan, jawaban dalam ayat ini diarahkan kepada realita kehidupan praktis mereka, tidak kepada ilmu teoritis semata. Qur’an menceritakan kepada mereka fungsi bulan sabit dalam realita dan bagi kehidupan me – reka, tidak membicarakan tentang peredaran falakiyah bulan dan bagaimana proses perjalanannya, padahal hal ini terkandung dalam pertanyaan mereka. Qur’an telah datang dengan membawa sesuatu yang lebih besar dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat partial, ia tidak datang untuk menjadi kitab ilmu falak, ilmu kimia atau ilmu kedokteran, sebagaimana diupayakan oleh mereka yang terlampau fanatik kepadanya dengan mencari-cari di dalamnya ilmu-ilmu tersebut, atau seperti perlakuan mereka yang membencinya dengan mencari-cari di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan ilmu-ilmu tersebut.

Kedua perlakuan itu) merupakan indikasi bagi kesalahpahaman mereka terhadap watak, fungsi dan medan kerja Kitab Suci ini. Medan kerjanya adalah jiwa manusia dan kehidupannya, sedang fungsinya adalah untuk membangun konsep umum tentang kosmos (wujud) serta hubungannya dengan Penciptanya, juga tentang eksistensi manusia di dalam kosmos ini serta kaitannya dengan Tuhannya, di samping untuk mendirikan atas dasar konsep ini suatu sistem kehidupan yang memungkinkan manusia mempergunakan segala potensi yang dimilikinya, termasuk potensi intelektual, yang dapat berdiri tegak sesudah dibentuk, dan memberikan kepadanya kesempatan untuk bekerja, melalui pengkajian ilmiah, dalam batas-batas yang mungkin bagi manusia dan melalui percobaan dan praktek, sehingga sampailah kepada hasil-hasil yang dicapainya yang tentu saja tidak final dan mutlak.

Sungguh saya merasa heran terhadap kenaifan mereka yang terlalu fanatik kepada Qur’an. Mereka menambahkan kepadanya apa yang tidak termasuk di dalamnya, membawa kepadanya sesuatu yang tidak dimaksudkan olehnya dan menyimpulkan daripadanya rincian-rincian mengenai ilmu kedokteran, kimia, astronomi dan lain-lain, seakan-akan dengan usahanya ini mereka telah mengagungkan dan membesarkan Qur’an.

Sesungguhnya hakikat Qur’ani adalah hakikat yang final, pasti dan mutlak. Sedang apa yang dicapai penyelidikan manusia, betapapun canggih alat-alat yang dipergunakannya, adalah hakikat yang tidak final dan tidak pasti. Sebab hakikat-hakikat tersebut terikat dengan aturan-aturan eksperimentasi dan kondisi yang melingkupi serta peralatannya. Adalah merupakan kesalahan metodologis, berdasarkan metodologi ilmiah manusia itu sendiri, menghubungkan hakikat-hakikat final Qur’ani dengan hakikat-hakikat yang tidak final, yakni segala apa yang dicapai ilmu pengetahuan manusia.

Ini jika dihubungkan dengan hakikat-hakikat ilmiah. Dan persoalannya akan semakin jelas jika dihubungkan dengan teori-teori hipotesis yang dinamakan ilmiah, mengingat teori-teori itu senantiasa dapat berubah, berganti, berkurang dan bertambah, dan bahkan berubah seratus delapan puluh derajat dengan munculnya penemuan baru atau penafsiran baru bagi sejumlah hasil pengamatan lama.

Segala upaya untuk menghubungkan isyarat-isyarat umum Qur’an dengan teori-teori yang selalu baharu dan berubah-ubah yang telah dicapai ilmu pengetahuan, atau bahkan dengan hakikat-hakikat ilmiah itu sendiri yang tidak mutlak sebagaimana telah kita kemukakan, akan mengandung, pertama-tama, kelemahan metodologis yang prinsipil di samping mengandung pula tiga makna yang kesemuanya tidak pantas bagi keagungan Qur’an:

Pertama, kekalahan intern yang menyebabkan sebagian orang memandang ilmu pengetahuan sebagai batu uji yang diikuti, sedang Qur’an harus mengikuti. Oleh karena itu mereka berusaha memantapkan Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau membuktikan kebenarannya berdasarkan ilmu pengetahuan, padahal Qur’an adalah Kitab Suci yang sempurna isinya dan final hakikat-hakikatnya. Sedang ilmu pengetahuan yang sekarang selalu membatalkan apa yang telah ditetapkan kemarin. Segala apa yang dicapainya tidak mutlak dan tidak final, karena ia terikat dengan Sarana yang berupa manusia, akal dan alatnya yang kesemuanya itu pada hakikatnya tidak memberikan hakikat yang satu, final dan mutlak.

Kedua, kesalahpahaman terhadap watak dan fungsi Qur’an. Yaitu bahwa Qur’an adalah sebuah hakikat yang final dan mutlak, menangani pembangunan manusia dengan cara yang sesuai, menurut kadar tabiat manusia yang nisbi, dengan tabiat alam dan hukum ilahinya, sehingga manusia tidak akan berbenturan dengan alam sekelilingnya. Tetapi agar ia sejalan dengan alam dan mengenali sebagian misterinya serta dapat memanfaatkan beberapa hukumnya untuk kekhalifahannya..

Hukum-hukum yang disingkapnya melalui pengamatan, penyelidikan, percobaan dan penerapan, sesuai dengan petunjuk akal yang dikaruniakan kepadanya untuk bekerja, bukan hanya untuk menerima pengetahuan-pengetahuan material yang telah siap.

Ketiga, pentakwilan terus-menerus, dengan pemaksaan dan pemerkosaan, terhadap nas-nas Qur’an agar dapat dibawa dan diselaraskan dengan asumsi-asumsi dan teori-teori yang tidak tetap dan labil, padahal setiap hari selalu muncul teori baru.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker