
Kitab Haid
Menjauhi Istri yang Sedang Haid dan Mendatangi Perempuan yang Istihadhah
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid…” (QS. Al-Baqarah: 222).
(Asy-Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa perempuan itu dalam keadaan haid, tidak suci, dan memerintahkan agar…
Jangan mendekati wanita yang sedang haid hingga ia suci, dan jika ia telah suci, maka hendaknya ia bersuci dengan air dan termasuk orang yang halal untuk shalat. Tidak halal bagi seorang suami yang istrinya sedang haid untuk menyetubuhinya hingga ia suci. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan tayammum sebagai penyucian ketika tidak ada air atau orang yang bertayammum sedang sakit, dan ia halal untuk shalat dengan mandi jika ada air, atau bertayammum jika tidak menemukannya. (Imam Syafi’i berkata): Ketika Allah Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi wanita haid dan membolehkan mereka setelah suci dan bersuci, serta Sunnah menunjukkan bahwa wanita mustahadhah boleh shalat, maka hal itu menunjukkan bahwa suami wanita mustahadhah boleh menyetubuhinya jika ia menghendaki, karena Allah memerintahkan untuk menjauhi mereka ketika mereka belum suci dan membolehkan mendekati mereka ketika mereka telah suci.
[Pasal tentang apa yang diharamkan dilakukan terhadap wanita haid]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Sebagian ahli ilmu Al-Qur’an mengatakan tentang firman Allah Azza wa Jalla {Maka apabila mereka telah suci, campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu} [Al-Baqarah: 222], yaitu menjauhi mereka dari tempat keluarnya haid. (Imam Syafi’i berkata): Ayat ini mengandung kemungkinan seperti yang mereka katakan, dan juga mengandung kemungkinan bahwa menjauhi mereka berarti menjauhi seluruh tubuh mereka. (Imam Syafi’i berkata): Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan larangan mendekati apa yang berada di bawah sarung (kemaluan) dan membolehkan selain itu.
[Pasal tentang larangan shalat bagi wanita haid]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman {Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhi wanita di waktu haid} [Al-Baqarah: 222]. (Imam Syafi’i berkata): Jelas dalam firman Allah Azza wa Jalla {hingga mereka suci} bahwa mereka dalam keadaan haid, bukan dalam keadaan suci. Allah menetapkan bahwa orang yang junub tidak boleh mendekati shalat hingga ia mandi. Jelas bahwa tidak ada cara untuk menyucikan orang junub kecuali dengan mandi, dan tidak ada cara untuk menyucikan wanita haid kecuali setelah berhentinya haid kemudian mandi, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla {hingga mereka suci} [Al-Baqarah: 222], yaitu dengan berakhirnya haid. Maka jika mereka telah suci, maksudnya dengan mandi, karena Sunnah menunjukkan bahwa kesucian wanita haid adalah dengan mandi. Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menjelaskan apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah bahwa wanita haid tidak boleh shalat. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, ia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Al-Qasim.
Dari ayahnya, dari Aisyah, dia berkata: “Aku datang ke Mekah dalam keadaan haid, dan aku tidak melakukan tawaf di Ka’bah maupun sa’i antara Shafa dan Marwah. Aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan beliau bersabda: ‘Lakukanlah seperti yang dilakukan jamaah haji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai engkau suci.’”
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah, dia berkata: “Kami pergi bersama Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam hajinya, dan kami tidak menganggapnya kecuali sebagai haji. Ketika kami sampai di Sarif atau dekat dengannya, aku mengalami haid. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menemuiku saat aku menangis. Beliau bertanya: ‘Ada apa, apakah engkau haid?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Ini adalah ketetapan Allah atas anak-anak perempuan Adam. Lakukanlah semua manasik haji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai engkau suci.’”
(Asy-Syafi’i berkata:) Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan Aisyah untuk tidak tawaf di Ka’bah sampai suci, menunjukkan bahwa wanita haid tidak boleh shalat karena dia tidak suci selama haid berlangsung. Demikian juga firman Allah Ta’ala: “Hingga mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Bab Wanita Haid Tidak Wajib Mengqadha Shalat
(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata:) Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Peliharalah semua shalat dan shalat wustha, serta berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
(Asy-Syafi’i berkata:) Karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tidak memberi keringanan untuk menunda shalat dalam kondisi takut, tetapi memberi keringanan untuk shalat sesuai kemampuan, baik sambil berjalan atau berkendara, dan firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)
(Asy-Syafi’i berkata:) Orang yang baligh dan berakal berdosa jika meninggalkan shalat ketika tiba waktunya dan dia ingat, tidak lupa. Sedangkan wanita haid adalah orang yang baligh, berakal, ingat shalat, dan mampu melakukannya. Namun, hukum Allah melarang suaminya mendekatinya saat haid, dan hukum Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa jika suami dilarang mendekatinya karena haid, maka dia juga dilarang shalat. Ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat gugur selama haid. Jika kewajiban itu gugur sementara dia sadar, berakal, dan mampu, maka tidak ada kewajiban mengqadha. Bagaimana mungkin mengqadha sesuatu yang bukan kewajiban baginya karena kewajibannya telah gugur?
(Asy-Syafi’i berkata:) Ini adalah pendapat yang tidak ada perselisihan di dalamnya.
(Asy-Syafi’i berkata:) Orang yang kurang akal, gila, atau pingsan dalam keadaan lebih parah daripada wanita haid karena mereka tidak sadar, dan kewajiban juga gugur selama mereka dalam keadaan seperti itu, sebagaimana kewajiban shalat gugur bagi wanita haid. Mereka tidak wajib mengqadha shalat. Jika salah satu dari mereka sadar atau wanita haid suci dalam waktu shalat, maka mereka wajib shalat karena termasuk orang yang terkena kewajiban shalat.
Bab Wanita Mustahadhah
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Malik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, dia berkata: “Fatimah binti Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -: ‘Aku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Itu hanya darah penyakit, bukan haid. Jika haid datang, tinggalkan shalat. Jika sudah berlalu ukurannya, bersihkan darah itu lalu shalatlah.’”
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah dari pamannya, Imran bin Thalhah, dari ibunya, Hamnah binti Jahsy, dia berkata: “Aku mengalami istihadhah yang deras dan berat. Aku mendatangi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – untuk meminta fatwa, dan kutemui beliau di rumah saudariku, Zainab. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku ingin menanyakan sesuatu yang penting, dan aku malu karenanya.’ Beliau bertanya: ‘Apa itu, wahai Hamnah?’ Dia menjawab: ‘Aku seorang wanita yang mengalami istihadhah deras dan berat. Apa pendapatmu? Karena itu telah menghalangiku (dari ibadah).’”
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Tentang shalat dan puasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku sarankan kamu menggunakan kapas karena itu bisa menghentikan darah.” Wanita itu berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu.” Beliau bersabda, “Gunakanlah pembalut.” Wanita itu berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu.” Beliau bersabda, “Pakailah kain.” Wanita itu berkata, “Darahnya lebih banyak dari itu, bahkan mengalir deras.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku akan perintahkan kamu dua hal, mana saja yang kamu lakukan, itu cukup. Jika kamu mampu melakukan keduanya, kamu lebih tahu.” Beliau bersabda kepadanya, “Itu hanyalah gangguan setan. Maka, anggaplah haidmu enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian mandilah. Jika kamu merasa sudah suci dan bersih, shalatlah selama dua puluh empat malam dan siang, atau dua puluh tiga malam dan siang, serta berpuasalah. Itu cukup bagimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan, sebagaimana wanita haid dan bersuci sesuai waktu haid dan sucinya.” Dan dari kitab lain, “Jika kamu mampu mengakhirkan Zhuhur dan menyegerakan Asar, lalu mandi hingga suci, kemudian shalat Zhuhur dan Asar bersama, lalu mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan Isya, kemudian mandi dan menggabungkan kedua shalat, serta mandi saat Subuh.”
(Imam Syafi’i berkata): Ini menunjukkan bahwa wanita itu tahu masa haidnya enam atau tujuh hari, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Jika kamu mampu mengakhirkan Zhuhur dan menyegerakan Asar, lalu mandi hingga suci, kemudian shalat Zhuhur dan Asar bersama, lalu mengakhirkan Maghrib dan menyegerakan Isya, kemudian mandi dan menggabungkan kedua shalat, lakukanlah. Mandilah saat Subuh, kemudian shalat Subuh. Lakukanlah seperti itu dan berpuasalah jika kamu mampu.” Beliau juga bersabda, “Ini lebih aku sukai dari dua perkara.”
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, dari Asy-Syafi’i, dari Malik, dari Nafi’, dari Sulaiman bin Yasar, dari Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa seorang wanita mengalami istihadhah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Ummu Salamah meminta fatwa untuknya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Hendaklah dia menghitung jumlah malam dan hari yang biasanya dia haid dalam sebulan sebelum mengalami istihadhah, lalu tinggalkan shalat selama itu dalam sebulan. Jika sudah melakukannya, mandilah dan gunakan pembalut, kemudian shalatlah.”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpegang pada tiga hadis ini, dan menurut kami, hadis-hadis ini saling melengkapi dalam hal yang disepakati, dengan sebagian hadis memiliki tambahan atau makna yang berbeda dari yang lain. Hadis Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa darah istihadhah Fathimah binti Abi Hubaisy terpisah dari darah haidnya, berdasarkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika datang haid, tinggalkan shalat. Jika masa haid telah berlalu, bersihkan darah darimu dan shalatlah.”
(Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat bahwa jika darah bisa dibedakan, seperti ada hari-hari di mana darah berwarna merah pekat, kental, dan deras, serta hari-hari di mana darah encer dan kekuningan atau sedikit, maka hari-hari dengan darah merah pekat, kental, dan deras adalah hari haid, sedangkan hari-hari dengan darah encer adalah hari istihadhah.
(Imam Syafi’i berkata): Dalam hadis Aisyah tidak disebutkan mandi saat mulai haid, tetapi disebutkan membersihkan darah. Kami berpegang pada kewajiban mandi berdasarkan firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah kotoran.’” (QS. Al-Baqarah: 222). Dikatakan—dan Allah lebih tahu—bahwa wanita harus bersuci dari haid. Jika mereka sudah bersuci dengan air, kemudian berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjelaskan bahwa bersuci itu dengan mandi. Dalam hadis Hamnah binti Jahsy, beliau memerintahkannya untuk mandi saat haid jika dia merasa sudah suci, kemudian memerintahkannya untuk shalat. Ini menunjukkan bahwa suaminya boleh menyetubuhinya, karena Allah memerintahkan untuk menjauhi wanita haid dan mengizinkan menyetubuhi mereka saat suci. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan hukum istihadhah seperti hukum suci, yaitu mandi dan shalat, ini menunjukkan bahwa suaminya boleh menyetubuhinya.
(Imam Syafi’i berkata): Wanita itu hanya wajib mandi sebagaimana hukum suci dari haid berdasarkan sunnah, dan wajib berwudhu untuk setiap shalat, dianalogikan dengan sunnah berwudhu karena keluarnya sesuatu dari dubur atau farji, baik ada bekasnya atau tidak.
(Imam Syafi’i berkata): Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummu Salamah tentang wanita istihadhah menunjukkan bahwa wanita yang ditanyakan Ummu Salamah darahnya tidak terpisah, sehingga beliau memerintahkannya untuk meninggalkan shalat sesuai jumlah malam dan hari haidnya sebelum mengalami istihadhah.
(Imam Syafi’i berkata): Ini juga menunjukkan bahwa tidak ada batasan waktu haid jika seorang wanita…
Engkau melihat darah haid yang lurus dan suci yang lurus. Jika seorang wanita mengalami haid selama satu hari atau lebih, itu dianggap haid. Begitu pula jika melebihi sepuluh hari, itu tetap haid karena Nabi ﷺ memerintahkannya untuk meninggalkan shalat sesuai jumlah hari dan malam haidnya, tanpa menyebut batasan tertentu (kecuali jika melebihi batas tertentu).
(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang wanita baru pertama kali haid dan darah terus mengalir tanpa henti, maka:
– Jika darahnya bisa dibedakan, hari haidnya adalah saat darah berwarna merah pekat, kental, dan mengalir deras, sedangkan hari istihadhah adalah saat darah encer.
– Jika darah tidak bisa dibedakan, ada dua pendapat:
Ia meninggalkan shalat selama enam atau tujuh hari, lalu mandi dan shalat sesuai kebiasaan umum haid wanita.
Ia meninggalkan shalat selama minimal satu hari satu malam, lalu mandi dan shalat. Suaminya boleh menyetubuhinya. Namun, jika ingin berhati-hati, lebih baik menunggu hingga tengah atau lebih dari kebiasaan haid wanita.
Pendapat kedua didasarkan pada hadits Hamnah binti Jahsy, yang tidak menyebutkan jumlah hari haidnya secara pasti, sehingga ia diperintahkan untuk berhenti shalat selama enam atau tujuh hari. Namun, ada kemungkinan haditsnya mirip dengan hadits Ummu Salamah, yang menunjukkan haidnya enam atau tujuh hari, karena Nabi ﷺ bersabda: “Berhentilah shalat selama enam atau tujuh hari (masa haidmu), lalu mandi. Jika engkau melihat dirimu suci, shalatlah.”
(Imam Syafi’i berkata): Kita tahu Hamnah pernah menikah dengan Thalhah dan melahirkan anaknya. Ia menggambarkan darahnya mengalir deras, dan jelas Thalhah tidak akan mendekatinya dalam keadaan seperti itu. Pertanyaannya kepada Nabi ﷺ terjadi setelah ia menikah dengan Zainab, menunjukkan ini pertama kali ia mengalami istihadhah setelah lama baligh. Ini mengindikasikan haidnya biasanya enam atau tujuh hari, sehingga Nabi ﷺ memerintahkannya untuk berhenti shalat sesuai kebiasaan haidnya.
Nabi ﷺ juga bersabda kepada Hamnah: “Jika engkau kuat, gabungkanlah Zhuhur dan Ashar dengan satu mandi, Maghrib dan Isya dengan satu mandi, dan shalat Subuh dengan mandi tersendiri.” Ini menunjukkan pilihan terbaik baginya, meskipun cukup mandi sekali setelah suci dari haid.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada hadits tentang istihadhah yang sulit dipahami, penjelasan hadits-hadits ini bisa menjadi petunjuk.
Ditanyakan: “Apakah ada riwayat lain tentang istihadhah selain yang disebutkan?”
Jawab: “Ya.” Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Ummu Habibah binti Jahsy mengalami istihadhah selama tujuh tahun. Nabi ﷺ bersabda: “Itu bukan haid, melainkan darah penyakit. Mandilah dan shalatlah.” Aisyah berkata: “Dia duduk di bak mandi hingga airnya memerah karena darah, lalu shalat.”
Dalam riwayat lain, Ummu Habibah tidak shalat selama tujuh tahun karena istihadhah, lalu Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mandi setiap shalat.
Jika ada yang bertanya: “Hadits ini sahih, apakah bertentangan dengan hadits lain?”
Yang pergi ke sana? Aku berkata: Tidak, tetapi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkannya untuk mandi dan shalat, dan tidak disebutkan bahwa beliau memerintahkannya untuk mandi setiap kali shalat. Jika ada yang berkata, kami berpendapat bahwa dia tidak mandi setiap kali shalat kecuali jika diperintahkan demikian, dan dia tidak melakukan kecuali apa yang diperintahkan kepadanya. Dikatakan kepadanya: Apakah kamu mengira beliau memerintahkannya untuk berendam dalam baskom sampai airnya dipenuhi warna merah darah, lalu dia keluar dan shalat? Atau apakah kamu mengira dia suci dengan mandi seperti itu? Dia berkata: Tidak, dia tidak suci dengan mandi yang membuat tubuhnya dipenuhi warna merah darah, dan dia tidak suci sampai dia membersihkannya. Tetapi mungkin dia membersihkannya. Aku berkata: Maukah aku jelaskan kepadamu bahwa berendamnya bukanlah apa yang diperintahkan? Dia menjawab: Ya. Aku berkata: Maka jangan engkau ingkari bahwa mandinya (tidak seperti perintah), dan aku tidak ragu – insya Allah Ta’ala – bahwa mandinya adalah sunnah, bukan yang diperintahkan, dan itu diperbolehkan untuknya. Tidakkah engkau melihat bahwa dia boleh mandi meski tidak diperintahkan untuk mandi? Dia menjawab: Benar. (Asy-Syafi’i berkata): Dan telah diriwayatkan oleh selain Az-Zuhri hadis ini: “Bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkannya untuk mandi setiap kali shalat.” Tetapi dia meriwayatkannya dari ‘Amrah dengan sanad dan konteks ini, dan Az-Zuhri lebih hafal darinya. Dan dia meriwayatkan sesuatu yang menunjukkan bahwa hadis tersebut keliru. Dia berkata: Dia meninggalkan shalat selama masa haidnya, sedangkan ‘Aisyah berkata bahwa masa haid adalah masa suci. Dia berkata: Bagaimana jika kedua riwayat itu sahih, mana yang akan kau ambil? Aku menjawab: Hadis Hamnah binti Jahsy dan lainnya yang memerintahkan mandi ketika darah berhenti, meski tidak diperintahkan untuk setiap shalat.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, adakah dalil selain hadis? Dikatakan: Ya, Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Itu adalah kotoran.” (QS. Al-Baqarah: 222) sampai firman-Nya: “Maka apabila mereka telah suci.” (QS. Al-Baqarah: 222). Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan bahwa kesucian adalah mandi, bahwa wanita haid tidak shalat, dan wanita suci shalat. Wanita mustahadhah dihukumi seperti wanita suci dalam hal shalat, sehingga tidak boleh dianggap suci sementara dia wajib mandi tanpa sebab haid atau junub.
(Dia berkata): Kami telah meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan wanita mustahadhah untuk berwudhu setiap kali shalat. Aku berkata: Ya, kalian telah meriwayatkannya, dan kami berpendapat demikian berdasarkan qiyas terhadap sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya riwayat itu tetap di sisi kami, itu lebih kami sukai daripada qiyas.