Ulumul Quran

Terjemah Kitab Mabahits Fi Ulumil Qur’an Karya Manna Al Qattan

Tafsir tematik (maudi‘i)

Pada masa pembukuan di samping tafsir bercorak biasa atau umum, tafsir tematik yang mengkaji masalah-masalah khusus berjalan beriringan dengannya. Misalnya, Ibnul Qayyim menulis kitab atTibyan fi Aqsamil Qur’an, Abu ‘Ubaidah menulis sebuah kitab tetang Majazul Qur’An, ar-Ragib al-Asfahani menyusun Mufrddatul Qur’an, Abu Ja‘far an-Nahas menulis an-Nasikh wal Mansikh, Abul Hasan al-Wahidi menulis Asbabun Nuzul dan al-Jassas menulis Ahkkamul Qur’an. Pan kajian-kajian Qur’ani pada masa modern, tidak satu pun yang terlepas dari penafsiran sebagian ayat-ayat Qur’an untuk salah satu aspek dari aspek-aspek tersebut.

Tabaqat (Kelompok) Mufasir

Berdasarkan uraian di atas kita dapat mengelompokkan mutasir sebagai berikut:

1). Mufasir dari kalangan sahabat. Di antara mereka yang paling terkenal adalah empat Khalifah, Ibn Mas‘ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy‘ari, Abdullah bin az-Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘As. Di antara empat Khalifah yang paling banyak diriwayatkan tafsimya adalah Ali bin Abi Talib, sedang periwayatan dari tiga Khalifah lainnya jarang sekali. Hal ini karena mereka meninggal lebih dahulu, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Ma‘mar meriwayatkan dari Wahb bin Abdullah, dari Abut Tufail, ia berkata: Saya pernah menyaksikan Ali berkhutbah, mengatakan, ’’Bertanyalah kepadaku karena, demi Allah, kamu tidak menanyakan sesuatu kepadaku melainkan aku akan menjawabnya. Bertanyalah kepadaku tentang Kitabullah karena, demi Allah, tidak satu ayat pun yang tidak aku ketahui apakah ia diturunkan pada waktu malam ataukah pada waktu siang, di lembah ataukah di gunung.”

Sementara itu Ibn Mas‘ud lebih banyak diriwayatkan tafsirnya daripada Ali. Ibn Jarir dan yang lain meriwayatkan dari Ibn Mas‘ud, ja berkata: “Demi Allah, tiada tuhan selain Dia, tidaklah diturunkan satu ayat pun dari Kitabullah kecuali aku tahu berkenaan dengan siapa dan di manakah ia diturunkan. Andaikata aku mengetahui tempat seseorang yang lebih tahu dari aku tentang Kitabullah sedang ia dapat dicapai kendaraan, pasti aku datangi.”

Mengenai Ibn Abbas, insya’ Allah akan kami kemukakan riwayat hidupnya.

2). Mufasir dari kalangan tabi‘in. Ibn Taimiyah menjelaskan, orang yang paling mengetahui tentang tafsir adalah penduduk Mekah, karena mereka adalah murid-murid Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ata’ bin Abi Rabah, ‘Ikrimah maula (sahaya yang dimerdekakan oleh) Ibn Abbas, Sa‘id bin Jubair, Tawus dan lain-lain. Di Kufah adalah murid-murid Ibn Mas‘ud dan di Medinah adalah Zaid bin Aslam yang tafsirnya diriwayatkan oleh putranya sendiri Abdurrahman bin Zaid, dan Malik bin Anas. Di antara murid Ibn Mas‘ud adalah ‘Alqamah, al-Aswad bin Yazid, Ibrahim an-Nakha‘i dan asy-Sya‘bi. Termasuk mufasir kelompok ini adalah al-Hasan al-Basri, ‘Ata’ bin Abi Muslim al-Khurrasani, Muhammad bin Ka‘b al-Qarazi, Abul ‘Aliyah Rafi‘ bin Mahran arRayahi, Dahhak bin Muzahim, ‘Atiyah bin Sa‘d al-‘Aufi, Qatadah bin Di‘amah as-Sadusi, ar-Rabi‘ bin Anas dan as-Sadi. Mereka adalah para mufasir pendahulu dari kalangan tabi‘in, dan pada umumnya pendapat mereka diterima dari para sahabat.

3). Kemudian lahirlah generasi berikutnya. Sebagian besar mereka berusaha menyusun kitab-kitab tafsir yang menghimpun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi‘in, seperti Sufyan bin ‘Uyainah, Waki‘ bin al-Jarrah, Syu‘bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun, Abdurrazzaq, Adam bin Abi Ilyas, Ishaq bin Rahawaih, ‘Abd bin Humaid, Rauh bin ‘Ubadah, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan lain-lain.

4). Sesudah generasi ini muncullah angkatan berikutnya. Di antaranya adalah Ali bin Abi Talhah, Ibn Jarir at-Tabari, [bn Abi Hatim, Ibn Majah, al-Hakim, Ibn Mardawaih, Abusy-Syaikh bin Hibban, Ibnul Munzir dan lain-lain. Tafsir-tafsir mereka memuat riwayatriwayat yang disandarkan kepada para sahabat, tabi‘in dan tabi‘it tabi‘in. Semuanya sama, kecuali yang disusun oleh Ibn Jarir at-Tabari, di mana ia mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan salah satu atas yang lain, serta menerangkan i‘rab dan istinbat (penyimpulan hukum). Karena itu tafsir ini lebih unggul dari lainnya.

5). Generasi berikutnya menyusun kitab-kitab tafsir yang dipenuhi oleh keterangan-keterangan berguna yang dinukil dari para pendahulunya. Pola demikian terus berlangsung sampai datang masa kebangkitan modern. Maka sebagian besar mufasir menempuh pola baru dengan memperhatikan pada kelembutan uslub, keindahan ungkapan dan penekanan pada aspek-aspek sosial dan pemikiran kontemporer. Sehingga lahirlah tafsir bercorak ”sastra-sosial” yang tidak menyebutkan sanad-sanad, ditambah sedikit pendapat para penulisnya. Misalnya karya Abu Ishaq az-Zujaj, Abu Ali al-Farisi, Abu Bakar an-Naqqasy, Abu Ja‘far an-Nahhas dan Abul Abbas al-Mahdawi.

6). Kemudian golongan muta’akhkhirin menulis pula kitab-kitab tafsir. Mereka meringkas sanad-sanad riwayat dan mengutip pendapatpendapat secara terputus. Karenanya masuklah ke dalam tafsir sesuatu yang asing dan riwayat yang sahih bercampurbaur dengan yang -tidak sahih.

7). Selanjutnya, setiap mufasir memasukkan begitu saja ke dalam tafsir pendapat yang diterima dan apa saja yang terlintas dalam pikiran dipercayainya. Kemudian generasi sesudahnya mengutip apa adanya semua yang tercantum di sana dengan anggapan bahwa hal itu mempuyai dasar, tanpa meneliti lagi tulisan yang datang dari ulama Salaf yang saleh dan mereka yang menjadi panutan dalam hal ini. Akibatnya masuklah ke dalam tafsir segala macam pendapat. Sampaisampai as-Suyuti mengatakan, penafsiran firman Allah, gairil magdabi ‘alathim wa la ad-dallin, ada sepuluh pendapat. Padahal penafsiran yang berasal dari Nabi, semua sahabat dan tabi‘in hanya satu, yaitu “orang Yahudi dan Nasrani.” Oleh karena itu, Ibn Abi Hatim berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di antara para mufasir mengenai hal itu.”’

8). Sesudah itu, banyak mufasir yang mempunyai keahlian dalam berbagai disiplin ilmu mulai menulis tafsir. Mereka memenuhi kitabnya dengan cabang ilmu tertentu dan hanya membatasi pada bidang yang dikuasainya, seakan-akan Qur’an hanya diturunkan untuk ilmu tersebut, bukan untuk yang lain, padahal Qur’an memuat penjelasan mengenai Segala sesuatu.

Misalnya, kita lihat ahli nahwu. Ia tidak mempunyai perhatian lain kecuali hanya membeberkan panjang lebar persoalan i‘rab dan wajah-wajah yang dimungkinkannya, sekalipun telah menyimpang terjlalu jauh. Dan untuk itu ia kemukakan kaidah-kaidah nahwu, masalahmasalahnya, cabang-cabangnya dan bermacam pendapat mengenainya, seperti dilakukan Abu Hayyan dalam al-Bahr dan an-Nahr.

Mufasir ahli berita hanya memikirkan kisah-kisah yang dibeberkannya secara tuntas serta menyuguhkan sejumlah riwayat yang diterima dari orang dulu, sahih maupun batil, seperti as-Sa‘labi. Sedang ahli fikih menumpahkan semua permasalahan fikih dalam tafsirnya, dan bahkan terkadang ia mengemukakan dalil-dalil fiqih yang samasekali tidak ada hubungannya dengan ayat, serta menolak dalil-dalil pihak lawan, seperti dilakukan oleh Qurtubi.

Demikian pula ahli ilmu-ilmu rasional, ‘aqli, terutama Imam Fakhruddin ar-Razi. Ia penuhi tafsirnya dengan kata-kata ahli hikmah dan filosof, dan ia keluar dari suatu pembahasan ke pembahasan lain, sehingga orang yang memperhatikan merasa heran akan ketidak sesuaiannya dengan ayat yang ditafsirkan. Dalam al-Bahr Abu Hayyan mengatakan, ’Imam ar-Razi telah menghimpun dalam tafsirnya segala hal secara panjang lebar yang sebenarnya tidak diperlukan bagi ilmu tafsir. Oleh karena itu sebagian ulama berkata, di dalam tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri.”

Tidak terkecuali juga dengan ahli bid‘ah. Ia tidak mempunyai maksud lain kecuali menyelewengkan ayat-ayat dan menafsirkannya dengan selera mazhabnya yang rusak, sehingga kalau tampak baginya sesuatu hal aneh dari jauh, dikejarnya, atau jika mendapatkan suatu kesempatan (untuk mendukung pendiriannya) ia segera memanfaatkannya. Keterangan dari Bulqinit membuktikan hal tersebut. Ia mengatakan, ’Saya mengutip dari al-Kasysyaf sejumlah faham Mu’tazilah untuk didiskusikan. Antara lain mengenai firman Allah, Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah beruntung (Ali ‘Imran [3]:185) disebutkan: ‘Keuntungan manakah yang lebih besar bagi orang itu daripada masuk surga?’ Penafsiran ini mengisyaratkan tentang tiadanya melihat Tuhan.”’

Demikian pula halnya kaum ateis dan golongan sesat lainnya.

9). Kemudian datanglah masa kebangkitan modern. Pada masa ini para mufasir menempuh langkah dan pola baru dengan memperhatikan keindahan uslub dan kehalusan ungkapan serta dengan menitikberatkan pada aspek-aspek sosial, pemikiran kontemporer dan aliran-aliran modern, sehingga lahirlah tafsir bercorak ”’sastra-sosial.”” Di antara mufasir kelompok ini ialah Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayid Qutub dan Muhammad ‘Izzah Darwazah.

Tafsir bil-Ma’sur dan Tafsir bir-Ra’yi

A. Tafsir bil-ma’siar

Tafsir bil-ma’siar ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‘in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.

Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya menelusuri lebih dahulu asar-asar yang ada mengenai makna ayat kemudian asar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang , tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat sahih mengenainya.

Ibn Taimiyah berkata:

Kita wajib yakin bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat makna-makna Qur’an sebagaimana telah menjelaskan kepada mereka lafaz-lafaznya. Firman Allah: Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (an-Nahl [16]:44) mencakup kedua penjelasan itu. Abu Abdurrahman as-Sulamil? menyatakan, orang yang mengajarkan Qur’an kepada kami seperti Usman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas‘ud dan lain-lain bercerita kepada kami bahwa bila belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak meneruskannya sampai mereka mengetahui semua ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. ’Jadi,” kata mereka “kami mempelajari Qur’an itu berikut ilmu dan pengamalannya sekaligus.” Oleh karena itu untuk menghafal satu surah pun mereka memerlukan waktu cukup lama. Anas berkata, ’Jika seseorang telah membaca surah al-Baqarah dan Ali ‘Imran, ia menjadi mulia dalam pandangan kami.” (Hadis Ahmad dalam Musnad-nya). Ibn Umar memerlukan waktu delapan tahun untuk menghafal surah al-Baqarah. (Riwayat Malik dalam al-Muwatta’). Itu semua karena Allah telah berfirman: (Ini adalah) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah, supaya mereka mentadabbur ayat-ayatnya (Sad [38]:29) dan Maka apakah mereka tidak men-tadabbur Qur’an? (an-Nisa’ [4]:82). Dan tadabbur (memperhatikan, memikirkan) kalam tanpa memahami maknanya adalah tidak mungkin. Selain itu, menurut kebiasaan tidak mungkin suatu kaum membaca sebuah buku tentang ilmu pengetahuan seperti kedokteran dan matematika tanpa mereka pahami atau meminta penjelasannya. Maka bagaimana dengan Kalamullah yang merupakan pelindung mereka, kunci keselamatan dan kebahagiaan serta pondasi bagi tegaknya agama dan dunia mereka?

Di antara tabi‘in ada yang mengambil seluruh tafsir dari sahabat. Mujahid menceritakan, ’Saya membacakan Mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali, dari pembukaan (Fatihah) sampai dengan penutupan. Saya berhenti pada setiap ayat untuk menanyakan kepadanya halhal yang berkaitan dengannya.”

B. Silang pendapat sekitar tafsir bil-ma’sir

Tafsir bil-ma’sir berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan yang terjadi di antara generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicakupnya sebagai contoh.

Berkata Ibn Taimiyah:

Perbedaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit sekali jumlahnya. Dan pada umumnya perbedaan itu hanya berkonotasi variatif, bukan kontradiktif. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:

Pertama, seorang mufasir di antara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya penafsiran kata as-sirat al-mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan ”Qur’an”, maksudnya mengikuti Qur’an, sedang yang lain dengan “Islam”. Kedua tafsiran ini sama, sebab Islam ialah mengikuti Qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.

Kedua, masing-masing mufasir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan pendengar bahwa «ata terscbut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran tentang firman Allah:

”*Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih dj antara hamba-hamba. Kami. Namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (zalim) terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap moderat (muqtasid) dan ada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan.”. (Fatir [35]:32). Dikatakan, ”Sabiq” ialah orang yang menunaikan salat di awal waktu, ’mugqtasid’” adalah yang meJakukan salat di tengah waktu, sedang ”zalim” adalah orang yang mengakhirkan salat Asar sampai saat langit berwarna kekuning-kuningan. Mufasir lain mengatakan, ’’sabiq’ adalah orang yang berbuat baik dengan bersedekah di samping zakat, ’’muqtasid”’ adalah orang yang hanya menunaikan zakat wajib saja, dan ”zalim” adalah orang yang enggan membayar zakat.

Perbedaan pendapat terkadang disebabkan sebuah lafaz mengandung dua makna, seperti lafaz ‘as‘as mempunyai arti datangnya waktu malam dan kepergiannya. Atau karena beberapa lafaz yang dipakai mengungkapkan makna-makna saling berdekatan. Misalnya kata tubsal, sebagian menafsirkannya dengan tuhbas (ditahan) dan sebagian yang lain dengan turhan (digadaikan, dijadikan jaminan). Masingmasing penafsiran ini berdekatan satu dengan yang lain.

C. Menghindari cerita-cerita Isra’iliyat

Perbedaan pendapat di kalangan mufasir terkadang terjadi pada halhal yang tidak berguna dan tidak perlu diketahui, yaitu tindakan sebagian mufasir yang menukil cerita-cerita isra’iliyat dari Ahli Kitab. Misalnya perbedaan mereka tentang nama-nama penghuni gua, warna anjing dan jumlah mereka. Padahal mengenai hal ini Allah telah berfirman:

”’Katakanlah: ’Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’” (alKahfi [18]:22).

Juga seperti perselisihan mereka tentang ukuran kapal Nuh dan jenis kayunya, tentang nama anak yang dibunuh Khidir, nama-nama burung yang dihidupkan Allah bagi Ibrahim, jenis kayu tongkat Musa dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini hanya diketahui melalui penukilan. Karena itu apa yang dinukil dengan riwayat sahih dari Nabi boleh diterima, dan jika tidak ada nukilan sahih hendaknya kita diam (tawaqquf) meskipun hati kita merasa cendrung untuk menerima apa yang dinukil dari para sahabat, karena penukilan mereka dari Ahli Kitab relatif lebih sedikit dibanding penukilan tabi‘in.

D. Status tafsir bil-ma’sir

Tafsir bil-ma’sir adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Kitabullah. Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata: Tafsir itu ada empat macam; tafsir yang dapat diketahui oleh orang Arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yang samasekali tidak mungkin diketahui oleh siapa pun selain Allah.”

Pertama adalah tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa. Macam kedua ialah tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti, yaitu penafsiran nas-nas yang mengandung hukum-hukum syari‘at dan dalil-dalil tauhid secara tegas. Misalnya, setiap orang pasti mengetahui makna tauhid dari ayat: Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada tuhan selain Allah (al-Qital [47]:19), sekalipun ia tidak tahu bahwa kalimat ini dikemukakan dengan pola “nafy” dan “istisna’” yang menunjukkan arti hasr (pembatasan, penghanyaan).

Macam ketiga ialah tafsir yang merujuk kepada ijtihad yang didasarkan pada bukti-bukti dan dalil-dalil, tidak hanya pada ra’y semata, seperti penjelasan ayat atau kata yang mujmal, pengkhususan ayat-ayat yang umum dan sebagainya. Sedang macam keempat ialah tafsir yang berkisar pada hal-hal gaib, seperti kapan terjadinya kiamat dan hakikat roh.

Ibn Jarir at-Tabari juga mengemukakan hal yang sama. la berkata:

Berdasarkan penjelasan Allah Yang Mahaagung, nyatalah bahwa di antara kandungan Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan penjelasan Rasulullah. Misalnya ta’wil tentang semua ayat yang mengandung macam-macam perintah wajib, anjuran (nadb) dan himbauan (irsyad) — larangan, fungsi-fungsi hak, hukum-hukum, batas-batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadap sebagian lain dan hukum-hukum lain yang terkandung dalam ayat-ayat Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rasulullah kepada umatnya. Hal-hal seperti ini tidak seorang pun boleh menafsirkannya tanpa ada penjelasan resmi dari Rasulullah, baik secara tegas atau dengan dalil-dalil yang dapat dijadikan pedoman oleh umat untuk menafsirkan.

Di antaranya ada pula hal-hal yang tidak diketahui ta’wilnya kecuali oleh Allah Yang Maha Esa dan Mahaperkasa. Misalnya berita-berita tentang terjadinya suatu peristiwa dan waktu-waktu akan datang, seperti waktu terjadinya hari kiamat, tiupan sangkala, turunnya Isa putra Maryam dan hal serupa lainnya…

“Mereka bertanya kepadamu tentang hari kiamat, ’Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ’Sesungguhnya pengetahuan tentang itu ada pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang ada di langit dan di bumi. la tidak datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah-: ’Sesungguhnya pengetahuan tentangnya ada pada sisi Allah, tetapi kebanyakan manustia tidak mengetanui.” (al-A‘raf [7]:187)…

Demikian juga di antara isi kandungan Qur’an itu ada yang ta’wilnya dapat diketahui oleh setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa yang dengannya Qur’an diturunkan. Ini dapat dicontohkan dengan keterangan sekitar masalah i‘rab, pengetahuan tentang musammad (arti) melalui nama-nama (kata-kata)-nya yang pasti dan tidak memiliki arti ganda dan pengetahuan tentang sesuatu subyek melalui sifat-sifat khususnya yang tidak dimiliki subyek lain. Hal-hal demikian tentu diketahui oleh setiap orang yang ahli bahasa Arab. Sebagai contoh, jika seseorang mendengar orang lain membaca, ’Dan jika dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab: ’Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (al-Baqarah [2]: 11-12), tentu ia mengetahui, makna ifsdd (membuat kerusakan) ialah hal-hal yang harus ditinggalkan karena dapat membahayakan, dan islah (perbaikan) ialah perbuatan yang seharusnya dikerjakan karena akan membawa manfaat, sekalipun ia tidak memahami benar esensi makna-makna yang digolongkan Allah ke dalam “irsad” dan yang digolongkan ke dalam “islah”

E. Tafsir bir-ra’yi

Tafsir bir-ra’yi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini pemahaman (terhadap Qur’an) yang sesuai dengan roh syari‘at dan didasarkan pada nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap Kitabullah. Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid‘ah, penganut mazhab batil. Mereka mempergunakan Qur’an untuk dita’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi‘in. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-Asam, al-Juba’i, ‘Abdul Jabbar, ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.

Di antara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan mazhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-Kasysyéf dalam menyisipkan paham ke-mu ‘tazilah-annya, sekalipun ada juga yang menggunakan kata-kata yang lebih ringan dari yang lain. Di antara mereka terdapat juga Ahli Kalam yang menta’wilkan “ayat-ayat sifat’” dengan selera mazhabnya. Golongan ini lebih dekat ke mazhab Ahlus Sunnah daripada ke Mu‘tazilah. Tetapi jika mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan mazhab sahabat dan tabi‘in, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan Mu‘tazilah dan ahli bid‘ah lainnya.

F. Status tafsir bir-ra’yi

Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Allah berfirman:

“Dan janganiah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’ [17}:36). Rasulullah bersabda:

“Barang siapa berkata tentang Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau Menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.” Dalam redaksi lain dinyatakan, “Barangsiapa berkata tentang Qur’an dengan ra’yunya, walaupun ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan.”

Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan, untuk menafsirkan Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya bin Sa‘id diriwayatkan, dari Sa‘id bin al-Musayyab, apabila ia ditanya tentang tafsir sesuatu ayat Qur’an maka ia menjawab: “Kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang Qur’an.”

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam meriwayatkan, Abu Bakar Siddiq pernah ditanya tentang maksud kata al-abb dalam firman Allah, wa fakihatan wa abban (‘Abasa [80]:31). la menjawab, “Langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan menyanggaku, jika aku mengatakan tentang Kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui?”

At-Tabari menjelaskan:

Semua riwayat di atas menjadi bukti bagi kebenaran pendapat kami, bahwa menafsirkan ayat-ayat Qur’an yang tidak diketahui maknanya kecuali dengan penjelasan Rasulullah secara tegas atau dengan dalil yang didirikannya untuk itu, tidak seorang pun diperbolehkan menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri. Bahkan bila melakukannya, sekalipun tepat dan benar, ia tetap dipandang telah melakukan kesalahan karena ia berkata (tentang Qur’an) dengan pendapat sendiri. Hal ini mengingat, ketepatan dan kebenaran pendapatnya itu tidak meyakinkan, melainkan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Dan orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui. Padahal dalam Kitab-Nya Allah telah mengharamkan perbuatan demikian atas hamba-Nya:

”Katakanlah: ’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak la turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.’” (al-A‘raf (7]:33).7!

Riwayat-riwayat ini dan yang serupa dengannya yang berasal dari tokoh-tokoh salaf diartikan sebagai keengganan mereka untuk berbicara tentang tafsir dengan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Tetapi jika sampai pada hal-hal yang mereka ketahui, baik berkenaan dengan bahasa maupun syara‘, mereka melakukannya tanpa merasa bersalah. Karena itu cukup banyak diriwayatkan dari mereka dan yang lain sejumlah pendapat tentang tafsir. Hal demikian tidak dipandang kontradiktif karena mereka berbicara tentang sesuatu yang sudah mereka ketahui dan berdiam diri dari hal-hal yang tidak mereka ketahui. Itulah yang wajib bagi setiap manusia. Akan tetapi, jika tafsir bilma’sur yang sahih ditinggalkan dan beralih ke pendapat yang berdasarkan pada ra’yu semata, maka hal ini merupakan perbuatan munkar. Berkenaan dengan ini Ibn Taimiyah menegaskan, ”Tegasnya, siapa pun yang beralih dari mazhab sahabat dan tabi‘in serta penafSiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya, ia telah melakukan perbuatan salah dan bahkan bid‘ah, sebab merekalah yang paling mengetahui tentang tafsir Qur’an dan makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yang lebih mengerti akan kebenaran yang dibawa oleh misi Rasulullah.”

At-Tabari lebih lajut menegaskan:

Mufasir yang paling berhak atas kebenaran dalam menafsirkan Qur’an yang penafsirannya dapat diketahui oleh manusia adalah mufasir yang paling tegas hujjahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan dita’wilkannya, karena penafsirannya disandarkan kepada Rasulullah, bukan kepada yang lain. Yaitu berdasarkan kabar-kabar yang dipastikan berasal dari Rasulullah, baik melalui penukilan paripurna (mustafid) bila ada, penukilan oleh orang-orang yang teguh lagi terpercaya bila tidak terdapat penukilan paripurna, ataupun dengan dalil-dalil yang menjamin kesahihan penukilan tersebut. Selanjutnya, adalah mufasir paling sahih bukti dan argumentasinya, dalam hal yang diterjemahkah dan dijelaskannya, yaitu mufasir yang menafsirkan Qur’an menurut kaidah-kaidah bahasa, baik dengan bertendensi pada syair-syair Arab baku maupun dengan memperhatikan tutur kata dan bahasa mereka yang sempurna dan terkenal. Ini berlaku bagi semua penta’ wil dan mufasir selama penta’wilan dan penafsirannya tidak keluar dari pendapat-pendapat salaf; sahabat dan para imam, serta tidak menyimpang dari penafsiran golongan khalaf; tabi‘in dan ulama umat.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker