
[Bab Amalan dalam Jenazah]
Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi’, dia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Asy-Syafi’i, dia berkata: Kewajiban atas manusia adalah memandikan mayit, menshalatkannya, dan menguburkannya. Tidak boleh bagi kebanyakan mereka meninggalkannya. Jika ada di antara mereka yang mampu melakukannya, maka itu sudah cukup insya Allah Ta’ala. Ini seperti jihad, kewajiban bagi mereka untuk tidak meninggalkannya. Jika ada di antara mereka yang bersegera memenuhi kebutuhan di daerah tempat jihad, maka itu sudah cukup bagi mereka.
Keutamaan bagi ahli wilayah dalam hal ini dibandingkan dengan orang yang meninggalkannya (Asy-Syafi’i berkata): Menurut kami, Umar meninggalkan (hukuman tersebut) sebagai hukuman bagi orang yang melewati wanita yang dikuburkan, aku kira dia dari suku Kalb, karena orang yang lewat sendirian mungkin mengandalkan orang lain yang bisa menggantikannya. Adapun sekelompok orang yang sendirian di jalan yang tidak berpenghuni, jika mereka meninggalkan mayat di antara mereka padahal mereka wajib menguburkannya, maka seharusnya imam menghukum mereka karena meremehkan kewajiban mereka dalam urusan Islam. Demikian pula segala kewajiban yang diabaikan oleh masyarakat, maka penguasa berhak menindak dan menghukum mereka sesuai dengan kebijaksanaannya tanpa melampaui batas. (Dia berkata): Dan aku lebih suka jika mayat tidak segera dimandikan oleh keluarganya karena terkadang orang pingsan dan dikira sudah meninggal, sampai mereka melihat tanda-tanda kematian yang dikenal, yaitu kakinya kendur tidak tegak, kedua lengannya terbuka, dan tanda-tanda lain yang dikenal sebagai kematian. Jika mereka melihat tanda-tanda itu, mereka boleh segera memandikan dan menguburkannya karena menyegerakan penguburan adalah hak mayat. Tidak perlu menunggu orang yang tidak hadir untuk menguburkan mayat. Jika mayat telah meninggal, matanya dipejamkan. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibrahim bin Sa’ad mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab bahwa Qabishah Nashr bin Dzu’aib menceritakan: “Rasulullah SAW memejamkan mata Abu Salamah.”
(Asy-Syafi’i berkata): Mulutnya dirapatkan, dan jika dikhawatirkan rahangnya kendur, diikat dengan kain. (Dia berkata): Aku melihat orang yang melunakkan persendian mayat dan merenggangkannya agar lentur, tapi tidak kaku. Aku juga melihat orang meletakkan besi, seperti pedang atau lainnya, di perut mayat, atau sesuatu dari tanah basah, seolah mereka ingin mencegah perutnya membengkak. Apa pun yang mereka lakukan dengan harapan dan keyakinan dapat mencegah hal yang tidak diinginkan, aku berharap itu tidak masalah insya Allah. Namun, aku tidak melihat kebiasaan orang meletakkan za’uq (raksa) di telinga atau hidung mayat, atau meletakkan martak (murdasang) di persendiannya. Itu adalah kebiasaan orang non-Arab yang ingin mayat tetap awet. Mereka bahkan mungkin menaruhnya di peti dan mencampurnya dengan kapur barus. Aku tidak menyukai hal ini sama sekali. Mayat seharusnya diperlakukan seperti umumnya kaum Muslimin: dimandikan, dikafani, diberi wewangian, dan dikuburkan, karena dia akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Kemuliaannya terletak pada rahmat Allah Ta’ala dan amal shalehnya. (Dia berkata): Telah sampai kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash: “Maukah kami membuatkan peti kayu untukmu?” Dia menjawab: “Perlakukan aku seperti kalian memperlakukan Rasulullah SAW. Susunlah bata di atasku, lalu timbunlah dengan tanah.”
[Bab Shalat atas Mayat]
(Asy-Syafi’i rahimahullah berkata): Jika wali mayat hadir, aku lebih suka agar tidak ada yang menshalatkannya kecuali atas perintah walinya, karena ini termasuk urusan khusus yang menurutku lebih menjadi hak wali daripada penguasa. Wallahu a’lam. Sebagian ulama berpendapat: penguasa lebih berhak.
Jika kerabat mayat hadir untuk menshalatkannya, yang paling berhak adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, kemudian anak, cucu, saudara seayah-seibu, saudara seayah, lalu kerabat terdekat dari pihak ayah—bukan dari pihak ibu—karena hak perwalian hanya untuk ‘ashabah. Jika para wali memiliki kedudukan yang sama dalam kekerabatan dan berselisih, maka yang paling aku sukai adalah yang paling tua, kecuali jika sifatnya tidak terpuji, maka yang lebih utama dan faqih lebih aku sukai. Jika mereka setara (dan jarang terjadi), lalu tidak ada kesepakatan, diadakan undian. Siapa yang namanya keluar, dialah yang berhak menshalatkannya.
(Asy-Syafi’i berkata): Wali yang merdeka lebih berhak menshalatkan mayat daripada budak, tetapi tidak masalah jika budak menshalatkan jenazah. Jika seorang laki-laki—baik wali atau bukan—hadir bersama wanita untuk menshalatkan mayat laki-laki atau perempuan, maka dia lebih berhak menjadi imam daripada wanita.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Tentang Kesadaran dalam Shalat Jenazah:
Jika mayit adalah anak kecil yang belum baligh, baik budak atau merdeka, dan belum memiliki kesadaran untuk shalat, maka shalat jenazah boleh dilakukan secara sendiri-sendiri (tanpa imam). Jika salah seorang wanita menjadi imam dan berdiri di tengah mereka, aku tidak melihat masalah dalam hal itu. Sebab, “orang-orang pernah shalat atas Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – secara sendiri-sendiri tanpa seorang pun menjadi imam.” Hal itu karena besarnya kedudukan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan persaingan mereka agar tidak hanya satu orang yang memimpin shalat atas beliau. Mereka pun mengulang shalat berkali-kali. Namun, sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam shalat jenazah dan amalan yang berlaku hingga hari ini adalah shalat dengan imam. Meskipun jika shalat dilakukan sendiri-sendiri, itu tetap sah insya Allah. Aku lebih menyukai shalat jenazah dilakukan sekali saja, sebagaimana yang kulihat pada kebiasaan orang-orang. Tidak ada duduk setelah selesai shalat untuk orang yang tertinggal, meskipun dia datang atau menjadi wali mayit. Jika tidak dikhawatirkan mayit berubah, maka shalat boleh dilakukan, dan aku berharap tidak ada masalah dalam hal itu insya Allah.
Imam yang Berhadats:
Jika imam berhadats, dia boleh pergi berwudhu, sementara makmum menyelesaikan takbir yang tersisa secara sendiri-sendiri tanpa imam. Jika tempat wudhunya dekat dan mereka menunggu, maka imam boleh melanjutkan takbir, dan aku berharap tidak ada masalah. Shalat jenazah di perkotaan hanya boleh dilakukan oleh orang yang suci.
Jika Seseorang Tertinggal Takbir:
Jika seseorang tertinggal sebagian takbir, dia tidak perlu menunggu mayit hingga menyelesaikan takbirnya. Orang yang tertinggal juga tidak perlu menunggu imam untuk takbir lagi, melainkan memulai sendiri. Sebagian orang berpendapat: Jika seseorang di perkotaan khawatir ketinggalan jenazah, dia boleh tayamum dan shalat. Namun, pendapat ini tidak membolehkan tayamum di perkotaan untuk shalat sunnah atau wajib kecuali bagi orang sakit. Padahal, ini bukan orang sakit. Shalat jenazah statusnya seperti shalat lainnya, tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan suci (berwudhu). Tayamum di perkotaan tidak berlaku bagi orang sehat yang mampu berwudhu. Atau, jika dianggap seperti dzikir, maka boleh shalat tanpa suci, baik khawatir ketinggalan atau tidak, sebagaimana boleh berdzikir tanpa suci.
Bab Berkumpulnya Beberapa Jenazah:
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika berkumpul jenazah laki-laki, perempuan, anak kecil, dan khuntsa (hermafrodit), maka posisikan laki-laki di dekat imam, yang paling utama di depan, lalu anak kecil di belakang mereka, kemudian khuntsa, dan terakhir perempuan di arah kiblat. Jika para wali jenazah berselisih dan jenazahnya berbeda-beda, maka wali jenazah yang lebih dulu boleh shalat. Jika wali jenazah lain mau, dia boleh mencukupkan diri dengan shalat itu atau mengulang shalat untuk jenazahnya. Jika mereka berselisih tentang posisi jenazah, maka yang lebih dulu berhak jika semuanya laki-laki. Jika ada laki-laki dan perempuan, letakkan laki-laki di dekat imam dan perempuan di arah kiblat, tanpa mempertimbangkan siapa yang lebih dulu karena posisi mereka memang demikian. Begitu pula khuntsa. Namun, jika wali anak kecil lebih dulu, dia tidak harus memindahkan anak kecil dari posisinya. Wali laki-laki boleh menempatkan jenazah laki-laki di belakangnya atau memindahkannya ke tempat lain. Jika imam sudah memulai shalat jenazah dengan satu atau dua takbir, lalu datang jenazah lain, jenazah itu diletakkan hingga imam selesai shalat untuk jenazah pertama, karena shalat awalnya ditujukan untuk jenazah yang pertama, bukan yang datang belakangan.
Shalat dengan Imam Tidak Berwudhu:
Jika imam shalat jenazah tanpa wudhu sedangkan makmum berwudhu, shalat mereka sah. Jika semuanya tidak berwudhu, mereka harus mengulang. Jika ada tiga orang atau lebih yang berwudhu, shalat mereka sah. Jika sebagian wali sudah shalat jenazah lebih dulu, lalu datang wali lain, lebih baik tidak perlu diulang, meskipun jika diulang juga tidak masalah insya Allah.
Barang Berharga yang Jatuh ke Kubur:
Jika barang berharga milik seseorang jatuh ke kubur dan terkubur, dia boleh membongkar kubur untuk mengambilnya.
[Bab Penguburan]
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata (Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang meninggal di Mekah atau Madinah, aku lebih suka ia dimakamkan di pemakaman kedua kota itu. Demikian pula jika ia meninggal di suatu daerah yang disebutkan dalam hadits tentang pemakamannya, aku lebih suka ia dimakamkan di pemakaman tersebut. Namun, jika di suatu daerah tidak ada keterangan tentang hal itu, aku lebih suka ia dimakamkan di pemakaman umum karena kehormatan pemakaman dan alasan-alasan lainnya, serta lebih dekat kepada kebersamaan (umat). Ini lebih baik daripada dikubur di tempat yang mungkin diinjak, dikencingi, atau digali. Di mana pun jenazah dikubur, itu baik insya Allah.
Aku lebih suka lubang kubur diperdalam sekitar satu hasta atau lebih. Jika sudah dalam dan jenazah tertutup dengan baik, itu sudah cukup. Tujuannya agar tidak diganggu binatang buas, tidak mudah digali jika ada yang berniat, dan tidak tercium bau jenazah. Dalam keadaan darurat karena sempit atau terburu-buru, dua atau tiga jenazah boleh dimakamkan dalam satu liang. Yang paling dekat ke arah kiblat sebaiknya yang paling utama dan paling tua di antara mereka.
Aku tidak suka perempuan dimakamkan bersama laki-laki dalam keadaan apa pun, kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ada pilihan lain. Jika terpaksa, laki-laki diletakkan di depan dan perempuan di belakangnya, serta diberi pembatas tanah di antara mereka. Aku lebih suka kuburan diperkuat. Tidak ada batasan jumlah orang yang masuk ke liang kubur, tetapi jika jumlahnya ganjil lebih aku sukai. Jika mereka bisa mengurus jenazah tanpa kesulitan, itu lebih baik.
Jenazah ditarik dari arah kepala, yaitu kepala kerandanya diletakkan di ujung liang kubur, lalu ditarik perlahan. Liang kubur ditutup dengan kain bersih hingga jenazah disusun dalam liang lahat. Penutupan kuburan perempuan lebih ditekankan daripada laki-laki. Perempuan ditarik seperti laki-laki. Jika yang mengeluarkannya dari keranda adalah laki-laki, ia boleh melepas ikatan pakaian jenazah jika diperlukan. Jika perempuan yang mengurusnya, itu lebih baik. Jika tidak ada mahram, maka kerabat atau walinya yang mengurus. Jika tidak ada, maka kaum Muslimin yang menjadi walinya karena ini keadaan darurat.
Jenazah sudah menjadi mayat, dan hukum kehidupan telah terputus darinya. (Asy-Syafi’i berkata): Jenazah diletakkan di kubur dalam posisi miring ke kanan, kepalanya ditinggikan dengan batu atau bata, dan disangga agar tidak terjungkir atau terlentang. Jika tanahnya keras, dibuat liang lahat, lalu di atasnya diberi lapisan bata yang disusun rapat, dan celahnya diisi dengan pecahan bata atau tanah liat hingga kokoh, kemudian ditimbun tanah. Jika tanahnya lunak, digali parit, lalu liang lahat dibangun dengan batu atau bata, dan atapnya dari batu atau kayu karena bata tidak cukup kuat. Jika memakai atap, celahnya harus ditutup rapat.
Aku melihat di tempat kami, mereka meletakkan alang-alang di atas atap kubur, lalu menimbunnya dengan tanah hingga rata, kemudian menimbunnya lagi. (Asy-Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan atsar yang harus diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan. Bagaimanapun jenazah dikubur, itu sudah cukup insya Allah. Orang yang mengubur disunnahkan mengambil tanah dari tepi kubur dengan kedua tangan sekaligus sebanyak tiga kali.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata: Asy-Syafi’i berkata: Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya—radhiyallahu ‘anhuma—bahwa Nabi ﷺ mengambil tanah dengan kedua tangan sekaligus dan menaburkannya ke jenazah sebanyak tiga kali.
(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka menyegerakan penguburan jenazah jika kematiannya sudah jelas. Jika masih meragukan, lebih baik ditunda hingga benar-benar yakin. Jika jenazahnya tenggelam, lebih baik ditunda selama waktu penggalian kubur. Jika mati pingsan (seperti tersambar petir), lebih baik ditunda hingga dikhawatirkan sudah berubah (membusuk), bahkan hingga dua atau tiga hari, karena aku mendengar ada orang yang pingsan hingga hilang akalnya, lalu sadar setelah dua hari atau sejenisnya. Demikian pula jika ia ketakutan karena perang, binatang buas, atau ketakutan lain, atau jatuh dari gunung.
Jika seseorang meninggal, tanda-tanda kematiannya biasanya jelas insya Allah. Jika sebagian orang tidak yakin, biasanya yang lain yakin. Jika terjadi wabah atau kematian mendadak, dan kematian sudah jelas, tetapi keluarga tidak bisa mengurus semua jenazah sekaligus, maka didahulukan orang tua (ayah/ibu), lalu yang lainnya sesuai urutan. Jika ada dua istri seorang laki-laki, diadakan undian siapa yang didahulukan. Jika dikhawatirkan ada jenazah yang cepat berubah, maka yang lebih berisiko didahulukan.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dia (mayit) dihadapkan ke arah kiblat, dan orang dewasa didahulukan daripada anak kecil jika tidak dikhawatirkan perubahan pada yang tertinggal. Jika terpaksa, dua atau tiga jenazah boleh dimakamkan dalam satu liang, dengan yang paling utama dan paling banyak hafalan Al-Qur’annya dihadapkan ke kiblat, lalu diberi pembatas tanah di antaranya. Jika jenazah terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak, posisikan laki-laki paling dekat kiblat, diikuti anak laki-laki, kemudian perempuan di belakangnya. Aku lebih suka jika perempuan tidak dimakamkan bersama laki-laki. Kebolehan memakamkan dua jenazah dalam satu liang berdasarkan hadis, tetapi aku tidak mendengar ulama membolehkan lebih dari itu kecuali riwayat: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para syuhada Uhud dimakamkan dua atau tiga jenazah dalam satu liang.”
[BAB HAL-HAL YANG DILAKUKAN SETELAH PEMAKAMAN]
Ar-Rabi’ meriwayatkan bahwa Asy-Syafi’i berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa sebagian ulama menganjurkan duduk di kuburan setelah pemakaman selama waktu menyembelih unta. Ini baik, tetapi tidak kulihat orang-orang di sini melakukannya.” Malik meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya: “Aku tidak suka dimakamkan di Baqi’, lebih suka di tempat lain. Sebab di Baqi’ ada dua jenis orang: jika tetanggaku zalim, aku tidak suka; jika shaleh, aku tidak ingin tulangnya terganggu.” Malik juga meriwayatkan bahwa Aisyah berkata: “Mematahkan tulang mayit seperti mematahkan tulang orang hidup.” Asy-Syafi’i menjelaskan: “Maksudnya dalam hal dosa. Jika tulang mayit dikeluarkan, lebih baik dikembalikan dan dikubur. Aku juga lebih suka tidak menambah tanah dari luar ke kuburan, meski tidak masalah jika dilakukan asal tidak berlebihan. Kuburan sebaiknya ditinggikan sekitar sejengkal dari tanah, tetapi tidak dibangun atau diplester karena menyerupai kesombongan, padahal maut bukan tempat untuk itu. Kuburan Muhajirin dan Anshar pun tidak diplester.” Thawus meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membangun atau mengapur kuburan.” Asy-Syafi’i menambahkan: “Aku melihat penguasa merobohkan bangunan di makam Mekah, dan tidak ada ulama yang mengingkarinya. Jika kuburan berada di tanah milik mayit atau ahli warisnya, bangunan tidak boleh dirobohkan. Perobohan hanya dilakukan jika tanah itu bukan milik siapa pun, agar tidak mempersulit penguburan orang lain.”
Asy-Syafi’i berkata: “Jika terjadi perselisihan tentang penggalian makam di tanah umum, yang pertama datang berhak memilih lokasi. Jika bersamaan, diundi oleh penguasa. Setelah penguburan, tidak boleh ada yang menggali kuburan itu sampai waktu tertentu (biasanya setahun atau lebih, tergantung kebiasaan setempat). Jika ada yang terburu-buru menggali dan menemukan jenazah atau sebagiannya, tanah harus dikembalikan, termasuk tulang yang mungkin terangkat.”
Jika seseorang mengizinkan penguburan di tanahnya lalu ingin menarik kembali, ia hanya boleh mengambil bagian yang belum dipakai. Jika penguburan dilakukan tanpa izin, pemilik berhak memindahkan jenazah, membangun, bertani, atau menggali sumur di situ, tetapi hal itu tidak disukai. Meski demikian, haknya tetap diakui, namun lebih baik membiarkan jenazah sampai hancur.
Asy-Syafi’i tidak menyukai menginjak, duduk, atau bersandar pada kuburan kecuali dalam keadaan darurat, seperti tidak ada jalan lain untuk menziarahi makam keluarga. Sebagian sahabat kami berpendapat: “Tidak masalah duduk di kuburan selama bukan untuk buang hajat.” Asy-Syafi’i menolak pendapat ini, karena larangan duduk di kuburan bersifat mutlak, bukan hanya untuk buang hajat. Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Asy-Syafi’i dari Ibrahim bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya: “Aku mengikuti jenazah bersama Abu Hurairah. Mendekati makam, Abu Hurairah duduk dan berkata: ‘Duduk di bara api hingga membakar pakaianku lebih kusukai daripada duduk di kuburan.’”
“Barangsiapa yang duduk di atas kuburan seorang muslim.”
(Dia berkata): “Dan aku tidak suka jika dibangun masjid di atas kubur, atau kubur itu diratakan lalu shalat di atasnya, atau shalat menghadap ke kubur yang belum rata.” (Dia berkata): “Jika seseorang shalat menghadap ke kubur, shalatnya sah, tetapi dia telah berbuat buruk.” Malik mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah memerangi Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Tidak akan tersisa dua agama di tanah Arab.” (Dia berkata): “Aku membenci hal ini karena bertentangan dengan Sunnah dan atsar, dan karena itu dibenci—wallahu a’lam—jika seorang muslim dimuliakan dengan menjadikan kuburnya sebagai masjid. Tidak ada jaminan terhindar dari fitnah dan kesesatan bagi orang yang datang setelahnya. Aku membencinya—wallahu a’lam—agar tidak diinjak-injak, karena tempat penyimpanan mayat di bumi bukanlah tempat yang paling bersih, sedangkan tempat lain lebih bersih.”
[Pembicaraan Saat Menguburkan Mayat]
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Ketika mayat diletakkan di kubur, hendaklah orang yang meletakkannya mengucapkan: ‘Bismillah wa ‘ala millati Rasulillah ﷺ.’” Dan aku suka jika dia mengucapkan:
“Ya Allah, serahkanlah dia kepada-Mu, jauhkanlah dia dari kekikiran anak-anaknya, keluarganya, kerabatnya, dan saudara-saudaranya. Pisahkanlah dia dari orang yang dia cintai kedekatannya. Keluarkanlah dia dari kelapangan rumah dan kehidupan menuju kegelapan dan kesempitan kubur. Tempatkanlah dia di sisi-Mu, dan Engkau adalah sebaik-baik tempat berlindung. Jika Engkau menghukumnya, itu karena dosanya. Jika Engkau memaafkan, maka Engkau adalah Yang Maha Pemaaf. Ya Allah, Engkau Maha Kaya dari menyiksanya, sedangkan dia sangat membutuhkan rahmat-Mu. Ya Allah, terimalah kebaikannya, maafkanlah keburukannya, jadikanlah doa kami sebagai syafaat baginya, ampunilah dosanya, luaskanlah kuburnya, lindungilah dia dari azab kubur, masukkanlah ketenangan dan kedamaian ke dalam kuburnya.”
Tidak mengapa mengunjungi kuburan. Malik mengabarkan kepada kami dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku pernah melarang kalian mengunjungi kubur, tetapi sekarang kunjungilah. Hanya saja, jangan mengucapkan perkataan kotor.”
(Asy-Syafi’i berkata): “Tetapi jangan mengucapkan kata-kata buruk di sana, seperti doa kebinasaan, ratapan, atau tangisan. Namun, jika kunjungan itu untuk memohon ampunan bagi mayit, melembutkan hati, dan mengingat akhirat, maka itu termasuk hal yang tidak aku benci.”
Aku tidak suka bermalam di kuburan karena kesepian yang dirasakan orang yang bermalam. Aku melihat orang-orang di tempat kami menguburkan kerabat dekat berdekatan, dan aku menyukai hal itu. Aku menjadikan orang tua lebih dekat ke arah kiblat daripada anak jika memungkinkan. Bagaimanapun penguburannya, itu sudah cukup insya Allah.
Tidak ada batasan waktu khusus dalam takziah. Tidak ada ucapan yang harus dihindari selain ucapan buruk. Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Al-Qasim bin Abdullah bin Umar mengabarkan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata:
“Ketika Rasulullah ﷺ wafat dan datang takziah, mereka mendengar seseorang berkata: ‘Sesungguhnya di dalam Allah ada penghiburan dari setiap musibah, pengganti dari setiap yang hilang, dan pencapaian dari setiap yang luput. Maka, bertawakallah kepada Allah, berharaplah hanya kepada-Nya, karena orang yang benar-benar terkena musibah adalah yang terhalang dari pahala.’”
(Asy-Syafi’i berkata): “Sebagian orang saleh telah memberikan takziah dengan ucapan yang berbeda. Aku suka jika seseorang mengucapkan ucapan ini, mendoakan rahmat untuk mayit, dan berdoa bagi yang ditinggalkannya.”
Takziah boleh dilakukan sejak kematian mayit, baik di rumah, masjid, jalan menuju kuburan, atau setelah penguburan. Kapan pun takziah dilakukan, itu baik. Jika seseorang menghadiri jenazah, aku lebih suka jika takziah ditunda sampai mayit dikuburkan, kecuali jika keluarga mayit terlihat sangat sedih, maka hiburlah mereka saat itu juga. Takziah boleh diberikan kepada anak kecil, orang dewasa, dan wanita, kecuali jika wanita itu masih muda—aku tidak suka berbicara langsung dengannya kecuali oleh mahramnya.”
Aku suka jika tetangga mayit atau kerabatnya membuatkan makanan yang mengenyangkan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malamnya. Itu adalah Sunnah, perbuatan mulia, dan termasuk kebiasaan orang-orang baik sebelum dan sesudah kita. Karena ketika berita kematian Ja’far datang, Rasulullah ﷺ bersabda: “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa urusan yang menyibukkan.”
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Ja’far dari ayahnya, Abdullah bin Ja’far, dia berkata:
“Ketika berita kematian Ja’far datang, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa urusan yang menyibukkan—atau sesuatu yang menyibukkan.’” (Sufyan ragu).
As-Syafi’i berkata: “Aku suka jika tetangga keluarga mayit saat musibah memperhatikan yang paling lemah di antara mereka dengan memberikan penghiburan melalui ucapan dan perbuatan yang dianggap dapat menenangkan dan meringankan kesedihannya. Aku juga suka jika wali mayit memprioritaskan pelunasan hutangnya. Jika hal itu tertunda, hendaknya ia meminta kreditor untuk membebaskannya atau mencari cara untuk menyelesaikannya, serta berusaha memuaskan mereka dengan cara apa pun.
Diriwayatkan kepada kami oleh Ibrahim bin Sa’d dari ayahnya, dari Umar bin Abi Salamah—aku kira dari ayahnya, dari Abu Hurairah—bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada hutangnya hingga dilunaskan.”
(As-Syafi’i) berkata: “Aku suka jika wasiat mayit untuk sedekah segera dilaksanakan, dan disalurkan kepada kerabat, tetangga, serta jalan kebaikan. Aku juga suka mengusap kepala anak yatim, memberinya minyak, memuliakannya, serta tidak membentak atau menindasnya, karena Allah ﷻ telah memerintahkan hal itu.”