Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 1

[BAB SHALAT ORANG SAKIT]

Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Peliharalah semua shalat dan shalat wustha, serta berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Dikatakan -dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui- bahwa “qanitin” berarti taat. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga memerintahkan untuk shalat sambil berdiri. (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Ketika seseorang diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban, maka selama ia mampu, ia harus melakukannya. Jika seseorang mampu berdiri dalam shalat, maka tidak boleh baginya kecuali berdiri, kecuali dalam keadaan takut seperti yang telah disebutkan. (Imam Syafi’i berkata): Jika ia tidak mampu berdiri, maka ia shalat sambil duduk, ruku’, dan sujud jika mampu melakukannya.

Telah mengabarkan kepada kami Imam Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Hassan dari Hammad bin Salamah dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah: “Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat orang-orang. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- merasa agak ringan (sakitnya), lalu beliau datang dan duduk di samping Abu Bakar. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengimami Abu Bakar sambil duduk, sedangkan Abu Bakar mengimami orang-orang sambil berdiri.”

Telah mengabarkan kepada kami Imam Syafi’i, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku mendengar Yahya bin Sa’id berkata: Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ubaid bin Umair Al-Laitsi menceritakan kepadanya: “Bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat Subuh orang-orang. Ketika Abu Bakar bertakbir, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- merasa agak ringan (sakitnya), lalu beliau bangun dan merapikan shaf-shaf.”

Abu Bakar tidak pernah menoleh ketika shalat. Ketika Abu Bakar mendengar suara di belakangnya, ia tahu bahwa tidak ada yang berani maju ke posisi itu kecuali Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ia mundur ke barisan, tetapi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengembalikannya ke tempat semula. Rasulullah lalu duduk di sampingnya, sementara Abu Bakar tetap berdiri. Setelah Abu Bakar selesai, ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihatmu sudah sehat. Ini adalah hari putri Kharijah.” Abu Bakar pun pulang ke keluarganya, sementara Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tetap di tempatnya, duduk di samping Hajar Aswad, memperingatkan orang-orang tentang fitnah. Beliau bersabda, “Demi Allah, manusia tidak akan bisa menahanku untuk sesuatu pun. Demi Allah, aku tidak menghalalkan kecuali apa yang dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan tidak mengharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya. Wahai Fatimah binti Rasulullah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, beramallah untuk akhirat, karena aku tidak bisa menyelamatkan kalian dari siksa Allah sedikit pun.”

(Imam Syafi’i berkata): Seorang imam boleh shalat sambil duduk, sedangkan makmum di belakangnya shalat berdiri jika mereka mampu. Tidak sah shalat seseorang yang mampu berdiri kecuali dengan berdiri. Demikian pula jika imam mampu berdiri, ia shalat berdiri, sedangkan yang di belakangnya yang tidak mampu berdiri boleh shalat sambil duduk. (Imam Syafi’i berkata): Begitu pula dalam setiap keadaan di mana seorang shalat mampu melaksanakan kewajiban shalat sebagaimana yang Allah tetapkan, ia harus melakukannya. Adapun yang tidak mampu, ia shalat sesuai kemampuannya.

Jika seseorang tidak mampu duduk tetapi mampu shalat sambil berbaring, ia boleh shalat berbaring. Jika tidak mampu rukuk dan sujud, ia boleh shalat dengan isyarat, dengan menjadikan sujud lebih rendah daripada isyarat rukuk.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang sakit punggung yang tidak menghalanginya berdiri tetapi menghalangi rukuk, ia tidak boleh kecuali berdiri. Cukup baginya membungkuk sesuai kemampuannya saat rukuk. Jika tidak mampu sama sekali hingga lehernya, dan hanya bisa bersandar pada sesuatu, ia boleh bersandar sambil tegak atau miring, lalu rukuk, kemudian bangun, lalu sujud. Jika tidak mampu sujud, ia duduk dan memberi isyarat.

Jika ia mampu sujud dengan pipinya tetapi tidak dengan dahinya, ia boleh menundukkan kepala, meski miring, lalu sujud dengan pipi, karena itu yang paling dekat dengan sujud yang sempurna, baik tegak atau miring. Tidak sah jika ia mampu mendekati sujud tetapi tidak melakukannya. (Imam Syafi’i berkata): Ia juga tidak boleh mengangkat sesuatu ke dahinya untuk sujud, karena tidak disebut sujud kecuali menempel ke tanah. Jika ia meletakkan bantal di tanah lalu sujud di atasnya, itu sah, insya Allah. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, ia berkata, Imam Syafi’i menyampaikan dari sumber terpercaya, dari Yunus, dari Al-Hasan, dari ibunya, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah, istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – sujud di atas bantal kulit karena sakit mata.” (Imam Syafi’i berkata):

Jika orang yang sehat sujud di atas bantal kulit yang menempel ke tanah, aku tidak menyukainya, tetapi tidak mewajibkannya mengulang, sebagaimana jika ia sujud di tanah yang lebih tinggi dari tempat ia berdiri, tidak perlu mengulang.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mampu rukuk tetapi tidak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk dengan posisi rukuk. Jika rukuk, ia menunduk lebih rendah dari posisi berdiri, lalu sujud. Jika tidak mampu shalat kecuali terlentang, ia shalat terlentang dengan isyarat. (Imam Syafi’i berkata): Dalam setiap keadaan di mana seseorang diperintahkan shalat sesuai kemampuannya, jika ia mengalami kesulitan yang masih bisa ditanggung, ia tetap harus shalat sebagaimana kewajiban aslinya. Jika ia mampu berdiri dengan sedikit kesulitan, ia harus berdiri dan membaca sebagian dari Al-Fatihah, dan lebih baik menambah bacaan lain. Ia hanya diperbolehkan duduk jika kesulitannya sangat berat atau sama sekali tidak mampu berdiri. Hal yang sama berlaku untuk rukuk dan sujud.

Jika ia mampu membaca Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad dalam satu rakaat, serta Inna A’thaina Kal-Kautsar dalam rakaat lain sambil berdiri, tetapi tidak mampu mengikuti imam yang membaca lebih panjang kecuali sambil duduk, ia disuruh shalat sendiri. Ia memiliki uzur karena sakit untuk tidak shalat berjamaah dengan imam.

Jika ia shalat berjamaah dengan imam, mampu berdiri sebagian dan tidak mampu sebagian, ia shalat berdiri saat mampu dan duduk saat tidak mampu, tanpa perlu mengulang.

Jika ia memulai shalat berdiri lalu muncul uzur sehingga duduk, dan uzur itu hilang, ia harus kembali berdiri. Jika ia sudah membaca yang cukup untuk shalat duduk, ia tidak perlu mengulang bacaan saat berdiri. Jika masih ada sisa bacaan, ia membacanya sambil berdiri. Misalnya, jika ia membaca sebagian Al-Fatihah sambil duduk lalu sembuh, ia tidak boleh melanjutkan bacaan sambil duduk, tetapi harus menyelesaikannya sambil berdiri. Jika ia membacanya saat bangun dari duduk, itu boleh.

Dia tidak dianggap cukup sampai membacanya sambil berdiri tegak jika mampu berdiri. Jika membaca sisa sambil berdiri, lalu ada uzur sehingga duduk, maka dia membaca sisa sambil duduk. Jika kemudian mampu berdiri lagi, dia berdiri dan membaca sisa sambil berdiri. Meskipun dia membaca sambil duduk (hanya) Ummul Quran dan sedikit tambahan, lalu mampu berdiri, dia tidak boleh rukuk sampai berdiri tegak. Jika dia membaca sambil berdiri, itu lebih disukai. Jika tidak membaca dan langsung rukuk setelah berdiri tegak, maka rukuknya sah. Jika dia rukuk sebelum berdiri tegak padahal mampu, lalu sujud, maka rakaat dan sujud itu batal. Dia harus berdiri tegak, lalu rukuk dan sujud, tanpa mengulang bacaan. Jika tidak dilakukan sampai dia berdiri, membaca, lalu rukuk dan sujud, maka rakaat yang dibaca dan sujudnya tidak dianggap. Sujud itu dianggap untuk rakaat sebelumnya, sehingga satu rakaat gugur. Jika dia menyelesaikan shalat dan menganggap rakaat yang tidak berdiri tegak sah, lalu ingat masih dalam waktu yang memungkinkan melanjutkan (seperti jika lupa), maka dia bertakbir, rukuk, sujud, dan sujud sahwi, sehingga shalatnya sah. Jika tidak ingat sampai keluar masjid atau waktunya lama, dia harus mengulang shalat. Demikian pula untuk setiap rakaat, sujud, atau rukun shalat yang mampu dilakukannya. Jika tidak dilakukan sesuai kemampuannya, tidak sah.

Jika mampu sujud tetapi tidak melakukannya dan hanya memberi isyarat, dia harus sujud selama belum rukuk pada rakaat berikutnya. Jika tidak sujud dan hanya memberi isyarat padahal mampu, lalu membaca setelah rukuk, rakaat itu tidak dianggap. Dia harus mengulang bacaan dan rukuk setelahnya; tidak sah tanpa itu. Jika dia rukuk dan sujud sekali, sujud itu menggantikan yang dia mampu tetapi hanya diisyaratkan. Jika dia berdiri, membaca, dan rukuk, rakaat itu tidak dianggap. Begitu pula jika sujud dua kali, satu menggantikan yang diisyaratkan, dan yang kedua tidak dianggap karena sujud sebelum rukuk. Hanya satu sujud yang sah untuk menggantikan sujud sebelumnya yang ditinggalkan atau tidak sah, asalkan sujud berikutnya dilakukan sebagai bagian dari rukun shalat.

Adapun jika meninggalkan sujud rukun shalat dan hanya memberi isyarat padahal mampu, lalu sujud setelahnya (seperti sujud tilawah atau sujud sahwi) tanpa niat sebagai rukun shalat, maka tidak sah untuk menggantikan sujud yang ditinggalkan atau diisyaratkan.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula ummul walad, mukatabah, mudabbarah, dan budak perempuan yang shalat bersama tanpa kerudung, lalu dimerdekakan sebelum menyelesaikan shalat, wajib memakai kerudung dan menyempurnakan shalat. Jika mereka tidak memakai kerudung setelah mampu, mereka harus mengulang shalat itu. Jika mereka shalat tanpa kerudung setelah merdeka tanpa tahu status kemerdekaannya, mereka harus mengulang semua shalat yang dilakukan tanpa kerudung sejak hari merdeka, karena mereka harus kembali ke keyakinan (status merdeka). (Imam Syafi’i berkata): Jika seorang mukatabah sudah mampu membayar dan tenggatnya jatuh, lalu shalat tanpa kerudung, hal itu makruh tetapi shalatnya sah, karena dia belum merdeka sampai membayar. Tidak haram baginya tetap sebagai budak, tetapi haram jika menunda padahal mampu membayar. Begitu pula jika seorang majikan berkata kepada budaknya, “Kamu merdeka jika masuk rumah ini hari ini,” lalu dia tidak masuk padahal mampu, kemudian shalat tanpa kerudung, lalu masuk atau tidak, dia tidak perlu mengulang shalat karena shalatnya sebelum merdeka. Demikian pula jika majikan berkata, “Kamu merdeka jika kamu mau,” lalu dia shalat tanpa memilih kemerdekaan, kemudian dimerdekakan setelahnya, shalat itu tidak perlu diulang.

Jika seorang anak laki-laki belum baligh, lalu shalat dan belum selesai sampai genap 15 tahun, lebih baik mengulang shalat karena dia sudah wajib menunaikan semua kewajiban shalat secara sempurna. Jika dia menghentikan dan mengulang, itu sah. Jika dia berihram untuk haji dalam keadaan ini, lalu genap 15 tahun setelah wukuf atau baligh, hajinya tetap berlanjut, tetapi dia harus mengulang haji karena sebelumnya belum termasuk orang yang wajib haji. Jika dia berpuasa sehari di Ramadhan dan belum selesai sampai baligh atau genap 15 tahun, lebih baik menyelesaikan hari itu, lalu mengulangnya, tanpa mengulang puasa sebelumnya.

Karena ia belum baligh hingga hari itu berlalu, maka ia tidak perlu mengulangi shalat yang dikerjakan sebelum baligh, sebab shalat itu telah dilakukan sebelum baligh dan setiap shalat bukanlah yang berikutnya. Demikian pula setiap puasa hari bukanlah yang berikutnya, dan tidak dijelaskan bahwa hal ini berlaku dalam shalat maupun puasa. Adapun dalam haji, hal ini dijelaskan.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker