Ulumul Quran

Terjemah Kitab Mabahits Fi Ulumil Qur’an Karya Manna Al Qattan

PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN QUR’AN

Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an (jam‘ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:

Pertama: pengumpulan dalam arti hifguhu (menghafalnya dalam hati). Jummda‘ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah [75]:16-19).

Ibn Abbas mengatakan: ”Rasulullah sangat ingin segera menguasai Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ta ingin segera menghafalnya. Maka Allah menutunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya, Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya, maksudnya, ’Kami yang mengumpulkannya di dadamu, kemudian Kami membacakannya.’ Apabila Kami telah selesai membacakannya, maksudnya, ’apabila Kami telah menurunkannya kepadamu’ maka tkutilah bacaannya itu; maksudnya, ’dengarkan dan perhatikanlah ta.’ Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya, yakni ‘menjelaskannya dengan lidahmu.’ Dalam lafal yang lain dikatakan: ’Atas tanggungan Kamilah membacakannya.’ Maka setelah ayat ini turun bila Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal lain: ’ia mendengarkan.’ Dan bila Jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana diperintahkan Allah.”

Kedua: pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.

Pengumpulan Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi

Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah [75]:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Haj itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.

Dalam kitab Sahih-nya Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh Aafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas‘ud, Salim bin Ma‘qal bekas budak Abu Huzaifah, Mu‘az bin Jabal, Ubai bin Ka‘b, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Aby Darda’.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dikatakan:

“Aku telah mendengar Rasulullah berkata: ’Ambillah Qur’an dari empat orang: Abdullah bin Mas‘ud, Salim, Mu‘az dan Ubai bin Ka‘b.” Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin Mas‘ud dan Salim; dan dua orang dari Ansar, yaitu Mu‘az dan Ubai.

Dari Qatadah dikatakan:

”Aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: Siapakah orang yang hafal Qur’an di masa Rasulullah? Dia menjawab: “Empat orang. Semuanya dari kaum Ansar; Ubai bin Ka‘b, Mu‘az bin Jabal, Zaid bin Sabit dan Abu Zaid.’ Aku bertanya kepadanya: ’Siapakah Abu Zaid itu?’, ia menjawab: ’Salah seorang pamanku.”?

Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan:

“Rasulullah wafat sedang Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda’, Mu‘az bin Jabal, Zaid bin Sabit dan Abu Zaid.”

Abu Zaid yang disebutkan dalam hadis-hadis di atas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas, Abu Zaid yang hafal Qur’an itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas: “Ia adalah seorang laki-laki dari suku kami Bani ‘Adi ibnun Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarisinya.”

Ibn Hajar ketika menuliskan biografi Sa‘id bin ‘Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang hafiz dan dijuluki pula dengan alQari’ (pembaca Qur’an).

Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan Sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam salat di tengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai suara lebah. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang Ansar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Qur’an di rumah-rumah.

Dari Abu Musa al-Asy’ari:

” Bahwa Rasulullah berkata kepadanya: ’Tidakkah engkau melihat aku tadi malam, di waktu aku mendengarkan engkau membaca Qur’an? Sungguh kau telah diberi satu seruling dari seruling Nabi Daud.

Diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr berkata:

”Aku telah menghafal Qur’an dan aku menamatkannya pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi, maka katanya: ’Tamatkanlah dalam waktu satu bulan.”

Abu Musa al-Asy‘ari berkata:

”Rasulullah berkata: ’Sesungguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asy‘ari di waktu malam ketika mereka berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan Qur’an mereka di waktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka di waktu siang.’

Di samping antusiasisme para sahabat untuk mempelajari dan menghafal Qur’an, Rasulullah pun mendorong mereka ke arah itu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan Qur’an kepada mereka. ‘Ubadah bin Samit berkata:

“Apabila ada seseorang yang hijrah (masuk Islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang di antara kami untuk mengajarinya Qur’an. Dan di masjid Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca Qur’an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara sehingga tidak saling mengganggu.”

Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan: tiga riwayat di atas, diartikan bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi Qur’an di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi, serta isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedang para hafiz Qur’an lainnya — yang berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut; terutama karena para sahabat telah tersebar di pelbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam pertempuran di sumur ”Ma‘inah,” semuanya disebut qurra’, sebanyak tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih. Al Qurthubi mengatakan: ”Telah terbunuh tujuh puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam pertempuran di sumur Ma‘inah.”

Inilah pemahaman para ulama dan pentakwilan mereka terhadap hadis-hadis sahih yang menunjukkan terbatasnya jumlah para hafiz Qur’an yaitu hanya tujuh orang seperti telah dikemukakan. Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan “Tak ada yang hafal Qur’an kecuali empat orang”, al-Mawardi!? berkata: ”Ucapan Anas yang menyatakan bahwa tidak ada yang hafal Qur’an selain empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebab mungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal Qur’an sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di pelbagai wilayah? Pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemu dengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya di masa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataannya memang demikian. Di samping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hafal – sekalipun secara distributif maka itu sudah cukup.”!!

Dengan penjelasan ini al-Mawardi telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah huffaz (para penghafal Qur’an) dengan cara meyakinkan dan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah hafiz dalam hadis Anas dengan penjelasan memuaskan.

Abu ‘Ubaid!? telah menyebutkan dalam kitab al-Qird’dt sejumlah gari dari kalangan sahabat. Dari kaum Muhajirin, ia menyebutkan: empat orang. khalifah, ‘Talhah, Sa‘d, Ibn Mas‘ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah, Aisyah, Hafsah dan Ummu Salamah; dan dari kaum Ansar: ‘Ubadah bin Samit, Mu‘az, yang dijuluki Abu Halimah, Majma‘ bin Jariyah, Fudalah bin ‘Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad. Ditegaskannya bahwa sebagian mercka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggal Nabi.

Al-Hafiz az-Zahabi menyebutkan dalam Tabagdtul Qurrad’ bahwa jumlah qari tersebut adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan sahabat yang hafal Qur’an namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah mereka itu banyak.

Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafiz Qur’an di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan di masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari,’ guru para qari pada masanya menyebutkan: ’Penukilan Qur’an dengan berpegang pada hafalan bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.”

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker