
Kitab Shalat Minta Hujan
Kapan imam melakukan shalat istisqa’? Apakah imam boleh meminta hujan dihentikan jika dikhawatirkan membahayakan? Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Asy-Syafi’i, dia berkata telah mengabarkan kepada kami Malik bin Anas, dia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.”
Lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah, hewan-hewan ternak telah binasa dan jalan-jalan terputus. Mohon berdoalah kepada Allah.” Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berdoa, dan kami pun diberi hujan dari Jumat hingga Jumat berikutnya.” Kemudian seorang laki-laki datang kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan berkata: “Wahai Rasulullah, rumah-rumah telah roboh, jalan-jalan terputus, dan hewan-hewan ternak binasa.” Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lalu berdiri dan berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan di atas puncak gunung, bukit-bukit, lembah-lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.” Maka awan pun menjauh dari Madinah seperti terlepasnya pakaian.” (Asy-Syafi’i berkata): “Jika terjadi kekeringan atau berkurangnya air di sungai, mata air, atau sumur, baik di perkotaan maupun pedalaman kaum Muslimin, aku tidak suka jika seorang imam meninggalkan pelaksanaan salat istisqa. Jika dia meninggalkannya, tidak ada kafarat atau qadha baginya, tetapi dia telah berbuat buruk dengan meninggalkannya dan menyia-nyiakan sunnah, meskipun itu tidak wajib, melainkan termasuk amalan yang utama. Jika ada yang bertanya: ‘Mengapa salat istisqa dengan doa dan khutbah tidak diwajibkan baginya?’ Dijawab: ‘Tidak ada kewajiban salat selain lima waktu.’ Dalam hadis Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terdapat petunjuk bahwa ketika terjadi kekeringan, Rasulullah tidak langsung melaksanakan salat istisqa, tetapi melakukannya setelah beberapa waktu kemudian. Berdasarkan hal itu, aku berpendapat bahwa seorang imam tidak boleh meninggalkan istisqa. Namun, jika imam tidak melakukannya, aku tidak melihat alasan bagi masyarakat untuk meninggalkan istisqa, karena hewan ternak tidak binasa kecuali setelah didahului oleh kekeringan yang berkepanjangan. Adapun berdoa meminta hujan, aku sangat menganjurkan untuk tidak meninggalkannya saat terjadi kekeringan, meskipun tidak disertai salat atau khutbah. Jika mereka beristisqa tetapi tidak turun hujan, aku menganjurkan untuk mengulanginya hingga hujan turun. Anjuran untuk mengulang kedua atau ketiga kalinya tidak sekuat anjuran untuk pertama kalinya. Aku membolehkan pengulangan setelah yang pertama karena salat dan jamaah pada yang pertama adalah kewajiban. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika beristisqa, biasanya langsung diberi hujan. Jika hujan telah turun, imam tidak perlu mengulanginya.”
Ar-Rabi’ meriwayatkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku seseorang yang tidak aku ragukan, dari Sulaiman bin Abdullah bin ‘Uwaimir al-Aslami, dari Urwah bin Az-Zubair, dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – dia berkata: “Orang-orang mengalami musim paceklik yang parah pada masa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang Yahudi lewat dan berkata: ‘Demi Allah, jika pemimpin kalian menghendaki, niscaya kalian akan diberi hujan sebanyak yang kalian inginkan. Tetapi dia tidak menginginkannya.’ Orang-orang pun memberitahu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang perkataan Yahudi itu. Beliau bertanya: ‘Benarkah dia berkata demikian?’ Mereka menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Aku benar-benar memohon pertolongan dengan tahun ini terhadap penduduk Najd. Aku melihat awan keluar dari mata air, tetapi aku tidak suka itu menjadi waktu yang dijanjikan untuk kalian pada hari tertentu. Aku akan memohon hujan untuk kalian.’ Ketika hari itu tiba, orang-orang pun berangkat. Sebelum mereka berpisah, hujan turun sebanyak yang mereka inginkan, dan langit tidak berhenti menurunkan hujan selama sepekan.”
Jika orang-orang khawatir banjir bandang atau sungai yang meluap, mereka berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari bahaya, sebagaimana Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berdoa agar rumah-rumah tidak roboh. Demikian pula, mereka berdoa agar hujan tidak membahayakan pemukiman, tetapi turun di tempat yang bermanfaat, seperti di gunung, pepohonan, dan padang pasir. Aku tidak memerintahkan salat berjamaah dalam hal ini, tetapi memerintahkan imam dan masyarakat untuk berdoa dalam khutbah Jumat, setelah salat, dan dalam setiap musibah yang menimpa kaum Muslimin. Jika suatu daerah subur sementara daerah lain mengalami kekeringan, sebaiknya imam daerah yang subur beristisqa untuk penduduk daerah yang kekeringan dan seluruh kaum Muslimin. Dia memohon kepada Allah tambahan rezeki bagi yang subur sekaligus hujan bagi yang kekeringan, karena karunia Allah sangat luas. Aku tidak mewajibkan istisqa bagi yang tidak berada di wilayahnya sebagaimana kewajiban bagi yang dekat dengannya. Dia dapat menulis kepada pemimpin daerah yang kekeringan agar beristisqa untuk mereka atau imam terdekat dengan mereka. Jika tidak dilakukan, aku menganjurkan agar salah seorang dari mereka beristisqa.
Siapa yang Beristisqa dengan Salat?
(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Setiap imam yang menunaikan salat Jumat, salat Id, dan salat kusuf dapat beristisqa.”
Shalat Jumat hanya diwajibkan di tempat yang memenuhi syarat, karena pada dasarnya ia adalah shalat Zhuhur. Jika shalat Jumat telah dilaksanakan, maka shalat Zhuhur dipendekkan menjadi dua rakaat. Diperbolehkan juga melaksanakan shalat Istisqa (minta hujan), dan disunahkan melaksanakan shalat Idain (Idul Fitri & Idul Adha) serta shalat Kusuf (gerhana) di tempat yang tidak diadakan jamaah, seperti di pedalaman atau desa kecil. Para musafir di pedalaman juga boleh melakukannya karena hal itu tidak mengurangi kewajiban apa pun, melainkan termasuk sunah dan amalan tambahan yang baik. Saya tidak suka meninggalkannya dalam keadaan apa pun, meskipun itu hanya sekadar perintah atau anjuran dari saya. Anjuran untuk melakukannya di tempat yang tidak ada jamaah tidak sama dengan anjuran di tempat yang ada jamaah, juga tidak seperti perintah saya kepada imam atau masyarakat yang berjamaah. Saya hanya memerintahkannya seperti yang telah saya jelaskan karena itu adalah sunah, dan tidak ada larangan dari pihak yang berwenang.
Jika sekelompok orang di pedalaman melaksanakan Istisqa, mereka boleh melakukan seperti yang dilakukan di kota, baik berupa shalat atau khutbah. Jika suatu kota tidak memiliki pemimpin, mereka boleh mengangkat salah seorang di antara mereka untuk memimpin shalat Jumat, Idain, Kusuf, dan Istisqa, sebagaimana masyarakat pernah mengangkat Abu Bakar dan Abdul Rahman bin Auf untuk memimpin shalat wajib ketika Rasulullah ﷺ sedang mendamaikan perselisihan Bani Amr bin Auf dan Abdul Rahman dalam Perang Tabuk, atau ketika Rasulullah ﷺ pergi untuk keperluannya. Rasulullah ﷺ pun memuji tindakan masyarakat yang mengangkat Abdul Rahman bin Auf. Jika Rasulullah ﷺ membolehkan hal ini untuk shalat wajib selain Jumat, maka Jumat yang juga termasuk shalat wajib tentu lebih boleh. Demikian pula hal ini dibolehkan untuk shalat-shalat non-wajib yang telah disebutkan.
[Istisqa tanpa Shalat]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Seorang imam boleh melaksanakan Istisqa tanpa shalat, misalnya dengan berdoa setelah khutbah atau shalat, atau di belakang shalat. Saya pernah melihat seseorang menunjuk muadzin untuk memimpin doa Istisqa setelah shalat Subuh atau Maghrib dan mengajak orang-orang untuk berdoa. Saya tidak memandang buruk perbuatan tersebut.
[Azan untuk Shalat Non-Wajib]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Tidak ada azan atau iqamah kecuali untuk shalat wajib. Adapun shalat Kusuf, Idain, Istisqa, dan semua shalat sunah, tidak perlu azan atau iqamah.
[Tata Cara Memulai Istisqa]
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Kami mendapat kabar dari sebagian ulama bahwa jika hendak melaksanakan Istisqa, mereka memerintahkan masyarakat untuk berpuasa tiga hari berturut-turut dan mendekatkan diri kepada Allah dengan amal kebaikan semampunya. Kemudian, pada hari keempat, mereka keluar untuk melaksanakan Istisqa. Saya menyukai hal itu dan menganjurkan mereka untuk keluar pada hari keempat dalam keadaan berpuasa, tanpa mewajibkannya kepada mereka atau imam mereka. Saya juga tidak melihat masalah jika imam memerintahkan mereka untuk keluar dan melaksanakan Istisqa sebelum memerintahkan puasa.
Amal terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah menunaikan kewajiban, seperti membayar denda darah, harta, atau ganti rugi, kemudian mendamaikan perselisihan, serta memperbanyak sedekah, shalat, zikir, dan amal kebajikan lainnya. Saya juga menganjurkan setiap kali imam hendak mengulangi Istisqa, agar memerintahkan masyarakat untuk berpuasa tiga hari sebelumnya.
[Penampilan untuk Shalat Istisqa]
Untuk dua hari raya.
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar pada hari Jumat dan dua hari raya dengan penampilan terbaik.” Diriwayatkan pula bahwa beliau “keluar untuk shalat istisqa dengan penampilan sederhana.” Saya menduga perawi menyebutkan “dengan pakaian biasa.” Maka, disukai pada dua hari raya untuk keluar dengan pakaian terbaik dan wewangian terbaik. Sedangkan untuk istisqa, disukai bersih dengan air dan sesuatu yang menghilangkan bau seperti siwak, serta memakai pakaian sederhana. Cara berjalan, duduk, dan berbicaranya pun menunjukkan kerendahan hati dan ketundukan. Apa yang saya sukai untuk imam dalam situasi ini, saya sukai pula untuk semua orang. Pakaian yang dipakai imam dan jamaah selama halal untuk shalat, maka itu sudah mencukupi.
[Keluarnya Wanita dan Anak-Anak untuk Istisqa]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Saya suka jika anak-anak keluar dan membersihkan diri untuk istisqa, begitu pula wanita tua dan yang tidak berhias. Namun, saya tidak suka wanita yang berhias keluar, dan saya tidak memerintahkan hewan ternak dibawa. Saya tidak menyukai orang non-Muslim ikut istisqa bersama Muslim di tempat yang sama atau lainnya, dan saya perintahkan untuk mencegah mereka. Jika mereka keluar terpisah, kami tidak melarang. Wanita non-Muslim sama seperti laki-laki mereka dalam hal ini. Jika mereka terpisah, saya tidak keberatan mereka keluar seperti orang dewasa mereka. Saya lebih suka jika tuan budak Muslim membiarkan budaknya keluar, meski tidak wajib. Budak perempuan sama seperti wanita merdeka. Saya lebih suka wanita tua dan yang tidak berhias keluar, tapi tidak untuk yang berhias, meski tuannya tidak wajib melarang.
[Hujan Sebelum Istisqa]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika imam bersiap keluar lalu turun hujan (sedikit atau banyak), saya suka jika ia tetap melanjutkan dan orang-orang tetap keluar untuk bersyukur kepada Allah atas hujan dan memohon tambahan serta merata untuk semua. Jika mereka tidak keluar, tidak ada kafarat atau qadha. Jika hujan turun saat waktu keluar, imam boleh istisqa di masjid atau menunggu hingga hujan reda. Jika imam bernazar istisqa lalu hujan turun, ia tetap wajib keluar untuk memenuhi nazar. Jika tidak, ia harus mengqadha. Ia tidak wajib mengajak orang lain karena tidak memiliki kuasa atas mereka, dan tidak boleh memaksa mereka istisqa tanpa kemarau. Begitu pula jika seseorang bernazar keluar istisqa, ia wajib keluar sendiri. Jika nazarnya mengajak orang, ia hanya wajib keluar sendiri karena tidak memiliki kuasa atas mereka. Manusia tidak bisa bernazar atas sesuatu yang bukan miliknya. Saya suka jika ia mengajak yang patuh seperti anak atau lainnya. Jika nazarnya berkhutbah, ia boleh duduk sambil berzikir dan berdoa karena tidak ada kewajiban berdiri jika bukan pemimpin atau tidak ada jamaah. Jika nazarnya berkhutbah di mimbar, ia boleh duduk dan tidak wajib di mimbar karena tidak ada kewajiban naik mimbar, unta, atau bangunan. Ini hanya untuk imam agar didengar orang. Jika ia imam dengan jamaah, nazarnya hanya terpenuhi dengan khutbah berdiri karena itu yang sesuai. Jika semua ini dilakukan, baik di mimbar, dinding, atau berdiri, nazarnya sudah terpenuhi. Jika ia bernazar keluar…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Bolehkah shalat istisqa di rumah?
Dia boleh melakukan shalat istisqa di masjid, dan itu sudah cukup jika dia melakukannya di rumah.
[Di mana shalat istisqa dilakukan?]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Imam shalat di tempat yang sama seperti shalat Id, di tempat yang paling luas yang dia temukan untuk orang banyak. Di mana pun dia melakukan istisqa, itu sudah cukup, insya Allah Ta’ala.
[Waktu imam keluar untuk istisqa dan bagaimana khutbahnya]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Imam keluar untuk istisqa pada waktu yang sama seperti ketika dia sampai ke tempat shalat Id, saat matahari telah terbit. Dia memulai dengan shalat, dan setelah selesai, dia berkhutbah. Dia boleh berkhutbah di atas mimbar yang disiapkan, atau jika dia mau, dia bisa berkhutbah sambil menunggang kuda, di atas tembok, sesuatu yang ditinggikan untuknya, atau di tanah. Semua itu boleh baginya.
[Tata cara shalat istisqa]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bahwa dia mendengar Abbad bin Tamim berkata: Aku mendengar Abdullah bin Zaid Al-Mazini berkata: “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pergi ke tanah lapang untuk istisqa, lalu membalik selendangnya saat menghadap kiblat.”
(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku ragukan, dari Ja’far bin Muhammad: “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- Abu Bakar, dan Umar mengeraskan bacaan dalam shalat istisqa, shalat sebelum khutbah, dan bertakbir tujuh kali dan lima kali dalam istisqa.”
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ja’far bin Muhammad mengabarkan kepadaku dari ayahnya, dari Ali -radhiyallahu anhu- seperti itu.
(Imam Syafi’i berkata): Sa’ad bin Ishaq mengabarkan kepadaku dari Shalih dari Ibnul Musayyab dari Utsman bin Affan bahwa dia bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali.
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepadaku, dia berkata: Abu Huwairits mengabarkan kepadaku dari Ishaq bin Abdullah bin Kinanah dari ayahnya bahwa dia bertanya kepada Ibnu Abbas tentang takbir dalam shalat istisqa. Dia menjawab: “Seperti takbir dalam shalat Id, tujuh kali dan lima kali.”
Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abdullah bin Abi Bakr mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Abbad bin Tamim mengabarkan dari pamannya, Abdullah bin Zaid, dia berkata: “Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pergi ke tanah lapang untuk istisqa, lalu menghadap kiblat, membalik selendangnya, dan shalat dua rakaat.”
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Hisyam bin Ishaq bin Abdullah bin Kinanah mengabarkan kepadaku dari ayahnya dari Ibnu Abbas seperti itu.
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Shalih bin Muhammad bin Za’idah mengabarkan kepadaku dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali, dan bertakbir dalam shalat Id seperti itu.
Ibrahim mengabarkan kepada kami, dia berkata: Amr bin Yahya bin Imarah mengabarkan kepadaku bahwa Abu Bakr bin Amr bin Hazm menyarankan kepada Muhammad bin Hisyam untuk bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali.
(Imam Syafi’i berkata): Dengan semua ini kami mengambil pendapat, maka kami memerintahkan imam untuk bertakbir dalam istisqa tujuh kali dan lima kali sebelum membaca (Al-Fatihah), mengangkat tangan pada setiap takbir dari tujuh dan lima kali, mengeraskan bacaan, dan shalat dua rakaat tanpa berbeda dengan shalat Id sedikit pun. Kami memerintahkan dia untuk membaca dalam shalat istisqa apa yang dibaca dalam shalat Id. Jika dia tidak mengeraskan bacaan dalam shalat istisqa, tidak perlu diulang. Jika dia meninggalkan takbir, juga tidak perlu diulang, dan tidak ada sujud sahwi. Jika dia meninggalkan takbir sampai memulai bacaan dalam suatu rakaat, dia tidak perlu bertakbir setelah memulai bacaan. Demikian pula jika dia bertakbir sebagian lalu memulai bacaan, dia tidak perlu menyempurnakan takbir yang tertinggal.
Takbir pada rakaat itu, dan bertakbir pada rakaat lainnya untuk takbirnya, dan tidak mengqadha apa yang ditinggalkan dari takbir pertama. Jika dilakukan pada rakaat lainnya seperti itu, maka begitulah caranya bertakbir sebelum membaca, dan tidak bertakbir setelah membaca pada rakaat yang dibuka dengan bacaan. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula hal ini dalam shalat Idain (dua hari raya), tidak berbeda. Apa yang dibaca bersama Ummul Quran (Al-Fatihah) pada setiap rakaat sudah mencukupi. Jika hanya membaca Ummul Quran pada setiap rakaat, itu juga mencukupi. Jika shalat dua rakaat dan membaca Ummul Quran pada salah satunya, sedangkan pada rakaat lainnya tidak membaca Ummul Quran, maka shalatnya hanya dianggap satu rakaat, sehingga harus menambah rakaat lain dan sujud sahwi. Baik dia maupun makmum di belakangnya tidak boleh menganggap rakaat yang tidak membaca Ummul Quran. Jika shalat dua rakaat dan tidak membaca Ummul Quran pada keduanya, maka harus mengulanginya baik berkhutbah atau tidak. Jika tidak mengulanginya hingga selesai, aku lebih suka dia mengulanginya keesokan harinya atau pada hari itu jika jamaah belum bubar. Jika mengulanginya, maka khutbah juga diulang setelahnya. Jika ini terjadi dalam shalat Id, maka dia harus mengulanginya pada hari itu sebelum matahari tergelincir. Jika matahari telah tergelincir, tidak perlu mengulanginya karena shalat Id memiliki waktu tertentu, jika sudah lewat maka tidak boleh dilaksanakan. Setiap hari adalah waktu untuk shalat Istisqa’, karena itu boleh mengulanginya setelah Zhuhur dan sebelum Ashar.