
Kitab Shalat
[Bab Asal Kewajiban Shalat]
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Dan firman-Nya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5), beserta ayat-ayat lain yang menyebutkan kewajiban shalat.
(Dia berkata): Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah ditanya tentang Islam, lalu beliau menjawab: “Lima shalat dalam sehari semalam.” Si penanya bertanya: “Apakah ada kewajiban lain selain itu?” Beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.”
Awal Disyariatkannya Shalat
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Aku mendengar dari orang yang kupercaya ilmunya menyebutkan bahwa Allah menurunkan kewajiban shalat, kemudian menghapusnya dengan kewajiban lain, lalu menghapus yang kedua dengan kewajiban shalat lima waktu.
(Dia berkata): Sepertinya yang dimaksud adalah firman Allah Azza wa Jalla: “Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), separuhnya atau kurangilah sedikit dari itu.” (QS. Al-Muzzammil: 1-3). Kemudian ayat ini dihapus dalam surat yang sama dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau separuhnya.” (QS. Al-Muzzammil: 20), hingga firman-Nya: “Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzammil: 20). Maka dihapuslah kewajiban shalat malam atau separuhnya, atau lebih sedikit atau lebih banyak, dengan apa yang mudah.
Pendapat ini mirip dengan apa yang dikatakan, meskipun aku lebih suka jika seseorang tidak meninggalkan bacaan Al-Qur’an yang mudah baginya di malam hari. Dikatakan juga bahwa yang kusebutkan dari surat Al-Muzzammil dihapus dengan firman Allah Azza wa Jalla: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (Zhuhur) sampai gelap malam (Isya), dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78). “Dan pada sebagian malam hari, shalat Tahajudlah sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al-Isra’: 79). Maka Allah memberitahukan bahwa shalat malam adalah sunnah, bukan wajib, dan kewajiban shalat adalah pada waktu-waktu yang disebutkan, baik siang maupun malam.
Dikatakan juga dalam firman Allah Azza wa Jalla: “Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu petang (Maghrib dan Isya) dan waktu pagi (Subuh).” (QS. Ar-Rum: 17). “Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi, dan di waktu petang (Ashar) dan di waktu zuhur (Zhuhur).” (QS. Ar-Rum: 18). Pendapat ini mirip dengan yang telah disebutkan, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.
(Dia berkata): Penjelasan tentang apa yang kusebutkan terdapat dalam sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Malik mengabarkan kepadaku dari pamannya, Abu Suhail bin Malik, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Thalhah bin Ubaidillah berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Lima shalat dalam sehari semalam.’ Si penanya bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lain selain itu?’ Beliau menjawab: ‘Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.’”
(Imam Syafi’i berkata): Maka shalat fardhu ada lima, selain itu adalah sunnah. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah shalat Witr di atas unta, tetapi beliau tidak shalat fardhu di atasnya. Kami mengetahui bahwa shalat sunnah memiliki dua bentuk: berjamaah atau sendiri. Shalat berjamaah lebih ditekankan, dan aku tidak membolehkan meninggalkannya bagi yang mampu, seperti shalat Id, gerhana matahari dan bulan, serta istisqa. Adapun shalat malam Ramadhan, shalat sendiri lebih kusukai, dan yang paling ditekankan adalah shalat berjamaah.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Tentang Shalat Witir dan Sebagiannya
Shalat witir dan sebagiannya lebih ditekankan daripada sebagian shalat witir lainnya. Ia mirip dengan shalat tahajud, kemudian dua rakaat shalat fajar. Aku tidak memberikan keringanan bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satunya, meskipun aku tidak mewajibkannya. Barangsiapa meninggalkan satu shalat dari keduanya, keadaannya lebih buruk daripada orang yang meninggalkan semua shalat sunnah di malam dan siang hari.
Jumlah Shalat Lima Waktu
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah Ta’ala menetapkan kewajiban shalat dalam Kitab-Nya, lalu menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wasallam—jumlahnya, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus ditinggalkan. Penyampaian jumlah setiap shalat termasuk yang disampaikan oleh masyarakat umum kepada masyarakat umum, tanpa memerlukan riwayat khusus, meskipun riwayat khusus juga menyampaikannya tanpa perbedaan.
Mereka menyampaikan:
– Zhuhur empat rakaat tanpa mengeraskan bacaan.
– Ashar empat rakaat tanpa mengeraskan bacaan.
– Maghrib tiga rakaat, mengeraskan bacaan pada dua rakaat pertama dan merendahkan suara pada rakaat ketiga.
– Isya empat rakaat, mengeraskan bacaan pada dua rakaat pertama dan merendahkan suara pada dua rakaat terakhir.
– Subuh dua rakaat dengan mengeraskan bacaan pada keduanya.
(Imam Syafi’i berkata): Riwayat khusus juga menyampaikan jumlah shalat dan hal-hal lain yang tersebar dalam berbagai tempat.
Siapa yang Wajib Shalat?
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebutkan tentang izin dalam firman-Nya:
“Dan apabila anak-anakmu telah mencapai baligh, hendaklah mereka meminta izin.” (QS. An-Nur: 59)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kamu melihat mereka telah dewasa, serahkanlah harta mereka.” (QS. An-Nisa: 6)
Allah tidak menyebutkan kedewasaan yang mengharuskan penyerahan harta kecuali setelah mencapai usia nikah. Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan jihad, lalu Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—menjelaskan bahwa jihad diwajibkan bagi yang telah genap 15 tahun, berdasarkan hadits:
“Ibnu Umar diizinkan (berjihad) pada Perang Khandaq saat berusia 15 tahun, tetapi ditolak pada Perang Uhud saat berusia 14 tahun.”
Jika seorang anak laki-laki telah baligh (ihtilam) atau perempuan telah haid, dan akalnya normal, maka shalat dan seluruh kewajiban agama berlaku bagi mereka. Meskipun usia mereka di bawah 15 tahun, shalat tetap wajib, dan mereka diperintahkan untuk shalat jika sudah memahami. Jika belum memahami, mereka tidak seperti orang yang meninggalkan shalat setelah baligh. Mereka boleh diberi teguran ringan jika meninggalkan shalat.
Siapa yang akalnya terganggu karena sakit apa pun, kewajiban gugur berdasarkan firman Allah:
“Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Dan firman-Nya:
“Hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’d: 19)
Orang yang tidak berakal tidak terkena perintah dan larangan.
Shalat Orang Mabuk dan yang Tidak Berakal
Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (QS. An-Nisa: 43)
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Ayat ini turun sebelum larangan khamr. Bagaimanapun, baik sebelum atau setelah larangan khamr, siapa yang shalat dalam keadaan mabuk, shalatnya tidak sah karena Allah ‘Azza wa Jalla melarangnya sampai ia sadar atas apa yang diucapkan. Logisnya, shalat terdiri dari ucapan dan perbuatan.
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Menahan di berbagai tempat dan ini hanya dilakukan oleh orang yang diperintahkan oleh yang berakal. Jika seseorang shalat dalam keadaan mabuk, ia harus mengulang shalatnya ketika sadar. Jika seseorang minum minuman haram tetapi tidak mabuk, ia berdosa karena meminum yang haram tetapi tidak wajib mengulang shalat karena ia masih sadar atas apa yang diucapkannya. Orang mabuk yang tidak sadar atas ucapannya, lebih baik baginya mengulang shalat. Tingkatan mabuk paling ringan adalah ketika akalnya terganggu dalam hal-hal yang sebelumnya tidak terpengaruh sebelum minum. Siapa pun yang akalnya terganggu karena tidur berat lalu shalat tanpa kesadaran, wajib mengulang shalat ketika sadar dan hilang rasa kantuknya. Siapa yang minum sesuatu untuk menghilangkan akalnya, ia berdosa karena minum itu dan shalatnya tidak sah. Ia dan orang mabuk wajib mengqadha setiap shalat yang dilakukan saat akal mereka hilang, baik minum anggur yang mereka anggap tidak memabukkan atau anggur yang mereka anggap memabukkan terkait shalat yang telah dijelaskan. Jika mereka memulai shalat dalam keadaan sadar, lalu tidak menyelesaikan shalat sampai akal mereka terganggu, mereka wajib mengulang shalat karena yang merusak awal shalat juga merusak akhirnya. Demikian pula jika mereka bertakbir dalam keadaan tidak sadar, lalu sadar sebelum berpisah dan menyelesaikan shalat kecuali takbir dalam keadaan sadar, mereka wajib mengulang karena memulai shalat tanpa kesadaran. Tingkatan hilang akal paling ringan yang mewajibkan pengulangan shalat adalah ketika bingung, akalnya terganggu meski sedikit, lalu kembali.
Kegilaan yang Tidak Melibatkan Maksiat
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’, Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seseorang akalnya terganggu karena kerasukan jin, kegilaan, atau penyakit apa pun yang menghilangkan akalnya, kewajiban shalat gugur selama penyakit itu membuatnya tidak sadar. Ia dilarang shalat sampai sadar atas apa yang diucapkannya, karena ia termasuk orang yang tidak sadar dan dikendalikan oleh hal yang bukan dosa, bahkan ia mendapat pahala dan penghapusan dosa, insya Allah, kecuali jika ia sadar pada waktu shalat, maka ia shalat sesuai waktu itu. Begitu pula jika minum obat mengandung racun yang biasanya tidak membahayakan, ia tidak berdosa karena tidak bermaksud membahayakan diri atau menghilangkan akal. Namun, lebih baik berhati-hati dengan mengulang shalat karena ia minum sesuatu yang beracun, meski halal. Jika makan atau minum yang halal lalu akalnya terganggu, melompat hingga otaknya terguncang, atau bergantung pada sesuatu hingga otaknya terguncang dan akalnya hilang tanpa bermaksud menghilangkan akal, ia tidak wajib mengulang shalat yang dilakukan tanpa sadar atau meninggalkannya karena hilang akal. Tetapi jika melompat tanpa manfaat atau sengaja menjungkirbalikkan diri untuk menghilangkan akal, ia berdosa dan wajib mengulang semua shalat yang dilakukan atau ditinggalkan saat akalnya hilang. Jika dianggap berdosa karena sengaja menghilangkan akal atau merusak diri, ia wajib mengulang shalat yang dilakukan atau ditinggalkan saat tidak sadar. Jika tidak dianggap berdosa, ia tidak wajib mengulang kecuali sadar pada waktu shalat. Jika orang pingsan sadar dan tersisa waktu siang seukuran satu takbir, ia mengqadha Zhuhur dan Ashar, tidak mengulang yang sebelumnya seperti Subuh, Maghrib, atau Isya’. Jika sadar pada malam hari sebelum fajar seukuran satu takbir, ia mengqadha Maghrib dan Isya’. Jika sadar sebelum matahari terbit seukuran satu takbir, ia mengqadha Subuh, tetapi jika matahari telah terbit, tidak perlu. Ini karena waktu tersebut dalam keadaan uzur. Rasulullah ﷺ pernah menjamak Zhuhur-Ashar dalam perjalanan pada waktu Zhuhur dan Maghrib-Isya’ pada waktu Isya’. Ketika waktu pertama menjadi waktu kedua dalam kondisi tertentu, dan sebaliknya, maka waktu salah satunya menjadi waktu lainnya dalam kondisi tertentu. Hilangnya akal adalah uzur, dan dengan sadar ia harus shalat Ashar. Aku perintahkan untuk mengqadha karena ia sadar pada waktu shalat. Demikian pula aku perintahkan wanita haid dan orang yang baru masuk Islam seperti orang pingsan yang aku perintahkan.
Dengan keputusan, maka tidak ada yang mencukupinya kecuali ia harus menunaikannya.
Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar, ia berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menggabungkan shalat Maghrib dan Isya’.”