10. Pembukuan kitab-kitab hukum
Seluruh imam-imam yang kami riwayatkan mempunyai kitab-kitab yang dibukukan dimana kitab-kitab itu menerangkan hukum-hukum yang mereka istimbatkan. Keba nyakan orang yang membukukannya adalah murid-murid mereka atau orang yang menerima dari murid-murid mereka. Sebagiannya. dibukukan dan didiktekan oleh imamimam itu sendiri. Dan disini akan kami terangkan kitabkitab yang dipandang sebagai asas bagi madzhab-madzhab ini.
KITAB ‘ KITAB DALAM MADZHAB ABU HANIFAH
Orang pertama dari murid-murid Abu Hanifah yang menyusun buku adalah murinya yang besar yaitu Abu Yusuf. Ibnu Nadim menyebutkan dalam Al Fihrasat: “Ia memiliki beberapa kitab tentang ushul dan amali, yaitu kitab shalat, kitab zakat sampai akhir kitab-kitab Fiqh. Ia mempunyai kitab hasil dikte yang berisi tigapuluh enam kitab menurut pembagian Abu Yusuf yang diriwayatkan oleh Bisyr bin Walid seorang hakim, kitab Ikhtilaful Amshar (Perbedaan NegaraNegara Besar), kitab Ar Radd’ala Malik bin Anas (Sanggahan terhadap Malik bin Anas), risalah tentang pajak yang dikirim untuk Ar Rasyid, dan kitab Al Jami’ yang disusun untuk Yahya bin Khalid yang berisi empat puluh kitab dimana di dalamnya disebutkan perbedaan manusia dan pendapat yang diambil olehnya.
Dari kitab-kitabnya itu, yang sampai kepada kita hanyalah risalahnya tentang pajak yang ditulis untuk ArRasyid, kitab itu dicetak di Mesir. Pada permulaannya ia berkata: “Sesungguhnya Amirul mu’minin-semoga diberi kekuatan oleh Allah-minta kepadaku untuk menyusun suatu buku yang mencakup tentang pungutan hasil zakat, pajak, dan sebagainya yang mana hal itu wajib difikirkan dan dilaksanakannya. Dengan demikian Ar Rasyid menghilangkan kezaliman terhadap rakyatnya dan memperbaiki urusan mereka. Semoga Allah ta’ala memberi pertolongan kepada Amirul mu’minin, memberikan kebenaran dan bantuan atas kehendaknya itu, semoga Allah menyelamatkannya dari apa yang dikhawatirkan dan ditakutinya. Ia minta kepadaku untuk menerangkan sesuatu yang ditanyakan kepadaku untuk diamalkannya. Dan saya telah mengupas dan menerangkan hal itu”. Kitab tersebut adalah termasuk setinggi-tinggi dan sebaik-baik hasil tulisan dan kitab tersebut termasuk salah satu peninggalan dari masa itu. Dari kitab-kitabnya yang sampai kepada kami adalah kitab Ikhtilafu Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila (Perbedaan Pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila). Didalam nya disebutkan banyak masalah-masalah yang diperselsihkan oleh dua imam itu. Kadang-kadang menyetujui Abu Hanifah dan kadang-kadang ia mengambil pendapat Ibnu Abi Laila. Dan Asy Syafi’i telah mengambil kitab itu dan setelah ia meriwayatkan pendapat-pendapat imam-imam yang tiga (Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila dan Abu Yusuf), ia menyebutkan pendapat yang diunggulkannya. Boleh jadi ia memilih pendapat lain untuk dirinya selain apa yang mereka riwayatkan, dan inilah masalah-masalah dari kitab ini, sehingga jelaslah cara istimbat yang berasaskan ra’yu:
JAMINAN DARI TUKANG.
- Apabila seseorang menyerahkan kain kevada penjahit dan kain itu dibuat baju luar, lantas pemilik kain itu berkata: “Saya menyuruhmu untuk kemeja”, dan penjahit itu berkata: Kamu menyuruhku untuk baju luar”, maka Abu Hanifah berkata: “Perkataan (yang diterima ) adalah perkataan pemilik kain dan penjahit itu menanggung harga kain”, dan pendapat itu diambil oleh Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Perkataan (yang diterima) adalah perkataan si penjahit”. Seandainya kain itu hilang di tempat penjahit, maka menurut Abu Hanifah tidak ada tanggungan atasnya (penjahit -pen), atau tukang penatu atau tukang celup dan tukang-tukang lain yang serupa, kecuali pada sesuatu yang dirusakkan mereka. Ibnu Abi Laila berkata: “Mereka menanggung karena barang itu rusak di tempat mereka, meskipun mereka tidak sengaja merusakkannya”. Abu Yusuf berkata: “Mereka menanggung kecuali datang hal-hal yang diluar kemampuannya”. Asy Syafi’i berkata: ”Barang siapa yang berpendapat buruh-buruh itu wajib menanggung, maka ia mengkiaskan hal itu atas orang yang meminjam adalah menanggung” dan ia berkata: “Pinjaman itu ditanggung karena adanva manfa’at bagi orang yang meminjam, ia menanggungnya sampai menunaikannya dengan selamat”. Dan Syuraih berpendapat adanya penanggungan binatu maka seorang tukang binatu yang terbakar rumahnya menanggung, dan berkata: ” Kamu minta ganti kepadaku padahal rumahku terbakar?”, Syuraih berkata: “Bagaimana pendapatmu seandainya rumahnva terbakar, engkau biarkan ongkosmu?” Barang siapa yang berpendapat mereka tidak menanggung, maka ia mengkiaskannya pada titipan, karena telah tetap dari Atha’ bahwasanya belian berkata: “Tidak ada tanggungan (iaminan) atas pekerja dan juga tidak atas buruh”. Adapun tindakan-tindakan yang merugikan yang dilakukan oleh buruh dan tukang maka tidak ada masalah di dalamnya, mereka menanggungnya sebagaimana orang yang menerima titipan manakala ia berbuat sesuatu yang merugikan titipannya, karena jinayah (tindak pidana) itu tidak gugur dari seseorang. Demikian juga seandainya mereka sengaja maka mereka menanggung. Ar Rabi’ berkata, Asy Syafi’i berpenda pat menurut yang saya lihat bahwa para pekerja itu tidak menanggung kecuali kesalahan yang dilakukan oleh mereka dan demikian ini tidaklah masyhur karena khawatir terhadap para tukang.
RUSAKNYA BARANG DAGANGAN DI TEMPAT PEMBELI PADA MASA KHIYAR’
- Apabila seseorang membeli barang dagangan kepada seorang penjual dengan khiyar sehari, dan barang itu diambil oleh pembeli lalu barang tersebut rusak itu diambil oleh pembeli lalu barang tersebut rusak ditempat pembeli, maka Abu Hanifah berpendapat: ”Pembeli itu menanggung harganya karena ia mengambilnya atas dasar jual beli”. Demikian juga pendapat Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Ia aman dalam hal itu”. Seandainya khiyar itu ada pada orang yang membeli dan barang itu rusak ditempatnya maka wajib atas pembeli untuk membayar harga yang telah disetujui keduanya. ” Asy Syafi’i berkata: ” Ia menanggung harganya,” Sesungguhnya kami mencegah untuk menanggung harganya karena jual beli itu belum sempurna dan kami mencegah melemparkan tanggungan dari padanya karena ia mengambilnya atas dasar jual beli, dan ia mengambil ganti dari pembeli maka kami tidak menjadikan jual beli kecuali tanggungan, dan tidak ada jalan ia aman (tidak menanggung) di dalamnya, orang itu hanyalah aman (tidak menanggung) dalam sesuatu yang tidak dimilikinya dan tidak mengambil kemanfaatan baik yang segera maupun lambat-laun. Ia menahannya karena kemanfaatan pemiliknya bukan karena kemanfaatan dirinya, dalam hal itu sama saja, ia selamat (tidak menanggung) didalamnya karena seseorang itu hanyalah selamat dari sesuatu yang tidak dimilikinya dan kemanfa’atan khiyar itu tidak diperoleh oleh penjual atau pembeli, karena jual beli itu tidak sempurna sampai rusak.
JUAL BELI PAKSAAN.
- Apabila seseorang dikekang karena hutangnya dan hakim menetapkannya sebagai failit lantas didalam penjara ia menjual, membeli, memerdekakan, bersedekah atau berhibah maka Abu Hanifah berkata: ”Seluruhnya ini boleh, dan sedikitpun dari hartanya yang dalam hutang tidak dijual, dan sesudah dinyatakan muflis (pailit) tidak mengapa. Tidakkah engkau lihat kadang-kadang pada suatu hari seseorang itu pailit dan besoknya ia memperoleh harta?”. Ibnu Abi Laila berkata: ”Sesudah dinyatakan pailit ia tidak diperkenankan jual-belinya, memerdekakannya, pemberiannya dan tidak juga sedekahnya, namun ia menjual hartanya dan membayar pada orang-orang yang berpiutang”, Dan Abu Yusuf berkata seperti perkataan Ibnu Abi Laila kecuali memerdekakan (hamba sahaya). Asy Syafi’i berkata: ” Apabila ia berusaha meninggalkan orang yang menghutangi dan telah tetap (sah) atasnya atau ia mengakui sedikit dari padanya maka seyogya bagi hakim untuk menahan di tempatnya, dan ia berkata: ”’Sesungguhnya saya telah menahannya sehingga ia menunaikan hutangnya, dan saya telah menyatakan pailit”. Kemudian ia menjumlah hartanya dan menyuruhnya untuk menawarkannya kemudian hakim melaksanakan penjualannya dengan harga tertinggi sehingga ia menunaikan hutangnya. Apabila ia tidak memiliki sesuatu maka ia tetap dalam tahanan.
TENTANG SYUF’AH.
- Apabila seseorang membeli sebidang tanah yang ada satu bangunannya, kemudian orang yang berhak syuf’ah (syafi”) menuntutnya dengan syuf’ah maka Abu Hanifah berkata: ”Syafi’ itu mengambil sebidang tanah, dan pemilik bangunan merusak ba, ngunan itu”. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila memberikan tanah dan bangunan itu untuk syafi’ dan wajib atasnya untuk membayar harga bangunan dan harga tanah yang telah dibelinya jika tidak demikian, maka tidak ada syufi’ah baginya”. Asy Syafi’i berkata: “Apabila seseorang membeli sebagian dari satu bidang tanah lalu dibaginya dan dibangun, kemudian syafi’ menuntutnya dengan syuf’an, maka dikatakan — kepadanya: “Jika kamu mau bayarlah harga yang untuk membelinya, demikian juga harga bangunan itu pada hari ini. Jika kamu mau maka tinggalkanlah syuf’ah”. Hanya inilah, karena ia membangun tidak melampaui batas maka tidak berhak atas orang yang meminjamkan tanah untuk merobohkan bangunan itu.
SYUF’AH TETANGGA.
- Abu Hanifah berkata: “Syuf’ah itu bagi persekutuan yang tidak dapat dibagi, dan sesudah itu bagi persekutuan yang dapat dibagi dan hanya mempunyai satu jalan setelah itu bagi tetangga yang berdampingan. Apabila dua tetangga berkumpul dan pendampingannya sama, maka mereka sekutu dalam syuf’ah. Ibnu Abi Laila sependapat dengan Abu Hanifah sehingga Amirul mu’minin Abul Abbas menulis kepadanya menyuruh untuk memberi keputusan tentang syuf’ah hanya kepada persekutuan yang tidak dapat dibagi. Maka ia mengambil pendapat itu dan memberi keputusan syuf’ah hanya kepada persekutuan yang tiaak dapat dibagi. Ini adalah pendapat penduduk Hijaz dan pendapat Asy Syafi’i. “
MENDAMAIKAN SUATU PENGINGKARAN.
- Abu Hanifah berkata:”Mendamaikan itu boleh apabila siterdakwa mengingkari” . Demikian itu pula pendapat Abu Yusuf, dan Ibnu Abi Laila tidak memperbolehkannya. Abu Hanifah berkata: “Bagaimana hal ini tidak boleh?. Saya memperbolehkan perdamaian atas suatu pengingkaran, Jika terjadi pengakuan, maka tidak ada perdamaian”. Asy Syafi’i berkata: ”Qiyas terhadap perdamaian ini batal dari beberapa segi, kami hanya memperkenankan perdamaian dalam harga halal yang dikenal dan diperbolehkan oleh jual-beli. Apabila terjadi demikian, maka demikian itulah menurut kami. Menurut orang yang memperbolehkan perdamaian, maka perdamaian itu merupakan pengganti dan pengganti itu hanya dari sesuatu yang sesuai antara pengganti dan yang diganti hanya dalam hal ini terdapat atsar yang pasti, padahal atsar itu lebih utama dari pada qiyas. Dan saya tidak lebih mengetahui terhadap atsar yang pasti sepertinya.
TENTANG TANGGUNGAN DAN PEMINDAHAN (HIWALAH).
- Abu Hanifah mengatakan tentang tanggungan bagi peminjam karena hutangnya, mana yang dikehendaki oleh penanggung atau pemilik modal. Dalam hiwalah tidak boleh mengambil sesuatu yang telah dipindahkan karena ia telah melepaskannya, itulah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Tidak berhak baginya untuk mengambil harta pokok pada keduanya, dimana sekiranya penanggung itu menerimanya, maka ia telah melepaskan diri dari harta, kecuali harta itu telah berada di pihak penanggung atas harta pokok. Jika masing-masing dari keduanya itu menanggung terhadap temannya, maka baginya untuk mengambil mana yang dikehendaki dari perkataan keduanya. Asy Syafi’i berkata: ”Bagi orang yang hutang untuk mengambil mana yang dikehendaki dari keduanya dalam tanggungan yang mutlak. Jika memakai syarat maka bagi peminjam agar mengambil penanggung atas apa yang disyaratkan baginya bukan sesuatu yang tidak disyaratkan baginya. Dalam pemindahan (hiwalah) adalah masuk akal bahwasanya hiwalah itu memindahkan hak seseorang atas orang lain. Apabila hiwalah itu telah berpindah dari seseorang, maka tidak boleh untuk kembali atasnya, kecuali dengan memperbaharuji pengembalian hak itu atasnya.
TENTANG HUTANG
- Apabila seseorang dalam sakit wafatnya mengakui hutang dan ia mempunyai hutang dengan beberapa saksi yang membenarkannya, namun ia tidak dapat memenuhinya, maka Abu Hanifah berkata: Dimulai dengan hutang yang sudah diketahui kebenarannya. Jika hartanya lebih , maka untuk hutang yang telah diakuinya dalam sakit secara singkat. Tidakkah anda lihat bahwa ketika ia sakit ia tidak memiliki hartanya sedikitpun dan ia tidak boleh berwasiat, karena hutang yang ada padanya, demikian juga pengakuannya terhadap hutang. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Hutang itu sesuai dengan apa yang diakuinya, sesuatu yang diakuinya ketika sehat dan sakit adalah sama”. Itu adalah pendapat Asy Syafi’i. Ia berkata: “Tidak boleh kecuali ini, atau membatalkan ikrar seperti ikrar orang yang dikekang. Ada kalanya ia menduga bahwa ikrarnya wajib baginya kemudian orang-orang yang memberinya hutang tidak dapat dibayar, ini adalah suatu penyelewengan hukum (hukum yang dibuat-buat). Oleh karena itu hendaknya dimulai dengan membayar hutang di kala sehat dan ikrar (pengakuan) di kala sehat. Jika ia mempunyai hutang di kala sakit dengan adanya saksi maka hutang jtu supaya dibayar, jika tidak ada saksi maka tidak di bayar. Jika seseorang itu mempunyai hutang di kala sehat dan sakitnya maka ia tidak boleh berwasiyat dan tidak diwaris sebelum orang-orang yang mempunyai hak (orang-orang yang memberi hutang) dibayar haknya. Sekali waktu berupa hutang yang dikembalikan oleh ahli warisnya dan sekali waktu oleh orang orang yang diberi wasiyat, sedang yang diluar hutang maka tidak dibayarnya.
- Apabila seorang ahli waris mengakui hutang dan bagiannya cukup untuk memenuhi hutangnya itu, maka Abu Hanifah berkata: ”Orang yang berhutang itu minta dipenuhi dari waris yang mengakui bahwa seluruh hartanya dari bagiannya, karena sesungguhnya tidak ada warisan baginya sehingga hutang itu ditunaikan”, Itu adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berpendapat: ”Hutang yang wajib dibayar olehnya adalah menurut kadar warisan yang menjadi bagiannya. Seorang saksi dari kalangan mereka adalah menduduki orang yang mengakui, jika mereka itu dua orang, maka persaksiannya dapat diterima dalam seluruh wariszn menurut perkataan keduanya, apabila keduanya adil. Jika keduanya tidak adil, maka hal itu pada bagian keduannya, menurut pendapat yang diterangkan oleh Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila. Asy Syafi’i menceriterakan dua pendapat dari teman-temannya, sedang ia tidak menyebutkan pendapatnya sendiri.
SUMPAH.
- Apabila seseorang mendakwa dengan dakwaan terhadap seseorang dan membawa saksi, maka hakim tidak menyumpah terhadap pendakwa. Ibnu Abi Laila berkata: ”Sumpah itu atas pendakwa serta saksi-saksi, jika tidak ada saksi, maka ia tidak disumpah dan sumpah itu dikenakan pada si terdakwa. Jika ia berkata: “Saya mengembalikan sumpah itu pada pendakwa, maka sumpah itu tidak dikembalikan atasnya kecuali ia menuduhnya, maka dikembalikan atasnya”. Asy Syafi’i berkata: ”’Pendakwa serta dua orang saksinya tidak disumpah, jika ia tidak mempunyai saksi, maka si terdakwa kami sumpah. Jika ia bersumpah maka ia terlepas (dari tuduhannya itu). Jika ia enggan, maka kami katakan kepada pendakwa: “Kami tidaklah memberikan sesuatu kepadamu karena keengganannya, kecuali dalam keengganannya itu kamu bersumpah, Jika kamu bersumpah maka kami beri, jika kamu enggan maka kami tidak akan memberikan kepadamu”.
TENTANG WARISAN.
- Apabila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan saudara seayah-seibu dan kakek, maka Abu Hanifah berkata: “Seluruh hartanya untuk kakek, karena ia menduduki kedudukan ayah dalam seluruh warisan”. Ibnu Abi Laila berkata: ”Separoh untuk saudaranya dan separoh untuk kakek”. Itu pendapat Asy Syafi’i. Ia berkata: Dua pendapat itu bukanlah qiyas, hanya saja melemparkan saudara lakilaki karena terdapat kakek, adalah lebih jauh menurut qiyas dari pada menetapkan saudara bersama kakek. Sebagian orang yang sependapat dengan pendapat ini berkata: ”’ Kami lemparkan saudara laki-laki dengan adanya kakek dikarenakan tiga hal (yaitu):
- Dengan kakek kamu menghijab (menghalangi sehing ga tidak mendapatkan warisan – pen) terhadap anak anak ibu.
- Kedudukan ayah, di mana kamu tidak mengurangi dari 1/6.
c, Kedudukan ayah di mana kamu panggil kakek itu ayah.
Asy Syafi’i berkata sebagai jawaban terhadap pendapat tersebut: ”Kami menghijab anak-anak ibu karena ada hadits, bukan karena mengqiyaskan kakek kepada ayah. Kami menghijab anak-anak ibu karena anak perempuan dari anak laki-laki ke bawah. Meskipun kedudukan ini sesuai dengan kedudukan ayah, namun kami tidak memutuskan kepadanya, karena kami dan engkau tidaklah menempatkan kedudukan ayah di tempat lain. Adapun kami tidak menguranginya dari 1/6 , sesungguhnya kami tidak menguranginya karena adanya hadits dan kami tidak mengurangi kakek dari 1/6. Bagaimana pendapatmu tentang kami dan kamu, untuk menempatkan kakek di tempat ayah jika penempatan itu sesuai pada suatu keadaan?
Adapun panggilan ayah, kita telah menetapkan bahwa antara kita dan nabi Adam dapat memanggil ayah. Jika hal itu demikian dan di kalangan mereka tidak ada ayah yang lebih dekat, maka ia tidaklah mewarisi. Demikian juga seandainya dia kafir sedang orang yang menerima warisan seorang muslim, atau orang yang membunuh dan orang yang diwarisi itu orang yang dibunuh atau orang yang mewarisi itu seorang merdeka dan ayahnya adalah hamba. Kami mewarisi mereka hanya karena ada hadits, bukan karena nama. Kemudian jelaslah pendapat bahwa terhalangnya saudara adalah lebih jauh menurut qiyas. Ia berkata: ””’ Bagaimana pendapatmu apabila kakek dan saudara laki-laki menuntut warisan mayit? Dua orang itu dekat dengan satu kerabat, Kakek berkata: ”Saya adalah ayah dari ayah si mayit” dan saudaranya berkata: “Saya adalah anak laki-laki ayah si mayit”, Jika ayah si mayit diperkirakan mayit, maka yang lebih utama untuk menerima warisan adalah anaknya lelaki, bukan ayahnya karena anak laki-laki itu berhak 5/6 harta tinggalan dan ayah berhak 1/6 nya. Maka bagaimana saudara terhalang oleh kakek? Dan saudara laki-laki apabila meninggal adalah lebih utama dengan banyaknya warisan dari pada kakek. Oleh karena itu seyogyanya apabila dikehendaki hijab maka saudara laki-laki menghijab kakek, meskipun menurut qiyas terdapat suatu pengertian bahwa saudara laki-laki itu mendapat 5/6 dan kakek mendapat 1/6. Kemudian ia berkata: “Saudara-saudara laki-laki itu mendapat bagian yang pasti (furudh) dalam kitabullah dan sunnah nabi-Nya, dan tidak demikian halnya kakek. Jadi menghijab saudara laki-laki dengan kakek adalah melemparkan yang lebih berat dengan yang lebih lemah dari segala segi.
PERSELISIHAN TENTANG BARANG—BARANG RUMAH TANGGA
- Apabila seseorang meninggal dunia meninggalkan isteri dan barang-barang di rumahnya, maka Abu Hanibah berkata: ”’Barang-barang orang laki-laki untuk orang-orang laki-laki dan barang-barang orang perempuan untuk isterinya. Barang-barang yang untuk orang laki-laki dan perempuan, maka itulah sisa dari keduanya. Demikian juga apabila bercerai, maka sisanya untuk suami, itu adalah pendapat Abu Yusuf. Kemudian sesudah itu ia berkata: ”’Bagi isteri hanyalah sesuatu yang dipersiapkannya. Dalam seluruh hal itu sepertiitu,, karena ada seorang pedagang laki-laki yang memiliki harta benda orang perempuan pada dagangannya, atau tukang atau tukang gadai pada orang lain, Ibnu Abi Laila berkata: ” Apabila seorang laki-laki meninggal atau menceraikan, maka seluruh barangbarang rumah tangga adalah milik laki-laki, kecuali baju rantai, kerudung dan lain-lain, melainkan ada saksi atas tuduhan bahwa sesuatu itu adalah milik salahsatunya. Seandainya ia menceraikan di rumahnya, maka urusan itu demikian juga menurut pendapat mereka seluruhnya. Asy Syafi’i berkata: ” Dalam seluyuh perbedaan pendapat jika ada saksinya, maka sesuatu itu baginya. Jika ada saksi, maka qiyas yang tidak dapat ditolak oleh seseorang secara ijma’ bahwa seseorang yang membuat bangunan dan ia tidak diharta benda ini di tangan keduanya bersama-sama dua perdua sebagaimana dua orang berselisih tentang harta benda di tangan keduanya seluruhnya, maka di antara keduanya mendapat separoh sesudah sumpah.
PINJAMAN
- Apabila seorang laki-laki meminjamkan tanah kepada beri batas waktu, kemudian terlintas bagi orang tersebut untuk mengeluarkannya sesudah ia membuat bangunan itu, maka Abu Hanifah berkata: ”’ Dikatakan kepada orang yang membangun: ”Rusaklah bangunanmu”. Itu adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Orang yang meminjamkan tanah itu mengganti harga bangunan dan bangunan itu untuk orang yang memberi pinjaman. Jika ia telah memberi batas waktu kemudian ia mengeluarkan sebelum batas waktunya maka ia mengganti harga bangunan”. Ini menurut pendapat mereka seluruhnya, demikian juga Asy Syafi’i.
KEPUTUSAN
- Apabila seorang hakim di kantornya menetapkan suatu pengakuan dan persaksian para saksi, kemudian hal itu dihapuskan dan tidak menyebutkannya, maka Abu Hanifah berkata: “Tidak seyogya baginya untuk memperkenankannya”. Ibnu Abi Laila memperkenankannya dan itulah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila tidak memperkenankannya sehingga ia menetapkan disisinya, meskipun ia menyebutkannya. Asy Syafi’i berkata: ”Apabila seorang hakim di kantornya mendapatkan tulisan yang tidak dIraqukan lagi bahwa tulisan itu tulisannya atau tulisan sekretarisnya dengan pengakuan seorang kepada orang lain atau tetapnya hak dengan suatu segi yang tidak ada hak baginya untuk memutuskannya sehingga ia menyebutkannya atau ia menyaksikan di sisinya, sebagaimana tidak boleh apabila ia mengetahui tulisannya dan tidak menyebutkan saksi untuk menyaksikannya.
TENTANG NIKAH
- Abu Hanifah berkata: “Mas kawin seorang wanita adalah sebesar mas-kawin saudara-saudaranya perempuan dan anak-anak perempuan pamannya”. Ini adalah pendapat Abu Yusuf. Ibnu Abi Laila berkata: “Orang orang perempuan itu adalah ibu dan bibinya”. Asy Syafi’i berkata: Orang-orang perempuan itu adalah orang-orang perempuan ‘ashabahnya, yaitu saudara perempuannya, anak-anak perempuan pamannya dan bukan ibu serta bibi-bibinya apabila tidak ada anakanak perempuan ‘ashabahnya dari laki-laki”
- Apabila seorang laki-laki menjodohkan anak perempuannya yang masih kecil dengan anak laki-laki saudaranya yang masih kecil pula yang dalam asuhannya, maka Abu Hanifah berkata: Perkawinan itu ja-iz ( diperbolehkan) dan anak tsb. boleh memilih apabila telah dewasa”. Itu adalah pendapat Abu Yusuf, kemudian ia mencabut pendapat memilih itu. Ibnu Abi Laila berkata: ”Hal itu tidak boleh sehingga ia dewasa” Asy syafi’i berkata: ” Yang menikahkan anak-anak kecil hanyalah bapak atau kakek jika tidak ada ayah. Apabila salah seorang selain mereka (ayah dan kakek) menikahkan mereka, maka nikah itu di-fasakh dan keduanya tidak ada hak waris mewarisi”.
Sebagian karya Abu Yusuf yang juga sampai kepada kami ialah kitab Sair Al Auza’i, suatu kitab yang di dalam nya terdapat masalah-masalah tentang jihad di mana dua imam yaitu Abu Hanifah dan Al Auza’i berbeda pendapat. Kebanyakan ia membela Abu Hanifah rahimahullah. Asy Syafi’i telah meriwayatkan kitab itu dalam Al Um dan pada setiap akhir masalah ia mengiringi dengan pendapatnya. Biasanya ia membantu Al Auza’i dan jawabannya kebanyakkan berpedoman kepada As Sunnah. Inilah di antara beberapa masalahnya agar anda mengetahui bagaimana cara mereka mengeritik dalil-dalil As Sunnah.
- Abu Hanifah ra. berkata: ” Pengendara kuda diberi dua bagian, yaitu sebagian untuknya dan sebagian untuk kudanya dan pejalan kaki diberi satu bagian”. Al Auza’i berkata: “Rasulullah saw. memberi bagian kepada pengendara kuda dua bagian dan bagi pemiliknya satu bagian. Orang-orang muslim sesudah Rasulullah saw. tidak berbeda pendapat dalam hal itu. Abu Hanifah berkata: “Kuda perang dan kuda angkutan adalah sama”. Al Auza’i berkata: ”lmam-imam kaum muslimin pada masa dahulu sampai meraja-klanya fitnah adalah tidak memberi bagian pada kuda angkutan”, Abu Yusuf berkata: “Abu Yusuf berkata: ” Abu Hanifah tidak suka untuk mengutamakan binatang atas seorang muslim dan dalam pembagian itu ia tidak suka menjadikan bagian binatang lebih banyak dari pada bagian seorang muslim. Adapun kuda angkutan, maka saya kira tidak seorangpun yang tidak memahaminya dan tidak dapat membedakan antara kuda peyang dan kuda angkutan. Termasuk bahasa Arab yang terkenal dan bangsa Arab tidak berbeda pendapat untuk menamakannya “al khail=kuda” Barangkali seluruh kuda angkutan atau sebagian besarnya, dan padanya ada kuda campuran juga. Dan termasuk yang kita ketahui bahwa dalam peperangan, kuda angkutan adalah lebih tepat dari pada kebanyakan kuda perang dalam lembutnya belas kasihan, terpimpin dan kebaikannya dari hal-hal yang dapat menunjang tujuan.
Atas pendapat inilah Al Auza’i berpendapat dan para imam muslimin yang terdahulupun berpendapat demikian ini, sebagaimana disifatkan dari penduduk Hijaz (mereka memutuskan dengan keputusan, maka mereka ditanya: “Dari siapa?” mereka menjawab: ”Dengan inilah sunnah telah berjalan). Barang kali hal itu adalah keputusan yang dibuat oleh pekerja pasar atau pekerja lain atau pendapat sebagian syaikhsyaikh Syam yang tidak merasakan wudhu”, tasyahud dan ushul Fiqh, maka Al Auza’i berkata: ” Dengan inilah sunnah berjalan”. Abu Yusuf berkata: “Telah sampai kepadaku dari Rasulullah saw. lewat salah seorang sahabat beliau bahwasanya beliau memberi bagian kepada pengendara kuda tiga bagian dan bagi pejalan kaki satu bagian”. Pendapat inilah yang diambil oleh Abu Yusuf. Asy Syafi’i rahimahullah berpendapat dan pendapat itu adalah apa yang dikatakan oleh Al Auza’i tentang penunggang kuda, bahwa penunggang kuda adalah tiga bagian dan dalam hal ini ia meriwayatkan hadits Ibnu Umar. Adapun pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari Abu Hanifah bahwasanya ia berkata: Saya tidak mengutamakan binatang dari pada seorang muslim, seandainya dalam hal ini tidak ada hadits dari Nabi saw. niscaya dikalahkan hujjahnya sehingga dapat diselisihi karena kata-katanya: “saya tidak mengutamakan binatang atas seorang muslim” terdapat kekeliruan dalam dua segi, yaitu: Bahwasanya apabila beliau memberikan dua bagian karena kudanya, maka hal itu mengutamakan atas seorang muslim, karena seorang muslim hanya diberi satu bagian. Seyogya baginya untuk tidak menyamakan binatang dengan seorang muslim. Pengertiannya jalah pengendara kuda itu diberi satu bagian dan dua bagian karena kudanya, sebab Allah ‘azza wa jalla ( Yang Maha Mulia dan Maha Besar) memesankan untuk mempergunakan kuda, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang…..
Apabila Rasulullah memberi mereka dengan apa yang telah kami sebutkan, maka dua bagian kuda itu juga untuk penunggangnya, bukan untuk kudanya, karena kuda itu tidak dapat memiliki sesuatu bahkan penung:gangnyalah yang memilikinya dengan nyata serta pembiaannya dalam peperangan dan sesuatu yang karenanya Rasullah saw. memberikan bagian tersebut. Adapun Al Auza’i mengutamakan kuda atas unta sebenarnya kata-kata Al’khail adalah mengumpulkan keduanya. Sesungguhnya Abu Sufyan bin ‘Uyainah menceriterakan kepada kami dari Al Aswad bin Qais dari Ali bin Agmar berkata: ”Kuda di Syam kuat lari dan pada hari itu saya jumpai kuda dan pada suatu pagi saya jumpai unta, Ibnu Mundzir bin Abu Hamshah Al Hamdani mengutamakan (melebihkan bagian) kuda atas unta dan ia berkata: ”Saya tidak menjadi kan apa yang saya jumpai sebagai sesuatu yang belum dijumpai dan hal itu sampai kepada Umar kemudian ia berkata: “Ibunya mencarikan nafkah pada orangOrang yang ditinggalkan, sungguh saya telah memperingatkannya dan lewatkan apa yang dikatakan”. Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Tentunya hal ini mereka meriwayatkan beberapa hadits, seluruhnya atau sebagiannya lebih shahih dari pada sesuatu yang dipergunakan hujjah oleh Abu Yusuf. Jika sesuatu yang dibuat hujjah itu hujjah, maka hujjah itu di atasnya, tetapi masalah ini terhenti. Pendapat yang memandang adanya persamaan. antara kuda Arab, kuda angkutan dan kuda campuran seandainya kami menetapkan seperti ini niscaya kami tidak menyelisihinya.
- Abu Hanifah berkata: “Apabila seorang laki-laki pada waktu di kantor berjalan kaki dan masuk ke daerah musuh untuk berperang dengan berjalan kaki, kemudian ia membeli kuda untuk berperang, dan waktu dibaginya rampasan perang ia sebagai pengendara kuda, maka ia hanya mendapat bagian orang yang berjalan kaki”. Al Auza’i berkata: Pada masa Rasulullah saw. kaun muslimintidak mempunyai kantor dan Rasulullah saw. memberi bagian kepada kuda dan berturut-turut para imam kaum muslimin demi’kian juga.” Abu Yusuf berkata: ”Pada pendapat yang disebutkan oleh Al Auza’i tidak ada hujjah dan kami juga memberi bagian kepada pengendara kuda sebagaimana ia sebutkan. Apakah ada atsar yang disandarkan kepada orang-orang yang terpercaya bahwa Rasulullah saw. memberi bagian kepada seorang laki-laki yang berperang bersama beliau dengan berjalan kaki seperti bagian pengendara kuda kemudian ia meminjam atau membeli seekor kuda lantas berperang pada sesuatu peperangan, demikianlah ia menafsirinya. Banyak lagi hal-hal yang sedemikian itu. Bagaimana pendapatmu seandainya ja berperang dengan seekor kuda pada sebagian hari kemudian ia menjualnya kepada orang lain lantas ia berperang sesaat, apakah masing-masing dari mereka diberi bagian seperti bagian penunggang kuda, karena kudanya itu hanyalah seekor saja? Ini tidak lurus. Perkara itu didasarkan atas kepayahan dikala dia memasukinya. Barang siapa yang masuk ke daerah musuh dengan menunggang kuda, maka dia sebagai penunggang dan barang siapa yang masuk dengan berjalan kaki, maka dia sebagai pejalan. Menurut catatan di kantor-kantor semenjak Umar bin Khathab ra. sampai saat ini. Asy Syafi’i rahimahullah berpendapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al Auza’i. Abu Yusuf menduga bahwa sunnah berjalan menurut apa yang ia katakan, ia mencela Al Auza’i karena menyatakan As sunnah telah berjalan tanpa riwayat dan khabar yang shahih, kemudian ia berkata: “Urusan itu adalah sebagaimana yang telah dijalankan oleh kantor sejak masa Umar, ia tidak menyelisihi bahwa kantor itu baru diadakan pada masa Umar. Pada masa Rasulullah saw. tidak ada kantor demikian pula pada masa Abu Bakar dan permulaan Khalifah Umar dan sesungguhnya Umar baru membuat kantor ketika banyak harta benda.
As sunnah itu hanyalah bagi Rasulullah saw, bahwasanya beliau memberi bagian kepada pengendara kuaa tiga bagian dan bagi pejalan kaki satu bagian.
Dalil ini adalah menurut pendapat yang dikatakanoleh Al Auza’i, karena menurutnya yang diberi bagian hanyalah orang yang datang dalam perang. Maka apabila ia tidak datang ke peperangan dengan berkuda, maka bagaimana kudanya diberi bagian padahal dirinya sendiri saja tidak diberi. Adapun pendapatnya, apabila orang ini berperang satu hari dan oranglain satu hari, apakah masing-masing dari mereka diberi bagian dengan bagian orang yang berkuda?, Maka ia tidak diberi karena kudanya pada dua tempat sebagaimana ia diberi seandainya berperang pada dua tempat, kecuali ada rampasan dimana sedikitpun ja tidak diberi pada dua tempat, karena bagian itu untuk pengendara kuda yang memilikinya, bukan untuk orang yang meminjam kuda sehari dua hari. ” Apabila pemilik itu mendatangi peperangan dengan berkendara kuda, seandainya kami membagi di antara mereka dengan bagian orang yang berkuda, maka kami tidak menambahnya atas bagian kuda sebagaimana seandainya kami memberi bagian bagi orang yang berjalan dan meninggal maka ahli warisnya tidak ditambah dari satu bagian. Demikian juga seandainya bagiannya dikeluarkan dibagi-bagi untuk unta. Sebagian orang yang berpendapat dengan madzhabnya berkata: ”Sesungguhnya saya memberi bagian kepada pengendara kuda apabila ia memasuki daerah musuh dengan berkuda, karena perongkosan yang dipikulnya di negeri Islam”. Kami berkata: Bagaimana pendapat-: mu jika ia membeli kuda sesaat sebelum kantor menugaskan ke negeri musuh yang terdekat, ia berkata: ”ja menjadi penunggang kuda, apabila ia telah ditetapkan di kantor”. Kami berkata: Bagaimana pendapatmu seandainya seorang bangsa Khurasan atau Yaman menuntun seekor kuda dari negerinya, sehingga ia sampai ke negeri musuh lantas kudanya mati sebelum da’wah itu berakhir?” Ia berkata: ”Ia tidak diberi bagian orang yang berkuda”. Maka kami katakan : ”Perongkosan dua orang ini dalam kuda telah dihapuskan, padahal dua orang itu lebih banyak biayanya dari pada orang yang membeli kuda sesaat sebelum kantor menetapkan.
- Abu Hanifah berpendapat tentang seseorang yang mem bawa dua ekor kuda, ia hanya diberi salah satunya. Al Auza’i berkata: “Dua ekor kuda itu diberi bagian dan kuda yang lebih banyak dari dua ekor kuda tidak diberi bagian”. Itu pendapat ahli ilmu dan itulah pula yang dilaksanakan oleh imam-imam. Abu Yusuf berkata: “Tidak sampai kepada kami dari Rasulullah saw dan tidak pula dari salah seorang sahabat bahwa beliau memberi bagian kepada dua ekor kuda, kecuali satu hadits. Sedang satu hadits menurut kami adalah syadz dan tidak kami ambil. Adapun perkataannya: “Dengan itulah para imam melaksanakan, dan atasnya pula pendapat ahli ilmu”. Ini adalah seperti pendapat penduduk Hijaz dan demikianlah jalannya Assunah. Ini tidak diterima dan juga tidak dimengerti. Sebagian imam yang mengamalkan ini dan seorang alim yang mengambil pendapat ini sehingga kami lihat, apakah dia ahli untuk dinilai bahwa ja dapat dipercaya ilmunya atau tidak. Bagaimana ia memberi bagian untuk dua ekor kuda dan tidak memberi bagian kepada tiga ekor kuda, dari segi apa? Bagaimana ia memberi bagian kepada kuda yang diikat di rumahnya pada hal ia tidak ikut berperang, yang berperang hanyalah orang lain, maka anda mengetahui apa yang kami sebutkan dan apa yang dikatakan dan dipikirkan oleh Al Auza’” Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Saya menjaga terhadap orang yang saya jumpai dari teman-teman kami yang kamu mendengar sendiri dari padanya, bahwa mereka tidak memberi bagian kecuali untuk seekor kuda dan inilah yang saya ambil. Sufyan menceriterakan kepada kami dari Hisyam bin Ibnu Urwah dari Yahya bin Ubbad bahwa Abdullah bin Zubair bin Awwam ra. diberi rampasan dengan empat bagian, sebagian untuk dirinya, dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk orang yang mempunyai hubungan kerabat, yaitu bagian ibunya Shafiyah, pada perang Khaibar.
Mak-hul meriwayatkan bahwa Zuhair datang dalam perang Khaibar, lantas Rasulullah saw. memberi kepadanya lima bagian, sebagian untuk dirinya dan yang empat bagian untuk dua ekor kudanya. Maka Al Auza’i berpendapat untuk menerima hadits ini dari Mal:-hul secara mungathi’. Hisyam bin Urwah merasa loba seandainya beliau memberi bagian kepada Ibnu Zubair dan kepada dua kudanya untuk mengatakan dengan pendapat itu. Maka samar!ah apabila Mak-hul menyelisihinya bahwa hadits itu lebih shahih dari pada hadits ayahnya dengan kelobaannya atas penambahan itu meskipun haditsnya magthu’ dan tidak dapat menegakkan suatu hujjah, maka hadits itu seperti hadits Mak-hul. Tetapi kami pergi kepada ahli peperangan dan kami katakan: “sesungguhnya mereka tidak melihat Nabi saw. memberi bagian kepada dua ekor kudanya dan mereka tidak berbeda pendapat bahwa Nabi saw. mendatangi perang
Khaibar dengan tiga ekor kuda pribadi untuk menghimpun, menjemput dan dinaiki pengobar semangat padahal beliau hanya mengambil untuk seekor kuda saja.
Seluruh kitab itu atas jalan yang baik ini, dan menampakkan kepada kita suatu gambaran yang jelas tentang jalan yang ditempuh oleh imam-imam dalam beristimbath dan mengeritik. Adapun seseorang laki-laki yang kitabnya terpelihara oleh kami, yaitu kitab-kitab tentang madzhab Abu Hanifah dan murid-muridnya yang sependapat dengannya, yaitu imam Muhammad bin Hasan dan memperoleh keistimewaan atas orang lain dalam meriwayatkan madzhab-madzhab itu
Kitab-kitabnya ada dua macam, yaitu:
- Beberapa kitab yang diriwayatkan dan terkenal sehingga jiwa dapat tenang (memuaskan hati) dan kitabkitab tersebut dikenal dengan kitab-kitab yang zhahir riwayatnya.
- Kitab-kitab lain yang tidak memperoleh kepercayaan seperti itu dan akan kami kupas kedua-duanya.
KITAB—KITAB YANG ZHAHIR RIWAYATNYA.
- Kitab-kitab Al Jami’ush Shaghir.
Yaitu kitab yang di dalamnya di-kumpulkan masalahmasalah yang diriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, oleh muridnya Isa bin Aban dan Muhammad bin Sima’ah. Masalah-masalah ini dalam 40 (empat puluh) buah kitab Fiqh yang permulaannya kitab Shalat dan tiap-tiap kitabnya tidak dibuat bab-bab. Hakim Abu Thahir Muhammad bin Muhammad Ad Dabbas mengambilnya, membuat bab-bab dan mengurutkannya untuk memudahkan para pelajar dalam menghapal dan mempelajarinya. Muhammad meriwayatkan masalah-masalah kitab ini dari Abu Yusuf dari Abu Hanifah dan di dalamnya tidak tercantum cara pengambilan dalil (istidal).
- Al Jerni’ul Kabir.
Kitab ini seperti yang tertera di atas hanya saja lebih panjang (luas) lagi.
- Kitab Al MaLsuth.
Kitab ini dikenal sebagai kitab induk dan inilah kitab terpanjang yang ditulis oleh Muhammad rahimahullah. Di dalamnya ia mengumpulkan beribu-ribu masalah yang jawabannya diistimbathkan oleh Abu Hanifah, sebagiannya adalah masalah yang diselisihi oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Sebagian dari kebiasaannya dalam kitab ini adalah ia memulai dengan atsar-atsar yang tersiar dalam kalangan mereka kemudian baru disebutkan masalahnya. Dan sering juga ia menutupnya dengan masalah-masalah yang diselisihi oleh Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila. Orang yang meriwa“Yatkan dari padanya adalah Ahmad bin Hafsh salah seorang muridnya dan dia tidak mengupas ta’lil (alasan) hukum.
- Kitab As Sairus Shaghir.
Yaitu kitab yang berisikan masalah-masalah jihad.
- Kitab As Sairul Kabir.
Yaitu karangannya yang terakhir dalam Fiqh. Oleh karena itu Abu Hafsh Ahmad bin Hafsh tidak meriwayatkan nya seperti meriwayatkan kitab-kitabnya, karena kitab itu ditulis sesudah Abu Hafsh pindah dari Iraq. Oleh karena itu ia tidak menyebut nama Abu Yusuf rahimahullah sedikit. pun, karena dia mengarangnya sesudah terselipnya kebenci:. an antara keduanya . Setiap kali ia membutuhkan kepada riwayat hadits dari padanya ia katakan: Orang yang ter. percaya menceriterakan kepadaku”, itulah maksudnya manakala ia menyebutkan kata-kata tersebut. Orang yang meriwayatkan buku ini dari Muhammad, adalah Abu Sulaiman Al Jauzajani dan Isma’il bin Tsawabah.
Pada permulaan abad ke empat Abu Fadhl Muhammad bin Ahmad Al Marwazi yang terkenal dengan Hakim Asy Syahid telah jaya dan mengarang kitab yang berjudul ”?Al Kafi” di dalamnya ia menyebutkan pengertian-pengertian kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang diuraikan dengan secara panjang lebar dan dihilangkan masalah-masalah yang berulang. Kitab itu adalah kitab yang baik dan tercatat dalam perpustakaan di Mesir.
Sebagian kitab-kitab Muhammad yang sampai kepada kami adalah kitabnya “Al Rad’ala Ahli Madinah (Sanggahan terhadap penduduk Madinah). Imam Asy Syafii telah meriwayatkan kitab ini dalam Al Um-dan setiap masalahnya dikomentari baik menolong penduduk Madinah atau menyetujui pendapat Abu Hanifah. Kitab itu mengungkapkan tentang penyelisihan Abu Hanifah terhadap penduduk Madinah. Inilah salah satu masalahnya.
BAB SESEORANG YANG MENAHAN ORANG KARENA ORANG LAIN SEHINGGA ORANG LAIN TERSEBUT MEMBUNUHNYA.
Abu Hanifah ra. berkata : “Seseorang yang menahan/ menangkap orang karena orang lain, lantas orang tersebut dihantamnya dengan senjata sampai meninggal di tempatnya, maka tidak ada gishash bagi orang yang menahan, namun gishash itu atas orang yang membunuhnya. Tetapi orang yang menahan itu disiksa dengan siksaan dan dima – sukkan ke dalam penjara. Penduduk Madinah berpendapat, jika seseorang menahan orang lain dan mengetahui ada orang yang mau membunuhnya, maka keduanya dibunuh semua.
Muhammad bin Hasan berkata: ”Bagaimana orang yang menahan itu dibunuh, padahal ia tidak membunuh?”, Apabila ia menahannya dan ia berpendapat bahwa orang lain tidak bermaksud membunuhnya, lantas kamu membunuh orang yang menahan? Jika mereka mengatakan: ”Tidak, kami membunuhnya hanya apabila ia telah menduga bahwa ada orang yang mau membunuhnya”. Dikatakan kepada mereka: Kami tidak melihat adanya gishash menurut pendapatmu. Wajib atas orang yang menahan kecuali dengan dugaannya, pada hal dugaan itu salah dan benar. Bagaimana pendapatmu akan seseorang yang menunjukkan orang lain, kemudian orang tersebut membunuhnya, Orang yang menunjukkan dan berpendapat bahwa la akan membunuhnya, jika ia mampu atasnya, apakah kamu buruh orang yang menunjukkan sebagaimana kamu membunuh orang yang menahan? Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menyuruh orang lain untuk membunuh lalu ia membunuhnya, apakah pembunuh dan orang yang memerintahkan pembanuhan itu dibunuh”, Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menahan seorang wanita karena laki-laki lain sehingga ia menzinainya, apakah keduanya terkena had atau orang yang melakukan perbuatan itu, jika keduanya muhshan, apakah dirajam semuanya? Bagi orang yang berpendapat bahwa orang yang menahan itu dibunuh, seyogyanya ia berkata: ”dua orang itu dikenakan had semuanya”. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang memberi minum khamr kepada laki-laki lain, apakah keduanya dikenakan had khamr seluruhnya ataukah khusus orang yang minum saja? Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyuruh orang Jain untuk membuat kabar dusta pada orang orang lain, kemudian ia membuat kabar dusta, apakah keduanya dikenakan had, atau khusus bagi penu kas? Seyogyanya kamu berpendapat keduanya dikenakan had. Isma’il bin Iyasy Al Hamsha menceriterakan kepada kami, ia berkata: “Abdul Malik bin Juraij menceriterakan kepada kami dari Atha bin Abu Rabah dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwasannya ia berkata tentang seseorang yang membunuh seseorang dengan sengaja dan orang lain menahannya, maka ja berkata: “Orang yang membunuh itu dibunuh dan orang lain itu dipenjara sampai meninggal”.
Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Allah memberi had kepada manusia atas perbuatan itu sendiri dan Allah menjadikan gishash padanya, Allah berfirman:
Artinya:
Diwajibkan atas kamu gishash berkenan dengan orang-orang yang dibunuh”.
Allah berfirman:
Artinya :
……Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya …..
Bagi orang yang diberi khithab dengan ayat ini akan mengetahui bahwa kekuasaan wali dari orang yang terbunuh adalah atas pembunuh itu sendiri ”’ Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda:
Artinya:
”Barang siapa yang ikut membunuh seorang muslim maka dia terkenagishash (karena perbuatan) tangan nya”,
Allah tabaraka wa ta’ala berfirman:
Artinya:
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…”
dan Allah berfirman:
Artinya: ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak membawa empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduk itu) delapan puluh kali dera, ….
Saya tidak pernah menjumpai seorangpun dari hamba Allah ta’ala kena had karena menanggung perbuatan orang lain atau perkataan orang lain. Seandainya orang yang menahan orang karena orang lain, kemudian orang itu membunuhnya, maka pembunuh itu dibunuh dan orang yang menahan itu disiksa. Dan tidak boleh menurut hukum Allah ta’ala, apabila pembunuh itu dibunuh karena pembunuhannya, kemudian engkau bunuh orang yang menahan karena penahannnya itu, sebab penahanan itu bukanlah membunuh, barang siapa yang membunuh orang yang menahan ini, maka ia telah menyelewengkan hukum Allah ‘azza wajalla, karena Ailah ta’ala berfirman:
Artinya:
”Diwajibkan atas ‘kamu gishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”.
Qishash adalah memperlakukan terhadap seseorang seperti apa yang diperbuatnya, manakala ia membunuh maka dibunuh, manakala ia menahan dan penahanan itu ma’shiyat yang tidak ada gishashnya, maka ia dita’zir baik penahanannya itu untuk dibunuh atau tidak.
Seandainya penahanan itu menempati tempat pembunuhan, yaitu apabila orang yang menahan itu berniat untuk terbunuhnya (orang yang ditahan) maka seyogyabaginya-meskipun ia tidak membunuh – untuk dibunuh, karena ia melakukan perbuatan yang menempati kedudukan membunuh karena niatnya. Tetapi hal itu pada garis besar: nya menyelisihi pendapat teman kami Malik bin Anas dan Muhammad bin Hasan. Pada umumnya apa yang dimasukkan oleh Muhammad bin Hasan atas teman kami adalah sudah termasuk dan lebih banyak dari padanya.
Namun Muhammad tidak menerima untuk diperlakukan di tempat lain lantas hal itu termasuk dalam kebanyakan celaannya pada teman kami, maka seluruh apa yang dihujjahkannya pada teman kami di tempat ini adalah hujjah atasnya.
Jika seorang berkata: ” Apakah itu?”, maka dikatakan: ”ja menduga bahwa seandainya suatu kaum menyamun, maka dibunuh dan kaum penolongnya sekiranya mereka mendengar suara meskipun mereka tidak melihat tindakan pembunuhan itu, maka orang-orang yang membunuh itu dibunuh karena pembunuhan mereka, dan pertolongan itu karena mereka membunuh dengan kekuatan mereka”. Asy Syafi’i rahimahullah berkata: Saya katakan kepada Muhammad bin Hasan atau saya riwayatkan sedikit tentang ini, namun ia tidak menyebutkan suatu riwayat, saya katakan kepadanya: ” Bagaimana penadapatmu tentang seorang laki-laki kuat yang mau dibunuh oleh seorang laki-laki lemah lalu ja katakan kepada laki-laki lain yang kuat: ”Seandainya bukan karena kelemahanku niscaya Fulan saya bunuh”, Kemudian laki-laki tersebut berkata: “Saya ikatkan ia untukmu”. Lalu ia mengikatnya dan duduk di dadanya dan diangkat jenggotnya sehingga tampaklah tempat sembelihannya, dan memberikan pisau kepada orang yang lemah, lalu ia menyembelihnya. Kemudian kamu menduga bahwa kamu membunuh orang yang menyembelih karena dialah pembunuhnya dan kamu tidak .melihat. kepada pertolongan ini yang menjadi sebab pembunuhan itu dengan alasan sebab itu bukan perbuatan, Allah hanyalah menuntut kepada manusia atas suatu perbuatan. Apakah itu berupa pertolongan atas pembunuhan, atau pertolongan atas membunuh orang yang lewat di jalan, kemudian kamu berkata tentang pertolongan, seandainya mareka tidak mendengar suara, meskipun mereka melihat, dan menguatkan terhadap kaum itu, maka bagi kaum itu hanyalah ta’zir. Barang siapa yang memberi had bagimu sekiranya mereka mendengar suara, maka ia berkata: “Temanmu bersamaku”, Ia berkata: ”Seperti inilah mereka membunuh terhadap penolong” Saya berkata: “Dengan ini tegaklah hujjah atas orang lain”. Jika perkataanmu tidak menjadi hujjah, apakah perkataan teman kami yang kamu jumpai seperti ini hujjah? ”, Ia berkata: ”Kamu mengatakannya”, saya berkata: “Tidak, saya tidak menjumpai seorang pun yang memikirkan perkataannya. Barang siapa yang mengatakannya ia keluar dari hukum Al Quran dan Qiyas yang diterima akal dan banyak dari apa yang saya hujjahkan itu menetapinya maka seandainya saya berhujjah tentang sesuatu atau mencelanya maka saya selamat dari padanya.
Asy Syafi’i rahimahullah herkata dan meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwasanya ia berkata : “Orang yang membunuh itu dibunuh, dan orang yang menahan dipenjara sampai mati dan ia tidak memenjarakannya sehingga tidak mati”. Ia menyelisihi terhadap apa yang dihujjahkannya.
Seluruh kitab itu menurut jalan ini serta kuatnya hujjah-hujjah pada dua pendapat. Kitab itu layak untuk dibaca oleh ahli syari’at. Dan Muhammad mempunyai kitab yang berjudul ”Kitabul Atsar” yang dipergunakan untuk berhujjah oleh imam-imam Hanafiyah.
Ia mempunyai beberapa kitab di antaranya kitab yang dikenal dengan An Nawadir, yaitu kitab yang tidak diriwayatkan dari jalan yang memberikan ketenteraman, yaitu Amali Muhammad fil Fiqh yang dikenal dengan Kaisaniyat, kitab Az Ziyadat, kitab Ziayaduz Ziadat, kitab An Nawadir riwayat Ibnu Rustam. Muhammad rahimahullah, adalah salah seorang yang meriwayatkan Muwatha’ Malik bin Anas di mana ia mengakhiri hadits-haditsnya dan pengamalannya menurut Abu Hanifah, baik menyetujui maupun menyelisihinya dan ia menerangkan sebab-sebab adanya perbedaan itu.
Sebagian penulis-penulis dari murid Abu Hanifah rahimahullah adalah Hasan bin Ziyad Al Lu’lui yang menyusun kitab Al Mujarrad li Abi Hanifah. Riwayatnya, adalah kitab Adabul Qadhi, Kitabul Khishal, Kitab Nafagat, Kitabul Kharaj, Kitabul Faraidh dan Kitab Washaya.
Riwayat-riwayat Al Hasan bin Ziyad kurang dipegangi dari pada riwayat-riwayat Muhammad bin Hasan karena orang yang kedua ini dipercaya penuh.
Sebagian dari mereka adalah Isa bin Aban Murid Muhammad bin Hasan yang menyusun Kitab Hajji, Kitab Khabarul Wahid, Kitab Al Jami”, Kitab Itsbatul Qiyas dan Kitab Ijtihadur Ra’yi,
Sebagian dari mereka adalah Hilal bin Yahya yang terkenal dengan Hilal Ar Ra’yu dan Abu Abdullah Muhammad bin Sama’ah, yaitu salah seorang yang meriwayatkan kitab-kitab Muhammad bin Hasan.
Sebagian dari mereka adalah Ahmad bin Umar bin Muhair yang terkenal dengan Al Khishaf dan ia telah mengarang banyak buku dan sebagian karangannya yang terbaik adalah kitabnya tentang Waqaf yang masyhur dan selalu terpakai.
Periode ini ditutup oleh seorang imam besar dan pemgarang besar yaitu Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al Azdi Ath Thahawi Al Misri. Ia mengarang kitab Ikhtilaaful Fuqaha, sebuah kitab yang besar yang tidak selesai yang sudah memuat sekitar 80 kitab menurut urutan kitab perbedaan pendapat tentang perwalian, kitab Syarah Musykili Ahaditsi Rasulillah saw. sekitar 1000 lembar dan kitab syarah Ma’anil atsar. Kami telah menelaah kitab itu dan kami dapati kitab itu merupakan kitab yang disusun oleh seorang yang penuh dengan ilmu dan mampu menghafal sunnah Rasulullah saw. disertai dengan sempurnanya penelaahan atas pendapat-pendapat fuqaha, dan sandaran pendapat mereka. Ia mempunyai kitab-kitab lain yang secara sempur. na disebutkan oleh Ibnu Nadim dalam Al Fihrasat.
‘Kitab-kitab tersebut ditulis pada periode ini dan sebagai permulaannya adalah kitab-kitab Muhammad rahimahullah. Kitab-kitab itulah asas madzhab Abu Hanifah dan teman-temannya dan kitab-kitab yang menyibukkan ulama Hanafiyah pada periode berikutnya dengan memberi syarah dan keterangan, menyambut dan memelihara nya.
KITAB—KITAB MADZHAB MALIK BIN ANAS IMAM MADINAH
Malik bin Anas rahimahullah menulis kitabnya yang berjudul Al Mugatha’ dan banyak orang yang menerimanya lalu meriwayatkannya, hanya saja dalam riwayat mereka terdapat perbedaan dengan berlebih dan berkurang. Riwayat Muwatha yang termasyhur adalah riwayat Yahya bin Yahya Al Laitsi. Itulah naskah yang dibaca dan dicetak di Mesir. Di sana ada Muwatha yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan dan kitab itu dicetak di India.
Sebagian dari kebiasaan Malik dalam kitab itu adalah pada pendahuluannya (maudhu’) menyebutkan hadits hadits yang ada di dalam maudhu’ itu, kemudian atsaratsar shahabat dan tabi’in dan sedikit dari selain penduduk Madinah dan kadang-kadang menyebutkan pengamalannya atau sesuatu yang disepakati di Madinah. Inilah contoh dari kitabnya:
TALAKNYA ORANG SAKIT
Malik dari Ibnu Syihab dari Thalhah bin Abdullah bin ‘Auf berkata dan ia orang yang terpandai tentang hal itu, dan dari Abu Salamah bin Abdur Rahman bin-‘Auf bahwa Abdur Rahman bin ‘Auf menceraikan isterinya untuk sela manya, padahal ia dalam keadaan sakit, lalu Utsman bin Affan memberikan warisan kepadanya setelah habis ‘iddahnya.
Malik dari Abdullah bin Al Fadhl dari A’raj bahwa Utsman bin Affan memberikan warisan kepada isteri-isteri dari anak laki-laki Mukmil padahal ia telah menceraikan isteri-isterinya itu di kala sakitnya.
Bahwasanya Malik mendengar Rabi’ah bin Abu Abdur Rahman berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa isteri Abdur Rahman bin ‘Auf minta cerai kepadanya (Abdur Rahman), lalu ia berkata: ”Jika kamu haidh dan suci maka mintalah izin kepadaku dan ia tidak haidh sehingga Abdur Rahman bir ‘Auf sakit. Ketika ia telah suci maka saya mengizinkannya, lalu ja menceraikan isterinya untuk selamanya atau talak yang tidak ada sisa lagi baginya dan ketika itu Abdur Rahman sedang sakit. Maka Utsman bin Affan memberi warisan kepadanya setelah habis ‘iddahnya”
Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Hibban berkata : ”’Kakekku Hibban mempunyai dua orang wanita (isteri) dari suku Hasyim dan suku Anshar. Ia menceraikan wanita Anshar itu dalam keadaan menyusui dan setelah satu tahun kakekku meninggal dan wanita itu tidak haidh. Maka ia berkata : ”Saya mewarisinya karena saya tidak haidh”, Lantas keduanya minta putusan kepada Utsman bin Affan, lalu ia memutuskan kepadanya dengan mewarisi , Lalu wanita Hasyim itu mencela Utsman bin Affan dan Utsman berkata : Ini adalah perbuatan anak pamanmu, ia menunjukkan kami dengan ini, ia maksudkan Ali bin Abi Thalib .
Bahwasanya Malik mendengar Ibnu Syihab berkata : “Ketika ia mentalak tiga terhadap isterinya dalam keadaan dirinya sakit, maka isterinya itu mewarisinya. Malik berkata : “Jika ia menceraikan dalam keadaan dirinya sakit sebelum menggaulinya, maka wanita itu mendapat setengah mas kawin dan mendapat warisan serta tidak ber’iddah, Jika ia telah menggaulinya kemudian menceraikan, maka wanita itu mendapat seluruh mas kawin dan warisan, dalam hal ini menurut kami sama saja antara gadis dan janda.
Isi Muwatha’ ‘ yaitu kumpulan-kumpulan hadits yang shahih menurut Malik rahimahullah adalah sekitar 500 hadits.
Adapun masalah-masalah yang dijawabnya, maka te. lah dibukukan oleh murid-muridnya. Orang yang pertama kali menulis hal tersebut adalah Asad bin Furat yang membukukan soal-soal yang diambilnya dari Muhammad bin Hasan seorang Fagih Iraq. Sebagaimana .disebutkan oleh Asyaikh, ‘Ilyasi dalam masyarahi matan Khalil. Kemudian ditanyakan kepada Abdur Rahman bin Qasim dan dijawabnya menurut pendapat Malik. Ia membawa tulisan itu ke Qairawan lalu Sahnun menulisnya. Dan disebut Asadiyah, kemudian Sahnun membawanya kepada Ibnul Qasim tahun 188 H. dan diajukan kepadanya, lalu masalah2nya diperbaiki dan dibawa pulang ke Qairawan tahun 191 H. Pada mulanya karangan itu menurut apa yang dikumpulkan oleh Asad bin Furat dan dibuat bab-bab menurut urutan pengarangnya dan masalah-masalahnya tidak diurutkan dan tidak diberi kata pembukaan. Kemudian Sahnun menyusun sebagian besarnya dan membuat hujjah bagi seba gian masalah-masalahnya dengan atsar yang diriwayatkan dari Muwatha’ Ibnu Wahab dan lain-lainnya. Dan masih bersisa karena Sahnun belum sempurna dalam pekerjaan ini (dari Qadhi Iyadh). Inilah contoh dari karangannya :
SEMBAHYANG (SHALAT) DENGAN MA’MUM AH!l KEBAIKAN DAN AHLI BID’AH
(Ia berkata) . “Malik berkata: ”Kaum itu mendahulu kan orang yang paling pandai di kalangan mereka apabila keadaannya baik”. Ia berkata : “Sesungguhnya usia itu mempunyai hak”, maka saya katakan kepadanya : ”Bacakanlah kepada mereka”. Ma ia berkata : Kadang-kadang yang membaca adalah orang yang tidak …… — ia maksudkan dengan perkataannya : “Orang yang tidak …..” adalah orang tidak disukai keadaannya — Malik berkata : ”Lebih utama untuk mendahului naik kendaraan adalah pemilik kendaraan itu, dan lebih utama untuk mengimami (shalat) adalah pemilik rumah apabila mereka shalat di rumahnya kecuali mereka mengizinkan dan saya melihat ia berpendapat seperti itu dan dipandangnya baik”. Saya berkata kepada Ibnul Qasim : Bagaimanakan pendapat Malik tentang orang shalat yang baik dalam membaca al Qur’an di belakang ( ma’mum) kepada orang yang tidak baik dalam membaca Al Qur’an”. Ia berkata : “Malik berkata : ”Apabila imam shalat bersama-sama dengan suatu kaum dan .imam itu meninggalkan bacaan, maka shalatnya batal, demikian juga orang yang dibelakangnya (ma’mum) dan mereka mengulangi meskipun waktunya habis”. Ia berkata : ”Orang yang tidak baik (bacaannya -pen.) menurut saya adalah lebih buruk dari pada itu, karena itu tidak seyogyai bagi seseorang untuk ma’mum kepada orang yang tidak baik bacaan Al Qur’annya.”Ta berkata : ” Saya bertanya kepada Malik tentang shalat dengan ma’mum imam yang berfaham gadariyah”. Ia berkata : ”Jika anda yakin akan hal itu, maka janganlah shalat di belakangnya”. Saya berkata : ”Tidak pula Jum’ah?” Ia berkata : “Tidak pula Jum’ah, Jika kamu yakin”. Ia berkata : “Menurut pendapatku, jika anda takut dan khawatir kepadanya atas dirimu, maka shalatiah bersamanya dan kamu ulangi dengan shalat Zhuhur“, Malik berkata : ”Ahli hawa nafsu adalah seperti ahli qadaiyah”, Ia berkata : Saya melihat apabila dikatakan kepada Malik tentang orang yang ma’mum kepada ahli bid’ah agar ja mengulangi shalatnya, maka ia diam dan tidak menjawabnya”. Ibnul Qasim berkata : “Dalam hal itu saya berpendapat untuk mengulanginya seketika”. Ia berkata : ”Malik ditanya tentang seorang laki-laki yang ma’mum laki-laki lain yang membaca dengan qiraah Ibnu Mas’ud, Malik berkata : ”Ia keluar , meninggalkan dan tidak ma’mum kepadanya”. Ia berkata : “Malik menyatakan bahwa ahli bid’ah itu tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikah, tidak diberi salam, tidak dima’mumi dan tidak ‘disaksikan jenazahnya”. Ia berkata, Malik mengatakan : “Barang siapa yang shalat di belakang seorang laki-laki yang membaca dengan qiraah Ibnu Mas’ud, maka hendaklah ia keluar dan meninggalkannya”. Saya berkata : Apakah wajib atasnya . untuk mengulangi apabila ia shalat di belakangnya?” menurut pendapat Malik : Ibnul Qasim berkata : ” Apabila ia berkata kepadaku ia keluar, maka saya berpendapat untuk mengulangi dalam waktu itu dan sesudahnya”. Masalahmasalah yang dibukukannya mencapai 23.000 masalah”.
Pembukuan ini adalah asas ilmu di kalangan pengikut Malik.
Sebagian orang yang menulis dari kalangan pengikutpengikut Malik adalah Abdullah bin Abdul Hakam Al Mishri yang mengarang Al Mukhtasharul Kabir yang dengannya ia bertujuan mengikhtisarkan kitab-kitab Asyhab, Mukhtashar Ausath dan Mukhtashar Shaghir. Yang kecil (Mukhtashar shaghir – pen.) adalah ringkasan -.atas kitab Al Muwatha”. Dan yang pertengahan (Al Mukhtasharul Ausath Pen.) ada dua macam, yaitu yang diriwayatkan Al Qarathisi dengan mendapat tambahan atsar, berbeda dengan yang dari riwayat puteranya Muhammad dan Sa’id bin Hisan. Dikatakan bahwa masalah-masalah Al Mukhtasharul Kabir ada 18.000 masalah, dalam Al Ausath ada 4.000 masalah dan dalam Ash Shaghir ada 1200 masalah.
Sebagian dari mereka adalah Ashbagh bin Al Faraj yang menyusun kitab Ushul dan kitab yang didengar dari Ibnul Qasim sebanyak dua puluh dua kitab.
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam mengarang kitab Ahkamul Qur’an, kitab Al Watsa’ig wasy syuruth, kitab Adabul Qudhah dan kitab Ad Da’wa wal Bayyinat.
Muhammad bin Abdul Hakam Al Utbi al Qurthubi mengarang Al Mustakharajah. Di dalamnya kebanyakan berisi riwayat-riwayat yang tertolak dan masalah-masalah yang syadz (menyimpang) dan ia selalu mendatangkan masalah-masalah yang asing, apabila masalah itu mengherankan maka ia berkata : “Masukanlah dalam Al Mustatakhrajah”. Ibnu Wadhdhah berkata : ”Dalam Al Mustakhrajah terdapat banyak kesalahan”. Muhammad bin Abdul Hakam berkata : “Saya lihat sebagian besarnya adalah dusta dan masalah-masalah yang tidak berpangkal”, Abu Muhammad bin Hasan Azh Zhahiri menyebutkan bahwa Al Mustakhrajah di kalangan ahli ilmu di Afrika mendapat derajat yang tinggi dan membubung.
Yahya bin Umar telah mengikhtisharkannya dalam kitabnya yang disebut Al Muntakhaba
Muhammad bin Sahnun mengarang kitabnya yang terkenal dengan Al Jami’ dimana ia mengumpulkan berbagai fak ilmu dan Fiqh. Di dalamnya berisi beberapa kitab sekitar 60 buah kitab.
Muhammad bin Ibrahim bin Abdus mengarang sebuah kitab yang disebut Al Majmu’ah ala madzahibi Malik wa ashhabihi yang tergesa-gesa meninggal sebelum sempurna (selesai).
Termasuk pengarang yang terbesar pada periode ini ada dua orang., yaitu :
– Yang pertama di Masyrik, yaitu Al Qadhi Isma’il bin Ishak yang menyusun kitabnya Al Mabsuth fil Fiqh, dan menyusun kitab tentang tangkisan terhadap Muhammad bin Hasan, Abu Hanifah dan Asy Syafi’i.
– Yang kedua di Mesir, yaitu Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al Iskandari yang terkenal dengan Ibnul Mawaz. Kitabnya dalam Fiqh adalah sebesar-besar kitab yang dikarang oleh orang-orang Madzhab Malik, masalah2 yang paling shahih dan pembahasan yang luas. dan menyeluruh. Al Qabisi telah mendahulukan. nya atas seluruh kitab-kitab induk.
KITAB — KITAB DALAM MADZHAB MUHAMMAD BIN IDRIS ASY SYAFI’I
Asyafi’i rahimahullah adalah imam yang dikenal bahwa dirinyalah yang mengarang kitab-kitab yang menjadi pegangan pengikut-pengikut madzhabnya. Dialah yang mendiktekan kitab-kitabnya kepada murid-muridnya di Iraq dan Mesir. Kitab-kitabnya di Iraq adalah madzhab gadim (lama) dan kitab-kitabnya di Mesir adalah madzhabnya yang lurus dan baru (madzhab jadid – Pen.). Kitabkitab itu adalah :
- Risalah fi Adillatil Ahkam, suatu risalah ‘Ushul yang telah kami sebutkan di muka.
- Kitab Al Um, yaitu kitab yang menyendiri, yang pada masanya tidak ada kitab yang membanjiri, gaya bahasanya yang sangat rendah, teliti dalam mengungkapkapkan dan kuat dalam diskusi. Kitab itu bukanlah mengungkapkan masalah-masalah yang berturut-turut seperti halnya dalam kitab-kitab Muhammad, namun . kitab tersebut menyebutkan masalah dan dalilnya, serta banyak pula menyebut orang-orang yang menyelisihinya dan menegakkan hujjah atasnya. Demikianlah , kitab itu disebut kitabnya yang gadim. Inilah contoh dari kitabnya.
PEMBAHASAN TENTANG SHALAT
Pada permulaannya ia meriwayatkan tiga buah hadits dengan sanad-sanadnya :
- Dari Abdullah bin Mas’ud berkata : ”Kami sebelum datang ke tanah Habsyi mengucapkan salam atas Rasulullah saw. padahal beliau sedang shalat, lalu beliau menjawab ( salam – pen.) di kala shalat itu. Ketika kami pulang dari tanah Habsyi saya menghadap kepada Rasulullah untuk memberi salam. Saya mendapatkan beliau sedang shalat, lalu saya ucapkan salam atas beliau, namun beliau tidak menjawab lantas saya mengambil tempat yang tidak dekat dan tidak pula jauh. Saya duduk sehingga setelah beliau selesai shalat, saya mendatangi beliau lalu beliau bersabda : ”Sesungguhnya Allah membuat pembaharuan dalam urusan-Nya dengan sesuatu yang dikehendaki-Nya. Dan sebagian dari sesuatu yang diperbaharui oleh Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar adalah agar kamu tidak bercakap-cakap dalam shalat“.
- Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. berpaling dari dua (rakaat – pen.). Dzul Yadain berkata kepada beliau : “Apakah engkau menggashar shalat atau lupa wahai Rasulullah ?. Rasulullah saw. bersabda: “Apakah Dzul Yadain benar ?: Orang-orang berkata : ”ya”, Maka Rasulullah saw. berdiri dan shalat, dua rakaat yang akhir kemudian beliau mengucapkan salam, lalu beliau bertakbir dan sujud seperti sujudnya atau lebih panjang kemudian bangun. Dan disebutkan dalam riwayat lain oleh Abu Hurairah bahwa shalat itu adalah shalat Ashar.
- Dari Imran bin Hushain berkata : Nabi saw membaca salam sesudah tiga rakaat dari shalat Ashar kemudian beliau bangun dan masuk kamar, lalu Khirbaq seorang laki-laki yang dermawan berdiri dan memanggil : ”Wahai Rasulullah, apakah engkau menggashar shalat?” Lalu beliau keluar dengan marah seraya menyandang selendang lalu bertanya lantas diberi tahu, maka beliau shalat satu rakaat yang ketinggalan, lalu beliau membaca salam. Asy Syafi’i berkata : ”Terhadap semua ini kami mengambilnya”. Lalu kami katakan : Jika hal itu suatu kemestian bahwa seseorang tidak boleh bercakap-cakap dalam shalat, dimana ia ingat bahwa dirinyasedang shalat : Jika ia mengerjakan (bercakap-cakap – pen.) maka shalatnya batal dan wajib atasnya untuk memulai shalat yang lain karena hadits Ibnu Mas’ud. Kemudian saya mengetahui orang yang menyelisihi dari orang yang saya jumpai di kalangan ahli ilmu. Barang siapa yang berbicara dalam shalat sedang ia berpendapat bahwa dirinya telah menyempurnakan ‘shalatnya atau lupa bahwa ia sedang shalat lalu ia bercakap-cakap, maka shalatnya sah dan sujud sahwi, karena adanya hadits Dzul Yadain. Sesungguhnya orang yang berbicara dalam keadaan ini, berbicara dan berpendapat bahwa dirinya tidak sedang shalat, padahal berkata di luar shalat itu mubah (diperbolehkan). Hadits Ibnu Mas’ud tidaklah bertentangan dengan Dzul Yadain. Hadits Mas’ud itu membicarakan (tentang shalat – pen.) secara global dan haditz Dzul Yadain menunjukkan bahwa Rasulullah saw. membedakan antara perkataan orang yang sengaja dan perkataan orang yang lupa bahwa ia sedang shalat, atas dia berpendapat bahwa dirinya telah menyempurnakan shalat.
As Syafi’i berkata : Sebagian manusia menyelisihi kami tentang berbicara dalam shalat dan ia mengumpulkan hujjah-hujjah seperti apa yang dikumpulkan atas kami dalam masalah lain kecuali sumpah serta saksi dan dua masalah lain. Saya mendengar ia berkata : “Hadits Dzul Yadain adalah hadits yang shahih dari Rasulullah saw. dan tidak ada hadits lain yang datang lebih masyhur dari padanya dan dari hadits binatang itu sia-sia, dan ia lebih shahih dari pada hadits binatang itu sia-sia, tetapi hadits Dzul Yadain itu mansukh (dihapus hukumnya – pen.). Lalu saya tanyakan : ”Apakah yang menasakhnya?”. Ia menjawab : “Hadits Ibnu Mas’ud“, Saya berkata kepadanya : ”Yang menaskh adalah apabila dua buah hadits bertentangan satu dengan yang lain“, Ia berkata : ”Ya”. Saya berkata kepadanya : ”Ataukah anda tidak hafal tentang hadits Ibnu Mas’ud ini, yaitu bahwasanya Ibnu Mas’ud lewat atas Nabi saw. di Mekkah. Ia berkata : ”Saya menjumpai beliau di halaman Ka’bah dan Ibnu Mas’ud pindah ke tanah Habsyi lalu kembali ke “Mekkah kemudian hijrah ke Madinah serta menyaksikan (ikut) perang Badar“. Ia berkata ‘ Ya”. Lalu saya berkata kepadanya : ” Apabila kedatangan Ibnu Mas’ud pada Nabi saw. sebelim hijrah kemudian Imron bin Hushain meriwayatkan bahwa Nabi saw. membawa anak onta di belakang masjidnya. Tidaklah anda tahu bahwa Nabi saw. shalat dalam masjid beliau kecuali sesudah beliau hijrah dari Mekkah?” Ia berkata : Ya”. Saya berkata : Hadits Imron bin Hushain menunjukkan kepadamu bahwa hadits Ibnu Mas’ud tidaklah menasakh (menghapus) hadits Dzul Yadain dan Abu Hurairah berkata : “Rasulullah saw. shalat bersama kami“. Ia berkata : ‘ “Saya tidak tahu apakah pertemanan Abu Hurairah itu“. Maka saya berkata : “Kami telah memulai dengan mencukupkan hadits Imron yang tidak sulit bagimu. Abu Hurairah hanya menemani Rasulullah saw. di Khaibar padahal Abu Hurairah berkata : ”Saya menemani Nabi saw. di Madinah tiga atau empat tahun (Ar Rabi’ meragukan). Nabi saw. menetap di Madinah selama sepuluh tahun selain yang beliau tinggal di Mekkah setelah datangnya Ibnu Mas’ud dan sebelum Abu Hurairah menemui beliau. Apakah jaiz (diperkenankan) hadits Ibnu Mas’ud itu menghapus terhadap apa yang sesudahnya. Ia berkata : ”Tidak”. Asy Syafi’i berkata dan saya berkata kepadanya : ”Seandainya hadits-hadits Ibnu Mas’ud itu bertentangan dengan hadits Abu Hurairah dan Imron bin Hushain sebagai. mana anda katakan, dan percakapan yang disengaja padahal anda mengetahui bahwa anda sedang shalat, apakah hal itu seperti apabila anda bercakap-cakap sedang anda berpendapat bahwa anda telah menyempurnakan shalat atau lupa. Hadits Ibnu Mas’ud itu dinasakh (mansukh). Berbicara di dalam shalat itu mubah tetapi tidak menghapus (nasikh) dan tidak dihapus (mansukh), tetapi seginya adalah apa yang telah saya sebutkan yaitu tidak boleh bercakap-cakap dalam shalat dimana ia ingat bahwa orang yang berbicara itu di dalam shalat. Jika demikian maka shalatnya rusak. Apabila lupa lalu berbicara dan ia berpendapat bahwa pembicaraan itu diperbolehkan (mubah) karena ia berpendapat bahwa dirinya telah selesai shalat atau lupa bahwa dirinya sedang shalat maka shalatnya tidak rusak. Lalu ia berkata : ”Engkau sekalian berpendapat bahwa Dzul Yadain terbunuh di Badar, lalu saya katakan : ”Jadikanlah ini sekehendakmu. Bukankah shalat Nabi saw. di Madinah menurut hadits Imran bin Hushain sedang Madinah itu adalah sesudah hadits Ibnu Masud di Mekkah?”. Ia berkata : ”’Ya”. Saya berkata : ”Hal itu tidak untukmu, apabila hujjah itu ada yang anda kehendaki terhadap apa yang anda sifati, padahal Badar itu terjadi 6 bulan 10 hari sesudah datangnya Nabi saw, di Madinah. Ia berkata : ” Apakah Dzul Yadain yang kamu ambil riwayatnya terbunuh di Badar?”. Saya berkata : Tidak” . Imron menyebutnya Khirbag, dan Qashirul Yadain atau Madidul Yadain berkata : ” Orang yang terbunuh di Badar adalah Dzusy Syimalain meskipun keduanya itu Dzul Yadain, nama itu adalah nama yang menyamai nama sebagaimana nama-nama itu bersamaan sebagian orang yang bermadzhab dengan madzhabnya berkata: ” Kami mempunyai hujjah yang lain”. Kami berkata : “Apakah itu ?” Ia berkata : “Sesungguhnya Mu’awiyah bin Abdul Hakam menceriterakan bahwa ia berbicara daJam shalat, maka Nabi saw. bersabda :
Artinya :
“Sesungguhnya shalat itu, tidak pantas di dalamnya terdapat sedikit saja dari perkataan Anak Adam (manusia)”,
Lalu saya katakan kepadanya : “Ini membahayakan anda dan tidak bermanfaat bagi anda”. Dia hanya meriwayatkan sama seperti perkataan Ibnu Mas’ud dan wajahnya seperti apa yang telah saya sebutkan.
Ia berkata : “Jika saya katakan : “Dia menyelisihinya” Maka saya katakan : ”Hal itu tidak untukmu, dan saya katakan kepadamu : “Jika urusan Mu’awiyah sebelum urusan Dzul Yadain, maka dia terhapus (mansukh) dan wajib bagimu untuk memperbaiki terhadap yang lain. Jika ia bersamaan atau sesudahnya maka ia telah membicarakan apa yang saya ceritakan, dan ia tidak tahu bahwa berbicara dalam shalat itu tidak diharamkan dan ia tidak menceritakan bahwa Nabi saw. menyuruhnya untuk mengulangi shalat, maka hal itu seperti hadits Dzul Yadain atau lebih banyak karena ia berbicara dengan sengaja dalam perkataannya, hanya saja ia menceriterakan bahwa ia berbicara dengan tidak tahu bahwa berbicara dalam shalat itu tidak diharamkan. Di-sini ia mengatakan dalam haditsnya sebagaimana saya sebutkan. Saya katakan : ”Saya berkata bahwa hal itu seperti hadits Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits Dzul Yadain”. la berkata : ”Anda menyelisihi ketika anda mencabangkan hadits Dzul Yadain”. Saya katakan : “Kami menyelisihi pada pangkalnya”. Ia berkata : “Tidak , akan tetapi pada cabangnya (furu’)” . Saya katakan : “Anda menyelisihi — dalam nashnya dan barang: siapa yang menyelisihi nash menurut anda keadaannya lebih buruk dari pada orang yang pandangannya lemah, Ialu keliru dalam mencabangkan”. Ia berkata : ”Ya , dan masing-masingnya tanpa alasan”, Lalu saya katakan kepadanya : “Sesungguhnya anda menyelisihi cabangnya bahkan tidak sehurufpun dari pangkalnya, maka atasmulah apa yang menimpamu dalam menyelisihinya dan dalam apa yang anda katakan bahwa kami menyelisihi sesuatu yang kami tidak menyelisihinya. Maka saya tanyakan kepadamu sehingga saya mengatakan, apakah saya menyelisihinya atau tidak?” Saya katakan : “Tanyakanlah”. Ia berkata : “Apakah pendapatmu tentang imam yang berpaling dari dua rakaat, lalu sebagian orang yang shalat bersamanya berkata : ” Anda telah berpaling dari dua rakaat”. Kemudian dia bertanya kepada orang-orang lain dan mereka menjawab : ”Benar”. Saya katakan : ”Ma’mum yang memberi tahukan dan orang:orang yang menyaksikan kebenarannya, padahal mereka ingat bahwa imam itu tidak menyempurnakan shalatnya, maka shalat mereka adalah rusak (fasid)”. Ia berkata : ”Anda meriwayatkan bahwa Nabi saw. melaksanakannya dan anda katakan : “Orang-orang yang hadir bersama beliau telah melaksanakannya, meskipun anda tidak menyebutnya dalam hadits?”. Saya katakan : ”Ya”. Ia berkata : “Anda telah menyelisihi beliau”. Saya katakan : ”Tidak”. Tetapi keadaan imam kita berbeda dengan keadaan Rasulullah saw”. Ia berkata : Dimana perbedaan dua keadaan, yaitu tentang shalat dan imam?”. Saya katakan kepadanya : “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menurunkan fardhufardhunya kepada Kasulullah saw, fardhu demi fardhu. Dia memfardhukan atas beliau akan sesuatu yang belum difardhukan-Nya dan Dia meringankan sebagian fardhu-Nya”. Ia berkata – ”Ya” . Saya katakan : “Kita tidak ragu-ragu, anda dan setiap muslim bahwa Rasulullah saw. hanya keluar (dari shalat – pen.) manakala beliau berpendapat bahwa beliau telah menyempurnakan shalat”. Ia berkata :”Ya”, Ketika beliau mengerjakannya, Dzul Yadain tidak mengetahui, apakah shalat itu digashar karena perintah Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar, apakah Rasulullah saw. lupa dan ia menjelaskan masalahnya ketika ia bertanya : ”Apakah engkau menggashar shalat atau lupa?”, la berkata : ”Ya”, Saya katakan : ”Nabi saw. tidak menerima (mencukupkan) dari Dzul Yadain, karena beliau bertanya kepada orang lain”. la berkata : ”Ya”’. Ia berkata : “Ketika beliau bertanya kepada orang lain mengandung pengertian bahwa beliau bertanya kepada orang lain yang tidak mendengar perkataannya, lalu ia sepertiorang itu dan mengandung pengertian bahwa beliau bertanya kepada orang yang mendengar perkataannya, namun tidak mendengar Nabi saw. menjawabnya. Ketika ia tidak mendengar Nabi saw. maka beliau kembali lagi adalah searti dengan Dzul Yadain bahwasanya tidak diambil dalil bagi Nabi saw. dengan suatu perkataan dan dia tidak tahu apakah shalat itu digashar atau Nabi saw. lupa, lalu ia menjawabnya. Pengertiannya adalah pengertian Dzul Yadain bahwa fardhu atas mereka untuk menjawabnya. Tidaklah anda lihat ketika mereka memberitahukan kepada Nabi saw. maka beliau menerima perkataan mereka, beliau dan mereka tidak bercakap-cakap sehingga shalat mereka sempurna. Ketika Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Besar mewafatkan Rasul-Nya saw. fardhu-fardhuNya telah berakhir, tidak bertambah dan tidak berkurang dari yang sudah ada untuk selama-lamanya. Ia berkata : “Ya”, . Saya katakan “Inilah perbedaan antara kita dan beliau. lalu ia berkata : “Siapa yang menghadirinya, ini adalah perbedaan yang jelas dan tidak dapat ditolak oleh orang alim karena jelas dan terangnya”. Ia berkata : “Sebagian dari teman-temanmu ada yang mengatakan sesuatu yang dibicarakan oleh seseorang tentang urusan shalat tidaklah membatalkan shalatnya”. Lantas saya katakan : ”Hujjah di sisi kami adalah sesuatu yang kami katakan, bukan sesuatu yang dikatakan oleh orang selain kami”. la berkata : “Telah saya katakan kepada tidak hanya kepada seorang teman-temanmu, namun ia tidak berhujjah dengan ini dan ia mengatakan : “Pengalamannya adalah demikian ini”. Lalu saya katakan kepadanya : ‘Welah saya beritahukan ke. pada anda bahwa pengalaman tidak mempunyai arti dan hujjah bagi anda terhadap kami dengan pembicaraan orang selain kami”. Ia berkata : ”Ya”, maka saya katakan : “Tinggalkan sesuatu yang tidak ada hujjahnya menurut anda. Dan saya katakan kepadanya : “Sesungguhnya anda telah bersalah dan menyelisihi hadits Dzul Yadain dengan keshahihannya, dan anda menganiaya diri anda karena anda menduga saya dan orang yang mengatakan dengan halainya bercakap-cakap, bersetubuh dan bernyanyi dalam shalat padahal kami sedikitpun tidak pernah menghalalkan ini dan tidak juga mereka . Dan anda telah menduga bahwa orang yang shalat apabila telah salam sebelum sempurna shalatnya padahal ia ingat bahwa dirinya tidak menyempurnakan shalat, maka shalatnya rusak (fasid) sebagaimana anda duga salam yang tidak pada tempatnya adalah merupakan suatu pembicaraan. Namun jika ia mengucapkan salam dengan berpendapat bahwa dirinya telah menyempurnakan (shalat – pen.), maka shalat itu sah. Seandainya anda hanya mempunyai hujjah ini, cukuplah hujjah bagi anda dan kami memuji Allah atas ketercelaan anda karena menyelisihi hadits itu dan banyaknya menyelisihi terhadap beliau.
Mengarang dengan bentuk ini memberikan gambaran yang jelas terhadap jiwa tentang jalan pembinaan hukum (tasyri”), kritik pada masa kini. Dan kami tidak menjumpai tulisan pada masa itu yang lebih banyak menarik kami untuk menelaahnya serta menimbulkan keheranan dalam jiwa kami terhadap orang-orang dahulu dari pada kitab ini.
Dan telah kami susulkan pada kitab ini sejumlah kitab yang sebagiannya kitab-kitab yang diselisihi oleh Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila dan pokoknya oleh Abu Yusuf sebagaimana telah kami sebutkan.
Sebagiannya adalah kitab yang menyelisihi Ali dan Ibnu Mas’ud yaitu suatu kitab yang mana Asy Syafi’i mengumpulkan masalah-masalah yang diselisihi oleh Abu Hanifah dan teman-temannya terhadap imam penduduk Irak dari shahabat, yaitu Ali dan Ibnu Mas’ud ra.
Dalam Al Um ia telah menyebutkan salahnya menyelisihi Ali dan Ibnu Mas’ud dan Ibnun Nadim menyebutnya dalam At Fihrasat dengan judul “Maa khaalafa fihi al ‘Iraqiyyun ‘Aliyyan wa Abdallah” ( sesuatu yang diselisihi oleh orang-orang Iraq terhadap Ali dan Abdullah) — Inilah yang benar.
Sebagiannya adalah kitab Ikhtilafu Malik wa Asy Syafii (perselisihan Malik dan Asy Syafi’i) suatu kitab yang kembali kepada pengalaman As Sunnah dan diskusi teman-teman Malik rahimahullah dalam persyaratan pengamalan para imam untuk menguatkan hadits dan menolong pendapat Asy Syafi’i, bahwasanya manakala orang yang terpercaya menceriterakan dari orang yang terpercaya sampai kepada Rasulullah saw. maka hadits itu sah dari Rasulullah saw dan kami selamanya tidak meninggaikan hadits Rasulullah saw. kecuali suatu hadits yang diselisihi oleh hadits Rasulullah saw. Apabila hadits Rasulullah Saw.tidak ada yang menyelisihinya dan ada hadits yang sesuai dan diriwayatkan oleh orang di bawahnya serta hadits tersebut tidak menambah kekuatan hadits Nabi saw., maka hadits itu cukup dengan sendirinya. Jika ada hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dibawahnya serta bertentangan dengannya, maka saya tidak mengindahkan kepada hadits yang menentang itu, karena hadits Rasulullah saw. adalah lebih utama untuk diambil (dipergunakan) meskipun ia mengetahui ada orang yang meriwayatkan sunnah yang bertentangan dengan Sunnah. Rasulullah saw yang diikutinya — insya — Allah. Kemudian ia mengupas pendapat yang diambil atas dasar Malik rahimahullah yang bertentangan dengan pokok itu dan ia mendebatnya.
Sebagian daripadanya adalah kitab Jama’ul ilmi (kum, pulan Ilmu), yaitu suatu kitab yang menolong As Sunnah dan Pengamalannya.
Sebagian dari padanya adalah kitab Ibthalul Istihsan (pembatalan istihsan), dimana ia menolak fuqaha Irak yang memegangi istihsan.
Sebagian dari padanya kitab Ar Radd”’ ala Muhammad bin Hasan ( Tangkisan terhadap Muhammad bin Hasan) dan asalnya adalah kitab penolakan Muhammad bin Hasan terhadap Ahli Madinah, lalu Asy Syafi’i mempertahankan mereka. Sebagian dari sesuatu yang diambil oleh Asy Syafii terhadap Muhammad bin Hasan dalam diskusi-diskusi yang terjadi antara keduanya, mereka tuliskan dalam buku ini dimana ia selalu berkata : “Ahli Madinah berpendapat dan pendapat itu bukan pendapat seluruh penduduk Madinah tetapi pendapat itu adalah pendapat Malik bin Anas yang dalam hal ini kebanyakan penduduk Madinah menentangnya.
Sebagian dari padanya adalah kitab Sairul Auza’i (kitab Perjalanan hidup Al Auza’i) dan asalnya Abu Yusuf menolak terhadap Al Auza’i, lantas Asy Syafi’i mempertahankan Al Auza’i dan telah kami sebutkan dalam buku ini”. Sebagian kitab Asy Syafi’i yang terbesar adalah kitabnya yang bertitel : Ikhtilaful hadits Asy Syafi’i menyusunnya untuk menyokong As Sunnah secara umum dan hadits ahad secara khusus. Didalamnya ia membicarakan tentang ikhtilaful hadits ( perbedaan pendapat mengenai Al Hadits), dan itulah yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang menolak As Sunnah secara mutlak atau mensyaratkan pengamalan hadits dengan persyaratan selain keadaan perawi terpercaya pada mulanya ia berbicara tentang perbedaan pendapat yang sebabnya adalah membolehkan setiap para perawi, sebagaimana diriwayatkan bahwasannya beliau saw berwudhu sekali-sekali: dan diriwayatkan bahwa sannya beliau wudhu dua kali dua kali, dan diriwayatkan bahwa beliau berwudhu tiga kali tiga kali. Hal ini banyak sekali dalam hadits-hadits. Kemudian ia menyebutkan hadits-hadits yang sebagiannya menghapus (menasakh) terhadap sebagiannya dan hadits hadits yang sebagiannya menafsirkan kepada sebagian yang lain, dan lain-lain hal yang memberi banyak faedah bagi ahli syari’at tentang masalah As Sunnah. Kitab ini memuat juga beberapa diskusi dengan orang-orang yang menyelisihinya yang berharga lebih-lebih dengan Muhammad bin Hasan rahimahullah.
la juga mempunyai Kitab Al Musnad yaitu hadits-hadits yang ditakhrijkan dari kitab Al Um. Dan Harmalah bin Yahya mempunyai Kitab tentang Fiqh yang diambil oleh Asy Syafi’i secara dikte.
Al Buwaithi mempunyai kitab Al Mukhtasharulkabir, Al Mukhtasharush Shaghir dan Kitab Al Faraidh. Al Muzni juga mempunyai dua kitab mukhtashar yaitu Al Mukhtasharul kabir namun dia matruk, Al Mukhtasharush shaghir, dan kitab yang mengungguli teman-teman Asy Syafi’i, dan itulah yang selalu mereka baca, dan mereka syarahkan dan ia mempunyai riwayat-riwayat yang berbeda.
la juga mempunyai dua kitab yang mengumpulkan (Al Jami”) yaitu Al Jami’ul kabir, Al Jami’ul shaghir dan kitab-kitab lain.
Sebagian pengikut-pengikut murid-murid Asy Syafi’i yang menulis adalah Abu Ishag Ibrahim bin Ahmad Al Marwazi teman Al Muzni. Ia menyarahi — Mukhtashar Al Muzni dengan dua syarah. Ia mempunyai kitab Al Fushul fi Ma’rifatil Ushul, Kitab Asy Syuruth wal watsa-ig, Kitab. Ai Washayawa Hisabud Daur, Kitab Al Khusus wal umum.
Ibnu Syuraih mempunyai beberapa kitab dalam menolak Muhammad bin Hasan dan menolak atas Isa bin Aban. Dan ja mempunyai kitab At Tagrib bainal Muzni wa Asy Syafi’i, dan Mukhtashar fil Fiqh.
Abu Badar Muhammad bin Abdullah Ash Shairafi yang meninggal tahun 330 H. mempunyai kitab Al Bayan fi dalailil a’laam fi ushulit ahkam, syarah Risalah Asy Safi’i dan kitab Faraidh.
Orang-orang Syafi’i yang menulis pada periode ini banyak sekali, tetapi sedikitpun tidak melihat terhadap apa yang mereka tulis. ‘
Dan telah saya sebutkan kitab-kitab yang ditulis pada madzhab-madzhab lain ketika menyebutkan imam-imam dan tokoh-tokohnya karena sedikitpun kami tidak melihatnya.
One Comment