Fiqh

Terjemahan Kitab Nailur Roja

Fardhu-fardhu tayammum atau rukun-rukunnya yang merupakan bagian dari hakikat tayammum ada lima hal.

Makna (nagl) adalah memindahkan. Fardhu tayammum yang pertama adalah memindahkan debu dari tanah atau semacamnya menuju anggota tubuh yang akan diusap.

Fardhu tayammum yang kedua adalah niat agar diperbolehkan segala sesuatu yang membutuhkan tayammum, seperti shalat dan memegang mushaf.

Apabila seseorang berniat agar diperbolehkan melakukan shalat fardhu . . . maka diperbolehkan dengan tayammum tersebut untuk melakukan shalat fardhu, sunnah dan lainnya, seperti memegang mushaf atau semacamnya. Contoh niatnya adalah :

Artinya : “Saya berniat tayammum agar diperbolehkan shalat fardhu.”

Apabila berniat agar diperbolehkan melakukan shalat atau thawaf atau shalat jenazah. . .maka diperbolehkan dengan tayammum tersebut segala sesuatu selain shalat fardhu ‘ain, kecuali khutbah jum’at tidak dapat dilakukan pula dengan tayammum tersebut menurut Ramli, namun berbeda menurut Ibnu Hajar. Contoh niatnya adalah :

Artinya : “Saya berniat tayammum agar diperbolehkan shalat.”

Apabila berniat agar diperbolehkan melakukan memegang mushaf atau semacamnya … maka diperbolehkan dengan tayammum tersebut melakukan segala sesuatu selain shalat dan thawaf. Contoh niatnya adalah :

Artinya : “Saya berniat tayammum agar diperbolehkan memegang mushaf”

Apabila seseorang berucap dalam niatnya : “Saya berniat agar diperbolehkan segala sesuatu yang membutuhkan tayammum. . .maka dijadikan niatnya itu menuju tingkat yang paling rendah.

Diharuskan membarengkan niat sejak memindahkan debu dan terus dihadirkan hingga mengusap sebagian dari wajahnya. Bila niat itu hilang sebelum mengusap wajahnya maka dinyatakan batal, namun bila dihadirkan kembali niatnya saat itu pula maka dianggap cukup menurut Ramli, berbeda dengan Ibnu Hajar. Cukup bagi seseorang memperbarui niatnya jika berhadats setelah memindahkan debu dan sebelum mengusap wajah.

Fardhu tayammum yang ketiga adalah mengusap wajah. Kita telah membahas batasan wajah pada bab wudhu, namun tidak wajib menyampaikan debu ke tempat tumbuhnya rambut, walaupun tipis rambutnya, bahkan hal itu tidak disunnahkan.

Fardhu tayammum yang keempat adalah mengusap kedua tangan hingga siku-siku. Dan menurut pendapat madzhab Syafi’i yang lalu, mengusap tangan itu hingga kedua telapak tangan saja, dan itulah pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi rhm.

Cara mengusap kedua tangan : jari-jari tangan kiri selain ibu jari diletakkan di punggun jari tangan kanan selain ibu jarinya pula, sehingga ujung jari tangan kanan tidak melebihi jari telunjuk tangan kirinya, lalu jari-jari tangan kiri itu diusapkan pada tangan kanannya hingga sampai di telapak tangan kanan .. . maka ujung jari tangan kiri digenggamkan pada ujung lengan kanannya, dan terus diusapkan hingga menuju siku-siku. Kemudian diputar telapak tangan kirinya menghadap bagian batin lengannya, dan diusap hingga mencapai telapak tangan kiri dengan ibu jari tetap terangkat. Setelah itu ibu jari kiri mengusap ibu jari kanan.

Kemudian, dilakukan semacam itu terhadap tangan kirinya, dan sunnah mengusap salah satu telapak tangan dengan telapak tangan yang lain, karena fardhu kedua telapak tangannya telah diusap saat mengambil debu setelah mengusap wajah.

Fardhu tayammum yang kelima adalah tertib antara mengusap wajah dan mengusap kedua tangan, baik untuk mengangkat hadats kecil atau hadats besar. Jika tidak tertib, yaitu mengusap kedua tangan lalu mengusap wajah… maka yang sah hanya mengusap wajah saja. Tidak diwajibkan tertib dalam pengambilan debunya, tetapi disunnahkan. Maksudnya adalah pengambilan debu yang pertama untuk mengusap wajah dan yang kedua untuk mengusap kedua tangan.

Pengarang tidak berbicara tentang sunnah-sunnah tayammum, dan itu banyak sekali, diantaranya adalah :

Bersiwak, itu dilakukan sebelum mengambil debu, membaca basmalah, mendahulukan bagian yang kanan, terus menerus dalam melakukan tayammum, maka bagian tubuh yang diusap diperkiran sebagai bagian yang dibasuh, mengurangi debu yang ada di kedua telapak tangannya, merenggangkan jari-jari ketika mengambil debu, menghadap kiblat, dan segala sesuatu yang termasuk sunnah wudhu dan memungkinkan dilakukan saat tayammum, maka itu termasuk sunnah tayammum, kecuali melakukan usapan hingga tiga kali.

Pengarang menulis dengan kata (mubthilaat) bukan dengan kata (nawaagidh) karena mencontoh pengikut Syafi’i yang menulis dengan kata tersebut.

Segala sesuatu yang membatalkan tayammum adalah bila terdapat salah satu dari tiga hal berikut, namun kamu akan mengetahui dari apa yang akan kami sebutkan bahwa yang membatalkan tayammum lebih dari itu.

Hal pertama yang termasuk membatalkan tayammum adalah bila terdapat sesuatu yang membatalkan wudhu. Ini berlaku bila tayammum dilakukan untuk mengangkat hadats kecil. Apabila seseorang melakukan tayammum untuk mengangkat hadats besar . . . maka tayammumnya tidak batal bila terdapat hal-hal yang membatalkan wudhu. Dalam keadaan semacam ini, diharamkan baginya segala hal yang diharamkan bagi orang yang terkena hadats kecil saja, karena dianggap membatalkan terhadap hadats kecilnya, sedangkan terhadap hadats besarnya dianggap tidak membatalkan.

Makna murtad dalam hal ini adalah memutuskan Islam, baik secara hakikat maupun hukumnya.

Hal kedua yang termasuk membatalkan tayammum adalah memutuskan Islam secara hakikat, yaitu muncul dari seseorang yang dianggap sah ucapan thalaqnya, atay secara hukum, yaitu muncul dari seorang anak kecil yang belum baligh.

Murtad termasuk membatalkan tayammum, namun .tidak membatalkan wudhu, karena tayammum merupakan thaharah yang lemah, hanya sekedar meminta izin untuk diperbolehkan ibadah, dan hal itu tidak dapat dilakukan bila disertai dengan murtad. Berbeda dengan wudhu yang merupakan thaharah yang kuat.

Makna (tawahhum) pada dasarnya adalah sangkaan, tetapi yang dimaksud disini adalah termasuk ragu.

Hal ketiga yang membatalkan tayammum adalah munculnya sangkaan atau keraguan adanya air -bagi orang yang bertayammum karena tidak adanya air-, seperti melihat fatamorgana atau awan mendung. Dan termasuk sangkaan atau keraguan adalah bila yakin mengetahui adanya air.

Hal ini berlaku bila tidak terdapat penghalang, baik sebelum atau bersamaan, seperti binatang buas, dahaga atau terdengar ucapan yang mengatakan, “Saya mempunyai untuk seseorang air.” Tetapi bila penghalang itu bersifat belakangan, seperti terdengar ucapan, “Saya mempunyai air untuk seseorang.” Maka hal ini tetap membatalkan.

Pembahasan di atas, semuanya itu bila muncul sangkaan atau keraguan di luar shalat, namun bila sedang berada di dalam shalat .. . maka sangkaan atau keraguan tidak membatalkan shalat. Sedangkan bila yakin adanya air, maka terdapat perincian dalam masalah ini, yaitu jika shalat tersebut masih perlu diqadha’, seperti berada di tempat yang biasanya ada air… maka shalatnya batal. Dan jika shalat tersebut tidak perlu diqadha’, seperti berada di tempat yang tidak biasa ada air atau keadaan sama… maka tidak batal tayammumnya, tetapi disunnahkan memutuskan shalat, jika waktu masih ada agar shalat dapat dikerjakan dengan berwudhu.

Maksud tempat -yang dikatakan jarang atau biasa tidak ada air atau keadaan samaadalah tempat melakukan tayammum menurut Ibnu Hajar, sedangkan menurut Ramli adalah tempat shalat.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker