Diharamkan bagi seorang yang tidak berwudhu melakukan salah satu dari empat hal.
Empat hal yang dilarang bagi orang yang tidak berwudhu adalah melakukan salah satu berikut ini, yaitu :
- Shalat, baik fardhu atau sunnah, atau shalat jenazah, jika orang itu tidak selalu berhadats atau tidak mendapati air dan debu.
- Thawaf mengelilingi Ka’bah.
- Memegang mushaf dan kulitnya yang tersambung dengannya, begitu pula kulitnya yang terlepas darinya namun masih dinisbahkan kepada mushaf, dan kantongnya atau kotaknya atau gantungannya dengan syarat Al Qur’an berada di dalamnya pada tiga masalah terakhir.
- Membawa mushaf. Apabila seseorang membawa mushaf dan barang lainnya -walaupun berupa jarum- maka jika bermaksud membawa barang saja atau bersama dengan mushaf . .. maka diperbolehkan, atau bermaksud membawa mushaf saja … maka diharamkan, atau mutlak (tidak ada niat apapun)… maka tidak diharamkan menurut Ramli, berbeda dengan Ibnu Hajar.
Termasuk masalah shalat adalah yang semacamnya, seperti sujud syukur dan tilawah serta khutbah jum’at, maka ketiganya haram dilakukan bagi orang yang berhadats kecil (tidak berwudhu).
Orang yang junub adalah orang yang telah melakukan hubungan intim atau telah keluar air mani yang mewajibkan mandi -diambil dari kata (janabah) yang secara bahasa berarti jauh, dan secara syari’at adalah perkara maknawi yang terdapat di badan dan mencegah sahnya shalat.
Diharamkan bagi seseorang yang junub melakukan salah satu dari enam perkara.
Enam perkara yang diharamkan bagi seseorang yang dalam keadaan junub adalah empat perkara seperti yang diharamkan bagi orang yang tidak berwudhu, dan dua hal tambahan, yaitu :
Pertama, berada di dalam masjid, jika ia sebagai seorang muslim dan mukallaf, bukan seorang nabi atau ada udzur, seperti terkunci pintu masjid atau takut bila keluar dari masjid, maka wajib baginya segera tayammum dengan debu yang tidak masuk wagaf masjid.
Kedua, membaca Al Qur’an jika bermaksud tilawah saja atau disertai niat lain, namun tidak diharamkan jika bermaksud yang lain saja atau mutlak (tidak ada niat apapun).
Diharamkan dengan sebab adanya haid melakukan sebelas macam. Dan hukum yang berlaku pada haid juga berlaku pada nifas dalam pengertian larangannya.
Thalaq secara bahasa berarti terlepasnya ikatan, dan secara syari’at adalah terlepasnya akad nikah dengan lafadz thalaq dan yang semacamnya. Kata (muruur) berarti lewat, yaitu masuk dari pintu yang satu dan keluar dari pintu yang lain.
Makna (istimtaa) adalah melihat dan memegang tanpa adanya penghalang dengan syahwat, itulah pendapat yang kuat.
Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dengan sebab adanya haid, enam di antaranya sebagaimana yang dilarang bagi junub dan terdapat empat hal tambahannya, yaitu
Pertama, puasa.
Kedua, lewat di masjid jika khawatir mengotorinya. Itulah delapan hal yang dilarang bagi wanita haid tersebut.
Ketiga, thalaq, maka diharamkan bagi suami menceraikan istri yang sedang haid, jika istrinya telah dikumpuli dan memungkinkan adanya kehamilan. Sedangkan perceraian itu bukan thalaq khulu’ yaitu thalaq dari permintaan istri dengan memberikan sesuatu kepada suaminya. Dan perceraian itu tidak terjadi saat istri sedang hamil.
Keempat, melakukan pendahuluan jima’ antara pusar dan lututnya dengan melihat atau memegang tanpa adanya penghalang dengan syahwat. Hal itu juga dilarang bagi suami.
Semua larangan tersebut berlaku hingga wanita tersebut mandi atau tayammum, kecuali puasa dan thalaq, maka diperbolehkan dengan berhentinya darah haid.
Termasuk larangan bagi wanita haid adalah bersuci dengan niat ibadah, itulah larangan yang kesebelas. Bersuci dengan niat ibadah diharamkan sebelum berhentinya darah haid dan dihalalkan setelah berhentinya darah haid, walaupun sebelum mandi.
Sebagaimana diharamkan menceraikan istri yang sedang haid, diharamkan pula menceraikan istri yang sedang suci dan telah dikumpuli di masa itu sehingga memungkinkan adanya kehamilan, atau menceraikan istri dimasa haid yang sebelum masa suci tersebut dan juga bukan permintaan dari istri dengan memberikan sesuatu kepada suaminya.
Sebab secara bahasa berarti sarana untuk mencapai sesuatu, dan secara istilah adalah sesuatu yang menunjukkan keberadaannya bila sebab itu ada, dan menunjukkan ketiadaannya bila sebab itu tidak ada.
Tayammum secara bahasa berarti bermaksud, dan secara syari’at adalah menyampaikan debu ke wajah dan kedua tangan dengan syaratsyarat tertentu.
Sebab-sebab yang membolehkan tayammum ada tiga hal, dan sebagian ulama menjadikannya tujuh sebab, ditulis dalam bait puisi berikut ini :
Artinya : “Tidak ada air, takut, adanya keperluan dan atw hilang sakit yang memberatkan, adanya perban, dan luka di tubuhnya.”
Sebagian ulama menjadikan sebab tayammum ada lima, yaitu: tidak adanya air, takut untuk mencarinya, tidak mengetahui keberadaan air dan lupa, adanya keperluan lain, khawatir ada hal-hal yang membahayakan jika menggunakan air. Seorang ulama berucap : “Perincian sebab yang demikian inilah yang lebih utama.”
One Comment