Bagian yang menyusun dua khutbah yang menjadi syarat shalat jum’at ada lima rukun.
Rukun pertama dari khutbah jum’at adalah mengucapkan hamdalah pada dua khutbah, ataupun kata-kata yang semacamnya dengan disandarkan kepada lafadz “Allah”. Contoh :
Artinya : “Segala puji bagi Allah / Hanya bagi Allah segala pujian / Pujian itu bagi Allah / Aku memuji Allah.”
Namun tidak dapat mewakili hamdalah ucapan-ucapan berikut ini, yaitu :
Artinya : “Tidak ada tuhan selain Allah / Bersyukur tu hanya untuk Allah / Segala puji bagi Dzat Yang Maha Pengasih.”
Rukun kedua dari khutbah jum’at adalah membaca shalawat atas Nabi saw pada dua khutbah. Contoh :
Artinya : “Ya Allah, limpahkanlah shalawat / Semoga Allah memberi shalawat / Aku bershalawat / Kami bershalawat / Shalawat atas Muhammad / Shalawat atas Ahmad / Shalawat atas Rasul saw.”
Namun tidak diperbolehkan membaca shalawat atas Nabi saw dengan lafadz-lafadz semacam ini, yaitu :
Artinya : “Semoga Allah merahmati Muhammad / Semoga Allah melimpahkan shalawat kepadanya.”
Takwa artinya menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya: Rukun ketiga dari khutbah jum’at adalah memberi wasiat takwa pada dua khutbah. Contoh :
Artinya : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah/ Taatlah kalian kepada Allah dan berhati-hatilah kalian terhadap siksa Allah.”
Tidak cukup bila sekedar mengingatkan untuk waspada terhadap dunia, namun harus berisi anjuran untuk taat atau ancaman dari maksiat.
Rukun keempat dari khutbah jum’at adalah membaca satu ayat yang sempurna dan dipahami dari Al Qur’an pada salah satu khutbah. Utamanya dijadikan di akhir khutbah pertama. Tidak cukup bila hanya sebagian ayat, kecuali jika panjang dan dapat dipahami menurut Ramli, namun berbeda dengan Ibnu Hajar.
Rukun kelima dari khutbah jum’at adalah berdo’a pada khutbah kedua dengan do’a yang bersifat ukhrowi bagi kaum mukminin, khususnya bagi yang hadir atau umumnya bagi seluruh kaum mukminin. Dalam kitab “Busyrol Kariim” disebutkan : “Selama tidak diniatkan untuk seluruh dosa kaum mukminin . . . karena hal itu diharamkan.”
Tidak cukup bila dikhususkan kepada orang-orang yang tidak hadir shalat jum’at, walaupun mereka berjumlah banyak. Sunnah menyebutkan kaum mukminah, dan berdo’a bagi pemimpin kaum muslimin dan tentara mereka.
Syarat dari setiap dua khutbah jum’at ada sepuluh macam.
Dan terdapat tambahan tiga syarat yang belum disebutkan, sehingga menjadi 13, yaitu :
- Laki-laki.
- Mendengarkan khutbah.
- Khutbah dilakukan di dalam batas bangunan daerahnya.
Sedangkan khutbah-khutbah yang lain (seperti khutbah ied, gerhana atau istisga”)… tidak disyaratkan kecuali memperdengarkan bukan mendengarkan, dan khatibnya harus laki-laki, dan rukun khutbah dibaca dengan bahasa Arab.
Syarat pertama dari khutbah jum’at adalah khotib suci dari hadats kecil dan hadats besar.
Apabila berhadats di tengah-tengah khutbahnya, maka harus bersuci dan memulai khutbahnya kembali, walaupun tidak lama jarak pemisahnya.
Syarat kedua dari khutbah jum’at adalah khotib dalam keadaan suci pada pakaian, badan dan tempatnya, dan hal-hal yang berkaitan dengannya -sesuai perincian yang ada pada syarat sah shalatdari najis yang tidak dimaafkan syari’at.
Syarat ketiga dari khutbah jum’at adalah menutup aurat bagi khotib, walaupun menurut pendapat yang kuat bahwa dua khutbah jum’at bukanlah pengganti dua rakaat dhuhur.
Syarat keempat dari khutbah jum’at adalah berkhutbah dalam keadaan berdiri jika mampu. Apabila tidak mampu … maka khutbah dapat dilakukan sambil duduk, dan bila tidak mampu duduk … maka dapat berbaring, namun lebih utama digantikan dengan yang lain.
Syarat kelima dari khutbah jum’at adalah khotib duduk di antara dua khutbah selama lebih dari thuma’ninah shalat. Utamanya duduk selama bacaan surat al-Ikhlas, dan sunnah bagi khotib untuk membacanya saat duduk. Apabila tidak duduk di antara dua khutbah maka dihitung satu khutbah.
Syarat keenam dari khutbah jum’at adalah terus menerus antara khutbah pertama dengan khutbah kedua, dan antara rukun-rukunnya, yaitu tidak ada pemisah yang lama yang tidak ada kaitan dengan khutbah selama dua rakaat ringan. Maka masih diperbolehkan adanya pemisah berupa nasihat di antara rukun-rukunnya, walaupun lama atau berupa bacaan ayat yang panjang, dimana terkandung nasihat di dalam ayat tersebut, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Tuhfah”.
Syarat ketujuh dari khutbah jum’at adalah terus menerus antara dua khutbah dengan shalat jum’at, yaitu mengucapkan takbiratul ihram shalat jum’at sebelum berlalu waktu sejak selesainya khutbah kedua yang cukup untuk melaksanakan dua rakaat ringan, seperti dalam pembahasan terus menerus antara dua shalat jama’ tagdim dalam perjalanan.
Syarat kedelapan dari khutbah jum’at adalah rukun-rukun khutbah diucapkan dengan bahasa Arab, walaupun khotib dan orang-orang yang mendengarkannya bukan orang Arab dan tidak memahami bacaan tersebut.
Apabila tidak ada orang yang dapat membacanya dan tidak adg waktu untuk mempelajarinya … maka diperbolehkan khutbah dengan bahasa apapun selain ayat Al Qur’an.
Apakah itu dianggap sah, walaupun orang-orang tidak memahaminya, seperti bahasa Arab atau lainnya? Ada dua pendapat, gatu menyatakan sah dan yang lain menyatakan tidak sah. Sedangkan ayat Al Qur’an, bila tidak bisa dibaca dengan bahasa Arab, maka dapat dibaca penggantinya seperti yang telah dijelaskan dalam surat AJ Fatihah ketika shalat.
Syarat kesembilan dari khutbah jum’at adalah khotib memperdengarkan rukun-rukun khutbahnya kepada 40 orang yang terhitung dalam shalat jum’at, yaitu dengna mengeraskan suaranya hingga 39 orang yang sempurna selain dirinya mendengar khutbah.
Maka harus mendengarkan dan memperdengarkan khutbah dengan usahanya, sehingga tidak sah bila ada suara gaduh yang mencegah untuk mendengarkan rukun khutbah.
Itulah pendapat Ibnu Hajar, sedangkan Ramli berbeda pendapat tentang mendengarkan khutbah. Ia berkata : “Cukup dalam mendengarkan khutbah dengan kemampuannya saja, dimana jika memperhatikan, niscaya akan mendengarkan, walaupun orang tersebut sibuk bicara dengan teman duduknya.”
Imam Qolyubi rhm berkata : “Tidak berpengaruh jika tidur.” Sedangkan tuli atau jauh dari khotib tentu berpengaruh menurut kesepakatan ulama. Apabila khotib tuli, maka tidak disyaratkan untuk memperdengarkan khutbah kepada dirinya sendiri, karena ia tahu apa yang diucapkan.
Tidak disyaratkan orang-orang yang mendengarkan khutbah dalam keadaan suci, tertutup aurat, berada di tempat shalat, di dalam batas kota atau batas bangunan, sebagaimana telah diketahui dari apa yang telah dijelaskan.
Syarat kesepuluh dari khutbah jum’at adalah dilakukan kedua khutbah tersebut setelah tergelincirnya matahari.
Apabila seseorang langsung berkhutbah tanpa melihat waktu dan ternyata telah masuk waktu… maka dianggap sah menurut ‘Asymawiy, sedangkan Ibnu Oasim berkata : “Tidak sah.”
One Comment