Sunnah-sunnah wudhu banyak sekali, di antaranya adalah:
Siwak, membasuh kedua telapak tangan, kumur, istinsyag, melakukan keduanya dalam satu kali pengambilan air, tiga kali dalam membasuh dan mengusap, mengusap seluruh kepala, mengusap kedua telinga dan lubang telinga, menyela-nyela jari tangan dan kaki, terus menerus, mendahulukan bagian kanan, memperpanjang ghurroh dan tahjiil, tidak meminta pertolongan ketika berwudhu.
Siwak secara bahasa berarti menggosok dan alatnya, secara syari’at adalah menggosok gigi dan sekitarnya dengan sesuatu yang kasar. Siwak mempunyai tiga rukun, pertama mustaak, yaitu orang yang bersiwak, kedua mustaak bihi, yaitu alat bersiwak, ketiga mustaak fiihi, yaitu mulutnya.
Makna kuwu’ (. ), yaitu tulang yang ada di ujung lengan dan sejajar ibu jari tangan, sedangkan yang sejajar dengan jari kelingking disebut kursuu’ ( ) dan yang berada di antara keduanya disebut rusgh (. ).
Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut. Istinsyag adalah memasukkan air ke dalam hidung.
Mengusap telinga yang disunnahkan dilakukan sebanyak 12 kali, yaitu tiga kali saat mengusap kepala, dan tiga kali setelahnya dengan cara telapak tangan mengusap bagian dhahir telinga.
Terus menerus adalah membasuh anggota tubuh yang kedua sebelum keringnya anggota tubuh pertama, dengan diperhitungkan pula keseimbangan udara, pembawaan tubuh dan musim.
Ghurroh adalah bagian yang tidak akan sempurna dalam kewajibannya membasuh wajah kecuali dengan membasuhnya pula. Tahjiil adalah bagian yang tidak akan sempurna dalam kewajibannya membasuh kedua tangan dan kaki kecuali dengan membasuhnya pula.
Makruh-makruh wudhu banyak sekali, di antaranya adalah :
Tidak berkumur dan tidak beristinsyag, mendahulukan bagian kiri, bersuci dari bekas wanita, membasuh dan mengusap lebih dan tiga kali secara yakin, dan kurang dari tiga kali, meminta pertolongan untuk membasuh anggota wudhunya tanpa adanya udzur, menyela.
nyela jenggot bagi seorang muhrim haji atau umrah menurut Imam Ramli, namun Ibnu Hajar tetap menyatakan itu termasuk sunnah, tapi dilakukan secara perlahan, berwudhu dari air menggenang, berlebihan dalam mengucurkan air. Hal itu menjadi haram jika berasal dari wakar atau milik orang lain yang tidak diketahui keridhoaannya.
Pasal ini meliputi tiga macam hukum niat, yaitu hakikatnya, tempatnya dan waktunya, dan menjelaskan makna tertib. Pembahasan semua ini telah dibicarakan sebelumnya, begitu pula disunnahkannya mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati.
Dalam makna niat disebutkan bersamaan dengan pekerjaannya, itulah niat secara syari’at, namun bila tidak bersamaan dengan pekerjaannya, bukanlah disebut sebagai niat tetapi disebut ‘azm atau keinginan.
Air adalah dzat cair yang lembut dan transparan, berwarna sesuai warna tempatnya dan Allah menghapuskan dahaga ketika meminumnya.
Dua gullah secara bahasa berarti dua bejanan yang besar. Secara syari at makna dua gullah adalah ukuran banyaknya air yang kira-kira mencapai 500 ritl baghdady atau kira-kira mencapai 562,5 ritl tarimiy (216 liter). Sedangkan ukurannya dalam tempat persegi, mempunyai panjang, lebar dan dalam 1/4 lengan (60 cm) dan dalam tabung tingginya 2,5 lengan (120cm) dan diameternya 1 lengan (50cm).
“Air itu terbagi menurut hukumnya menjadi dua bagian :
1.Air sedikit, yaitu air yang kurang dari dua qullah, air ini mempunyai batasan hukum tertentu.
- Air banyak, yaitu air yang mencapai dua gullah atau lebih, air ini mempunyai hukum tersendiri.
Air sedikit hukumnya adalah dinyatakan mutanajis jika sesuatu yang najis masuk ke dalamnya, walaupun sifat air tidak berubah. Hukum ini berlaku jika najisnya adalah najis yang tidak dimaafkan oleh syari’at dan airnya tidak mengalir dari atas.
Apabila masuk ke dalam air sedikit itu najis yang dimaafkan oleh syari’at, maka tidak berpengaruh, airnya tetap dinyatakan suci dan mensucikan. Najis yang dimaafkan contohnya adalah najis yang tidak terlihat oleh pandangan mata biasa, najis itu mutlak menurut Ramli, namun diberi syarat tidak termasuk najis mughalladhoh menurut Ibn, Hajar.
Contoh yang lain, seperti bangkai dari hewan yang darahnya tidak mengalir, ketika sebagian anggota tubuhnya dipatahkan saat masih hidup, yaitu sebangsa cecak dan yang lebih kecil darinya. Tetapi bangkai yang semacam ini dimaafkan dengan syarat tidak merubah sifat air dan tidak diletakkan di tempat air itu setelah matinya, kecuali terbawa angin atau hewan. Seorang ulama, al-Khathib menambahkan kecuali yang membawanya anak yang belum mumayyiz.
Apabila air yang sedikit itu mengalir dari atas dan mengenai najisnya … maka hukumnya air itu tidak dinyatakan mutanajis, kecuali jika berubah sifatnya atau bertambah banyaknya karena tercampur dengan najis atau tempat yang terkena aliran air itu tidak menjadi suci.
Perlu diketahui, hukum seluruh macam cairan (seperti susu, minyak dan madu) -baik sedikit atau banyakseperti hukum air yang sedikit dalam segala permasalahannya, kecuali cairan yang mengalir dari atas hukumnya seperti yang lain.
Hukum air banyak adalah tidak dinyatakan mutanajis hanya dengan masuknya najis ke dalam air tersebut, tetapi jika berubah rasanya atau warnanya atau baunya, walaupun perubahan itu sangat sedikit. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini, baik yang masuk ke dalamnya itu najis yang dimaafkan atau tidak.
Apabila air yang sudah berubah sifatnya itu karena masuk ke dalamnya najis, lalu perubahan sifat itu hilang dengan sendirinya atau diberi air ke dalamnya, walaupun air itu musta’mal atau mutanajis . .. maka dianggap telah suci. Namun tidak dianggap suci bila diberi minyak wangi kasturi atau za’faron.
Apabila masuk ke dalam air yang banyak itu suatu najis yang sama sifatnya dengan air -baik dalam rasa, warna dan baunyaseperti air kencing yang sudah tidak berbau… maka diperkirakan dengan sifatsifat yang keras, seperti warna tinta, bau kasturi dan rasa cuka. Bila diperkirakan akan berubah dengan salah satu sifatnya maka air itu dinyatakan mutanajis, dan jika dianggap tidak berubah sifatnya maka dinyatakan tidak mutanajis.
One Comment