
BAB IV AKHLAQ PELAJAR TERHADAP PELAJARANNYA
Akhlaq pelajar terhadap pelajaran nya dan hal-hal, harus ia pegang ketika bersama-sama dengan syaikh (ulama’) dan teman-temannya. Mengenai hal ini ada sepuluh etika, , yaitu:
Pertama, hendaknya pelajar memulai pelajaran dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya fardlu
‘ain, sehingga pada langkah pertama ini ia cukup menghasilkan empat ilmu pengetahuan yaitu:
a. Pelajar harus mengetahui tentang ilmu tauhid, ilmu yang mempelajari tentang ke Esa-an Tuhan. Ia harus mempunyai keyakinan bahwa Allah Itu ada, mempunyai sifat dahulu, kekal serta tersucikan dari sifat-sifat kurang dan mempunyai sifat sempurna.
b. Cukuplah bagi pelajar untuk mempunyai keyakinan, bahwa Dzat Yang Maha Luhur mempunyai sifat kuasa, menghendaki, sifat ilmu, hidup, mendengar, melihat, kalam. Seandainya ia menambahnya dengan dalil atau bukti-bukti dari al-Quran dan al-Sunnah maka itu merupakan kesempurnaan ilmu.
c. Ilmu fiqih, ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui ilmu ilmu syari’at islam yang diambil dari dalil-dalil syara’ tafsily. Ilmu ini merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mampu mengantarkan kepada pemiliknya untuk mendekatkan diri kepada Allah), dimulai dari cara- cara bersuci, shalat, puasa.
Apabila pelajar (murid) termasuk orang-orang yang mempunyai harta melimpah (min jumlatil aghniya’) maka ia harus mempelajari ilmu yang mempunyai kaitan dengan harta tersebut, ilmu ekonomi, ‘iqtishad. Ia tidak diperbolehkan untuk mengamalkan, mengimplementasikan, mengejawantahkan sebuah ilmu sebelum ia mengerti tentang hukum-hukum Allah.
d. Ilmu tasawuf, ilmu yang menjelaskan tentang keadaan-keadaan, macam, tingkatan, dan membahas tentang rayuan dan tipu daya nafsu dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Secara keseluruhan Imam al Ghazali telah menyebutkan keempat macam ilmu tersebut dalam kitabnya “BIDAYATUL HIDAYAH”, juga telah di sebutkan oleh Sayyid Abdullah bin Thahir dalam kitab “SULLAMUT TAUFIQ””.
Kedua, setelah santri mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardlu “ain, maka hendaklah dalam langkah selanjutnya ia mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kitab Allah (tafsir al- gur’an) sehingga ia mempunyai keyakinan dan i’tigad yang sangat kuat.
Ia harus bersungguh-sungguh dalam memahami tafsir Al-Qur’an dan beberapa ilmu yang lain, karena al-Quran merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi dan sekaligus induk dan ilmu yang paling penting, setelah itu hendaknya ia menghafalkan setiap materi, ilmu yang pembahasannya tidak terlalu panjang, bertele-tele (ikhtishar) yang dikumpulkan dari ilmu hadits, fiqih, ushul fiqih, nahwu dan sharaf.
Kesibukan yang dijalani oleh pelajar dalam mencari ilmu jangan sampai melupakan untuk membaca Al-Qur’an, menjaganya, selalu istigamah dan selalu membacanya sebagai kegiatan sehari-hari (wadhifah). Hendaknya ia mampu menjaga al-Qur’an setelah menghafalkannya, karena berdasarkan dalil al Hadits yang menjelaskan tentang hal itu.
Setelah santri mampu menghafalkan al-Quran dengan baik, maka hendaklah hafalan itu ditashihkan, disetorkan kepada Seorang guru (kyai) untuk disima’ dan didengar. Ketika sedang terjadi proses menghafalkan itu pelajar sejak awal menjaga dirinya jangan sampai selalu berpegang (melihat) pada kitabnya, bahkan dalam setiap materi pelajaran semestinya ia harus berpegang teguh pada orang-orang yang bisa memberikan pengajaran, pendidikan yang baik terhadap materi tersebut dan lebih mengutamakan praktek.
Sebagai santri ketika berada dihadapan gurunya ia harus selalu menjaga agamanya, menjaga ilmunya, kasih sayang pada yang lain dan sebagainya.
Ketiga, sejak awal pelajar harus bisa menahan diri dan tidak terjebak dalam pembahasan mengenai hal-hal yang masih terdapat perbedaan pandangan, tidak ada persamaan persepsi di antara para ulama’ (khilafah) secara mutlak baik yang berhubungan dengan pemikiran- pemikiran atau yang bersumber dari Tuhan, karena apabila hal itu masih dilakukan oleh pelajar maka sudah barang tentu akan membuat hatinya bingung, dan membuat akal pikiran tidak tenang.
Bahkan sejak awal ia harus bisa meyakinkan dirinya untuk berpegang pada hanya satu kitab sama dalam satu materi pelajaran, dan beberapa kitab pada beberapa meteri pelajaran dengan syarat apabila ia mampu dengan menggunakan satu metode dan mendapat izin dari sang kyai (guru), namun apabila sistem pengajaran yang telah diberikan oleh gurunya itu hanya menukil, memindah pendapat dari beberapa madzhab dan masih ada ikhtilaf di kalangan ulama’ itu
sendiri sedangkan ia sendiri tidak mempunyai satu pendapat pun, maka sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Ghazali, hendaknya ia mampu menjaga dari hal seperti itu karena antara manfaat dan kerusakan (mafsadat) masih lebih banyak kerusakannya.
Begitu juga seorang santri ketika masih dalam tahap permulaan dalam belajar hendaknya ia menghindari diri dari mempelajari berbagai macam buku non agama, dan kitab diluar pelajarannya karena hal itu akan menyia-nyiakan waktunya dan hati tidak bisa konsentrasi, tidak fokus pada satu pelajaran, bahkan ia harus memberikan seluruh kitab-kitab dan pelajaran yang la ambil kepada gurunya untuk dilihat sampai dimana kemampuan belajarnya sehingga guru bisa memberikan bimbingan dan arahan sampai pelajar yakin, dan mampu dalam menguasai palajarannya.
Begitu juga menukil, memindah, meresum dari satu kitab pada kitab yang lain tanpa adanya hal-hal yang mewajibkan, karena apabila hal itu dilakukan maka akan muncul indikasi pertanda kebosanan dan menjadi tanda bagi orang yang tidak bisa memperoleh kebahagiaan.
Namun apabila sang santri sudah mempunyai basic, latar belakang kemampuan yang sudah memadai dan menukil suatu permasalahan hanyalah untuk meningkatkan dan megembangkan kemampuan yang Ia miliki, maka yang lebih baik adalah hendaknya ia tidak meninggalkan satupun dari pelajaranpelajaran ilmu agama (syara’) karena yang bisa menolong hanyalah tagdir dari Allah SWT, semoga diberi umur panjang oleh Allah untuk memperdalam ilmu agama (syara’).
Keempat, sebelum menghafalkan sesuatu hendaknya pelajar mentashihkan terlebih dahulu kepada seorang kyai (guru) atau orang yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu tersebut, setelah selesai diteliti oleh gurunya barulah ia menghafalkannya dengan baik dan bagus.
Setelah menghafalkan materi pelajaran, hendaklah di ulang-ulangi sesering mungkin dan menjadikan kegiatan tagrar (mengulangi pelajaran) sebagai wadhifah, kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Janganlah menghafalkan sesuatu sebelum diteliti, ditashih oleh seorang kyai atau orang yang mempunyai kemampuan dalam bidang itu, karena akan mengakibatkan efek yang negatif. Misalnya merubah makna atau arti dari kalimat tersebut. Dan telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa ilmu pengetahuan itu tidak di ambil dari sebuah kitab
atau buku saja, tetapi diambil dan diperoleh dari seorang guru karena hal itu merupakan kerusakan yang sangat berbahaya.
Ketika sedang mengkaji sebuah ilmu pengetahuan, hendaknya pelajar mempersiapkan tempat tinta, pulpen dan asahan pena untuk memperbaiki dan membenarkan hal-hal yang perlu diperbaiki baik dalam segi bahasa atau i’rab.
Kelima, hendaknya pelajar (murid) berangkat lebih awal. Lebih pagi dalam rangka untuk mencari ilmu. Jika berupa ilmu hadits, pelajar tidak menyia-nyiakan seluruh kesempatan yang ia miliki untuk menggali ilmu pengetahuan dan meneliti sanad sanad hadits, hukum-hukumnya, manfaat, bahasa, cerita-cerita yang terkandung didalamnya, dan bersungguh-sungguh sejak awal dengan kitab “Shahih Bukhari” dan “Shahih Muslim” kemudian kitab-kitab pokok yang lainya yang biasa dipakai pedoman, rujukan pada masa sekarang, seperti Muwattha’nya imam Maliki dan Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, kitab Jami’nya Imam Turmudzi. Dan tidak seharusnya bagi pelajar untuk meminimalisasikan batasan-batasan yang telah dikemukakan di atas.
Sebaik-baiknya kitab yang bisa/mampu menolong kepada orang yang alim, orang yang ahli dalam ilmu fiqih adalah kitab “Sunan Al Kubra” Karya Abu Bakar Al Baihaqi, karena sesungguhnya hadits merupakan salah satu dari dua sisi ilmu syari’at dan sekaligus mampu menjelaskan terhadap begitu banyaknya persoalan yang ada pada sisi yang lain yaitu al Qur’an, artinya al-Qur’an merupakan kitab suci yang kandungan isinya bersifat universal, oleh karenanya dibutuhkan alat untuk menerjemahkan isi Al-Qur’an tersebut yaitu al-Hadits.
Imam as Syafii berkata : “Barangsiapa yang mampu mempelajari kitab hadits, maka la akan memiliki hujjah yang sangat kuat”.