Terjemahan Kitab Kuning | Terjemah Kitab Bathinul Itsmi
- Pengantar Penulis
- MUQADDIMAH
- SISI LAHIRIAH DAN BATINIAH ATAU SISI HUKUM DAN PERTANGGUNGJAWABAN
- BAHAYA TERBESAR
- DAMPAK-DAMPAK BAHAYA BESAR INI
- INILAH OBAT DAN JALAN KELUAR
- CARA PENGGUNAAN OBAT INI
- BERBEDA ISTILAH BUKAN MASALAH
- TASAWUF AKHLAK DAN TASAWUF RASA
- MASALAH KITA ADA PADA AKHLAK DAN BUKAN PEMIKIRAN
- KESIMPULAN
- MARI KITA BERPISAH DALAM SEBUAH PERJANJIAN
Pengantar Penulis
Bismillahir-rahmanir-rahim.
SEGALA PUJI bagi Allahu subhinahu wa ta’ala Sang Maha Pemberi Taufik. Selawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam berserta segenap keluarga dan sahabatnya.
Wa ba’du,
Telah sering diungkapkan bahwa kebenaran itu sangat pahit rasanya! Agaknya, sebab paling penting yang menjadikannya pahit adalah dampak yang ditimbulkan dari diungkapkannya kebenaran tersebut berupa kritik langsung dan destruksi atas beberapa hal yang terjadi di masyarakat.
Kegetiran tersebut tidak akan berkurang, apalagi hilang sama sekali, kecuali dengan menjadikan metode penyampaian kebenaran tadi dengan penuh keikhlasan yang sempurna dan netral dari segala bentuk kepentingan apapun.
Jika seorang pencari kebenaran mampu berpegang teguh dengan prinsip di atas, maka sungguh ia sudah menunaikan kewajibannya di hadapan Allahu subhanahu wa ta’ala dan hamba-hamba-Nya. Tidak men jadi masalah jika ia mendapati dirinya tidak mampu mengubah karakter segala sesuatu dan mengubah pahitnya obar menjadi semanis gula. Sebab sesungguhnya kebenaran itu meskipun tampak berat dan pahit, namun ia sangat besar manfaatnya bagi individu dan masyarakat dibandingkan manis dan nikmatnya Jari atau memusuhi kebenaran itu sendiri.
Cukup menjadi justifikasi bagi seorang pencari kebenaran yang berpegang pada prinsip ini bahwa ia tidak membebankan beratnya kebenaran kepada orang lain kecuali ia juga membebani dirinya dengan hal yang sama. Ia juga merasakan pahitnya kebenaran itu sebelum orang lain merasakannya. Ia tidak pula memposisikan dirinya sebagai seorang nabi yang ma’shum, yang bebas dari dosa dan mengumbar kritik dari mimbar “ismah untuk kemudian menyucikan dirinya dari kesalahan. Bahkan, ia justru menjadikan pengawasan terhadap dirinya, serta kritik atas kesalahan-kesalahan yang ia perbuat sebagai titik tolak untuk memberi peringatan kepada orang lain agar tidak sampai terjerumus pada kesalahan dan penyimpangan yang sama seperti dirinya. Ia menginginkan agar kenikmatan nasihat dan petunjuk yang Allahu ta’ala anugerahkan kepadanya juga dirasakan oleh teman-teman dan saudaranya.
Adakah kesalahan atau kerancuan dalam perkataan ini?! Prinsip itulah yang aku jadikan pondasi semua pembahasan dalam buku ini. Sungguh, dan Allahu ta’al yang menjadi saksi, bahwa aku menginginkan buku ini sebagai nasihat yang aku persembahkan bagi diriku sendiri sebelum aku tujukan kepada orang lain.
Meskipun demikian, masih ada orang-orang yang merasa terusik dengan isi buku ini, sebab isi dari buku ini menjadi kritik atas mereka dan berupaya meluruskan keadaan mereka. Ketidaksukaan mereka terhadap isi buku ini melahirkan reaksi yang sangat aneh dan mengherankan yang tidak ada manfaatnya untuk dijelaskan di sini. Pernah ada yang mengabarkan kepadaku tentang sikap yang mereka ambil terkait buku ini, maka aku jawab: “Ini adalah kebenaran, dan aku tidak menemukan bal lain yang pantas menggantikannya.”
Adapun menganggap diri suci dari dosa dan kesalahan, tidak pernah aku mengetahui ada manusia yang memiliki keistimewaan ini setelah para nabi dan rasul. Sedangkan sikap menolak nasihat dan merasa tinggi hati untuk menerimanya, aku tidak mengira ada satu Muslim pun, yang berislam dengan sungguh-sungguh, rela untuk duduk di atas singgasana kesombongan semacam ini. Adapun cara dan metode menyampaikannya, maka tidak ada pilihan bagi kita selain metode yang ditempuh oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu “alaihi wa sallam.
Beliau shallallahu “alaihi wa sallam menasihati dan mengajarkan kepada para sahabatnya bahwa agama adalah nasihat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengkritik tanpa menyebutkan nama atau menyakiti siapa pun, tetapi beliau berkata: “Apa yang yang diperbuat suatu kelompok…” tanpa mengacuhkan bagaimana jadinya nasihat ini dalam benak semua yang mendengarkan.
Mengenai kemungkinan adanya kesalahan dalam tulisanku, maka aku telah menajamkan pendengaranku dengan harapan aku mendapati koreksi atas kesalahan yang mungkin aku lakukan atau mengingatkan sesuatu yang penting yang aku lupakan atau memberitahu kebenaran yang mungkin belum sampai pengetahuannya kepadaku, namun aku tidak mendapati itu sama sekali, kecuali pada tulisanku yang berjudul “Musykilatna Akhlagiyyah wa-Laysat Fikriyyah” (Masalah Kita Terletak Pada Akhlak, Bukan Pemikiran), ada satu orang yang berkata kepadaku bahwa masalah kita adalah pada pemikiran, bukan akhlak.
Ada juga yang menyebarkan isu bahwa melalui tulisan itu aku mengajak untuk berakhlak tanpa ilmu dan pikiran, bahkan aku mengatakan bahwa kita tidak memerlukan ilmu dan pikiran. Maka aku katakan bahwa aku sama sekali tidak menulis apapun yang menunjukkan hal itu. Dan mereka yang mampu memahami makna suatu perkataan dengan mengikuti kaidah bahasa yang benar tidak akan mungkin sampai pada kesimpulan yang batil itu, yang tidak akan mungkin aku katakan. Bagaimanapun, aku jadikan pembahasan itu lebih jelas lagi pada cetakan kali ini, dan aku berikan catatan kaki yang akan menjawab semua yang berpotensi disalahfahami darinya.
Sekarang aku cetak ulang buku ini dan aku sangat gembira dan rida dengan taufik dari Allah dalam semua proses percetakan ini. Bahkan, aku sangat bersyukur karena Allah menjadikan buku ini sebagai perantara manfaat dan perbaikan bagi banyak kaum Muslimin, dan aku sendirilah yang paling membutuhkan perbaikan dan manfaat ini dibanding siapapun.
Aku cetak ulang buku ini, dan kejadian-kejadian buruk serta musibah pahit yang menimpa kaum Muslimin membuatku semakin yakin bahwa kaum Muslimin dewasa ini semakin mundur kebelakang, tercerai berai, hilang arah, dan direndahkan, dan dosa-dosa batin yang tersembunyi menjadi penyebab yang lebih besar dibandingkan dengan dosa dan maksiat yang tampak jelas.
Aku cetak ulang buku ini, dan pahitnya keadaan umat Islam saat ini membuat keyakinanku bertambah setiap harinya bahwa permasalahan kaum Muslimin adalah malapetaka yang menyerang akhlak mereka dan bukan krisis pengetahuan seperti sangkaan kosong selama ini. Hal ini dengan keyakinan bahwa kaum Muslimin tidak dapat hidup tanpa ilmu dan pengetahuan, sebagaimana seorang yang sakit tidak akan mampu hidup tanpa matahari dan udara, akan tetapi matahari dan udara adalah satu hal dan obat yang menyembuhkan penyakitnya adalah satu hal yang lain.
Aku cetak ulang buku ini, dan aku menjadikan Allahu subhanahu wa ta’ala sebagai saksi bahwa apa yang aku tulis bukan merupakan bentuk kedengkian yang aku hembuskan, bukan pula kebencian yang aku pelihara, atau mengumbar keadaan satu kelompok atau komunitas. Bagaimana mungkin aku melakukan itu semua padahal hal-hal tersebut adalah termasuk sejelek-jeleknya dosa batin yang mana buku ini aku tulis untuk memberi peringatan orang banyak akan bahayanya dan mengajak kepada penyucian hati dan jiwa darinya. Akan tetapi, aku menyaksikan masyarakat yang digiring oleh penyakit berbahaya ini (dan masyarakat tentunya tersusun dari individu-individu), maka aku berkeinginan untuk mengarahkan perhatian mereka kepada penyakit ini melalui sebuah tulisan yang tidak ada maksud lain, insya Allah, kecuali sebagai nasihat kepada Allahu subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan semua orang yang beriman.
Aku cetak ulang buku ini sembari aku tengadahkan tanganku kepada-Nya Yang Maha Mengetahui semua hal yang gaib dengan penuh kerendahan dan merintih, aku berdoa kepada-Nya agar menjadikan aku dan seluruh kaum Muslimin memiliki keistimewaan yang hanya Dia berikan kepada mereka, yaitu wahai Tuhan kami, ampuni dosa kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman dan jangan Kau jadikan ada kebencian dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, wahai Tuhan kami sungguh Engkau Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Allahumma Amin.
al-“Allamah asy-Syahid Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, kota Damaskus, Syiria.
“alayhi rahmatullahi ta’ala wa nafa’anallahu biulumihi wa barakatihi wa asrarihi fid-darain, amin.
One Comment