PASAL PERTAMA
Orang-orang Yahudi mengingkari adanya nasakh. Mereka mengatakan bahwa nasakh itu membuka pintu kekeliruan dan kekacauan.
Padahal mereka sendirilah yang keliru, karena sesungguhnya pengertian nasakh itu ialah tidak memberlakukan suatu ibadah yang telah diketahui oleh Yang memerintahkannya, bahwa hal itu adalah baik. Kemudian perlu pula diingat bahwa taklif atau kewajiban itu mempunyai tujuan yang menjadi sasarannya, dan setelah tercapai sasarannya, maka kewajiban itu ditiadakan.
Sedangkan pengertian kacau seperti yang dimaksud mereka ialah mengubah perkara yang diperintahkan dengan perkara yang baru, yang tidak dikenal sebagai sumber hukum.
Menurut akal atau rasio, masalah nasakh ini pun tidak bertentangan dengannya bila ditinjau dari dua alasan, yaitu:
Alasan pertama ialah pentasyri’ itu boleh memerintahkan hukum apa pun, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Alasan kedua ialah jiwa manusia apabila telah terbiasa terhadap suatu perintah yang biasa dikerjakannya, lalu bilamana perintah itu diubah kepada perintah yang lain, maka hal itu akan dirasakan berat baginya karena ia telah terbiasa mengerjakan perintah yang pertama tadi. Dengan demikian, akan tampaklah ketaatannya kepada pentasyri’, yaitu bila dia mengerjakan apa yang telah diperintahkan-Nya itu.
Sesungguhnya nasakh ini merupakan suatu hal yang diakui oleh syara’, karena telah terbukti bahwa di antara ajaran Nabi Adam Q.S. yang berlaku bagi sekelompok di antara anak-anaknya ialah boleh menikah dengan saudara perempuan sekandung dan perempuan-perempuan yang masih muhrim. Sebagaimana diperbolehkan pula di dalam syariat Nabi Adam Q.S. bekerja di hari Sabtu, kemudian hal tersebut dinasakh (dihapus) oleh syariat Islam.
PASAL KEDUA
Nasakh itu hanya terjadi dalam masalah yang menyangkut perintah dan larangan. Oleh karena itu, tidak berlaku atas hal-hal yang bersifat berita murni: istisna atau pengecualian bukanlah termasuk nasakh, karena nasakh itu hanya berlaku pada hal-hal yang menyangkut perintah saja, sebagaimana yang telah disebutkan. Berbeda halnya dengan terjadinya nasakh di dalam kalimat berita. Sebagian para ulama mengatakan bahwa istisna dan takhsis termasuk nasakh pula, tetapi para ahli Figih berbeda pendapat.
PASAL KETIGA
Nasakh itu terdiri atas tiga bagian yaitu:
Pertama adalah nasakh tulisan dan hukumnya. Sehubungan dengan hal ini ada sebuah hadis yang diceritakan oleh Anas ibnu Malik r.a. Anas ibnu Malik r.a. telah menceritakan, kami dahulu sering membaca suatu surat yang panjangnya sama dengan surat At-Taubah: hanya saja kami tidak hafal lagi kecuali ayat ini, yaitu:
Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan mencari yang ketiganya untuk ditambahkan kepada kedua lembah yang ada itu, niscaya dia pun akan mencarinya lagi untuk yang keempatnya. Dan tiadalah yang dapat memenuhi perut anak Adam itu, melainkan hanya tanah. Dan Allah akan mengampuni orang yang bertobat.
Kedua adalah nasakh (hapus) tulisannya saja, tetapi hukumnya tidak, yakni masih tetap berlaku. Sehubungan dengan hal ini sahabat Umar r.a. telah menceritakan bahwa kami dahulu sering membacakan ayat ini, yaitu: Janganlah kalian suka membuat kedua orang tua kalian benci.
Makna yang dimaksud ialah janganlah kalian berpaling dari orang tua kalian. Dan ayat yang lainnya lagi, yaitu: Lelaki yang dewasa dan perempuan yang dewasa apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya oleh kalian dengan tiada ampun lagi, sebagai pembalasan dari Allah. Dan Allah adalah Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.
Makna yang dimaksud ialah lelaki pelaku zina muhsan dan perempuan pelaku zina muhsan.
Ketiga adalah nasakh hukumnya saja, tetapi tulisan nasnya masih tetap ada. Sebagai contohnya ialah mengenai masalah kiblat, pada mulanya seorang yang mengerjakan salat diperbolehkan menghadap ke arah mana saja, karena berdasarkan firman Allah SWT. yang berbunyi:
“maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Q.S. 2 Al-Baqarah 115)
Kemudian ayat ini dinasakh oleh ayat lainnya karena menghadap ke Baitul Magdis, yaitu firman Allah SWT. yang memerintahkan:
Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. 2 Al-Baqarah, 144)
Contoh-contoh lain yang sama masih banyak, insya Allah akan kami kemukakan nanti pada tempatnya.
One Comment