Fiqh

Terjemahan Kitab Al Miftah Li Babin Nikah

IDDAH

Iddah adalah masa menunggu perempuan untuk menjaga dirinya agar tidak menikah untuk mengetahui kebersihan rahimnya, atau karena perintah Allah, ataupun kaget atas perpisahan dengan suaminya.

MACAM-MACAM IDDAH

Iddah ada 2 (dua) macam, yaitu :

  1. Iddah ditinggal wafat suami
  2. Iddah cerai.

IDDAH DITINGGAL WAFAT SUAMI

Diwajibkan atas istri yang ditinggal mati suami untuk beriddah, baik si istri sudah disetubuhi maupun belum. Bila istri dalam keadaan hamil, maka iddahnya habis dengan melahirkan semua kandungannya walaupun kembar dua, tapi dengan syarat bila anak yang dikandung itu diikutkan (dinisbahkan) kepada shahibul iddahnya (suami yang menyetubuhinya). Dan jika tidak hamil, maka iddahnya 4 bulan 10 hari bagi istri yang merdeka dan 2 bulan 5 hari bagi hamba sahaya.

IDDAH PERCERAIAN

Adapun jika karena cerai, istri hanya diwajibkan beriddah apabila ia sudah pernah disetubuhi.

Maka yang dicerai ataupun yang di fasakh (merusak nikah sebab ada aibnya) sebelum dikumpuli. tidak ada iddah baginya. Demikian juga bagi istri yang di lian yang belum disetubuhi.

Adapun bila sudah disetubuhi: yang dimaksud dengan itu adalah jima’ atau memasukkan sperma (yang dikeluarkan dengan cara yang benar) atau suami menyetubuhi seorang perempuan dengan syubhat (menjima’ seseorang yang dikiranya istrinya) maka istri harus beriddah.

Iddah seorang yang hamil yaitu bila melahirkan semua kandungan, dengan syarat yang telah lewat pada masa iddahnya perempuan yang ditinggal mati suami.

Dan bagi perempuan yang hail (tidak hamil) selain dari anak kecil yang tidak pernah haid atau orang tua yang sudah tidak akan haid lagi untuk selamanya, bila memakai hitungan guru’. maka masa iddahnya tiga guru’ atau tiga kali suci bagi perempuan yang merdeka dan dua kali suci bila dia hamba sahaya.

Dan bila masa iddahnya berdasarkan hitungan bulan (seperti anak kecil yang belum pernah haid atau orang tua yang tidak haid lagi) maka masa iddahnya tiga bulan bagi orang yang merdeka dan satu setengah bulan bagi hamba sahaya, dan akan lebih baik lagi bagi hamba sahaya jika masa iddahnya dua bulan.

IHDAD

Ihdad adalah meninggalkan pakaian yang dicelupkan (berwarna-warni). baik pakaian, wangi-wangian, minyak rambut. atau sipat mata dengan tujuan berhias kecuali di malam hari bila dibutuhkan. Dan meninggalkan berpacar dengan hinna’ atau waros (sejenis tumbuhan yang dibuat untuk berpacar) pada muka, kedua tangan dan kaki dan bukan pada anggota badan yang ditutupi pakaian.

Juga hendaknya meninggalkan memakai perhiasan, baik emas, mutiara ataupun yang sejenisnya, meskipun perhiasan itu berupa cincin.

HUKUM BERIHDAD

Hukum berihdad adalah wajib selama masa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya. Sedangkan jika perempuan itu dicerai ba’in atau di fasakh nikahnya (sebab aib yang ada pada suami / istri) ataupun terkena talak raj’i maka hukum berihdad menjadi sunnah. Bahkan sebagian ulama menyatakan sunnah bagi istri yang di talak raj’i untuk berhias dan tidak berihdad apabila ia menginginkan suaminya tersebut kembali lagi, selama suaminya tidak menyangka bahwa ia berhias karena gembira atas perceraiannya.

RUMAH ATAU TEMPAT TINGGAL ISTRI YANG MASIH Di MASA IDDAH

Wajib adanya tempat tinggal bagi setiap istri yang masih di masa iddah, baik istri yang dicerai raj’i, ba’in, maupun yang ditinggal mati suaminya, baik dalam keadaan hamil maupun tidak. Maka wajib bagi istri untuk tetap di rumah saat di cerai apabila rumah itu milik suami dan pantas ditinggali oleh istri. Dan tidak boleh ada seorangpun yang mengeluarkannya dari rumah itu, juga ia sendiri tidak boleh keluar dari rumah itu meskipun dengan restu dari suaminya.

Namun istri diperbolehkan keluar jika dia tidak mendapatkan nafkah dari suami, seperti istri yang ditinggal mati oleh suami dan istri yang dicerai ba’in dan tidak hamil. Dikarenakan keadaan mendesak / darurat, seperti khawatir pada dirinya atau untuk membeli makanan bila tidak ada yang melakukannya maka ia boleh keluar dari rumah.

Adapun hukum terhadap istri yang wajib diberi nafkah yaitu istri yang dicerai raj’i atau ba’in yang dalam keadaan hamil, ataupun mustabro’ah (hamba yang menunggu masa iddahnya disebabakan kepemilikan atau hilangnya kepemilikan untuk mengetahui bersih rahimnya atau karena menurut perintah Allah), maka tidak boleh keluar rumah kecuali bila dapat izin dari suami atau karena darurat sebagaimana hukumnya sebagai seorang istri.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker