TALAK
Talak menurut bahasa artinya melepaskan ikatan. Sedangkan menurut syariat, talak berarti melepaskan hubungan pernikahan dengan lafaz talak atau sepertinya.
MACAM-MACAM TALAK
Talak terbagi 2 (dua), yaitu :
- Talak dengan uang (imbalan) yang dinamakan khulu’,
2, Talak tanpa uang (imbalan).
- TALAK DENGAN IMBALAN / KHULU’
PENGERTIAN KHULU’
Khulu’ berasal dari kata dengan dibaca fathah huruf kho yang artinya mencabut. Menurut syariat khulu’ berarti perpisahan dengan imbalan (ganti) yang dimaksud (dengan imbalan) yang kembali kepada suami.
RUKUN KHULU’
Rukun khulu’ ada 5 (lima) :
Suami ( ) Yang dimanfaatkan ( ), Orang yang memberi imbalan, baik istri, wali ataupun orang lain (. ) Imbalan ( ) dan Lafaz / shighat ( ).
Adapun yang disyaratkan pada suami adalah hendak-nya orang yang sah mentalak dan syaratnya yang dimanfaatkan (kemaluan/bud’i) dimiliki oleh suami. Jika istri telah ditalak khulu’ yang menjadi ba’in (telah lepas hubungan suami istri), maka jadi batal talak khulu’nya.
Syarat orang yang memberi imbalan hendaklah orang yang diizinkan oleh syariat untuk membelanjakan hartanya. Sedangkan syarat iwadh (imbalan) hendaknya dimaksud (yang bisa diperjual belikan, seperti uang, baju, dll) dan diketahui jenisnya serta kembali kepada suami dan bisa diserahkan kepada suami.
Bila ia mentalak khulu’ dengan sesuatu yang tidak dimaksud (seperti darah) maka talaknya jadi talak raj’i dan imbalannya batal. Apabila talak khulu’nya dengan sesuatu yang tidak jelas (tidak diketahui) atau yang dimaksudnya itu rusak (tidak sah dijual) seperti minuman keras, maka dia sah menjadi khulu’, hanya saja iwadh (imbalan) berpindah menjadi mahar mitsil (bukan minuman keras). Dan apabila gantinya kembali kepada selain suami maka menjadi talak raj’i
GAMBARAN MENGENAI TALAK KHULU’
Gambaran mengenai talak khulu’ adalah seperti si Zaid mengatakan kepada istrinya saya cerai khulu’ kepada kamu dengan uang seribu dirham atau saya cerai kamu dengan seribu dirham atau saya talak kamu dengan seribu dirham. Kemudian istrinya mengatakan seketika itu, saya terima, atau Zaid mengatakan kepada istrinya, apabila kamu menjamin (memberi) saya seratus dirham maka kamu saya talak. Kemudian si istri menjawab, ya, saya beri (jamin) kamu seratus dirham.
Khulu’ merupakan salah satu dari 2 macam talak sebagaimana yang telah kita ketahui bersama.
- TALAK TANPA IMBALAN
Talak tanpa imbalan terbagi 2 (dua), yaitu:
- Yang Jelas (sudah jelas menunjukkan lafaz talak)
- Yang Kinayah (belum jelas menunjukkan lafaz talak).
LAFAZ-LAFAZ YANG MENUNJUKKAN TALAK
Lafaz yang jelas / tegas menunjukkan talak ialah semua lafaz yang tidak mengandung makna lain selain talak itu sendiri. Lafaz ini ada tiga macam yaitu : . dan semua yang terpecah dari lafaz-lafaz ini.
- Lafaz ( ). Seperti: (saya cerai kamu), (kamu dicerai), (kamu tercerai), atau (wahai yang tercerai).
- Lafaz ( ). Seperti: , (saya pisah kamu), (kamu terpisah).
- Lafaz (. ). Seperti: (saya cerai kamu), atau (kamu tercerai).
Adapun lafaz dan bersifat sorih (jelas menunjukkan talak) jika disertai dengan harta setelahnya atau dengan niat talak. Jika tidak, maka kedua lafaz ini jadi kinayah (belum jelas talaknya).
LAFAZ-LAFAZ YANG BELUM JELAS TALAK (Kinayah )
Lafaz yang belum jelas / tegas menunjukkan talak yaitu setiap lafaz yang memiliki dua kemungkinan makna, apakah talak atau tidak, seperti perkataan seorang suami kepada istrinya :
(pulanglah ke keluargamu), (kamu bukan istriku), (hamilmu dari orang lain), (kamu terlepas), (bagimu talak), (saya yang tercerai darimu), dan segala perkataan yang menyerupainya.
Oleh karena itu, lafaz yang sudah jelas menunjukkan talak menyebabkan jatuhnya talak dengan lafaz tersebut, baik disertai niat maupun tidak. Kecuali jika ia menceritakan perkataan orang lain atau fagih (guru ahli figih) yang menggambarkan lafaz talak. Atau dapat juga maknanya dibalikkan ke maksud yang lain karena ada qorina yang kuat, seperti apabila istrinya dalam keadaan terikat, maka si suami melepas tali ikatannya dan berkata, ( ) sekarang kamu terlepas (dengan maksud terlepas dari ikatan tali, maka ucapan tersebut tidak menjadikan talak).
Adapun lafaz yang belum jelas talaknya (kinayah) tidak terjadi talak dengan mengucapkannya, kecuali bila diniatkan talak.
Berkata pengarang Kitab Zubad :
Setiap lafaz yang mengandung kata cerai maupun tidak, dinamakan kinayah, dan terjadilah talaknya Jika disertai niat.
TALAK SUNNI DAN TALAK BID’I
Talak sunni (talak yang sesuai sunnah seperti diajarkan Nabi Muhammad) yaitu suami mencerai istri pada masa suci istri yang belum disetubuhi olehnya.
Talak bid’i (talak yang haram) yaitu suami mentalak istri di masa haid, ataupun di masa sucinya namun sudah disetubuhi olehnya. Talak seperti ini dianggap sah dan si suami berdosa karena telah mentalaknya dalam keadaan tersebut.
Hukum ini berlaku secara keseluruhan jika istri itu sudah pernah disetubuhinya dan si istri bukan masih kecil yang belum pernah haid, bukan juga orang tua yang sudah terputus masa haidnya, bukan perempuan yang sedang hamil dan juga bukan yang di talak khulu’ dengan imbalan.
Jika si istri belum pernah disetubuhinya, maka ia boleh menceraikannya meskipun dalam masa haid, karena tidak ada masa iddah (menunggu). Seandainya anak kecil yang masih belum mengerti haid sama sekali ataupun orang tua yang sudah terputus haid, maka boleh menceraikannya meskipun di masa suci yang disetubuhinya. Dan seandainya si istri sedang hamil atau yang di talak khulu’ dengan imbalan maka si suami boleh menceraikannya walaupun si istri dalam masa haid.
TALAK RAPI DAN TALAK Ba’iIN
Talak juga terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu talak raj’i dan talak ba’in.
Talak raj’i yaitu suami merdeka mentalak istrinya yang sudah pernah disetubuhinya dengan satu atau dua kali talak, tanpa imbalan yang kembali kepada suami. Atau hamba sahaya (budak) yang mentalak istrinya yang sudah pernah disetubuhinya dengan satu kali talak.
Adapun talak ba’in terbagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
- Talak ba’in baynunah sughro.
- Talak ba’in baynunah kubro.
Baynunah sughro yaitu apabila suami mentalak istrinya yang belum pernah disetubuhi atau suami mentalaknya sesudah disetubuhi tetapi memakai imbalan yang kembali kepada suami serta belum memenuhi jumlah talak (kurang dari tiga kali).
Adapun Baynunah kubro yaitu apabila suami mentalak istrinya dengan tiga kali talak bagi orang merdeka, dan dua kali talak bagi budak (hamba sahaya), baik dengan adanya imbalan maupun tidak.
HUKUM TALAK YANG BUKAN BA’IN (TALAK RAJ’I)
Hukum talak yang bukan ba’in atau disebut juga talak raji yaitu suami boleh kembali lagi selama masa iddahnya masih ada seperti suami mengatakan , (saya kembali kepadanya / istri) atau (saya pegang dia) atau , (saya kembalikan dia kenikahku), tinggallah istrinya, apakah rela untuk kembali atau tidak. Jika suami mengatakan lafaz ini maka kembali baginya sisa dari jumlah talak.
Dan wajib bagi suami terhadap istrinya semasa talak raji memberikan nafkah, sebagaimana yang wajib dilakukan kepada istri seperti biasanya, terkecuali alat-alat kebersihan (sabun, sikat gigi dan lain-lain).
HUKUM TALAK BA’IN BAYNUNAH SUGHRO
Hukum talak ba’in baynunah sughro adalah bahwasanya suami tidak boleh kembali lagi (kepada istri) kecuali dengan aqad nikah yang baru, membayar mahar baru serta meminta izin kepada walinya terlebih dahulu. Setelah itu sisa dari jumlah talak kembali lagi kepada suami.
Selain itu wajib juga memberikan tempat tinggal kepada istrinya dimasa iddah (menunggu). Akan tetapi tidak wajib memberi nafkah, terkecuali bila istrinya sedang hamil.
HUKUM. TALAK BA’IN BAYNUNAH KUBRO
Hukum talak ba’in baynunah kubro adalah tidak diperbolehkan rujuk, terkecuali dengan lima syarat, yaitu setelah habis masa iddahnya dari suami yang mentalaknya. Setelah itu ia menikah dengan orang lain dengan nikah yang sah. Lalu didukhul (disetubuhi) suami barunya. Yang dimaksud dukhul (disetubuhi) ialah masuknya hasyafa (kepala kemaluan laki-laki) atau kadar ukurannya jika terputus kedalam kemaluan perempuan dengan syarat intisyar (terjadinya ereksi). Dan terlepas ikatan perkawinan dengan dicerai oleh suami keduanya hingga selesai masa iddahnya. Jika suaminya yang pertama kembali menikahinya dengan memenuhi syarat-syarat di atas, maka kembali lagi jumlah talaknya menjadi tiga kali yang lain.
Wajib hukumnya bagi suami terhadap istrinya di masa iddah sebagaimana yang wajib dilakukan kepada istri yang terkena talak ba’in baynunah sughro.
MENGGANTUNGKAN TALAK
Diperbolehkan menggantungkan talak dengan pekerjaan sendiri, atau pekerjaan orang lain, ataupun menggantungkan kepada terbitnya matahari dan lainnya. Seperti perkataan suami. jika saya masuk rumah maka fulanah (istri) kuceraikan, atau jika si fulan (orang lain) masuk rumahku maka dia (istri) kuceraikan, atau Jika terbit matahari maka fulanah (istri) kuceraikan. Dan kapan saja terjadi peristiwa yang digantungkannya seperti itu maka terjadilah talak. Namun kalau pekerjaan itu tidak terjadi maka talakpun tidak terjadi.
HURUF-HURUF MENGGANTUNGKAN TALAK
Huruf-huruf menggantungkan talak adalah (jika), (apabila), (kapan saja), (apa saja), (kapan waktu), (Setiap), (dan siapa diantara kalian / istri melakukan …..), serta huruf-huruf lain yang menyerupainya.
HUKUM HURUF-HURUF MENGGANTUNGKAN TALAK
Sebagian ulama telah menazomkan mengenai hukum huruf-huruf menggantungkan talak yang berdasarkan syarat terjadinya perkara yang digantungkan dengan seketika atau tidak, dengan perkataan :
Huruf-huruf menggantungkan talak jika dia menunjukkan arti nafi (tidak) maka menunjukkan arti seketika selain huruf ( ), Dan pada arti tsubut (kebalikan nafi), para ulama berpendapat :
Tidak menunjukkan arti seketika kecuali bila digantungkan lafaz ( ) yang disertai dengan menyebut uang setelahnya, begitu juga lafaz ( ). Adapun lafaz ( ) menunjukkan arti berulang-ulang.
Makna nazhom ini adalah, jika huruf menggantungkan talak Masuk kedalam fi’il yang manfiy (yang bermakna tidak) seperti : (apabila kamu tidak melakukan ini …),. (kapan saja kamu tidak melakukan ini …) atau … (di waktu apa saja kamu tidak melakukan ini …) maka kamu dicerai.
Semua pernyataan ini mengandung arti seketika, artinya apabila berlalu setelah lafaz-lafaz yang telah disebutkan di atas beberapa saat yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang telah digantungkannya, kemudian dia tidak melakukannya maka dia telah ditalak (cerai) terkecuali apabila yang digunakan adalah lafaz ( ), karena lafaz tersebut tidak menuntut arti seketika.
Seandainya dia berkata (jika kamu tidak masuk rumah maka kamu ditalak), maka tidak terjadi talak dengan berlalunya beberapa saat yang mungkin melakukan pekerjaan yang digantungkannya (masuk rumah) dan bisa jadi talak apabila tidak bisa masuk rumah sama sekali seperti dikarenakan rumahnya hancur atau telah matinya salah satu diantara suami dan istri.
Bila huruf-huruf menggantungkan talak masuk kedalam fiil yang mutsbat (kebalikan manfiy) seperti perkataan (jika kamu berbicara kepada Zaid), (apabila kamu masuk rumah), atau (kapan kamu melakukan itu) dan sebagainya. Ketika terjadi pekerjaan yang digantungkannya maka terjadilah cerai. Terkecuali apabila menggantungkannya dengan huruf ( ) atau ( ) yang disertai dengan menyebut harta setelahnya atau lafaz ( ).
(bicara kepada istri) lafaz ini mengandung arti fauriyah (seketika) seperti perkataan : (bila kamu (istri) menjamin atau memberi saya (uang) ……. , maka kamu saya ceraikan) atau (jika kamu membebaskan dari hutangmu serasa. kepadaku maka kamu saya ceraikan). Jika istri memberi apa yang telah disebutkan atau membebaskan hutangnya seketika maka terjadilah cerai.
Dan apabila berlalu beberapa saat setelah ia menggantungkan talaknya dihadapan istrinya ataupun tatkala si istri tidak ada dihadapannya kemudian ia mengetahui talak atasnya, dan pada waktu itu ia bisa melakukan pekerjaan yang digantungkan itu kemudian ia tidak melakukannya maka tidak terjadi talak.
Demikian juga seandainya ia menggantungkan dengan huruf ( ) atau ( ) disertai dengan ( ) seperti perkataan :
(jika kamu menghendaki talak maka kamu talak) atau (apabila kamu mau talak maka kamu talak), maka lafaz ini menunggu jawaban seketika. Seandainya si istri langsung menjawab (ya saya mau ditalak), maka terjadi talak.
Lain halnya bila ia mengatakan dengan lafaz (kapan saja kamu mau talak maka kamu saya talakkan) atau (di waktu apapun) dan yang lainnya, hal ini bisa terjadi talak kapan saja si istri mengatakan saya mau talak meskipun dalam jangka waktu yang lama.
Semua huruf ta’liq (huruf-huruf yang menggantungkan talak). tidak mengandung arti berulang-ulang terkecuali kata ( ) bahkan apabila terjadi pekerjaan yang digantungkan itu sekali dengan sengaja (tanpa lupa) serta mengetahuinya dan bukan karena terpaksa, maka terlepaslah sumpahnya.
Seperti suami mengatakan : (kapan saja kamu masuk rumah maka kamu saya ceraikan). Kemudian istri masuk rumah, maka terjadi cerai satu kali. Seandainya suami kembali lagi pada istrinya dan si istri masuk rumah lagi maka tidak terjadi cerai karena telah terlepas sumpahnya dengan pekerjaan yang dilakukannya pertama kali.
Akan tetapi, seandainya menggantungkan dengan kalimat ( ) mengandung arti berulang-ulang. Seperti suami mengatakan (kapan saja kamu masuk rumah Zed maka kamu talak satu kali) dan apabila dia masuk rumah Zed maka terjadi talak satu kali dan apabila dia masuk lagi ke rumah Zed sedangkan dia masih ada iddahnya atau masuk lagi setelah dia kembali ke nikah (setelah di rujuk) maka terjadi cerai untuk kedua kalinya. Dan apabila dia masuk ke rumah Zed untuk yang ketiga kalinya maka terjadi perceraian untuk yang ketiga kalinya.
Hal ini terjadi bagi si istri yang sudah didukhul (dikumpulinya). Seandainya istrinya belum didukhul (disetubuhinya) maka dengan dicerai yang pertama menjadi ba’in (terlepas dari suami) dan terlepasiah menggantungkannya dikarenakan terlepas hubungan suami istri itu.
HUKUM MENGGANTUNGKAN TALAK PADA PEMBAHASAN (Dari SESUATU YANG WAJIB BAGI Suami)
Bila suami menggantungkan talak kepada istrinya dengan pembebasan oleh istri terhadapnya dari maskawin (mahar) ataupun dari hutang yang wajib dibayar suami kepada istrinya, seperti dengan mengatakan kapan saja kamu membebaskan saya dari maharmu (atau dari hutangmu) maka kamu kuceraikan. Kemudian si istri membebaskan suami dari maharnya atau hutangnya. Maka terjadi talak dengan syarat pembebasan dari hutang atau mahar tersebut sah.
Seandainya tidak sah, seperti bila si istri tidak dibolehkan membelanjakan hartanya ( ) atau tidak tahu apa yang dibebaskannya maka tidak sah pembebasan hutang atau maharnya tersebut yang juga berarti tidak terjadi talak. Dan disyaratkan juga bagi suami dan istri mengetahui barang yang dibebaskan, baik itu jenis, kadar maupun sifatnya, serta tidak ada hubungan antara yang dikeluarkan itu dengan zakat yang belum dikeluarkan.
Dan apabila suami tidak mengetahui barang yang dibebaskan atau masih ada bersangkutan dengan zakat yang belum dikeluarkan, maka tidak terjadi perceraian. Inilah hukum menggantungkan talak dengan membebaskan (hutang atau mahar).
Lain halnya jika menggunakan bentuk agqad, seperti dia berkata kepada istrinya (saya talak khulu’ kamu) atau (saya talak kamu dengan membebaskan dari maharmu). Bila istri tidak mengetahui sesuatu yang dibebaskannya, maka terlaksanalah talak ba’in dengan mahar mitsil, hal ini dikarenakan rusaknya mahar (iwadh) (yang tidak diketahuinya itu) pada aqad khulu’ (cerai) tidak mempengaruhi terlaksananya talak. Lain halnya pada hukum ta’lig (menggantungkan talak) karena menggantungkan talak harus adanya sesuatu yang digantungkan.
RUJUK
Rujuk (kembali ke nikah) adalah menarik perempuan ke nikah dari sebab cerai yang bukan ba’in di masa iddahnya dengan cara tertentu, dimana bagi seseorang yang merdeka mencerai istrinya yang sudah dikumpulinya, satu atau dua kali cerai, atau seorang hamba yang mencerai istrinya satu kali. Yang mana cerainya tanpa Imbalan yang diberikan kepada suami maka boleh kembali lagi selagi kembalinya itu di masa iddahnya. Firman Allah swt :
Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali ke nikah kepada mereka apabila mereka menginginkan kebaikan (perdamaian). (O.S. Al-Bagarah : 228)
Adapun bila suami telah memenuhi jumlah cerai sebanyak tiga kali, maka tidak boleh kembali lagi sampai istrinya dikawini oleh orang lain dengan memenuhi persyaratan yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dan apabila cerainya dengan imbalan yang kembali kepada suami atau Ssi istri belum pernah dikumpuli ataupun kembalinya di masa selesai iddahnya maka tidak diperbolehkan kembali lagi.
GAMBARAN RUJUK
Gambaran rujuk (kembali ke nikah) : hendaknya suami berkata kepada istri yang telah diceraikannya bukan cerai ba’in. yang belum habis masa iddahnya, (saya kembali kepada kamu), (saya pegang kamu kembali), , , (saya kembalikan kamu kepada saya atau kepada nikahku).
Bila suami mengucapkan perkataan itu, maka si istri kembali lagi ke nikahnya dengan sisa jumlah talaknya baik istrinya sukarela dengan kembalinya itu ataupun tidak.
Dan disunnahkan ada saksi yang menyaksikan proses rujuk tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa adanya saksi yang menyaksikannya hukumnya wajib.
Hukum istri yang dicerai yang bukan ba’in diberi nama talak raj’i (istri yang dicerai bisa kembali lagi) selama masa iddah. hukumnya seperti istri dalam semua hal. Selain bersenang-senang atau berduaan dengan suaminya, maka tidak boleh.
Suami wajib memberikan kepada istri nafkah pakaian, tempat tinggal dan lain-lain kecuali perlengkapan kebersihannya. Hal ini diperuntukkan bagi istrinya tadi bila tidak nasyizah (istri yang tidak ta’at kepada suami nya) dan jika dia istri yang nasyizah maka dia tidak berhak mendapatkan itu semua karena ketidak ta’atannya seperti ketika ia masih menjadi istri.
Dan jika si istri mati di masa iddahnya maka suami mewarisinya dan jika suami yang mati sedangkan istri masih di masa iddahnya maka masa iddahnya berpindah ke masa iddah istri yang ditinggal mati suami dan istri mewarisinya.
Suami tidak boleh menikahi istri yang keempat sedangkan istrinya masih di masa iddah. Dan tidak boleh menikahi saudari dan bibi istrinya selama istrinya masih di masa iddah. Istri yang dicerai bisa di cerai baru dan di khulu’ dan lain-lain dari hukum istri.
HUKUM PERBEDAAN SUAMI ISTRI TENTANG RUJUK
Apabila suami mengaku rujuk dan kenyataannya bahwa masa iddah istri masih tersisa maka suami dibenarkan, karena ia masih bisa mengungkapkan rujuknya saat itu.
Dan apabila dia mengaku rujuk sedangkan masa iddah istri telah selesai dan si istri mengingkarinya (kembali) dari asalnya maka si istri dibenarkan karena asal itu tidak terjadi rujuk.
Bila masa iddah istri telah selesai lalu suami mengaku telah kembali pada masa iddah, namun si istri mengingkarinya, seperti apabila suami istri sepakat berakhirnya masa iddah hari Jum’at dan suami berkata saya rujuk kamu hari Kamis (sebelum habis iddah) dan istri berkata kamu rujuk hari Sabtu, maka yang dibenarkan adalah istri dengan sumpahnya karena ia tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk hari Kamis.
Bila mereka sepakat waktu kembalinya hari Jum’at, kemudian istri berkata habis masa iddahnya hari kamis tetapi suami berkata habis masa iddahnya hari Sabtu, maka suami dibenarkan bahwa iddahnya tidak habis hari Kamis karena kesepakatan mereka berdua waktu rujuk sedangkan asal itu tidak habis masa iddah sebelumnya.
Dan bila pertentangan suami istri pada yang terlebih dahulu, baik yang dahulu itu waktu habisnya iddah atau waktu rujuknya maka yang lebih shahih (pendapat yang lebih dipilih ulama) memilih yang terlebih dahulu mengaku (suami atau istri), seperti bila istri terlebih dahulu mengaku habis masa iddahnya kemudian baru suami mengaku rujuk (kembali) sebelum habis masa iddah, maka dibenarkan istri dengan sumpahnya, bahwa iddahnya telah habis sebelum suami kembali (rujuk).
Dan bila terlebih dahulu suami mengaku rujuk sebelum masa iddahnya habis baru kemudian setelah berselang beberapa waktu istri berkata bahwa suami rujuk kepadanya setelah selesai masa iddahnya maka yang dibenarkan adalah suami dengan sumpahnya bahwa suami kembali sebelum habis masa iddahnya.
Bila bersamaan pengakuannya, seperti perkataan istrinya, masa iddahku habis, berbarengan dengan perkataan suaminya, saya kembali kepada kamu, ataupun perkataaan istrinya langsung setelah perkataan suaminya maka istrinya dibenarkan dengan sumpahnya.
Hal ini berlaku bagi pertentangan antara yang lebih dahulu rujuk sebelum habis masa iddahnya dan yang lebih dahulu habis masa iddahnya sebelum rujuk. Tapi kedua suami istri telah sepakat mengenai waktu habisnya masa iddah.
Adapun bila mereka bertentangan mengenai apakah masa iddahnya telah habis atau tidak, maka yang dibenarkan adalah Istri apabila ia mengaku masa iddahnya telah habis berdasarkan berhitungan yang bukan memakai bulan. Dan dibenarkan bagi suami dengan sumpah, jika ia mengaku belum habis masa iddah Istrinya dimana perhitungan yang digunakan berdasarkan bulan bila si istri telah terputus dari haid sama sekali karena sudah tua atau tidak pernah sama sekali haid. Karena pertentangan mereka (suami istri) mengenai masa habis iddah, bila perhitungannya berdasarkan bulan maka dikembalikan pada waktu cerainya dan suami diterima perkataannya pada asal talak, begitu pula diterima waktu cerainya.
Adapun pengakuan istri mengenai masa habis iddahnya dengan melahirkan atau dengan guru’ (3 kali suci) bila memungkinkan, maka istri dibenarkan pengakuannya karena ia dipercaya pada apa-apa yang ada dirahimnya.
Bila ia mengaku habis masa idddahnya kurang dari masa yang memungkinkan maka ditolak pengakuannya. Namun dibenarkan bila memungkinkan, setelah itu si istri wajib ditanyai bagaimana sucinya dan haidnya, serta disumpah jika meragukan dikarenakan telah banyaknya kerusakan di kalangan masyarakat.
Paling cepatnya waktu yang memungkinkan bila ia mengaku melahirkan anak sempurna enam bulan (dikarenakan enam bulan merupakan paling singkatnya masa hamil) dan dua sebentar (sebentar dari masa berkumpul setelah kawin dan sebentar dari masa melahirkan) dari waktu berkumpulnya suami istri setelah kawin. Bila istri mengaku melahirkan dalam keadaan sigt (keguguran) yang sudah berbentuk anak, paling memungkinkan 120 hari dan dua sebentar (sebentar pertama waktu berkumpul suami istri dan kedua waktu melahirkan).
Bila istri mengaku melahirkan mudghah (segumpal daging) yang belum jelas bentuknya, paling mungkin 80 hari dan dua sebentar. Tapi disyaratkan pada keguguran yang berbentuk segumpal daging ini disaksikan oleh bidan, bahwa gumpalan ini asalnya manusia dan bila tidak ada kesaksian dari mereka. maka tidak habis masa iddahnya dengan melahirkan (keguguran) tersebut.
Bila istri mengaku habis masa iddahnya dengan guru’ (3 kali suci) jika ia orang merdeka dan dicerai di masa sucinya, maka paling mungkin habis iddahnya 32 hari (bila dia menceraikan istrinya sedangkan masa sucinya masih tersisa, itu dianggap satu guru’, 1 hari haid dan 15 hari suci (dua guru’) dan 1 hari haid 15 hari suci maka genaplah 3 guru’), dan dua sebentar (sebentar pertama sisa masa suci yang dicerai dan masa yang kedua masa sebentar selesai masa iddahnya). Bila dicerai di masa haidnya, maka paling mungkin 47 hari (ini seperti bila ia menggantungkan talak istrinya di akhir masa haidnya”, kemudian masuk masa sucinya 15 hari, 1 hari masa haid dan 15 hari sucinya. kemudian haid 1 hari dan suci 15 hari kemudian haid dan begitu memasuki masa suci, maka selesailah masa iddahnya, jumlahnya 47). dan satu sebentar (masuk masa suci yang ketiga).
Dan jika ia budak yang dicerai di masa suci, maka paling memungkinkan 16 hari dan dua sebentar (pertama sisa masa sucinya, kedua sebentar dengan masuk masa suci yang ketiga). Dan jika dicerai di masa haid, paling memungkinkan 31 hari dan satu sebentar (sebentar masa setelah habis iddahnya).
Namun bila tidak diketahui apakah dicerai di masa haid atau suci, untuk lebih berhati-hati maka diikutkan di masa haid, karena asalnya masih ada masa iddah.
One Comment