Terjemahan.ahmadalfajri.com | Terjemahan Kitab At Tadzkirah Fi Ahwalil Mauta
BAB TENTANG KEMATIAN
Larangan Mengharapkan Mati Karena Ditimpa Cobaan Harta Maupun Kesehatan
Diriwayatkan oleh Muslim dari Anas, dia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan mati karena ditimpa dengan cobaan (bencana). Jika memang mengharapkannya, maka berdoalah dengan mengucapkan, “Ya Allah hidupkanlah aku jika kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, dia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
‘Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan dan memohon mati sebelum ajal mendatanginya. Apabila salah seorang dari kahan mati, maka terputuslah amalnya. Sungguh, seseorang yang beriman itu harus menambah kebajikan dalam umurnya.”
Diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan mati. Kalau dia orang baik, maka dia masih bisa menambah kebaikan; dan kalau dia orang jahat, mudah-mudahan dia masih bisa bertobat terlebih dahulu.”
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Jabir bin Abdullah, dia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kalian mengharapkan mati, karena kematian itu adalah sesuatu yang sangat dahsyat. Sungguh termasuk kebahagiaan jika seorang hamba panjang usianya hingga Allah memberi kesempatan untuk bertobat.” Hakikat Kematian
Menurut para ulama, kematian bukanlah kehilangan atau kemusnahan semata. Kematian adalah peristiwa terputusnya hubungan roh dengan jasad, terpisahnya jiwa dari raga, pergantian keadaan, dan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Kematian adalah musibah yang paling besar. Allah Ta’ala menyebut kematian sebagai musibah sebagaimana dalam firman-Nya,
“Lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (QS. al-Ma’idah: 106)
Kematian memang suatu musibah dan malapetaka yang besar. Tetapi, menurut para ulama, musibah yang lebih besar lagi ialah fupa pada kematian itu sendiri, tidak mau mengingatnya, jarang memikirkannya, dan tidak mau beramal untuk menghadapinya. Sesungguhnya di dalam kematian itu sendiri terdapat pelajaran bagi yang mau berpikir. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Saw. bersabda, “Seandainya binatang itu mengetahui akan kematian seperti yang kalian ketahui, niscaya kalian tidak akan memakan binatang yang gemuk.”
Diceritakan bahwa ada seorang dusun (Arab Badui) sedang menunggangi seekor unta. Entah kenapa untanya mendadak jatuh lalu mati. Lalu, ia segera turun sambil berputar-putar, ia berpikir apa yang sedang terjadi. la bertanya pada untanya, “Kenapa kamu tidak mau berdiri lagi? Lihat itu, seluruh anggota tubuhmu masih utuh dan tidak ada yang terluka! Ada apa denganmu? Apa yang membuatmu begini? Apa yang menyebabkan kamu tidak bisa bergerak sama sekali?” Kemudian ia meninggalkan untanya begitu saja sembari terus berpikir kenapa bisa terjadi seperti itu. la benar- benar merasa heran dan tidak habis pikir.
Seorang penyair membacakan syair tatkala menyaksikan seorang perwira yang meninggal di hadapannya,
“Isyarat kematian sudah menjemputnya ja terkapar dengan tangan terbentang dan mulut menganga dengan baju besi dan senjata yang masih dipegang terkapar seperti sebuah mangsa besar bahkan, ia tidak peduli panggilan agung para raja karena maut telah menghinggap di atas kepalanya apa kiranya yang terjadi pada dirimu ketangguhanmu telah hilang, bahkan kamu tidak mampu bicara lagi kabar ini, bukanlah pemberitaan di tempat ini hanya saja, kita masih tidak peduli dan seakan- akan tidak pernah tahu.”
Diriwayatkan oleh Abu Abdullah at-Tirmidzi dalam kitabnya, Nawadir al-Ushul, aku mende. ngar dari Qutaibah bin Sa‘ad dan Khathib bin Salim dari Abdul Aziz al- Majisyun dari Muhammad ibnu al-Munkadir, dia berkata, putra Nabi Adam a.s. meninggal, falu beliau memberitahukan peristiwa itu kepada istrinya dan berkata,
“Hawa, anakmu telah meninggal.” Hawa bertanya, “Apa itu meninggal?” Beliau menjawab, “Orang meninggal itu tidak bisa makan, tidak bisa minum, tidak bisa berdiri, dan tidak bisa duduk” Mendengar itu, Hawa menangis keras. Beliay lalu berkata, “Hindari olehmu dan anak-anak wanitamu dari tangisan keras, aku dan anak-anak lakiku tidak bertanggung jawab atas hal itu.”
Adapun sabda Nabi Saw., “Mudah-mudahan dia masih bisa bertobat terlebih dahulu,” maksudnya ialah mencari keridaan Allah. Dan satu-satunya cara ialah dengan bertobat serta tidak mengulangi perbuatan dosa. Demikian dikatakan Syekh al- Jauhari. Di dalam al-Qur’an, hal itu diungkapkan oleh Allah Ta’ala saat menyinggung orang-orang kafir,
“Dan jika mereka minta belas kasihan, maka mereka itu tidak termasuk orang yang
pantas dikasihani.” (QS. Fushshilat: 24)
Sahal bin Abdullah at-Tastari berkata, “Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan mati kecuali untuk tiga orang. Yaitu, orang yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah mati, orang yang sengaja lari dari takdir Allah, dan orang yang sudah sangat rindu bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla.”
Ada riwayat yang mengatakan bahwa suatu hari Malaikat Maut mendatangi Nabi Ibrahim a.s., kekasih Allah, untuk mencabut nyawanya. Beliau lantas berkata, “Wahai Malaikat Maut, pernahkah engkau melihat ada kekasih mencabut nyawa kekasihnya sendiri?” Malaikat Maut lalu naik ke langit menemui Tuhannya untuk mengadukan hal itu. Allah lalu berfirman kepada Malaikat Maut, “Katakan kepadanya, pernahkah engkau melihat seorang kekasih yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya?” Malaikat Maut pun turun untuk menyampaikan pesan Tuhannya itu. Setelah kalimat itu disampaikan kepada Nabi Ibrahim a.s., maka beliau berkata, “Cabutlah nyawaku saat ini juga.”
Abu Darda’ berkata, setiap mukmin yang ditimpa dengan kematian, maksudnya adalah baik. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang berbakat.” (QS. Ali ‘Imran:
198)
“Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa tenggang waktu yang
Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya.” (Qs. Ali ‘Imran: 178)
Hayyan al-Aswad berkata, “Kematian adalah sebuah jembatan yang menghubungkan pertemuan dua kekasih.”
Boleh Mengharapkan Mati Untuk Menyelamatkan Agama Allah Ta’ala mengabarkan
kisah Nabi Yusuf a.s. dalam firman-Nya,
“Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang saleh.” (QS. Yusuf: 101)
Allah juga mengabarkan kisah Maryam dalam firman-Nya,
“Wahai, betapa (baiknya) aku matt sebelum ini, aku menjadi seorang yang tidak
diperhatikan dan dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Malik dari Abu Zinad al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda, kiamat tidak akan terjadi sebelum ada seseorang yang melewati kubur orang lain seraya berkata, “Alangkah baiknya seandainya aku berada di tempatnya.”
Menurutku, ini tidak bertentangan dengan apa yang apa telah saya jelaskan sebelumnya.
Menurut Qatadah, tidak ada seorang nabi pun yang mengharapkan untuk mati selain Nabi Yusuf a.s.. Ketika sudah mendapat kenikmatan-kenikmatan yang sempurna dan berhasil meraih segalanya, Nabi Yusuf a.s. rindu untuk segera bertemu Tuhannya. Karena itulah, ia berkata seperti yang dikutip dalam Surah Yusuf ayat 101,
“Ya tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian tabir mimpi,” Karena itulah, ia sudah ingin bertemu dengan Tuhannya ‘Azza wa Jalla.
Ada yang berpendapat bahwa sebenarnya Nabi Yusuf a.s. tidak hanya sekedar mengharapkan untuk mati, tetapi ingin meninggal dalam keadaan Islam. Dengan kata lain, ia berkata, “Jika telah tiba ajalku, maka wafatkanlah aku dalam keadaan Islam.” Ini adalah pendapat yang dipilih oleh ahli ta’wil dalam menafsirkan ayat tersebut. Wallahu a’lam.
One Comment