Kesimpulan
Sebagaimana rasa syukur dapat menambah kenikmatan itu sendiri, maka keluhan akan menambah musibah tersebut dan bisa membuat seseorang tidak lagi mengasihi dirinya. Seorang shaleh dari Erzurum menderita penyakit kronis dan ganas. Hal tersebut terjadi setahun setelah perang dunia pertama berkobar. Aku pun pergi mengunjunginya dan ia mengeluh kepadaku,” Saudaraku, sejak seratus hari aku sama sekali belum merasakan lelapnya tidur”. Keluhannya membuatku sedih, akan tetapi pada saat itu aku teringat dan berkata kepadanya: “Saudaraku, sesungguhnya seratus hari yang telah berlalu, pada saat ini menjadi senilai seratus hari yang menyenangkan. Karena itu, jangan Anda mengingat dan mengeluhkannya. Pandanglah hari-hari tersebut, dan bersyukurlah kepada Allah atas segala hal tersebut.
Untuk hari-hari yang akan datang, karena semuanya belum lagi tiba, pasrahkan dan sandarkan dirimu kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Jangan menangis jika belum terpukul. Jangan takut terhadap sesuatu yang tidak ada. Jangan pula mengada-ada. Karena kekuatan sabar sudah cukup untuk saat ini. Jangan pernah meniru dan mengikuti jejak pemimpin dungu yang memecah kekuatan di markasnya ke kin dan ke kanan. Padahal pada saat itu, kekuatan musuh yang berada di kiri bergerak ke sisi kanan yang belum lagi bersiap menyerang. Ketika musuh mengetahui hal ini, mereka segera menyerang kekuatan kecil yang ada di markas dan menghabisi mereka.
Saudaraku, jangan seperti pemimpin di atas. Konsentrasikan semua kekuatan Anda untuk saat ini saja. Pikirkanlah rahmat Allah yang masih luas dan renungkan pahala di akhirat. Renungkan transformasi yang dilakukan derita sakit Anda dengan menjadikan umur fana Anda yang pendek menjadi panjang. Karena itu, bersyukurlah kepada Allah SWT sebagai ganti dari berbagai keluhan ini”. Nasehat ini memberikan pencerahan kepada si sakit tersebut sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, sakitku sudah banyak berkurang”.
Poin Kelima
Poin ini terdiri dari tiga masalah: Masalah pertama, sesungguhnya musibah dan bencana yang hakiki dan dianggap sangat berbahaya adalah yang menyerang agama. Dan apabila kondisi tersebut yang terjadi maka manusia harus segera berlindung kepada Allah SWT, bersimpuh dihadapan-Nya. Adapun musibah yang tidak menyerang agama bukanlah musibah. Sebab, pada satu sisi, musibah tersebut merupakan peringatan ahi. Bagaikan seorang gembala yang memperingatkan kambing gembalaannya ketika keluar dari tempat penggembalaan dengan melemparkan bebatuan. Sehingga, kambing tersebut menyadari bahwa penggembalanya memberikan peringatan untuk menghindari perkara yang berbahaya dengan lemparan batu, dan akhirnya kembali masuk ke daerah penggembalaannya dengan ridha dan perasaan tenang. Demikian pula halnya dengan musibah, sesungguhnya sebagian besar dari musibah itu sendiri adalah peringatan Ilahi dan teguran rahmani untuk manusia.
Sisi lain dari musibah adalah penghapus dosa. Dimensi lain dari musibah adalah sebagai berikut: Musibah memberikan ketenangan kepada manusia dengan menghilangkan kelalaian, memberitahukan ketidakberdayaan, dan kelemahan manusiawi kepada manusia.
Adapun musibah yang diderita oleh manusia saat sakit sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya-sudah dapat dipastikan bahwa ia bukanlah musibah yang sesungguhnya, akan tetapi kelembutan rabbani karena ia mensucikan dan membersihkan daki-daki kejahatan. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam satu hadis sahih, yang maknanya sebagai berikut: “Tidaklah seorang muslim dirundung musibah dan penyakit melainkan Allah menghapus dosa-dosanya sebagaimana dedaunan pohon yang gugur”
Demikianlah, dalam munajatnya Nabi Ayyub a.s. tidak berdoa untuk kenyamanan dirinya. Akan tetapi ia memohon kesembuhan kepada Allah ketika penyakit telah menghalangi lisannya untuk berzikir dan gqalbunya untuk bertafakkur. Ia memohon kesembuhan agar bisa melakukan tugas-tugas ubudiyah. Oleh karena itu, sudah seharusnya hal pertama yang menjadi tujuan kita dengan bermunajat adalah niat mengharapkan kesembuhan atas luka-luka rohani kita dan penyakit-penyakit batin akibat melakukan dosa. Dan kita juga harus memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Kuasa ketika penyakit fisik yang kita derita menghalangi kita untuk beribadah. Saat itu kita berlindung dengan merendahkan diri, dan memohon pertolongan-Nya tanpa mengeluh dan memprotes. Karena jika kita ridha akan sifat ketuhanan-Nya (Rububiyyah) yang menyeluruh, maka selama itu pula kita harus ridha dan menerima dengan total apa yang diberikan-Nya kepada kita melalui sifat ketuhanan-Nya.
Adapun keluhan yang mengisyaratkan penolakan dan keberatan atas qadha dan qadar-Nya, persis seperti kritik terhadap ketentuan ilahi yang adil dan ketidakpercayaan terhadap kasih sayang-Nya nan luas. Dan siapa pun yang mengkritik ketetapanNya akan terkapar oleh takdir itu sendin, dan yang tidak mempercayai rahmat Allah akan terhalang dari rahmat itu. Karena, seperti menggunakan tangan yang patah untuk membalas dendam akan memperparah
kondisinya, demikian pula menghadapi musibah dengan keluh kesah, kerisauan, penolakan, dan kegelisahan akan melipatgandakan cobaan tersebut.
Masalah kedua, jika anda membesar-besarkan musibah fisik maka ia akan menjadi besar. Dan setiap kali anda menyepelekannya, maka ia akan menjadi kecil. Misalnya, setiap kali seseorang menaruh perhatian kepada ilusi yang dilihatnya di malam hari, maka ilusi tersebut akan menjadi besar. Padahal jika diabaikan, ilusi tersebut akan lenyap. Demikian pula, setiap kali seseorang menghampiri sarang lebah, maka lebah- lebah tersebut akan memperhebat serangannya. Akan tetapi jika ditinggalkannya, maka lebah-lebah tersebut akan berhenti menyerang.
Demikian pula dengan musibah fisik. Ketika seseorang membesar-besarkan musibah tersebut, memfokuskan perhatian kepadanya serta merisaukannya, maka ia akan menembus jasad dan menetap di hati. Dan ketika musibah maknawi yang ada dalam hati tumbuh dan menjadi pendukung musibah fisik, maka musibah fisik akan berlanjut dan berlangsung lama. Akan tetapi ketika seseorang dapat menghilangkan kerisauan dan kegelisahan dari akarnya dengan ridha terhadap qadha’ Allah, dan dengan bertawakkal terhadap rahmat-Nya, musibah fisik tersebut akan berangsur pergi dan menghilang, bagaikan pohon yang layu dan kering dedaunannya akibat terpotong akarnya.
Pada suatu saat, hakikat ini saya ungkapkan dalam untaian kalimat berikut ini:
Dari keluhan muncullah bencana Duhai orang miskin, jauhi dan tawakkallah! Jika Anda arahkan munajatmu pada Tuhan Sang pemberi, pasti Anda dapat. Sebab, segala sesuatu adalah anugerah-Nya. Dan segala sesuatu adalah suci. Tanpa Allah: engkau akan tersesat dan cemas di dunia ini Apakah Anda mengeluhkan biji pasir, sedangkan orang lain dapat musibah sebesar dunia? Sunggulah keluhan itu hanyalah musibah di atas musibah Dosa di atas dosa dan derita! Jika Anda tersenyum di hadapan musibah..Niscaya ia akan layu dan larut.. Di bawah mentari kebenaran, menjadi butiran-butiran es. Saat itulah duniamu tersenyum.. Senyuman yang menyiratkan keyakinan.. Senyuman gembira karena pancaran keyakinan.. Senyuman kagum karena rahasia-rahasia keyakinan..”
Benar, sebagaimana manusia menurunkan tingkat permusuhannya dengan menghadapinya dengan wajah ceria dan tersenyum, kerasnya permusuhan akan melentur dan api perselisihan akan padam. Bahkan kondisinya berubah menjadi sebuah persahabatan dan perdamaian. Demikian pula, dampak dari sebuah musibah akan hilang apabila musibah tersebut dihadapi dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
Masalah ketiga, setiap zaman tentu memiliki aturan dan ketentuan khusus. Pada masa kelalaian sekarang ini, musibah telah berubah bentuk. Bagi sebagian orang, musibah tidak selamanya merupakan musibah, tapi kebajikan Ilahi dan kelembutan dari-Nya. Saya melihat mereka yang mendapatkan musibah dan bala’ pada saat sekarang ini, adalah orang-orang yang beruntung dan bahagia, selama hal tersebut tidak merusak agamanya. Dalam pandangan saya, penyakit dan musibah tersebut tidak mengakibatkan bahaya sehingga harus dilawan dan penderitanya harus dikasihani. Sebab, aku menyaksikan seorang pemuda yang menderita sakit memiliki komitmen yang lebih kepada agamanya dibanding pemuda lain yang sebaya. Dia memiliki keterikatan dengan akhirat.
Hal tersebut membuat saya sadar bahwa sakit dan penderitaan bagi orang-orang ini bukanlah musibah tapi salah satu nikmat Allah SWT. Sebab penyakit tersebut memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan ukhrawi penderitanya dan menjadi salah satu bentuk ibadah, walaupun hal tersebut memberatkan kehidupan dunianya yang fana. Jika berada dalam kondisi sehat, pemuda ini bisa saja tidak mengerjakan perintah Ilahi sebagaimana ketika ia menderita sakit. Bahkan bisa jadi dia akan terbawa arus melakukan berbagai hal ceroboh, gegabah, dan buruk seperti yang dilakukan para pemuda pada umumnya.
One Comment