
Kembali kepada Ilmu Pengetahuan
Kalau yang dipakai pedoman oleh kaum Orientalis demikian itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum menguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu, tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu. Kalau saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu — disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa kegiatan rohani dan intelek manusia akan samasekali tertutup selama terjadi krisis ayan. Si penderita dibiarkan dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain. Dalam pada itu, dia pun kehilangan kesadarannya. Ia tidak sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan gerak. geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, ia pun tidak ingat apa-apa lagi.
Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang begitu kuar membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran dan suasang intelek yang meyakinkan. Apa yang diwahyukan kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan, melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia membawa orang berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan wahyu, yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada mereka kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia. Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan rahasianya — sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa abad Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.
Kadang Ilmu yang tidak Cukup
Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata, bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri dalam penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita — dengan ruang lingkupnya yang luas — masih merasa terbatas akan menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat, juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang, tatasurya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih merupakan hipotesahipotesa penemuan. Semua benda cakrawala ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi, yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan. Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positif pun juga belum ditemukan.
Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku menurut kaedah-kaedah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka jangkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.
Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum Muslimin selama masa hidup Muhammad – demikian juga Quran – setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan Nabi, kemudian mereka pun mempercayai. Sekitar risalah dan masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian mereka pun mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang gila. Mereka pun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.
Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan bertentangan dengan kaedah-kaedah yang ilmiah ialah sikap mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang menerimanya disertai kecaman dengan pelbagai rupa. Inilah yang justru bertentangan dengan ilmu.
Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan, bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, bagaimanapun juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu, seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan penulispenulis lain pada permulaan sejarah Islam itu. Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu sebenarnya takkan pernah bertemu.
One Comment