Terjemahan Kitab Kuning | Terjemahan Kitab Tanbihul Ghafilin
Terjemahan Kitab Kuning | Terjemahan Kitab Tanbihul Ghafilin
Tanbihul Ghafilin dapat dianggap sebagai karya paling agung Abu Laits al-Samarqandi.
Kitab ini diperkirakan ditulis pada abad keempat Hijriah. Abu Laits sendiri diyakini wafat pada tahun 373 Hijriah.
Dalam literatur kitab kuning, ada dua nama al-Samarqandi. Salah satunya adalah Abu Hafsh Umar al-Naisaburi yang terkenal dengan panggilan al-Samarqandi.
Berbeda dengan al-Samarqandi yang mengarang Tanbihul Ghafilin, al-Samarqandi yang hidup sekitar tahun 840 Hijriah itu menulis buku yang berjudul al-Nail al-Hatsits fi Hikayat al-Hadits.
Baik Tanbihul Ghafilin maupun al-Nail al-Hatsits fi Hikayat al-Hadits adalah dua karya tasawuf yang didasarkan pada hadits Nabi SAW dalam setiap pembahasannya.
Kesamaan nama ini mirip dengan perbedaan antara Syaikh Nawawi dan Imam Nawawi. Keduanya berbeda.
Syaikh Nawawi adalah seorang ulama Indonesia yang banyak menulis syarah atau komentar, seperti Nashaihul Ibad. Beliau wafat pada tahun 1314 Hijriah.
Sementara Imam Nawawi adalah pengarang Riyadush Shalihin yang berasal dari Damaskus dan wafat pada tahun 676 Hijriah.
Seperti umumnya kitab kuning, Tanbihul Ghafilin dimulai dengan membaca basmalah, hamdalah, dan salawat kepada Nabi SAW.
Secara filosofis, basmalah memiliki makna sebagai permohonan izin dari pengarang untuk menulis kitab tersebut.
Sedangkan pujian dan salawat yang berbeda dalam setiap karya ulama menunjukkan rasa syukur pengarang kepada Allah SWT.
Seperti halnya al-Zarnuji yang menjelaskan latar belakang penulisan Taklim al-Muta’allim karena para santri dianggap salah dalam metode belajar, Abu Laits juga memberikan alasan penulisannya tentang Tanbihul Ghafilin.
Salah satu alasan tersebut adalah sebagai tanggung jawab moral Abu Laits yang telah diberi ilmu dan hikmah oleh Allah SWT.
Tanbihul Ghafilin, seperti kitab-kitab kuning lainnya, ada yang dicetak sebelum diambil dan diverifikasi.
Kitab yang telah diambil biasanya merujuk pada kitab hadits utama, seperti karya Imam Bukhari (wafat 256 Hijriah).
Kitab yang telah diverifikasi biasanya telah diperiksa secara teliti oleh penyelidik tentang status hadits dan keotentikannya dalam naskah.
Berbeda dengan karya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang menampilkan daftar isi di awal buku, umumnya kitab kuning menempatkan daftar isi di akhir kitab.
Hal ini terlihat pada kitab Tanbihul Ghafilin, al-Nail al-Hatsits fi Hikayat al-Hadits, Taklim al-Muta’allim, dan ribuan kitab kecil dan besar lainnya.
Selanjutnya, setiap bab dalam Tanbihul Ghafilin disajikan secara tematis. Bab pertama membahas tentang ikhlas dan bab terakhir membahas tentang doa dan dzikir, semuanya disusun dengan konsisten oleh Abu Laits dengan mengutip hadits yang terkait dengan tema setiap bab.
Namun, Abu Laits tidak menyebutkan kitab hadits utama yang dikutipnya.
Seperti halnya Imam al-Ghazali (wafat 505 Hijriah) ketika menulis Ihya Ulumuddin, Abu Laits juga melakukan hal yang sama dalam penulisan Tanbihul Ghafilin.
Dalam tradisi ilmiah, ini dilakukan agar tetap ada penelitian bagi para ulama berikutnya, baik sebagai penerjemah maupun peneliti yang memperjelas status dan keotentikan hadits. Tradisi ini sudah berlangsung lama.
Yang terakhir dan menarik, Tanbihul Ghafilin, seperti Taklim Muta’allim yang dipelajari secara serius di berbagai pesantren di Indonesia yang mengikuti mazhab Syafi’i, ternyata Abu Laits dan al-Zarnuji mengikuti mazhab Hanafi.
Dan tidak ada seorang kiyai pun di pesantren yang melarang pembacaan kedua kitab tersebut.
One Comment