Fiqh

Terjemahan Kitab Fathul Muin

Air sedikit yang kurang dari dua kulah, yang tidak mengalir,  menjadi najis sebab kemasukan najis yang dapat dilihat oleh mata normal, yang bukan najis ma’fu pada air, walaupun dima’fu dalam salat (misalnya darah sedikit yang keluar dari badan orang lain atau darah nyamuk yang ada di pakaian orang salat -pen). Hukum ini juga berlaku pada benda padat yang basah dan cair, walaupun jumlahnya banyak.

Air sedikit tidak menjadi najis sebab kemasukan bangkai binatang yang berjenis tidak berdarah mengalir kalau dipotong tubuhnya, seperti binatang kala dan cecak: kecuali jika binatang tersebut dapat mengubah airnya, walaupun hanya sedikit, maka air itu dihukumi najis. Jika bangkainya berupa kepiting dan katak, maka air yang kemasukan adalah najis. Namun pendapat ini ber. tentangan dengan pendapat segolongan ulama.

Tidak najis pula, sebab bangkai yang timbul dalam air, misalnya lintah.

Jika bangkai-bangkai tersebut dilemparkan ke dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis, meskipun orang yang melempar bukan mukalaf.

Jika binatang tersebut masih hidup, sama sekali tidak membawa pengaruh (jika dimasukkan ke air sedikit),

Banyak sekali imam kita (Syafi’iyah) memilih mazhab Malik r.a., bahwa ar pada umumnya tidak dapat menjadi najis, melainkan jika telah mengalami perubahan. Dalam hal ini (sedikat atau banyak) hukum air yang mengalir sama dengan yang tidak mengalir.

Diterangkan dalam kaul Qadim: Air sedikit tidak dapat menjadi najis (jika terkena najis), kecuali bila mengalami perubahan. Pendapat ini seperti mazhab Imam Malik r.a. :

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata: Baik najis itu padat atau cair.

Air sedikit yang telah menjadi najis, jika mencapai dua kulah, akan menjadi sud lagi, walaupun dengan cara menambahkan air najis, sekira tidak menyebabkannya berubah. Air banyak yang najis, dapat menjadi suci kembali setelah hilang perubahan dengan sendirinya, menambahkan atau Jmenguranginya, sedangkan sisa air itu masih ada dua kulah.

Kedua: Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh. Karena itu, tidak cukup hanya mengusapkan air tanpa mengalir, sebab hal itu tidak disebut membasuh.

Ketiga: Pada anggota wudu tidak terdapat perkara yang membahayakan bagi perubahan air, misalnya za’faran dan kayu cendana. Sementara segolongan ulama berpendapat lain.

Keempat: Tiada penghalang antara anggota basuhan dengan air, misalnya kapur, lilin, minyak yang sudah mengeras, bekas tinta yang masih ada zatnya dan inai.

Berbeda dengan minyak yang masih basah –walaupun air masih tetap melesetdan bekas noda tinta atau inai.

Disyaratkan juga sebagaimana penetapan ulama: Hendaknya tiada kotoran di bawah kuku yang mengganggu air sampai ke kulitnya. Sementara segolongan ulama berpendapat lain: di antaranya adalah Al-Ghazali, Az-Zarkasi dan lain-lain, di mana

mereka menguatkan pendapatnya dan menjelaskan (adanya kotoran tersebut) adalah sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi – terjadinya, selama kotoran itu adalah kotoran biasa, bukan semacam adukan bahan roti. (Ibnu Hajar mengatakan: Pendapat tersebut adalah daif).

Imam Al-Adzra’i dan lainnya menunjukkan atas kelemahan pendapat tersebut.

Dalam Kitab At-Tatimmah dan lainnya telah dipaparkan mengenai yang terdapat dalam ArRaudhah dan lainnya, bahwasesuatu yang ada di bawah kuku, sekira dapat menghalangi air, adalah tidak dapat dimaklumi keberadaannya.

Al-Baghawi berfatwa dalam masalah kotoran yang diakibatkan debu, bahwa hal itu mencegah sah wudu, Berbeda dengan kotoran yang timbul dari badan sendiri, yaitu keringat yang mengkristal. Pendapat ini telah dikukuhkan dalam Kitab Al-Anwar.

Kelima: Masuk waktu, bagi yang berhadas terus-menerus, misalnya orang beser kencing dan wanita mustahadhah.

Disyaratkan juga bagi orang seperti itu! Perkiraannya, bahwa waktu sudah masuk: Karena itu, ia belum boleh wudu –sebagaimana orang tayamum– untuk salat fardu atau sunah yang ditentukan waktunya, sebelum masuk waktunya, salat Jenazah sebelum dimandikannya, salat Tahiyatulmesjid, sebelum masuk mesjid, atau salat Rawatib Ba’diyah sebelum melakukan salat fardunya.

Khatib yang selalu berhadas, wajib mengerjakan dua kali wudu atau tayamum. Pertama untuk dua khotbah, sedangkan kedua untuk salat Jumat. Sedang bagi orang selain itu, maka cukup satu kali wudu untuk khotbah dan salatnya.

Dia (orang beser), wajib wudu setiap akan mengerjakan kefarduan –seperti halnya tayamum–, Begitu juga (bagi wanita mustahadhah), wajib mencua farji (vagina), mengganti kapas penutup lubang vagina dan tali penguatnya, meskipun semuanya tidak berubah dari tempatnya.

Bagi orang yang beser kencing, ‘wajib segera mengerjakan salat. Apabila menundanya karena ada maslahat, misalnya: menanti jamaah atau salat Jusnat -walau. pun hingga melewati awal waktu–, atau berjalan ke mesjid, maka tidak menjadi masalah.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker