Sejarah

Sejarah Hidup Muhammad Karya Husain Haekal

Menyerang Muhammad karena Gagal Menyerang Ajarannya

Kalau sikap yang menyedihkan ini harus menjurus kepada sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam. Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mcreka telah menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama inj dengan sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjagj dasar kekuatannya.

Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar itu, mereka lal, menyerang Orang yang meninggalkan jejak itu. Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu jz juga bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah menghasit. kan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang pupuk yang menyebab. kan pohon tersebut jadi subur, selama tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih enak buahnya.

Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato atay tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada kehidupan orang-orang besar itu — yang menjadi lambang kemegahan dan kebanggaan umat manusia – kalau dalam karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai tujuan. Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orang pun takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian kecaman mereka itu pun jadi gugur samasekali.

Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.

Baiklah sekarang saya pindah ke bagian lain dalam tinjauan ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama, memberikan pula pendapatnya.

Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah semacam ini, yang tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih dapat dimaafkan, terutama atas tindakan mereka yang sebelum itu memang sangat berlebih-lebihan. Mereka merasa, bahwa mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa:

Dengan demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas nasional atau tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan mereka, dengan memperkosa ilmu pengetahuan sebagai alat dalam melaksanakan tugasnya itu.

Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi via telegram dan radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di Eropa atau di Amerika sudah dapat ditangkap hari itu atau saat itu juga di negeri-negeri lain di Timur. Mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya, seharusnya segala kabut nasional, rasial dan agama disingkirkan dari depan mata dan dari dalam hati mereka. Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang mereka katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh semua orang. Di segenap penjuru bumi orang akan mengujinya dan menerima dengan sikap kritis. Biarlah, kebenaran yang sebenarnya tidak terikat oleh apa pun itulah yang akan menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian kita pada suatu ikatan masa lampau dan masa datang umat manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan keluarga besar yang mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya yang pertama, suatu ikatan persaudaraan yang merdeka di bawah naungan kebesaran dan keindahan. Inilah satu-satunya ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah kebahagiaan dan kesempurnaan itu.

Pertimbangan Mereka yang Aktif dalam Soal-soal Islam

Sementara ada orang-orang yang begitu percaya pada apa yang dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan itu menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan berpegang pada sumbersumber berbahasa Arab, maka mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam juga menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada pendapat-pendapat kaum Orientalis: bahwa kami katanya tidak memperhatikan segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis bertalian dengan sejarah hidup Nabi dan bahwa kami tidak memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama itu.

Atas dasar ini sebagian mereka telah mengemukakan pendapatpendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan cara yang lemahlembut dan baik sekali dengan tujuan hendak mencari kebenaran. Sebagian lagi, karena keras kepala atau bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih berpengetahuan. Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut, kebanyakan dititik-beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan dalam buku-buku sejarah dan hadis Nabi tentang mukjizat-mukjizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami sebutkan pada penutup cetakan pertama: “Sejarah hidup Muhammad adalah Sejarah hidup manusia yang telah sampai ke puncak tertinggi yang pernah dicapai seorang manusia. Pada waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya diberi wahyu. Ia tidak suka apabila ia akan dihubung-hubungkar kepada sesuatu mukjizat selain Quran. Hal ini dinyatakannya kepada para sahabat.” Pada bagian cerita membelah dada ada kita katakan:

“Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dar pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammag sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar kepada hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan itu tidak sejalan dengan yang diminta oleh Quran, yakni supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang. undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak sesuai dengan ekspresi Quran tentang kaum musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.”

Mereka yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut itu di antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil kecaman. kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai pengantar untuk menyanggah mereka, sedang bunyi kecaman itu menurut hemat mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s. Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum cetakan pertama buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini dikumpulkan menjadi buku.

Selawat kepada Nabi

Dalam menyalahkan saya yang paling keras mereka lakukan ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah Hidup Muhammad tanpa saya berikutkan ucapan sallallahu “alaihi wassalama (s.a.w.), ucapan Salam dan Selawat kepada Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini berjalan sudah beberapa kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari memaki-maki itu sesudah pada judul cetakan pertama saya hiasi dengan ayat Quran: “Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya” dan sesudah buku ini mengemukakan sejarah hidup Nabi dengan metoda seperti apa adanya sekarang.

Akan tetapi mereka bersikeras juga dengan pendirian mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa mereka sudah cukup merasa puas hanya dengan ikut saja apa yang mereka terima dari nenek-moyang dahulu kala.

Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah pandangan yang salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak lain dalam menanggapi buku apa pun yang terbit. Kita mulai sanggahan ini dengan kembali kepada buku-buku kaum cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui sampai di mana taraf ketinggian Islam itu, yang sebenarnya tidak terbatashanya pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat menempatkan nilai hadis:

“Bahwasanya agama ini kukuh sekali. Tanamkanlah dalam-dalam dengan lemah-lembut. Sebenarnya orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai tujuan, binatang beban pun binasa.”

Dalam Kulliatnya Abu’l-Baga’ menerangkan, bahwa “penulisan ashshalat (s.a.w.) dalam buku-buku dahulu terjadi pada masa kekuasaan Abbasia. Oleh karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan yang lain tidak mempergunakan kata-kata itu.” Para Imam sebagian besar sepakat, bahwa selawat kepada Nabi cukup sekali saja diucapkan orang selama hidupnya. Ibn Nujaim dalam al-Bahru’rRa’ig menyebutkan: “Perintah dalam firman Tuhan “ucapkan selawat dan salam kepadanya” kewajibannya berlaku sekali saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu. Tentang ini tak ada perselisihan pendapat.”

Adanya perbedaan pendapat antara Syafi’i dan yang lain tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku selama dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah doa, artinya mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan salam kepada Nabi.”

Demikian sumber para Imam dan ulama Islam menyebutkan mengenai masalah ini. Adanya dugaan bahwa mengucapkan selawat kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan namanya merupakan suatu keharusan menunjukkan, bahwa dalam hal ini mereka bersikap sangat berlebih-lebihan. Akibat dari kesalahan mereka itu, maka mereka yang mengikutinya akan salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita sebutkan tadi. Ahli-ahli hadis terkemuka tidak menuliskan kata-kata .selawat itu dalam kitab-kitab mereka yang mula-mula. Menangkis Kecaman

Mereka yang berpendapat bahwa tidak selayaknya menyebutkar kecaman-kecaman kaum Orientalis dan misi penginjil terhadap Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah mereka, pendapat inj tidak punya dasar selain daripada rasa sentimen keislaman yang mereka agung-agungkan. Sedang dari segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada Apa yang dikatakan kaum musyrik tentang Nabi, Quran menyebutkannya, lalu menyanggahnya dengan argumen yang kuat. Jadi, moral Quran adalah moral yang lebih sesuai dan tinggi adanya. Quran menyebutkan tuduhan

Quraisy terhadap Muhammad sebagai tukang sihir dan gila:

“Kami mengetahui benar, bahwa mereka berkata: “Hanyalah Seorang manusia yang mengajarkannya.” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali.” Hal semacam ini sering sekali terjadi. .

Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak akan dapat ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat secara jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba mengemukakan pembahasan ilmiah guna mencari kenyataan ilmiah semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik oleh kaum Muslimin atau bukan.

Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang kenyataan ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana pembahasannya benar-benar bersih dalam kecenderungannya mencari kebenaran itu, tidak terikat oleh apa pun selain oleh kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu mengakui kebenaran itu dari mana pun datangnya.

Buku-buku Sejarah dan Buku-buku Hadis

Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara yang baik itu. Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti apa yang ada dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis. Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh cara yang sudah ada.

Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa dalam pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena inilah cara yang baik menurut pandangan ilmu pengetahuan yang berlaku sekarang dengan berbagai macam cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya — dan ini pendirian saya — tidak perlu kita terikat pada buku-buku lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang berlaku sekarang terdapat perbedaan yang besar sekali. Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan adanya kritik seperti yang berlaku sekarang. Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup buat saya menangkis setiap tantangan dan sekaligus membenarkan metoda yang saya pakai dalam penyelidikan ini. Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau itu — dan masa kini — juga yang membawa setiap penyelidik yang teliti — untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja apa yang ada dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis. Kita terikat pada kaedah-kaedah kritik ilmiah demikian ialah guna menghindarkan diri dari kesalahan sedapat mungkin.

Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam buku-buku itu ialah, banyaknya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang ajaib-ajaib, mukjizat-mukjizat dan cerita-cerita lain semacam itu. Di sana sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn Hisyam misalnya – sebagai buku biografi tertua yang pernah dikenal sampai sekarang — tidak banyak menyebutkan apa yang disebutkan oleh Abu’l-Fida’ dalam Tarikhnya, atau seperti apa yang disebutkan oleh Oadzi Iyadz dalam Asy-Syifa’, juga seperti yang disebutkan dalam buku penulispenulis kemudian.

Begitu juga tentang buku-buku hadis dengan segala perbedaannya yang ada: Ada yang mengemukakan satu cerita, yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam mengadakan pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian seorang penyelidik harus membuat sebuah kriterium yang dapat mengukur mana-mana yang cocok dan mana pula yang tidak. Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu, itu pula yang diakui oleh si penyelidik. Mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan dimasukkan ke dalam daftar pengujian kalau memang perlu diuji.

Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita Sharani, misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu dibacakan Surah “an-Najm” Ketika sampai pada ayat:

“Adakah kamu perhatikan al-Lat dan al-“Uzza, dan Manat ketiga, yang terakhir?”

Dibacanya pula:

“Dan itu gharanig yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan.”

Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi lalu sujud diikuti oleh kaum Muslimin dan kaum musyrik yang juga sama-sama bersujud.

Cerita ini dibawa oleh Ibn Sa’d dalam art-Tabaqar’I-Kubra dan tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku hadis sahih disebutkan juga adanya cerita gharanig ini dengan beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Ishaq membawa cerita ini dengan mengatakan: “Itu berasal dari karangan Orang-orang atheis.” Juga dalam al-Bidaya wan-Nihaya fit-Tarikh Ibn Kathir menyebutkan: “Orang bicara tentang cerita gharanig ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini, supaya jangan ada orang yang mendengarnya lalu menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi mulanya cerita ini memang terdapat dalam Shahih.” Kemudian ia menyebutkan sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari dengan mengatakan: “Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan. Muslim -tidak.” Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan menolak cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn Ishaq, bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam menyanggah ini saya dapat menarik beberapa argumentasi, bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga saya bersandar pada kaedah-kaedah kritik ilmiah yang berlaku sekarang.

Faktor Waktu, ketika Cerita itu Ditulis

Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan bukubuku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya isu-isu — baik politik atau bukan politik — dalam dunia Islam, dengan menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau dan gelisah.

Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh mereka yang mengumpulkan hadis — dengan membuang mana yang palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih — menyebabkan mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam, guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa yang diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang dipandang benar (sahih) olehnya tidak jebih dari hanya 4000 buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang pada Abu Daud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih menurut dia hanya 4800 saja. Demikian juga halnya dengan penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat kritik. yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama halnya dengan soal gharanig.

Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis, yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang datang kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa mengadakan penelitian dan pengujian ilmiah!

Pengaruh Pertentangan Politik dalam Dunia Islam

Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun. Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma’mun, yaitu Sesudah terjadi “Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti rambut putih pada kerbau hitam”, seperti kata Ad-Daraqutni. Danmungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan Islam karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:

“Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Quran. Barangsiap, menuliskan itu selain Quran, hendaklah dihapus.”

Penghimpunan Hadis

Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari mulut ke mulut dan penceritaannya pun berbeda-beda. Umar ibn’I-Khattab ketika menjadi khalifah pernah mengambil langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang lain. Mereka pun memberikan pendapat yang sama. Selama sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian setelah mendapat ketetapan hati ia berkata:

“Saya bermaksud akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan mencampuradukkan Quran dengan apapun.”

Penulisan hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke kota-kota lain:

“Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan.”

Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang-biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa Ma’mun.

Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu, oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik. Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: “Ada golongan yang membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan mereka, yaitu para penghimpun itu. yang sebagai kriterium mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar: menerima atau menolak hadis itu. Ini memang suatu kriterium yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup.

Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis — dan mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi — ialah seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi ‘alaihissalam ketika menyatakan:

“Kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Quran. Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku.”

Kriterium yang Sebenarnya tentang Hadis

Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam. Dan sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaidun: “Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan dengan Quran, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi marn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu’ (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan Quran atau dengan kaedahkaedah yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindera dan ketentuan-ketentuan axioma lainnya.”

Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut. Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali dengan kaedah kritik miah modern sekarang.

Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling bertentangan. Sesudah Abu Lu’lu’a, bujang Al-Mughira, membunuh Umar ibn’I-Khattab, dan sesudah Usman bin Affan memangku jabatan khalifah, permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai timbul lagi.

Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara kaum Muslimin Punpecah. Aisyah melawan Ali dan Ali pun mendapat pendukungnya pula

Maka mulailah hadis-hadis buatan bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri menolaknya. Konon dia berkata:

“Tak ada kitab pada kami yang dapat kami bacakan kepada kamu kecuali apa yang ada dalam Quran. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari Rasulullah, terdapat kewajiban-kewajiban sedekah.”

Akan tetapi ini tidak mengalangi para penyiar hadis itu melancarkan ceritanya, tidak mengalangi adanya golongan tertentu membuat-buar hadis karena sesuatu ambisi atau karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain. Mereka menduga orang lain akan senang sekali menerimanya bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah,

Sesudah keadaan Bani Umayya stabil, juru-juru hadis yang ada hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha melemahkan semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya. Sementara oleh pembela-pembela Ali dan keluarga Nabi hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha pula menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala yang datang dari Aisyah Umm-I’Mu’minin oleh mereka dialang. alangi.

Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang diceritakan oleh Ibn “Asakir dari Abu Sa’d Ismail bin Muthanna al-Astrabadhi. Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik, salah seorang yang hadir bertanya tentang hadis Nabi yang berbunyi: “Saya gudang ilmu dan Ali pintunya” Ismail menekur sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: “Ya, tak ada yang mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata: “Saya gudang ilmu, Abu Bakr fondasinya, Umar dindingnya, Usman atapnya dan Ali pintunya.” Dengan demikian para hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali karena memang tidak mampu.

Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada maksud zolitik atau kemauan-kemauan insidentit lainnya. Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum Muslimin kemudian terkejut sekali, karena ternyata banyak pula yang tidak cocok dengan yang ada dalam Kitabullah. Usaha hendak menghentikannya pun sudah banyak pula dikerahkan pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.

Penghimpunan Hadis pada Masa Ma’mun

Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia dan Ma’mun yang berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau ratusan ribu hadis-hadis maudzu’ (buatan) itu sudah tersebar — di antaranya terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi sekali, yang tidak diduga semula. Pada waktu itulah para penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga menuliskan biografinya. Al-Wagidi, Ibn Hisyam dan Al-Mada’ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa Ma’mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu, karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang pendapat khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang harus mendapat penelitian mana kriterium yang menurut suatu sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan mencocokkannya kepada Quran sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi, yaitu: mana-mana yang cocok dengan Quran, adalah dari Rasul dan yang tidak, bukan dari Rasul.

Sekiranya kriterium itu dipakai dengan penelitian sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut metoda modern samasekali tidak berbeda dari kriterium ini. Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan tokoh-tokoh tersebut menyesuaikan kriterium mereka itu untuk sesuatu golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian. Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi oleh penulis-penulis kemudian telah diwarisi juga dari orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam garis besar, maupun dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang tiduk cocok dengan yang ada dalam Quran. Mana yang tidak sejalan dengan hukum alam dan tidak tersebut pula dalam Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah itu baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai pembuktian yang positif, dan mana-mana yang tak dapat dibuktikan seharusnya ditinggalkan.

Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan oleh imam-imam terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam lain pun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad Mustafa alMaraghi dalam kata perkenalan buku ini menyebutkan: “Kekuatan mukjizat Muhammad s.a.w. hanyalah dalam Quran, dan mukjizat ini sungguh rasional adanya. Sajak Bushiri berikut ini memang indah sekali:

“Tidak juga sampai kita dicoba

Yang akan meletihkan akal karenanya

karena sayangnya kepada kita

Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.”

Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza, Redaktur majalah Al Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku kita ini menulis: “Kalangan Al-Azhar dan pengikut-pengikut tarikat yang paling keberatan terhadap Haekal sebagian besar mengenai mukjizat-mukjizat, dan hal-hal yang ajaib-ajaib di luar kebiasaan. Pada pasal dua bagian dua dan pasal lima dalam buku Al-Wahy’I-Muhammadi, dari segala segi dan persoalannya mengenai hal ini, ada saya tulis, bahwa hanya Quranlah satu, satunya pembuktian Tuhan yang positif khusus tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para Nabi yang lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat dibuktikan tanpa kenyataan tersebut.

“Masalah-masalah alam gaib (supernatural) adalah masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian yang meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga pada zaman kita ini, dan terdapat juga pada setiap zaman. Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah orang-orang yang suka pada takhayul yang memang terdapat pada setiap aliran kepercayaan. Saya terangkan juga sebab timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang umumnya termasuk hukum alam, hukum rohani dan lain-lain.” (Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935).

Syaikh Muhammad Abduh pada bagian pertama buku Al-Islam wan-Nashrania (Islam dan Kristen) menyebutkan: “Dengan adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah dan keesaan-Nya, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal yang gaib, tidak perlu menutup mata terhadap kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu karena ada ledakan dari langit, dan pikiran kita pun jangan terputus karena pekikan yang membawa suara suci. Kaum Muslimin sudah sepakat — kecuali sejumlah kecil dengan pendapat yang tidak berarti – bahwa kepercayaan kepada Allah adalah mendahului kepercayaan kepada nabi-nabi. Tidak mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman kepada Allah, sedang beriman kepada Aliah melalui ucapan para rasul atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan. Sungguh tidak masuk akal Orang akan percaya kepada adanya kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita tidak percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan kitab dan mengutus rasul.”

Cerita-cerita Tidak Masuk Akal dan Tidak Ilmiah

Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak karena situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa gaib dan mukjizat-mukjizat yang tidak terdapat dalam Quran itu akan menanamkan rasa keimanan dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka menduga pula, bahwa dengan menyebutkan mukjizat-mukjizat itu akan berguna sekali, dan tidak akan merugikan. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan menyaksikan betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka sebutkan itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan umat Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada dalam Quran, mereka akan berkata seperti Imam Ghazali, Muhammad Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini, dan menyaksikan betapa cerita-cerita demikian itu menyesatkan hati dan kepercayaan orang — bukan sebaliknya, menanamkan dan menguatkan iman — niscaya cukuplah mereka menyebutkan saja ayat-ayat Quran yang begitu jelas dengan dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.

Adapun dari segi yang merugikan cerita-cerita yang tidak diterima oleh akal dan tidak pula ilmiah itu sudah jadi jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu berpegang pada segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan pengujian, demi pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada sejarah Nabi. Kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh hasil penyelidikan dalam sejarah yang besar ini, adalah sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada peradaban yang sebenarnya.

Quran dan Mukjizat

Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan apa yang terdapat dalam Quran, tentu tak bisa lain kita akan menerima pendapatpendapat para imam yang sangat teliti itu. Pada waktu itu penduduk Mekah minta kepada Nabi berbangsa Arab itu supaya Tuhan menurunkan mukjizat-mukjizat kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka Quran datang menyebutkan apa yang mereka minta itu dan menolaknya dengan beberapa argumen:

“Dan kata mereka: “Kami takkan percaya kepadamu, sebelum kau pancarkan mata air untuk kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai yang deras mengalir. Atau seperti kau terangkan kepada kami kau jatuhkan langit berkeping-keping. Atau kau datangkan Tuhan dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan dengan kami. Atau engkau mempunyai sebuah mahligai berhiaskan emas. Atau engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu tidak akan kami percayai, sebelum kau bawakan sebuah kitab kepada kami yang akan kami baca?” Ya, katakan: Maha Sucj Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?

“Mereka bersumpah sungguh-sungguh demi Allah, bahwa jika sebuah tanda (mukjizat) dibuktikan kepada mereka, niscaya mereka akan mem, percayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya ada pada Allah. Tapi, sadarkah kamu, bahwa kalaupun itu dibuktikan, mereka tidak juga akan percaya? Juga akan Kami balikkan jantung dan pandangan mata mereka: karena tidak mempercayainya pada pertama kali. Dan akan Kami biarkar mereka mengembara membawa durhaka. Kalaupun Kami kirimkan malaikat-malaikat kepada mereka dan mayat-mayat pun mengajak mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan hidung mereka, tidak juga mereka akan mau beriman, kecuali bila Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.”?

Di dalam Quran tidak ada disebutkan sesuatu mukjizat yang oleh Allah dimaksudkan supaya segenap manusia — menurut zamannya masing. masing — mempercayai kerasulan Muhammad, selain daripada Quran, Padahal, beberapa mukjizat disebutkan dengan izin Allah terhadap para rasul yang datang sebelum Muhammad sama halnya seperti apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan kepadanya. Apa yang tersebut dalam Quran tentang Muhammad, samasekali tidak bertentangan dengan hukum alam. Mukjizat Terbesar

Kalau memang sudah itu yang digariskan oleh Quran dan begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa lagi yang mendorong setengah kaum Muslimin — baik pada masa dahulu ataupun sekarang — menerapkan mukjizat-mukjizat kepada Nabi? Mereka terdorong demikian, karena mereka membaca dalam Quran adanya mukjizat-mukjizat pada para rasul sebelum Muhammad. Lalu mereka berkeyakinan, bahwa keajaibankeajaiban materi (mukjizat-mukjizat) semacam itu perlu juga melengkapi kerasulan Muhammad. Mereka lalu percaya tentang itu sekalipun dalam Quran tidak disebutkan. Mereka pun menduga, bahwa makin banyak jumlah mukjizat-mukjizat itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan Nabi, akan makin besar pula merangsang orang beriman kepada kerasulan itu. Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada perbedaannya. Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir. Sekalipun begitu dia adalah Rasul pertama diutus Allah kepada seluruh umat manusia — bukan diutus hanya kepada bangsanya saja — supaya memberi penerangan.

Oleh karena itu Allah menghendaki supaya mukjizat Muhammad itu adalah mukjizat insani yang rasional, yang masuk akal, yang takkan dapat ditiru, baik oleh manusia maupun jin, sekalipun mereka satu sama lain saling membantu. Mukjizat itu ialah Quran. Ini adalah mukjizat terbesar yang pernah diberikan Allah. Dengan itu Tuhan menghendaki akan memperkuat kerasulan Nabi-Nya itu dengan argumen yang jelas dan dalil yang tak dapat dibantah. Ia menghendaki — dengan itu — agar agama ini mendapat kemenangan pada masa hidup Rasul, supaya dalam kemenangan itu orang melihat kemahakuasaan-Nya. Kalau Tuhan menghendaki adanya mukjizat yang akan membuat mereka yang hidup pada masa Nabi merasa puas, tentu itu akan disebutkan dalam Quran. Tapi ada orang yang tidak mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal. Karena itu maka ayat yang akan meyakinkan seluruh umat manusia akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat sekali hubungannya dengan jantung dan pikiran mereka. Maka Allah telah memperlihatkan itu dalam bentuk Quran, sebagai argumen yang paling nyata dan sebagai mukjizat kepada mereka dari Nabi yang umrmni itu. Ia memperlihatkan kemenangan agama dan kekuatan iman kepadanya itu dengan melalui dalil dan keyakinan yang positif. Agama yang dibangun atas dasar inilah yang lebih kuat menanamkan iman ke dalam hati umat manusia sepanjang zaman, kepada pelbagai bangsa dan aneka macam bahasa.

Iman Menurut Pemuka-pemuka Islam

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan sebagai argumennya supaya ia yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mukjizat lain daripada Quran, niscaya itu tidak akan mengurangi imannya, juga tidak akan pula kurang Islamnya. Selama wahyu itu memang bukan bertugas membawa mukjizat-mukjizat semacam itu, tak ada salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya itu mau menguji lagi segala yang mengenai mukjizat, yang ada hubungannya dengan wahyu itu. Mana yang dapat dibuktikan dengan alasan positif dapat saja diterima, dan mana yang tak dapat dibuktikan, terserah pada pendapatnya sendiri. Ia pun tidak salah. Beriman kepada Allah yang tunggal tiada bersekutu memang memerlukan suatu mukjizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam semesta yang telah diciptakan Allah. Begitu juga, sebagai bukti kerasulan Muhammad, yang dengan perintah Tuhan mengajak manusia beriman serta menyelamatkan mereka agar jangan berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu mukjizat selain Quran: tidak diperlukan lebih Yaripada membacakan Kitab Suci yang telah diwahyukan Allah kepadanya ltu.

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman kepada agama ini sekarang, dan untuk meyakinkan itu tidak diperlukan Sesuatu mukjizat lain daripada Quran, niscaya orang yang pernah beriman itu akan terdiri dari dua macam: pertama orang yang sudah tidak tergoyahkan lagi hatinya: sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya Sudah terbuka menerima iman, seperti halnya yang terjadi dengan Aby Bakr. Ia beriman dan percaya tanpa ragu-ragu lagi. Yang kedua, Orang yang untuk imannya itu sudah tidak perlu lagi mencari mukjizat-mukjizar lain dari pihak hukum alam, melainkan dicarinya di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan persepsi kita terbatas sekali. Perbatasan alam dalam arti ruang dan waktu, tak dapat kita tangkap. Sungguhpun demikian ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut hukum yang tidak berubah-ubah dan tidak pula bertukar-tukar. Melalui undang-undang Tuhan yang ada dalam alam ini ia akan terbimbing sampai kepada Penciptanya.

Buat dua macam golongan ini sama saja: baik dengan mukjizat atau tidak. Bahkan keduanya tak pernah memikirkan tentang mukjizat. mukjizat itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti karunia Tuhan. Iman yang semacam inilah yang menurut pendapat bilangan besar pemuka. pemuka Muslimin sebagai bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi berpendapat, bahwa sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut kepada siksa Allah atau karena mengharapkan pahalaNya, melain. kan harus iman itu semata-mata karena Allah serta fana total ke dalam Ego Tuhan. Kepada-Nyalah semua persoalan itu akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya pula kita kembali. Orang-orang Mukmin pada Masa Nabi

Orang-orang sekarang yang sudah beriman, mereka beriman kepada Allah dan Rasul tanpa didorong oleh adanya mukjizat-mukjizat, sama halnya seperti mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul itu pada masa hidup Nabi. Sejarah tidak menyebutkan, bahwa mukjizat-mukjizat Itu pernah membuat orang jadi beriman. Malah bukti mukjizat Tuhan terbesar ialah wahyu yang diturunkan melalui Nabi-Nya, dan peri hidup Nabi sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi, itulah yang mengajak orang jadi beriman. Semua buku sejarah hidupnya menyebutkan bahwa ada segolongan orang yang sudah beriman kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra telah jadi murtad dari imannya tatkala Nabi menyebutkan, bahwa Tuhan telah memperjalankannya pada malam hari dari Mesjid Suci ke Mesjid Aqsha. Tatkala mengejar Muhammad yang sedang hijrah ke pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apa pun — seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota — selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya matimatian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akari makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidakkan taat kepada peraturan apa pun yang berlaku atau kepada lembaga apa pun yang berkuasa.

Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecilkecil yang tumbuh di sekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan mara bahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan.

Kota-kota seperti Mekah, Ta’if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam Susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat Serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, Sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang “Adakah air itu kamu jamah? Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.y, memarahi mereka dan dikata-katakannya mereka itu.” |

Katanya: Lalu mereka menciduk mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah s.a.w. lalu mencuci kedua tangan dan mukanya dengan itu. Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air itu pun lalu memercikkan air berlimpah-limpah — atau katanya deras — Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan — sehingga orang-orang pun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:

“Mu’adh, kalau kau masih akan panjang umur kau akan melihat di sini penuh dengan kebun-kebun.”!

Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mukjizat tidak disebut-sebutkan. Tapi ceritanya berjalan lain sekali, tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan menyebutkan:

“Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba waktu pagi dan air tidak ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan hujan pun turut. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa air menurut keperluan mereka. Ibn Ishaq mengatakan: Maka “Ashim b. Umar b. Qatada menceritakan kepada saya, lewat Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd’1 Asyhal, mengatakan, kataku kepada Mahmud: Adakah di antara orang-orang itu yang sudah dapat membeda-bedakan saudara, bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi: Beberapa orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi bersama Rasulullah s.a.w. ke mana saja. Demikian juga mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w. yang berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya air hujan. Orang-orang dapat minum. Kata mereka kami mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah itu!? Katanya: Awan lalu.”

Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan sebenarnya tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji ini jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar dan berpengaruh saja dengan dua macam sumber yang berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan, yang lain tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat menguatkan sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika nanti ada orang lain yang menemukan bukti-bukti positif, sudahlah, kalau tidak, dalam arti ilmiah ia tetap belum dapat dipastikan.

Metoda Saya dalam Penyelidikan ini

Inilah metoda yang saya pakai dari semula, ketika saya mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat karangan ini, memang yang saya kehendaki ialah suatu studi ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan sekarang, demi kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup cetakan pertama buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu dapat terlaksana dan usaha ini pun sudah merupakan suatu penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya harapkan dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah penyelidikan-penyelidikan dalam bidang yang sama dengan lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah psikologi dan spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya yakin bahwa dengan mendalami penyelidikan demikian ini, rahasiarahasia akan banyak diketemukan orang, suatu hal yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi iimu pengetahuan akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata, penyelidikan-penyelidikan psikologi dalam hal ini dapat memberikan analisa dan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia alam semesta dalam arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat manusia, hubungannya dengan alam pun akan makin erat, dan akan bertambah pula ia merasa bahagia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudian pun diketahui orang pula.

Oleh karena itu, setiap orang yang mau menggarap penyelidikan seperti ini, seharusnya itu ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja. Tujuan pekerjaan ini pun sebenarnya tidak bersifat agama semata-mata — seperti mungkin ada yang menduganya demikian — melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat Manusia mengenal bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkan, nya kepada hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah ditunjukkan jalannya kepada kita. Guna memahami tujuan itu memang tidak mudah, bila orang bclum mendapatkan jalan ini dengan hati terbuka dengan dada yang lapang. Sumber daripada ini semua ialah pengetahuan dan ilmu yang sebenarnya. Pemikiran yang tidak dilandasi oleh pengeta, huan, tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah, sering akan membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh dari tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan membuat pemikiran kita besar sekali terpengaruh oleh temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga mereka yang bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya Tidak lain sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu sekalipun dalam mencapai maksud dan tujuan mereka sama jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi, pemikirannya tajam, cepat bereaksi Ada pula yang punya kecenderungan sufi, bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang bersifat kebendaan serta pengaruhnya. Ada juga yang punya kecenderungan materialistik yang begitu besar, terpengaruh oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan, yang ada di sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda (materi) itu.

Di samping itu banyak lagi yang lain. Karena temperamen mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan kehidupan praktis, perbeda. an ini merupakan suatu kenikmatan besar bagi umat manusia, tapi dalam bidang ilmu dan nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu bencana. Tujuan studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai yang lebih tinggi dari hakekat hidup itu, dan hendaknya dapat pula menghindari pengaruhpengaruh emosi dan temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri dari hal semacam itu kecuali bila orang benar-benar mau disiplin terhadap metoda ilmiah, dan jangan pula ilmu dan pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang sejarah itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah laku sendiri. Penyelidikan-penyelidikan Para Orientalis

Dari kalangan Orientalis yang dalam penyelidikan mereka disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang terpengaruh oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak sedikit dari kalangan penulispenulis Muslimin sendiri yang demikian. Dan anehnya, kedua mereka itu masing-masing mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan kecenderungan mereka sendiri — dengan mengambil peristiwa-peristiwa yang dipakainya sebagai dasar penulisan mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud demi kebenaran. Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen dan kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti, bagaimanapun mereka masing-masing berusaha secara jujur dan teliti mau menguji satu sama lain tentang apa yang mereka tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka, ialah peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka sendiri juga.

Sekiranya orang mau berusaha menurut kemampuannya, melepaskan diri dari hawa nafsu, dan berpegang hanya pada cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih kuat berpengaruh dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya sudah mencoba seperlunya menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan itu masingmasing — dalam pengantar cetakan kedua ini — seringkas mungkin, disesuaikan dengan tempat yang ada ini pula. Mudah-mudahan berhasil juga kiranya saya mencari kejujuran yang dimaksud itu.

Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu dalam menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan penelitian dengan bersikap jujur, betapa pun mereka mau berniat baik dan bersikap bebas dalam penelitian ilmiah itu. Tidak mudah bagi mereka menguasai semua seluk-beluk bahasa Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa demikian rupa, sehingga kebanyakan mereka memandang agama-agama itu dengan pandangan penuh prasangka pula, sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama Kristen dengan ilmu pengetahuan. Maka dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam, mereka pun lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya. Maksud saya ialah terpengaruh oleh pertentangan yang merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu hal yang tercela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan waktu.

Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan mereka dalam masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka, yang jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat dan penting itu, hendaknya dipikulkan ke atas bahu para cendekiawan dari kalangan dunia Islam sendiri, baik yang aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara teliti dan jujur, dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau mereka melakukan itu, dengan bantuan pengetahuan mereka mengenai selukbeluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab, maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan membuat Orientalis-orientalis itu — atau sekurang-kurangnya sebagian dari mereka — meninjau kembali sebagian besar pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan hasi yang diperoleh oleh kaum cendekiawan Islam itu dengan rasa puas dan senang hati.

Kaum Muslimin dan Penyelidikan

Untuk mencapai hasil demikian ini pun bukan soal yang mudah. la memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyelidikan itu, perly mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas. Tapi itu bukan suatu hal yang tidak mungkin, juga bukan soal yang terlalu sulit Sungguhpun begitu ini adalah soal penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umar manusia.

Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini sebaiknya harus dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga terbunuhnya Usman. Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga tertutupnya pintu ijtihad Pada perioda pertama kaum Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh perang Ridda atau oleh penaklukan kaum Muslimin atas beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.

Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan di kalangan kaum Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan Muawiyah pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus berkecamuk, kadang terang-terangan, kadang dengan sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan penting dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya kontradiksi itu, dapatlah orang membandingkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr sesudah pelantikannya (sebagai khalifah) tatkala ia berkata: “Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik, luruskanlah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya insya Allah, dan yang kuat bagi saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tapi apabila saya membangkang terhadap (perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian”, — dengan pidato Mansur dari Banu Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya mengatakan: “Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu dengan anugerah dan dukungan-Nya. Saya adalah pengawal harta-Nya. Saya melaksanakan ini atas kehendak-Nya dan keinginan-Nya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendaki-Nya akan dibuka, maka dibuka-Nyalah saya, supaya dapat memberikan dan membagi-bagi rezeki kamu. Kalau Ia menghendaki menutup saya, maka ditutup-Nyalah saya……”

Biarlah orang membandingkan sendiri kedua macam pidato itu supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua abad, suatu perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum Muslimin, kepada kekuasaan mutlak yang diambil atas nama hak suci itu.

Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sampai membawa akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang telah menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah dan mundur. Di samping berkembangnya Islam dan peradaban Islam selama dua abad berturut-turut sesudah terbunuhnya Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa kerajaan, menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk — sesudah yang pertama mengalami kehancuran — maka perioda pertama yan, berakhir dengan terbunuhnya Usman, adalah perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya dalam kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh dijadikan pegangan yang pasti dan positif akan segala yang telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip yang sebenarnya.

Adapun sesudah perioda itu, di samping adanya perkembangan ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya — lebih-lebih pada masa dinasti Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai menodai prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk kemudian diganti dengan ajaran-ajaran yang sering sekali bertentangan dengan jiwa Islam, dan kebanyakannya malah untuk maksud-maksud politik syu’ubia’ (rasialisma).

Adanya orang-orang asing, orang-orang Yahudi dan Nasrani yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut menyebarkan caracara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut mendorong diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan kepada Nabi ‘alaihissalam,. atau mendakwakan sesuatu kepada para khalifah yang mula-mula, yang memang tidak sesuai dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.

Apa yang ditulis orang mengenai perioda belakangan ini, tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa mengadakan penelitian kembali dan kritik yang benar-benar mendalam dengan tidak dipengaruhi oleh nafsu atau kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama Sekai perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat kontradiksi dan tidak sesuai dengan Quran, meskipun tumbuhnya kontradiksi itu dihubung. hubungkan kepada Nabi. Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung diceritakan dan dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang kemudian, ialah masa permulaan Islam sampai waktu terbunuhnya khalifah yang ketiga. Saya kira, kalau semua ini kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang ajaran Islam yang murni, dan dari kehidupan Islam yang pertama pula, yakni kehidupan intelektual dan spiritual yang begitu kuat dan luhur, sehingga membuat -Arab pedalaman dari jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat tersebar di muka bumi ini, guna menegakkan — dalam pelbagai negara — dasar-dasar peri kemanusiaan yang paling luhur yang pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita berhasil, kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan suatu ufuk baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat mengetahui seluk-beluk alam dalam arti psikologis dan spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula hubungan itu dan akan membawa kenikmatan dan kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Ia akan merasa makin senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang kemudian pun diketahui Orang pula.

Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu itu adalah jasa Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga sudah terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala orang-orang Arab keluar dari lingkungan jazirahnya, keluar menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur ke seluruh dunia.

Langkah pertama yang perlu kita lakukan dalam hal ini —dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan — ialah benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi, sehingga dapat membukakan jalan bagi umat manusia ke arah peradaban yang selama ini menjadi citacitanya. Dalam melakukan studi ini Quran adalah sumber yang paling Otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih meragukan. Kitab yang selama tiga belas abad ini tetap dan akan tetap terus demikian selama hidup manusia, sebagai suatu mukjizat sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan oleh firman Allah: “Kami yang telah memberikan Quran ini dan Kami pula yang menjaganya.”’ Seperti sejak dahulu juga, ia akan tetap sebagai mukjizat Muhammad yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang berhubungan dengan sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan kepada Quran, mana yang cocok itu adalah benar, dan mana yang tidak cocok samasekali tidak benar.

Dalam studi permulaan ini, memang ke arah itu yang saya usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan pertama buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada Allah atas taufik-Nya itu. Saya pun berharap semoga Tuhan akan memberi petunjuk dan pertolongan serta membukakan jalan bagi barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini secara ilmiah dengan lebih mendalam lagi.

Tuhan, kepada-Mu juga kami mempercayakan diri, kepada-Mu juga kami kembali dan kepada-Mu juga kesudahan segala ini.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker