Terjemahan.ahmadalfajri.com | Terjemahan Kitab Fathul Muin Daftar IsishowPENDAHULUANBAB SHOLATPASAL I : SYARAT-SYARAT SALATSYARAT SALAT PERTAMA : Thaharah PENDAHULUAN Segala puji bagi Allah yang maha pembuka lagi maha pemberi, yang menolong untuk belajar agama seorang yang ia pilih dari hamba-hambanya, dan saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dengan persaksikan yang memasukkan kita ke rumah kekekalan, dan saya bersaksi bahwa junjungan kita nabi Muhammad adalah hambanya dan utusannya, yang memiliki derajat yang terpuji. selawat Allah dan salamnya semoga terlimpahkan kepadanya dan keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang mulia-mulia. Selawat serta salam yang aku memperoleh keduanya di hari kembali. Dan setelah itu, ini adalah penjelasan yang berfaedah terhadap kitab yang diberi nama Qurratul ain tentang perkara-perkara penting agama, menjelaskan yang dimaksud, dan menyempurnakan faedah, dan menghasilkan tujuan, dan menampakkan faedah, dan aku namakan Fathul Muin tentang penjelasan Qurratul 'ain tentang perkara-perkara penting agama, dan saya meminta kepada Allah yang maha pemurah lagi maha pemberi, agar menyebarkan manfaat kitab ini bagi teman-teman yang khusus dan yang umum, dan menempatkan aku sebab kitab ini di surga firdaus di tempat aman, sesungguhnya Ia paling pemurah orang yang pemurah, dan paling pengasih orang yang pengasih. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, maksudnya: saya mengarang. Lafaz ism itu dikeluarkan dari lafaz sumuw yaitu luhur. Tidak dari wasm yaitu tanda, Allah adalah nama untuk dzat yang wajib adanya. Allah itu isim jenis untuk setiap yang disembah, lalu dimakrifatkan dengan Al dan di buang hamzahnya, lalu di gunakan untuk yang disembah dengan benar. Allah itu nama yang agung menurut kebanyakan ulama’. Dan selain Allah tidak ada yang diberi nama dengan ini, walaupun mengeyel. Rahman dan rahim itu dua sifat yang di bentuk untuk makna sangat dari lafaz rahim. Rahman itu lebih kuat dari pada rahim karena tambahan bentuk menunjukkan tambahnya makna, dan karena ucapan orang arab, pengasih dunia dan akhirat, dan penyayang akhirat. Segala puji bagi Allah yang menunjukkan kita maksudnya menunjukkan kita untuk mengarang. Dan kita tidak akan dapat petunjuk jika Allah tidak menunjukkan kita. Memuji yaitu memberi sifat dengan bagus. Selawat yaitu yang dari Allah adalah kasih sayang yang bersamaan dengan pengagungan. Dan salam maksudnya selamat dari setiap penyakit dan kekurangan. Bagi junjungan kita Muhammad utusan Allah untuk seluruh jin dan manusia menurut kesepakatan ulama, begitu juga malaikat menurut ucapan kelompok pakar. Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maful yang di tasydid yang diletakkan bagi orang yang banyak budi pekerti bagus. Nabi kita SAW diberi nama dengan ini dengan ilham dari Allah kepada kakeknya. Rasul dari manusia adalah orang laki-laki yang diberi wahyu syariat dan diperintah menyampaikannya, walaupun tidak memiliki kitab dan nasakh seperti Yusya As.jika tidak diperintah menyampaikan maka nabi. Rasul itu lebih utama dari pada nabi menurut kesepakatan ulama. Dan sahih sebuah hadis bahwa jumlah para nabi adalah 124.00. dan jumlah para rasul adalah 315. Dan bagi keluarganya: yaitu kerabatnya yang beriman dari bani Hasyim dan bani Mutholib. Dan dikatakan mereka adalah setiap orang yang beriman, maksudnya di saat berdoa dan sejenisnya. Pendapat ini di pilih karena hadis yang daif, dan imam Nawawi meyakini di syarah muslim. Dan sahabatnya, sahb adalah isim jamak bagi lafaz shahib yang bermakna shahabat. ia adalah orang yang berkumpul dalam keadaan beriman dengan nabi SAW walau buta dan belum tamyiz. Yang mendapat Ridla Allah sifat bagi orang yang telah disebut. Dan setelah itu maksudnya setelah yang dahulu terdiri dari basmalah hamdalah selawat salam bagi orang yang telah di sebut kitab yang disusun ini yang ada dalam hati itu ringkas yang sedikit lafaznya dan banyak maknanya karena diringkas tentang ilmu fikih, fikih dalam bahasa adalah paham, Istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang dikerjakan yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, Dan sumbernya dari Quran, hadis, ijmak dan qiyas, faedah Fiqih adalah melaksanakan perintah Alah dan menjauhi larangannya, Menurut mazhab imam Al mujtahid Abi Abdillah Muhammad ibnu Idris As Syafii. Maksudnya adalah hukum-hukum permasalahan pendapat beliau. Idris adalah ayahnya yaitu Ibnu Abbas ibni Usman ibni Syafi ibni Saib ibni Ubaid ibni Abd ibni Yazid ibni Hasyim ibni Abdil Mutolib ibni Abd Manaf. Syafi yaitu yang imam di sandarkan kepadanya. Ia masuk Islam beserta ayahnya yaitu saib saat perang badar. Imam kita dilahirkan tahun 150, dan wafat hari Jumat akhir Rajab tahun 204. Aku namai Qurratul Ain tenteng keterangan penting dalam hukum agama. Saya ambil kitab ini dan syarah ini dari kitab-kitab yang dibuat pegangan milik guru kita akhir ahli tahqih lentera agama Ahmad ibn Hajar Al Haitami. Dan seluruh mujtahid seperti pemuka agama Abdurrahman ibni Ziyad Az Zubaidi RA. Dan dua guru para guru kita yaitu Syaikhul Islam Al mujadid Zakariya Al Anshori, dan imam amjad Ahmad Muzajjad az Zubaidi Rahimahumallah. dan selain mereka, yang terdiri dari pakar-pakar ulama akhir. Seraya berpegangan pada pendapat yang diyakini dua guru mazhab yaitu Nawawi dan Rafii, lalu imam Nawawi, lalu pakar-pakar ulama akhir, Seraya mengharap dari Tuhan kita yang maka pengasih agar memberi manfaat ini kepada orang-orang pintar maksudnya orang-orang yang luhur, Dan semoga Allah menenangkan pandanganku besok maksudnya di hari akhir untuk melihat wajah-Nya yang mulia pagi dan sore . amin BAB SHOLAT Salat menurut syarak: Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan Ucapan dan perbuatan tersebut dinamakan "Salat", karena salat menurut bahasa, adalah doa. Salat-salat yang fardu ain itu lima kali dalam satu hari-satu malam, yang sudah diketahui dengan pasti dari agama. Oleh karena itu, kafirlah bagi orang yang menentangnya. Salat lima waktu ini belum pernah berkumpul pada selain Nabi kita Muhammad saw. Salat fardu yang lima ini diwajibkan pada malam Isra, 27 Rajab, yaitu 10 tahun lebih 3 bulan terhitung sejak Nabi . Muhammad diangkat menjadi seorang Nabi. Salat Subuh pada tanggal 27 Rajab tersebut belum diwajibkan, karena belum diketahui cara-cara mengerjakannya. Salat Maktubah, yaitu lima waktu, hanya wajib dikerjakan oleh setiap Muslim yang mukalaf, yaitu yang telah balig, berakal sehat, laki-laki atau selainnya, dan yang suci. Maka, salat tidak wajib atas orang kafir asli, anak-anak, orang gila, ayan dan mabuk, yang kecnanya tidak karena lalim. Karena mereka tidak terkena beban agama. Tidak wajib juga atas perempuan yang sedang menstruasi (haid) dan nifas, karena sajat tidak sah dikerjakannya dan tidak wajib mengadhanya Tetapi, bagi orang yang murtad dan mabuk sebab lalim, maka salat tetap diwajibkan atas mereka. Orang Muslim mukalaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda salat fardu hingga melewati waktu penjamakannya, malas mengerjakan namun masih berkeyakinan bahwa salat itu hukumnya wajib, lantas dia disuruh bertobat tapi tidak mau, maka wajib ditetapkan had atasnya, yaitu dengan memancung leher. Berpijak atas pendapat yang mengatakan "sunah" memerintahkannya bertobat, maka pemancung leher orang yang menunda salat sebelum bertobat adalah tidak dikenakan pidana, tetapi dia berdosa. Jika dia meninggalkan salat karena menentang wajibnya, . maka dia dibunuh sebagai orang yang Kafir. Dia tidak perlu dimandikan dan disalati (serta . tidak boleh dimakamkan di pekuburan orang-orang Muslim - pen). Bagi si Muslim mukalaf yang sua, jika dia meninggalkan salat tanpa ada halangan, maka dia wajib segera mengadha salat yang ditinggalkan. Karena itu, hukum mengadha baginya adalah wajib. Syaikhuna Ahmad bin Hajar --semoga Allah swt. memberikan rahmat padanya-telah berkata: Yang jelas, bagi orang tersebut wajib menggunakan semua waktunya untuk mengadhanya, selain waktu-waktu yang harus dipergunakan untuk hal lain (misalnya tidur, mencari nafkah bagi orang yang harus dinafkahi dan seterusnya -pen), di samping itu, juga haram baginya mengerjakan salat sunah (sebelum kewajiban salat fardu yang ditinggalkan tertunaikan -pen). Jika salat tertinggal sebab ada halangan, misalnya tertidur atau lupa yang tidak karena lalim (main-main), maka dia sunah dengan segera menqadhanya. Jika tertinggal salatnya karena uzur, maka dalam menqadhanya disunahkan mengerjakan salat secara tertib, yaitu mengerjakan salat Subuh sebelum Zhuhur, dan seterusnya. Sunah mendahulukan salat kadha sebelum salat Ada' (tunai), jika tidak khawatir kehabisan waktu salat Ada': Menurut pendapat yang Muktamad, meskipun dia khawatir akan ketinggalan berjamaah. Jika tertinggalnya tidak sebab uzur, maka dia wajib mendahulukan kadha daripada salat Ada'. Adapun bila dikhawatirkan kehabisan waktu yalat Ada', walaupun sebagian -meskipun sedikit sajadari salat Ada' akan terjadi di luar waktunya, maka baginya wajib mendahulukan salat Ada'. Wajib juga mendahulukan salat kadha, yang tanpa uzur atas kadha salat yang tertinggal sebab uzur, walaupun akan terjadi ketidak tertiban waktunya. Karena tertib itu hukumnya sunah, sedangkan bersegera adalah hukumnya wajib. Sunah mengakhirkan salat-salat Rawatib atas salat kadha, sebab ada uzur: dan wajib mengakhirkan salat-salat Rawatib atas kadha salat tanpa uzur. Peringatan! Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan salat, maka salat tersebut tidak ' dapat dikadha atau dibayar fidyahnya. . Dalam sebuah pendapat yang diceritakan oleh Imam Al-'Ubadi, dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa: Salat tersebut harus dikadha oleh orang lain, baik si mayat berwasiat agar mengerjakan ataupun tidak. Hal ini berdasarkan sebuah hadis. Imam As-Subki juga melakukan seperti itu atas kerabat-kerabat beliau yang meninggal dunia. Anak laki-laki atau perempuan yang sudah mumayyiz, yaitu telah dapat makan, minum dan beristinja sendiri, wajib atas kedua orangtua, orang seatasnya, orang yang menerima wasiat dan pemilik budak, agar memerintahnya mengerjakan salat, walaupun salat kadha dengan segala syarat-syaratnya, kalau anak tersebut sudah sempurna berusia 7 tahun, meskipun sebelum usia tersebut si anak sudah tamyiz. Seyogianya bentuk perintah tersebut diikuti dengan ancaman. Anak yang sudah mencapai usia 10 tahun sempurna, kalau meninggalkan salat, walaupun salat kadha atau meninggalkan syarat dari syarat salatnya, maka bagi orangtua dan yang lain wajib memukulnya, asal tidak sampai melukai. Berdasarkan hadis sahih: "Perintahlah anak kecil itu mengerjakan salat, jika telah berusia 7 tahun, dan jika sudah berusia 10 tahun, pukullah kalau ia meninggalkannya." Begitu juga jika ia sudah kuat berpuasa. Ia diperintahkan berpuasa setelah berusia 7 tahun. Jika setelah berusia 10 tahun meninggalkan, maka harus dipukul. Sama seperti salat. Hikmah yang dikandung dari semua itu, adalah melauhnya untuk beribadah, agar nanti terbiasa dan tidak meninggalkannya. Imam Al-Adzra'i membahas masalah anak budak kecil yang kafir, tetapi sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, Hukumnya , adalah sunah memerintah salat dan berpuasa, Ia dianjurkan melaksanakannya, tetapi tidak dipukul manakala meninggalkannya, karena bertujuan agar di saat dewasa, biasa melakukan kebaikan. Meskipun kias yang seperti itu tidak tepat: Selesai. Wajib pula bagi orangtua dan orang yang telah tersebut di atas, melarang anak kecil dari hal-hal yang diharamkan dan mengajarnya kewajiban-kewajiban dan sejenisnya, yaitu syariat-syariat lain yang lahir (kelihatan). Meskipun dalam masalah sunah, misalnya bersiwak, serta memerintah untuk mematuhinya. Semua kewajiban di atas bagi orangtua dan yesamanya, baru berakhir setelah anak balig dan pintar. Masalah biaya pendidikannya, misalnya pengajaran Algur-an , dan adab, adalah diambilkan dari harta anak, ayah, kemudian ibunya. Peringatan! Imam As-Sam'ani mengemukakan masalah seorang istri kecil yang masih mempunyai ayah dan ibu, bahwa kewajiban tersebut adalah terletak pada kedua orangtuanya, lantas suaminya. Kesimpulan dari itu, wajib dipukul jika tidak tunduk. Imam Jamalul Islam Al-Bazari menjelaskan, wajib. memukulnya, meskipun istri sudah besar. Syaikhuna (Ibnu Hajar AlHaitami) berkata: Hal itu sudah jelas, jika tidak dikhawatirkan akan nusyuz (tidak taat). Dalam masalah mendidik terhadap istri, Imam Az-Zarkasi memutlakkan hukum sunah. Permulaan yang wajib, hingga masalah memerintahkan mengerjakan salat, adalah beban ayah dan orang yang telah disebutkan, yaitu mengajar anak yang sudah tamyiz: Sesungguhnya Nabi kita, Muhammad saw. diutus di Mekah, lahir di sana dan wafat serta dimakamkan di Madinah. PASAL I : SYARAT-SYARAT SALAT Syarat adalah sesuatu yang menjadikan sah salat, tapi bukan . merupakan bagiannya. Pembahasan syarat lebih sesuai didahulukan daripada rukun. Sebab syarat itu wajib didahulukan (dipenuhi) sebelum mengerjakan salat dan tetap terpenuhi di dalamnya. Syarat-syarat sah salat ada lima. SYARAT SALAT PERTAMA : Thaharah Syarat Salat Pertama: Thaharah yaitu suci dari hadas dan janabah. Thaharah menurut arti bahasa: Suci dan lepas dari kotoran. Sedangkan menurut syarak: Menghilangkan penghalang yang berupa hadas atau najis. Thaharah Pertama: Wudu Bersuci dari hadas yang pertama adalah wudu. Wudu --dibata dhammah wawunya--: Menggunakan air pada anggota badan tertentu, yang dimulai dengan niat. Sedangkan wadu —dibaca fat-hah wawunya--: Air yang dipergunakan untuk berwudu. Permulaan diwajibkan wudu, adalah bersamaan dengan diwajibkan salat, yaitu pada malam Isra. Syarat-syarat Wudu Syarat-syarat wudu ada lima, sebagaimana syarat mandi. Pertama: Air mutlak. Karena itu, selain air mutlak tidak dapat untuk menghilangkan hadas dan menyucikan najis, serta tidak dapat digunakan untuk thaharahthaharah yang lain, walaupun thaharah sunah. Air mutlak, adalah: Air yang penamaannya tanpa tambahan, : walaupun hasil sulingan dari asap air yang mendidih dan suci, dilarutkan suatu campuran di dalam, suatu air: ataupun ada tambahan nama pada air, tapi tambahan tersebut untuk menerangkan tempatnya, misalnya” "air laut". Lain halnya dengan air yang tidak disebut kecuzli selalu ada tambahan, misalnya “air mawar". Yang tdak air bekas thaharah, baik untuk menghilangkan hadas kecil atau besar, walau Uhaharah seorang bermazhab Hanafi, yang dak berniat, thaharah anak kecil yang belum tamyiz untuk mengerjakan Tawaf, atau air tersebut dipergunakan mencuci najis, walaupun najis ma'fu. Yang jumlah air musta'mal itu sedikit, kurang dari dua kulah. Jika air musta'mal itu dikumpulkan hingga mencapai jumlah dua kulah, maka menjadi air Muthahhir (suci-menyucikan), sebagaimana air mutanajis terkumpul hingga mencapai dua kulah dalam keadaan tidak berubah, walaupun setelah diambil lagi menjadi jumlah sedikit (kurang). Karena itu, dapatlah diketahui, bahwa kemusta'malan air itu : hanya pada air yang sedikit, setelah terpisah dari tempat kegunaannya --walaupun hanya secara hukum--, seperti air: basuhan yang melewati pundak atau lutut orang yang wudu, walaupun kembali ke tempat semula, atau air yang berpindah dari tangan satu ke tangan lainnya. Memang benar! Tidak menjadi masalah bagi penanggung hadas kecil atas perpindahan air dari telapak tangan ke hasta: begitu juga orang junub, kepindahan air dari Repala ke anggota badan lain yang banyak terkena tetesan air dari kepala, misalnya dada. Cabang: Apabila wudu dengan cara memasukkan tangannya (ke air yang sedikit) dengan maksud membasuh hadas atau tidak bermaksud, hal itu ia lakukan setelah niat mandi junub (bagi orang yang janabah) atau setelah tiga kah membasuh muka, atau sekali namun ja bermaksud membasuh satu kali, dan ia tidak berniat mengambil air atau tujuan lain, maka air tersebut menjadi “musta'mal", karena dinisbatkan anggota selain tangan. Baginya boleh membasuh tangan dengan air itu. Tidak pula air. yang telah mengalami perubahan banyak, sekira dapat menghilangkan “kemutlakannya", sebagaimana telah berubah salah satu sifat, rasa, warna atau baunya, walau berubah secara taqdiri (perumpamaan). Ataupun berubahnya karena. sesuatu yang berada di anggota badan yang bersuci, demikian menurut pendapat yang lebih baik. Perubahan air itu dapat mempengaruhi kemutlakannya, jika disebabkan suatu campuran yang tidak dapat dibedakan mata, sud dan air tersebut memang tidak dapat terhindar daripadanya, misalnya za'faran, buah pohon yang tumbuh dekat air dan daun yang dimasukkan ke air lantas hancur. Bukan campuran yang berupa tanah atau air garam, walaupun keduanya dimasukkan ke air itu. Perubahan yang tidak sampai: mengubah kemutlakan air adalah . tidak menjadi masalah, sebab perubahannya sedikit, walaupun dimungkinkan terjadi keraguan atasnya, sebagaimana disang. sikan banyak atau sedikit berubahnya. Perkataanku "sebab campuran" itu mengecualikan "pendamping", yaitu sesuatu yang dapat terlihat mata, misalnya kayu dan ruinyak, yang meskipun keduanya berbau wangi. Termasuk goloogan pendamping. adalah asap, walaupun banyak dan jelas baunya misalnya. Lain halnya dengan segolongan ulama. Di antara pendamping lagi, adalah air rebusan gandum, buah kurma dan sebagainya, selama tidak terlihat bercampur dengan benda yang rontok darinya, sebagaimana tidak sampai ke batas “bukan air lagi", misalnya disebut kuah. Jika disangsikan: Apakah barang yang berada di dalam itu campuran atau pendamping, maka barang tersebut dihukumi pendamping. Sedang perkataanku "air dapat terhindar dari campuran", adalah mengecualikan air yang tidak dapat terhindar dari campuran itu, seperti halnya air yang diam atau mengalir di tempat yang banyak lumpur, lumut yang hancur dan belerang. Seperti halnya juga air itu berubah karena diam terlalu lama atau daun-daun yang berguguran sendiri dan hancur serta pohonnya jauh dari air itu. Atau (perubahan air) sebab barang najis, walaupun sangat : sedikit dan jumlah air banyak, yaitu dua kulah atau lebih --dalam bentuk dua barang suci dan najis Ukuran dua kulah dengan: timbangan adalah -+ 500 liter Bagdad, dengan isi pada bentuk bangunan kubus, adalah panjang, lebar dan tinggi 1 1/4 hasta orang normal. Sedangkan dalam bangunan yang berbentuk selinder (bulat), adalah garis tengah 1 hasta manusia, dalamnya 2 hasta tangan tukang kayu. Adapun 1 hasia tangan tukang kayu adalah 1 1/4 hasra tangan biasa. Air dua kulah, walaupun hanya perkiraan, sebagaimana kalau diragukan: Air itu ada dua kulah atau tidak, dan bahkan sudah diyakinkan sebelumnya, bahwa air itu sedikit, adalah udak dihukumi najis bila kemasukan najis, selama udak berubah sebab najis tersebut, walaupun najis tersebut larut dalam air. (Ketika kita mengambil air yang jumlahnya banyak), udak wajib menjauhi najis yang ada padanya. Jika ada orang kencing di laut, lalu terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis, jika jelas terjadi dari kencingnya, atau dani air yang telah berubah salah satu sifatnya sebab air kencing tadi. Jika tidak jelas, maka air buih tidak najis. Jika sepotong kotoran unta dilemparkan ke laut, lalu memercikkan air yang mengenai sesuatu, maka barang tersebut tidaklah menjadi najis. Air sedikit yang kurang dari dua kulah, yang tidak mengalir, menjadi najis sebab kemasukan najis yang dapat dilihat oleh mata normal, yang bukan najis ma'fu pada air, walaupun dima'fu dalam salat (misalnya darah sedikit yang keluar dari badan orang lain atau darah nyamuk yang ada di pakaian orang salat -pen). Hukum ini juga berlaku pada benda padat yang basah dan cair, walaupun jumlahnya banyak. Air sedikit tidak menjadi najis sebab kemasukan bangkai binatang yang berjenis tidak berdarah mengalir kalau dipotong tubuhnya, seperti binatang kala dan cecak: kecuali jika binatang tersebut dapat mengubah airnya, walaupun hanya sedikit, maka air itu dihukumi najis. Jika bangkainya berupa kepiting dan katak, maka air yang kemasukan adalah najis. Namun pendapat ini ber. tentangan dengan pendapat segolongan ulama. Tidak najis pula, sebab bangkai yang timbul dalam air, misalnya lintah. Jika bangkai-bangkai tersebut dilemparkan ke dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis, meskipun orang yang melempar bukan mukalaf. Jika binatang tersebut masih hidup, sama sekali tidak membawa pengaruh (jika dimasukkan ke air sedikit), Banyak sekali imam kita (Syafi'iyah) memilih mazhab Malik r.a., bahwa ar pada umumnya tidak dapat menjadi najis, melainkan jika telah mengalami perubahan. Dalam hal ini (sedikat atau banyak) hukum air yang mengalir sama dengan yang tidak mengalir. Diterangkan dalam kaul Qadim: Air sedikit tidak dapat menjadi najis (jika terkena najis), kecuali bila mengalami perubahan. Pendapat ini seperti mazhab Imam Malik r.a. : Imam Nawawi dalam Al-Majmu' berkata: Baik najis itu padat atau cair. Air sedikit yang telah menjadi najis, jika mencapai dua kulah, akan menjadi sud lagi, walaupun dengan cara menambahkan air najis, sekira tidak menyebabkannya berubah. Air banyak yang najis, dapat menjadi suci kembali setelah hilang perubahan dengan sendirinya, menambahkan atau Jmenguranginya, sedangkan sisa air itu masih ada dua kulah. Kedua: Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh. Karena itu, tidak cukup hanya mengusapkan air tanpa mengalir, sebab hal itu tidak disebut membasuh. Ketiga: Pada anggota wudu tidak terdapat perkara yang membahayakan bagi perubahan air, misalnya za'faran dan kayu cendana. Sementara segolongan ulama berpendapat lain. Keempat: Tiada penghalang antara anggota basuhan dengan air, misalnya kapur, lilin, minyak yang sudah mengeras, bekas tinta yang masih ada zatnya dan inai. Berbeda dengan minyak yang masih basah --walaupun air masih tetap melesetdan bekas noda tinta atau inai. Disyaratkan juga sebagaimana penetapan ulama: Hendaknya tiada kotoran di bawah kuku yang mengganggu air sampai ke kulitnya. Sementara segolongan ulama berpendapat lain: di antaranya adalah Al-Ghazali, Az-Zarkasi dan lain-lain, di mana mereka menguatkan pendapatnya dan menjelaskan (adanya kotoran tersebut) adalah sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi - terjadinya, selama kotoran itu adalah kotoran biasa, bukan semacam adukan bahan roti. (Ibnu Hajar mengatakan: Pendapat tersebut adalah daif). Imam Al-Adzra'i dan lainnya menunjukkan atas kelemahan pendapat tersebut. Dalam Kitab At-Tatimmah dan lainnya telah dipaparkan mengenai yang terdapat dalam ArRaudhah dan lainnya, bahwasesuatu yang ada di bawah kuku, sekira dapat menghalangi air, adalah tidak dapat dimaklumi keberadaannya. Al-Baghawi berfatwa dalam masalah kotoran yang diakibatkan debu, bahwa hal itu mencegah sah wudu, Berbeda dengan kotoran yang timbul dari badan sendiri, yaitu keringat yang mengkristal. Pendapat ini telah dikukuhkan dalam Kitab Al-Anwar. Kelima: Masuk waktu, bagi yang berhadas terus-menerus, misalnya orang beser kencing dan wanita mustahadhah. Disyaratkan juga bagi orang seperti itu! Perkiraannya, bahwa waktu sudah masuk: Karena itu, ia belum boleh wudu --sebagaimana orang tayamum-- untuk salat fardu atau sunah yang ditentukan waktunya, sebelum masuk waktunya, salat Jenazah sebelum dimandikannya, salat Tahiyatulmesjid, sebelum masuk mesjid, atau salat Rawatib Ba'diyah sebelum melakukan salat fardunya. Khatib yang selalu berhadas, wajib mengerjakan dua kali wudu atau tayamum. Pertama untuk dua khotbah, sedangkan kedua untuk salat Jumat. Sedang bagi orang selain itu, maka cukup satu kali wudu untuk khotbah dan salatnya. Dia (orang beser), wajib wudu setiap akan mengerjakan kefarduan --seperti halnya tayamum--, Begitu juga (bagi wanita mustahadhah), wajib mencua farji (vagina), mengganti kapas penutup lubang vagina dan tali penguatnya, meskipun semuanya tidak berubah dari tempatnya. Bagi orang yang beser kencing, 'wajib segera mengerjakan salat. Apabila menundanya karena ada maslahat, misalnya: menanti jamaah atau salat Jusnat -walau. pun hingga melewati awal waktu--, atau berjalan ke mesjid, maka tidak menjadi masalah. Fardu Wudu Fardu wudu ada enam: Pertama: Niat wudu, menunaikan kefarduan wudu, menghilangkan hadas bagi selain orang yang selalu berhadas, --kesemuanya tersebut hingga dalam masalah wudu yang diperbarui--, niat thaharah dari hadas, atau thaharah untuk menunaikan ibadah semacam salat, yaitu ibadah yang dilakukan hanya dengan wudu, atau niat memperoleh kebolehan melakukan ibadah yang perlu dengan wudu, misalnya salat dan menyentuh Mushaf. Dalam wudu, tidaklah cukup niat memperoleh kebolehan melaksanakan ibadah yang disunahkan wudu, misalnya membaca Al-Qur'an, alhadits, masuk mesjid atau ziara kubur. Dasar hukum tentang kewajiban niat adalah hadis: "Amal-amal itu bisa sah hanya dengan niat". Maksudnya, kesahan amal, bukan kesempurnaan amal, adalah dengan niat. Dalam niat, wajib membersamakan niat pada awal membasuh muka. Jika meletakkan niat di tengah membasuh muka, maka hal itu adalah sudah mencukupi, namun wajib mengulangi basuhan yang sudah terjadi sebelum niat tersebut. Tidak boleh meletakkan niat sebelum basuhan muka, sekira tidak bisa membersamakan niat dengan sebagian dari basuhan itu. Basuhan yang bersamaan dengan niat, adalah disebut awalnya. Karena itu, terlepaslah kesunahan berkumur, jika sesuatu dari muka ikut terbasuh bersama berkumur, misalnya merah bibir --sesudah niat--. Yang utama, hendaknya memisah-misahkan niat. Dengan cara niat kesunahan berwudu di waktu membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan menyesap air ke dalam hidung, lalu niat fardu wudu ketika membasuh muka. Dengan demikian, tidaklah terlepas fadilah melangsungkan niat dari awal wudu, berkurtur, 'menyesap air ke dalam hidung serta membasuh bibir luar. Kedua: Membasuh kulit muka. Berdasarkan ayat: "Maka basuhlah : muka kalian semua". Batas bujur muka adalah: Antara tempat-tempat tumbuh rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang --dengan dibaca fat-hah huruf lamnya-- yang ujungnya masuk daerah muka, bukan daerah yang di bawahnya dan bukan pula rambut yang tumbuh di bawahnya. Sedangkan batas lintang muka adalah: Antara dua telinga. Wajib membasuh rambut muka. yaitu bulu mata, rambut pelipis (alis), kumis, kumis bawah dan jenggot --yaitu rambut pada. dagu: sedangkan dagu adalah tempat pertemuan dua rahang--, rambut ati-atis --rambut yang tumbuh di tepi (pipi) setentang telinga--, jambang, yaitu rambut yang menghubungkan antara atiati dengan jenggot. Termasuk daerah muka, adalah bibir luar dan tempat tutup (sinome = Jawa): yaitu bagian atas kening yang ditumbuhi rambut, Menurut pendapat Ashah: Tempat tahdzif (membersihkan rambut) itu tidak masuk daerah muka, ialah tempat di mana tumbuh rambut tipis antara pangkal ati-ati dan naz'ah (lengare = Jawa). Tidak termasuk juga puting telinga dan dua naz'ah, yaitu dua daerah yang bebas rambut kiri-kanan ubunubun, juga tempat botak, yaitu daerah menjorok di antara dua naz'ah, jika rambut terjadi kerontokan. Bagian-bagian yang bukan termasuk muka, sunah dibasuh. Wajib membasuh luar dan dalam setiap rambut di daerah muka yang telah lewat, -- sekalipun lebat--, karena rambut tersebut jarang sekali tumbuh lebat di sana. Tetapi tidak wajib membasuh dalam jenggot dan jambang yang lebat. Ketentuan lebat, adalah sekira kulit tidak tampak dari sela-sela rambutnya, ketika berada di majelis. Wajib juga membasuh bagian yang tidak nyata basuhan keseluruhannya, kecuali dengan membasuh bagian tersebut. Sebab, sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna kecuali dengan perkara lain, maka perkara tersebut ikut menjadi wajib. Ketiga: Membasuh dua tangan, Yaitu, dari telapak tangan sampai ke siku, berdasarkan suatu ayat Alqur-an. Perkara-perkara yang berada di daerah fardu, adalah wajib dibasuh, yaitu rambut dan kuku, sekalipun panjang. Cabang: Jika seseorang lupa membasuh seberkas anggota, lalu terbasuh ketika ketiga kalinya atau ketika mengulangi wudu karena lupa, bukan karena membarui wudu, maka hal itu sudah mencukupi. Keempat: Mengusap sebagian kepala. Imam Al-Baghawi berkata:. Seyogianya, tidaklah mencukupi hanya dengan kurang dari sebatas ubun-ubun--Ubun-ubun adalah tempat yang berada di antara dua : naz'ah. Seperti halnya naz'ah, kulit bebas rambut yang berada di belakang telinga, baik berwujud kulit atau rambut, asal berada di daerah kepala, sekalipun hanya setengah helai rambut. Karena berdasarkan ayat. Sebab, Nabi Muhammad saw. tidak pernah mengusap yang kurang dari batas ubun- ubun. Hal itu adalah riwayat dari Imam Abu Hanifah -rahimahullah-. Menurut pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah, adalah wajib membasuh seperempat kepala. Kelima: Membasuh dua kaki, berikut mata kaki masing-masing, berdasarkan suatu ayat. Atau dengan mengusap dua khuf, dengan memenuhi syarat-syaratnya. Wajib juga membasuh bagian dalam lubang atau sobekan pada anggota. Cabang: Jika ada semacam duri masuk ke kaki, di mana sebagian darinya tampak dari luar, maka wajib mencabut dan membasuh tempat tertusuknya, karena tempat itu dihukumi luar. Jika duri itu masuk keseluruhannya, maka dihukumi anggota dalam. Karena itu, wudunya sah, . dan tidak wajib membasuh dalam anggota yang tertusuk duri, walaupun terjadi bengkak pada kaki atau lainnya, selama belum pecah. Apabila pecah, maka wajib membasuh bagian dalamnya, selama tidak menutup kembali. Peringatan! Dalam masalah mandi, para ulama menyebutkan: Sungguh, diampuni bagian dalam pada ikatan-ikatan rambut, jika mengikat dengan sendirinya. Di-ilhaq-kan (disamakan) dengan masalah ini, orang yang terkena penyakit telur kutu pada pangkal rambutnya, sehingga mencegah air sampai pada kulit dan tidak mungkin membersihkannya. Seorang guru dari guru-guru kita, yaitu Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan: Orang tersebut tidak dapat disamakan dengan .masalah ikatan rambut di atas. Akan tetapi orang yang terkena penyakit telur kutu harus tayamum. Tetapi guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami) yang menjadi murid beliau berkata: Pendapat yang beralasan adalah diampuni, karena ada unsur darurat. Keenam: Tertib, sebagaimana tersebut di atas. Yaitu mendahulukan basuhan muka, kedua tangan, kepala, lalu dua kaki, berdasarkan ittiba' (mengikuti Nabi). Jika orang yang berhadas menyelam, walaupun dalam air sedikit, dengan niat yang benar di atas, maka cukup wudunya, meskipun waktu untuk menyelam tersebut umpama digunakan wudu secara tertib tidak mencukupi. Benar! Jika seseorang mandi dengan menyiramkan air serta niat wudu, maka disyaratkan benar-benar tertib. Di sini udaklah menjadi masalah dengan ketidak tahuan atas seberkas atau beberapa berkas bagian selain anggota wudu yang tidak tersiram air, bahkan meskipun pada anggota itu terdapat penghalang air, misalnya lilin. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh guru kita (Ibnu Hajar Al-Haitami). Jika seseorang berhadas kecil dan besar, maka sudah mencukupi mandi janabah untuk keduanya, jika telah disertai niat wudu. Dan tidak wajib yakin, bahwa air telah merata pada seluruh anggota tubuhnya: akan tetapi cukuplah dengan suatu perkiraan saja (sebab dengan adanya niat mandi, hadas kecil masuk dalam hadas besar -pen). Cabang: Jika yang berwudu atau mandi ragu atas kesucian anggotanya sebelum selesai wudu atau mandinya, maka dia harus menyucikannya, dan menyucikan anggota yang ada sesudahnya, (jika) dirnisbatkan masalah wudu. Atau keraguan setelah bersuci, maka hal itu tidak membawa pengaruh apa-apa. Dan jika keraguan itu dalam masalah niat, juga tidak apa-apa, menurut beberapa wajah pendapat, seperti yang termaktub dalam Syarah Minhaj, susunan Guru kita. Disitu dia berkata: Di bawah ini dapat dikiaskan hukumnya dengan keraguan yang terjadi dalam masalah Fatihah sebelum rukuk. Yaitu: Apabila yang bersuci merasa ragu: apa sudah membasuh seluruh anggota atau belum, maka dia wajib mengulangi basuhan itu, atau ragu akan pemerataan basuhannya, maka dia tidak wajib mengulangi basuhannya. Karena itu, perkataan mereka yang pertama (yang ragu atas kesucian seluruh basuhan anggota atau belum) diarahkan pada keraguan adanya basuhan, bukan pemerataan basuhan. Sunah-sunah Wudu Sunah bagi orang yang wudu: meskipun.menggunakan air hasil ghasab, --atas tinjauhan beberapa wajah pendapat--: 1. Membaca Basmalah pada permulaan wudu, karena mengikuti ' Nabi saw. Paling tidak, yang dibaca: Bismillah. Sedang sempurnanya! Bismillahir rahmanir rahim. Membaca Basmalah menurut pendapat Imam Ahmad r.a., adalah wajib. Sebelum membaca Basmalah, sunah membaca Ta'awudz: dan sesudahnya sunah membaca dua kalimat syahadat serta Alhamdu lillahil ladzii ja'alal maa-a thahuran. (Segala puji milik Allah yang telah menjadikan air sebagai pencuci). Bagi yang lupa membaca Basmalah di permulaan wudunya, sunah di tengah wudunya membaca: Bismillahi awwalahu wa akhirahu (Dengan menyebut nama Allah dari awal sampai akhir). Tidak sunah membacanya setelah selesai wudu. Kesunahan dan tata cara membaca Basmalah di atas, juga berlaku dalam amal- amal kebaikan, misalnya makan, minum, mengarang dan memakai celak mata. Apa yang dipindah dari Imam Syafi'i dan beberapa sahabat Syafi'i, bahwa Basmalah adalah permulaan wudu. Seperti itu juga kemantapan Imam An-Nawawi dalam kitab Majmu' serta imam lainnya. Karena itu, orang yang wudu hendaknya membaca Basmalah bersamaan ketika mencuci kedua tangannya, sementara itu hatinya niat wudu. Segolongan ulama terdahulu berkata: Sebenarnya, awal kesunahan-kesunahan wudu, adalah bersiwak, sesudah itu membaca Basmalah (dari kedua pendapat tersebut, lalu dikumpulkan, bahwa permulaan kesunahan gauliyah dalam berwudu, adalah membaca Basmalah: dan kesunahan fi'liyah, adalah bersiwak -pen). Cabang: Sunah membaca Basmalah ketika mulai membaca Algur-an, walaupun dari tengah- tengah surah --di luar atau dalam salat--: disunahkan pula waktu akan mandi dan menyembelih binatang. 2. Membasuh dua tepak tangan sampa: pergelangan secara bersama, yang diawali dengan membaca Basmalah, sementara hati niat wudu, meskipun berwudu dari tempat semacam kendi atau telah . meyakinkan atas kesucian kedua tangannya, karena hal ini berdasarkan ittiba'. 3. Bersiwak; dengan melebar pas da gigi dalam dan luar serta memanjang pada lidah. Berdasarkan sebuah hadis sahih: "Jika aku tidak takut memberatkan “umatku, niscaya aku memerintahkannya bersiwak setiap wudu." Perintah yang dimaksudkan oleh beliau, adalah "wajib", Bersiwak itu bisa dihasilkan kesunahannya dengan sesuatu yang kasar, meskipun berupa sobekan kain (gombal) atau kayu asynan (benalu). Yang utama adalah menggunakan kayu 'ud (kayu garu). Sedangkan yang lebih utama lagi adalah kayu 'ud yang masih basah dan berbau wangi. Dari kayu tersebut yang lebih utama adalah kayu arak. Tidak disunahkan bersiwak dengan menggunakan jarijemari, meskipun berwujud kasar. Sementara itu, Imam An-Nawawi memilih kebalikan pendapat tersebut. Bersiwak itu hukumnya sunah muakad, --walaupun bagi orang yang tidak bergigi- setiap berwudu, akan salat, baik salat fardu atau sunah, meskipun tiap dua rakaat salam atau sudah bersiwak waktu berwudu, dan sekalipun antara salat dan wudunya tidak terpisah sesuatu. (Hukum sunah muakad bersiwak untuk setiap akan salat ini), sekiranya tidak dikhawatirkan kenajisan mulutnya. Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam AlHumaidi dengan sanad yang jayid: "Salat dua rakaat yang dikerjakan dengan bersiwak, adalah lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak lebih dahulu." Jika lupa bersiwak di permulaan salat, maka ia sunah melakukan di tengah- tengahnya dengan perbuatan yang sedikit, sebagaimana memakai serban. Bersiwak juga sunah muakad di waktu akan membaca Alqur-an atau Alhadis, ilmu agama, dan ketika mulut berbau busuk atau berubah warnanya akibat semacam tidur atau makanan yang berbau tidak menyenangkan: atau gigi Serwarna kuning, sesudah bangun tidur atau akan tidur, di kala hendak masuk mesjid atau rumah, sesudah waktu sahur dan akan dicabut nyawanya. Semua.isu sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Bukhari Muslim. Dikatakan, bahwa bersiwak (dalam keadaan sakratuk Maut) dapat mempercepat keluar roh dari jasad. Dari keterangan hadis tersebut dapat disimpulkan: Bersiwak hukumnya sunah muakad bagi, orang sakit. Dalam bersiwak, harus niat mengerjakan kesunahan, --supaya dapat pahala--: hendaknya juga menelan ludah bekas bersiwak yang pertama, namun tidak perlu menyesap alat siwak. Sunah mencukil sisa-sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, baik dilakukan sebelum bersiwak ataupun sesudahnya. Bersiwak hukumnya lebih utama daripada mencukil, (tapi) pendapat ini berlawanan dengan pendapat ulama lainnya. Memakai alat siwak orang lain itu hukumnya tidak makruh, asal telah mendapat izin atau sudah diketahui akan kerelaannya. Jika tidak demikian, maka hukumnya adalah haram, sebagaimana mengambil alat siwak tik orang lain. Demikian itu jika memang tidak berlaku kebiasaan melarang memakai siwak orang lain. Orang yang berpuasa hukumnya makruh bersiwak sesudah matahari tergelincir ke arah barat, selagi mulutnya tidak berubah baunya akibat tidur misalnya. 4. Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, karena ittiba' kepada Nabi saw. Setidak-tidaknya: Memasukkan air ke mulut dan hidung. Untuk memperoleh asal sunah, tidak disyaratkan memutar-mutar air dalam mulut, membuang dan menyemburkan (mengeluarkan)nya dari hidung, tapi ketiga hal tersebut hanyalah sebagai kesunahan belaka, seperu juga masalah menyangatkan dalam memutar-mutar air kumur dan sesapan bagi orang yang tidak berpuasa. Ini semua karena berdasarkan perintah melakukan keduanya. Sunah mengumpulkan berkumur dan menghirup air pada tiga ceduk: masing-masing ceduk digunakan berkumur dan mengshirup air. 5. Meratakan usapan ke seluruh kepala. Karena ittiba' kepada Rasul saw. dan menghindari perselisihan terhadap Imam Malik dan Ahmad r.a. (mereka mewajibkan mengusap seluruh . — kepala -pen). Jika yang berwudu mencukupkan dengan usapan sebagian kepala, maka yang lebih utama adalah mengusap ubun-ubun. Cara mengusap yang lebih utama, adalah meletakkan kedua tangannya pada bagian depan kepala, dalam posisi telunjuk saling bertemu, dua ibu jari diletakkan pada dua pelipis, lantas memutar-mutarnya beserta jari-jari lain ke belakang sampai tengkuk, lalu kembali lagi ke depan. Jika kepalanya berambut, rambutnya sampat membalik: dan jika tidak berambut, maka cukup memutar tangan saja. Sesudah mengusap ubun-ubun, sunah menyempurnakan usapan pada serban atau kopiah, jika memakainya. Karena ittiba' kepada Nabi saw. 6. Mengusap dua telinga secara merata, luar atau dalam serta dua lubangnya. Karena ittiba'. Mengusap leher hukumnya tidak sunah, sebab tidak ada satu pun dasarnya. ' Imam Nawawi berkata: Mengusap leher hukumnya adalah bid'ah, dan yang menerangkannya adalah Maudhu' (palsu). 7. Menggosok-gosok anggota. Yaitu menggosokkan tangan pada anggota setelah terkena air. Karena hal ini menghindari perselisihan ulama yang menetapkan wajib (Imam Malik). 8. Menyela-nyela jenggot yang tebal. Cara yang lebih utama adalah dengan menggunakan jari-jari kanan, dimulai dari bawah serta mengurai dan dengan satu siuk khusus. Dasarnya adalah ittiba'. Jika diunggalkan adalah makruh. 9. Menyela-nyela jari-jari kedua tangan dengan berpanca dan jari-jari kaki dengan cara apapun. Cara yang paling utama: Menyelanyelai jari-jari kaki dari bawah dengan kelingking tangan kiri, mulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. Artinya, menyela-nyela jari-jari dengan jari kelingking tangan kiri, dari bawah kaki, yang dimulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. 10. Memanjangkan basuhan muka. Yaitu dengan cara membasuh muka serta bagian depan kepala, dua telinga dan dua lembar kuduknya. 11. Memanjangkan basuhan kedua tangan dan kaki. Yaitu mengikutkan kedua bahu ketika membasuh kedua tangan: dan dua betis ketika membasuh kedua kaki. Batas maksimalnya adalah meratakan basuhan pada bahu dan betis. Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim: “Sesungguhnya di hari Kiamat umatku dipanggil dalam keadaan wajah, dua langan dan kaki yang memancarkan sinar karena bekas- bekas wudunya. .Maka, barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan basuhannya, hendaknya ia mau melakukan." Imam Muslim memberj tambahan: "Dan memanjangkan basuhan kedua tangan serta kaki.” Maksud dari hadis di atas: Mereka nanti di hari Akhir dipanggil dalam keadaan wajah, tangan dan kaki bersinar. : Paling tidak, memanjangkan basuhan bisa terjadi dengan melebihkan sedikit atas perkara yang wajib. Sedangkan untuk sempurnanya, adalah meratakan basuhan pada anggota-anggota yang telah lewat. 12. Mengulang tiga kali setiap basuhan, usapan, gosokan, selaselaan, bersiwak, Basmalah dan zikir setelah berwudu. Karena berdasarkan ittiba' kepada Nabi saw. Penigakalian bisa terjadi dengan umpama memasukkan tangan —walaupun ke air yang sedikit-- lalu menggerakkannya dua kali dalam air itu. Jika ia mengulang-ulang air basuhan yang kedua, maka berhasillah hukum penigakalian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita (Ibnu Hajar AlHaitami). Penigakalian tidak bisa mencukupi (tidak sah), jika dilakukan sebelum basuhan wajib, dan tidak mencukupi sesudah sempurna wudunya. Membasuh kurang dari tiga kali hukumnya makruh, sebagaimana melebihinya dengan niat wudu, sebagaimana yang dibahas oleh segolongan ulama. Jika tambahan: tersebut dengan air wakaf persediaan bersuci, maka hukumnya adalah haram. Cabang: Orang yang di tengah-tengah berwudu merasa ragu dalam hal pemerataan atau jumlah basuhan, maka ia watib mengambil yang di yakini dalam perkara yang wajib (seperti ragu dalam masalah basuhan pertama atau pemerataannya terhadap anggota. Maka dalam keadaan seperti ini, ia wajib menyempurnakan basuhan itu - pen), dan sunah " mengambil perkara yang diyakini dalam hal yang sunah (misalnya dalam basuhan kedua atau ketiga - pen), Meskipun air yang di pergunakan berwudu adalah air wakaf. Adapun ragu setelah selesai berwudu, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa. 13. Serba kanan. Yaitu: mendahulukan yang kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki. Sedang bagi orang yang putus anggotanya, serba kanannya pada semua anggota wudu. Hal itu, karena Nabi saw. gemar mendahulukan yang kanan dalam bersuci dan tindak- tanduk yang tergolong positif, misalnya bercelak mata, memakai baju, sandal, memotong kuku, inemotong rambut kepala, mengambil, memberi, bersiwak dan menyela-nyelai. Meninggalkan serba kanan adalah makruh. Pada perbuatan-perbuatan kebalikan tahrim (positif), disunahkan mendahulukan kiri. Yaitu segala perbuatan yang masuk kategori negatif dan kotor, misalnya istinja, mem. buang ingus, melepas pakaian dan sandal. Disunahkan memulai membasuhnya dari wajah bagian atas, dari ujung tangan dan kaki --walaupun berwudu dengan air yang dituangkan oleh orang lain--. Sunah juga mengambil air basuhan wajah dengan dua tangan sekaligus, serta meletakkan wadah air yang diciduk pada sebelah kanan: dan wadah air yang dituangkan oleh orang lain, diletakkan di sebelah kiri. 14. Sambung-menyambung di antara perbuatan-perbuatan wudu satu dengan lainnya, bagi . orang yang sehat. Caranya: Segera membasuh satu anggota sebelum basuhan anggota di depannya kering. Hal ini berdasarkan ittiba' kepada Nabi dan menghindari khilaf ulama yang mewajibkannya (Imam Malik). Sambung-menyambung hukumnya wajib bagi orang yang terkena penyakit beser. 15. Berhati-hati dalam membasuh tumit, ekor mata, dua tepian mata yang letaknya dekat - hidung, pengelirik dan tepi mata yang lain, dengan menggunakan dua ujung telunjuk masing-masing. Hukum kesunahan di atas, jika pada tepian mata tidak terdapat tahi mata yang menghalangi air sampai ke tempat dasar. Bila terdapat tahi matanya, maka berhati-hati menjaga tempat tersebut adalah wajib, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Al-Majmu' Membasuh dalam mata hukumnya tidak sunah. Bahkan sebagian ulama berkata, bahwa hal itu adalah makruh, sebab berakibat dharar (bahaya). (Wajib) membasuhnya, hanya kalau ada najis di situ, karena najis itu besar artinya. 16. Menghadap kiblat selama berwudu. 17. Tidak berbicara selama berwudu, kecuali mengucapkan zikir wudu, atau jika tidak ada hajat berbicara. Memberi salam terhadap orang sedang berwudu, mengucapkan salam dan menjawab baginya, adalah tidak makruh. 18. Tidak menyeka air yang ada pada anggota wudu, kecuali karena ada suatu uzur (misalnya karena dingin dan sebagainya - pen) karena ituba' kepada Rasul saw. 19. Membaca dua kalimat syahadat setelah berwudu, jika (antara wudu dengannya) tidak lama waktu berselang menurut anggapan yang biasa. (Caranya), orang yang berwudu menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan melihat ke langit -walaupun orang buta-seraya mengucapkan: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah Yang Esa dan tiada yang menyekutukan-Nya, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya. Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Rasulullah saw.: “Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan seterusnya ..., maka dibukakan untuknya delapan pintu surga, terserah dari mana saja ia masuk." Imam At-Tirimidzi menambah: "Ya, Allah! Jadikanlah saya termasuk golongan orang- orang yang bertobat dan suci." Diriwayatkan serta disahihkan oleh Imam Hakim: "Barangsiapa berwudu lalu berdoa: Maha Suci Engkau. Ya, Allah dan dengan pujiMu saya bersaksi, bahwa. tiada Tuhan selain Engkau, saya mohon ampunan dan bertobat kepada Engkau, maka ditulis pada selembar kulit dengan cetakan yang tidak akan berubah sampai hari kiamat --seperti yang telah disahihkan oleh Imam Harim." Maksudnya: Tidak akan dibatalkan sampai ia melihat pahala-Nya yang agung. Setelah itu membaca selawar salam kepada Baginda Nabi Muhammad saw. dan keluarga beliau. Lalu membaca surat Al-Qadar sebanyak tiga kali, dengan menghadap kiblat tanpa mengangkat tangan. Mengenai doa yang dibaca pada basuhan tiap-tiap anggota, adalah dada dasarnya yang kuat. Karena itu, saya membuangnya, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Mazhab, Imam Nawawi. Dikatakan: Setiap membasuh anggota, adalah disunahkan membaca: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan uada yang menyekutui- Nya, dan saya bersaksi, bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Mustaghfiri, dan ia mengatakan: Hasan tersebut adalah hadis Hasan Gharib. 20. Meminum air dari sisa wudu. Berdasarkan sebuah hadis, bahwa air tersebut membawa obat untuk: segala penyakit. 21. Memercikkan air sisa wudu pada pakaiannya. Hal ini dimaksudkan bila ia merasa ragu akan adanya kotoran pada pakaiannya (dan hal ini untuk menghilangkan was-was - pen), sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita. Adapun keadaan Rasulullah saw. memerckkan air sisa berwudu pada pakaian beliau, adalah diarahkan atas keraguan seperti itu. 22. Melakukan salat dua rakaat setelah berwudu, asal waktunya belum berselang lama menurut ukuran umum. Kesunahan salat dua rakaat di atas, menjadi hilang jika telah berselang lama menurut umum. Hal ini atas tinjauan beberapa wajah (bentuk) pendapat. Sedangkan menurut sebagian ulama: Hal itu bisa hilang sebab bermaksud tidak mengerjakan salat, menurut sebagian lagi: Sebab anggota wudu kering: dan menurut sebagiannya lagi: Sebab telah berhadas. Dalam rakaat pertama sesudah membaca Fatihah, sunah membaca ayat: مهنأولو مهسفنأاوملظذإ sampai ayat: اميحر (Q.S. An-Nisaa: 64), sedangkan pada rakaat kedua, sunah membaca: هسفن ملظيوأ اءوس لمعي نمو sampai ayat: اميحر (QS. AnNisaa': 110). Faedah: Bersuci dengan air wakaf persediaan untuk minum, adalah haram, begitu juga dengan air yang belum jelas statusnya (untuk minum apa untuk bersuci), menuru tinjauan berbagai pendapat. Memindah air yang disediakan untuk minum ke tempat lain adalah juga haram. Jika waktu sudah sempit untuk mengerjakan salat seluruhnya dalam waktu itu, maka wajib bagi orang yang berwudu membatasi diri pada basuhan atau usapan, karena itu, ia tidak boleh mengulang tiga kali dan tidak boleh melakukan kesunahankesunahan lain. Hal itu telah dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lainnya, serta diikuti oleh ulama-ulama akhir. Akan tetapi Imam Al-Baghawi dalam masalah tertinggal salat berfatwa: Seseorang boleh menyempurnakan kesunahan-kesunahan salat, meskipun akhirnya ia tidak menemukan satu rakaat dalam waktunya. Dalam pada itu, Al-Baghawi membedakan (antara masalah wudu dengan salat), bahwa orang yang mengerjakan salat terleka pada suatu maksud (yaitu: salat). Maka dihukumi sebagaimana orang yang memanjangkan bacaan dalam salat (sehingga keluar dari waktunya). Atau bila persediaan air berwudu sedikit, yang perkiraannya hanya cukup untuk mengerjakan hal fardu. Jika orang yang berwudu ada air yang tidak cukup untuk kesempurnaan bersuci --jika ia mengulang tiga kali atau melakukan kesunahan-kesunahan--, atau diperlukan sisa air untuk binatang dimuliakan syarak yang haus, maka baginya haram menggunakan air tersebut untuk melakukan kesunahan. Begitu juga, masalah tersebut berlaku dalam mandi janabah. Orang yang berwudu hukumnya sunah membatasi pada hal-hal yang wajib saja, jika ia tergesa-gesa untuk mengikuti salat berjamaah, yang tiada jamaah selain itu. Benarlah begitu. Untuk sunah wudu yang ada pendapat lain mengatakan wajib, misalnya menggosok (menurut Imam Malik hukumnya wajib), maka hendaknya didahulukan sebelum berjamaah. Hukum ini searah dengan penjelasan yang telah lewat tentang kesunahan mendahulukan salat tertinggal sebab uzur atas salat Ada' (tunai), Kesempurnaan: Tayamum boleh dilakukan karena hadas besar atau kecil, jika tiada air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya, dengan debu - yang suci menyucikan. Rukun Tayamum: 1. Berniat memperoleh kewenangan melakukan salat fardu, secara bersamaan memindahkan debu ke muka. 2. Menyapu muka. 3. Menyapu kedua tangan. Jika seseorang merasa yakin mendapat air di akhir waktu, maka baginya lebih baik menanti. Kalau tidak punya keyakinan, yang lebih utama adalah bersegera mengerjakan tayamum. Jika anggota seseorang tercegah menggunakan air, maka baginya wajib bertayamum, membasuh anggota yang sehat dan mengusapkan air pada pembalut yang berbahaya jika dilepas. Bagi orang junub tidak wajib tertib antara tayamum dan membasuh anggota yang sehat. Jika yang tidak bisa terkena air itu dua anggota, maka tayamum wajib dilakukan dua kali. Dengan satu kali tayamum, hanya diperbolehkan melakukan satu kali salat fardu, sekalipun sala nazar. Dan hukumnya adalah sah, sz kali tayamum untuk melakuk salat fardu dan salat Jenazah. Hal-hal Yang Membatalkan Wudu Yakni, sebab sebab wudu menjadi batal ada empat: Pertama: Yakin telah keluar sesuatu selain air sperma sendiri. Baik berupa benda ataupun angin, basah atau kering, biasa keluar seperti kencing atau tidak seperti darah bawasir dan lain-lainnya, terputus atau tidak, seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya, lalu kembali. Dari salah satu dua pintu (kubul dan dubur) orang berwudu yang hidup, baik lewat dubur atau kubul, meskipun yang keluar itu penyakit otot lingkar yang tumbuh di dalamnya (bawasir). Lantas keluar otot tersebut atau bertambah nanjang dari semula. Namun menurut fatwa AlAllamah Al-Kamalur Raddad, keluar otot tersebut tidak membatalkan wudu: Yang membatalkannya adalah perkara yang kebetulan bersamanya, misalnya darah. Menurut Imam Malik r.a.: Wudu tidak menjadi batal sebab perkara yang keluar adalah hal langka. Kedua: Hilang kesadaran sebab mabuk, gila, ayan ataupun tidur. Berdasarkan sebuah hadis shahih: "Barangsiapa telah tidur, supaya wudu lagi." Terkecualikan mengantuk dan permulaan rasa mabuk (pening) dari hilang kesadaran. Karena itu, keduanya tidak membatalkan wudu, sebagaimana seseorang merasa ragu: Apakah ia tidur atau mengantuk. Tanda mengantuk adalah: masih mendengar bicara orang yang berada di sekelilingnya, sekali pun tidak paham. Wudu tidak batal lantaran hilang kesadaran sebab tidur dalam posisi duduk, yang merapat antara tempat tidur dengan pantatnya, yang tidak berubah dari tempat semula, meskipun sambil bersandaran sesuatu yang kalau tidak ada menyebabkan ia jatuh, atau duduk dalam posisi mierangkung (sedengkul: Jawa), di mana pantat tidak renggang dengan tempat duduknya. Wudu orang yang tidur dengan seperti di atas, menjadi batal, jika ia bangun telah berubah dari tempat semula. Jika hanya sekadar ragu: Apakah pantatnya berubah atau tidak, berubah sebelum bangun atau sesudahnya, maka wudunya tidak batal. Yakin dengan suatu mimpi, di mana ia yakin tidak ingat adanya tidur, hal ini tidak membawa pengaruh apa-apa. Lain halnya, jika ia merasa ragu dengan durnya, sebab mimpi dimenangkan sebagai yang terjadi pada salah satu dari dua kemungkinan. Ketiga: Menyentuh kemaluan manusia atau tempatnya, jika kemaluan itu putus, baik kemaluan orang mati atau anakanak, kubul atau dubur, masih terpasang ataupun sudah terputus, selain potongan khitan. Bagian dubur (anus) pembatal wudu adalah bibir lubang anus, sedangkan untuk bibir farji (vagina), bukan bagian-bagian belakang bibir, seperti tempat perkhitanan (kelentit). Memang! Disunahkan berwudu setelah menyentuh semacam rambut kelamin, dalam dubur . (perkara yang termaktub ketika berdiri, samping lubang dubur), dua butir pelir, rambut yang tumbuh di atas zakar (penis), pangkal paha, menyentuh anak putri yang inasih kecil, putra kecil, orang berpenyakit sopak, dan orang beragama Yahudi: Begitu Juga tusuk jarum, memandang wanita dengan syahwat, sekalipun keluarga sendiri, berucap hal yang maksiat, marah, membawa atau menyentuh mayat, memotong kuku, kumis dan rambut kepala. Dengan ketentuan kemaluan manusia, maka terkecualikan kemaluan binatang, sebab padanya tidak terdapat daya tarik seks. Karena itu, hukum melihat kelamin binatang adalah boleh. Menyentuh yang membatalkan wudu, adalah dengan menggunakan telapak tangan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw.: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya —riwayat lain mengatakan batang zakarnya--, maka baginya wajib berwudu." Yang dimaksudkan dengan telapak tangan di sini adalah: Bagian dalamnya, jari-jari bagian dalam, tepian tapak tangan yang terhimpit jika dirapatkan dengan menekan sedikit. Bagian yang tidak termasuk adalah ujung jari, tepian ujung jari dan tepian telapak tangan. Keempat: Persentuhan kulit laki-laki dengan wanita, meskipun tidak syahwat, dan sekalipun salah satunya terpaksa atau orang mati, bagi yang mati wudunya tidak batal. Yang dimaksudkan dengan kulit di sini, adalah selain rambut, gigi dan kuku. Guru kami berpendapat: Dan selain biji mata. Hal itu berdasarkan firman Allah: “atau bila kalian menyentuh wanita." Arti daripada lafal "Laa mastum" adalah menyentuh (bukan bersetubuh, seperti pendapat Imam Abu Hanifah -pen). Jika seseorang masih ragu: Yang disentuh itu rambut ataukah kulit, maka wudunya tidak batal. Seperti halnya jika tangannya menyentuh kulit, ia sendiri tidak mengerti: Apakah kulit laki-laki atau perempuan, atau ragu menyentuh mahram atau orang lain. Guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami) di dalam kitab Syahril 'Ubab berkata: Kalau diberi tahu oleh orang adil, bahwa yang ia sentuh itu wanita, atau bahwa ketika ia tidur dengan merapatkan pantatnya, keluarlah kentut dari duburnya, maka wajib menerima pemberitahuan tersebut. Kedua-duanya sudah dewasa. Persentuhan kulit antara dua anak kecil, atau satu anak kecil, sedangkan yang lain dewasa, adalah tidak membatalkan wudu, karena tidak adanya daya tarik. Yang dimaksudkan dengan anak kecil, ialah semua orang yang menurut ketentuan umum belum ada daya tarik seks (syahwat). Persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang ada hubungan mahram --baik dari arah nasab, susuan, atau perkawinan (mertua)--, adalah tidak membatalkan wudu, sebab tidak adanya daya tarik birahi. Jika perempuan mahramnya berada di tengah-tengah perempuan-perempuan mirip lain yang jumlahnya dapat dihitung (diketahui dengan mudah). lalu ia menyentuh satu darinya, maka wudunya tidak batal. Begitu juga, jika jumlah perempuan tersebut tidak mudah dihitung. Atas dasar beberapa tinjauan. Keyakinan masih punya wudu atau telah berhadas, tidak bisa hilang lantaran persangkaan kebalikannya, Demikian pula --lebih-lebih-- dengan keraguan atas kebalikan dari keyakinan, karena melangsungkan keadaan semula (sstishhab). Karena itu, keyakinanlah yang harus diambil. Penutup: Sebab hadas, seseorang diharamkan melakukan salat, tawaf, sujud ulawah atau syukur, membawa Mushaf, membawa sesuatu yang bertuliskan Algur-an, yang disediakan untuk belajar, sekalipun hanya sebagian ayat, misalnya batu tulis. Penilaian adanya tujuan menggunakan tulisan ayat untuk belajar dan tabaruk (mencari berkah), adalah terletak ketika penulisannya, bukan sesudah itu, atau terletak pada penulisnya, baik untuk dirinya sendiri atau orang lain secara cuma-cuma (tabaru'): jika tidak dengan cuma-cuma, maka terletak pada orang yang memerintahkan menulis. Tidaklah haram membawa Mushaf, jika bersama barangbarang lain, di mana Mushaf tidak dimaksudkan untuk dibawa. Haram pula memegang lembaran Mushaf, meskipun bagian kosong: atau memegang bungkusnya yang disediakan untuk membungkus. Tidak haram membalik lembaran Mushaf dengan semacam kayu kecil, asal kayu tersebut tidak melekat padanya. Tidak haram pula membawa kitab Tafsir Alqur-an yang tafsirannya lebih banyak, walaupun tidak secara persis diketahui (untuk kitab Tafsir Jalalain, yang lebih hati-hati, adalah membawanya dengan keadaan punya wudu - pen). Anak mumayiz yang sedang menanggung hadas --sekalipun junub--, tidak dilarang membawa atau menyentuh Mushaf, untuk belajar, membaca dan wasilah mempelajarinya, seperti membawa ke meja dan menghadapkan ke depan guru untuk belajar. Haram hukumnya memberi peluang memegang (membawa) Mushaf dan sesamanya terhadap anak yang belum tamyiz (sebab khawatir akan menyia-nyiakan'nya), meskipun hanya sebagian ayat. Haram juga menulisnya dengan selain huruf Arab. Demikian pula meletakkan semacam uang dirham di tempat - yang tertulis Al-qur'an atau ilmu syarak, atau menyisipkannya pada lembaran-lembaran Mushaf ' —berbeda dengan pendapat Guru kami--: merobek dengan maksud menghina, menelan sesuatu yang bertuliskan Algur-an --kalau meminum air leburan Algur-an, tidak apa-apa--: merentangkan kaki ke arah Mushaf yang terletak tidak tebih tinggi. Sunah berdiri menghormati Alqur-an, sebagaimana menghormati orang alim, bahkan menghormau Alqur-an itu lebih utama. Makruh hukumnya membakar sesuatu yang bertuliskan Alguran, kecuali jika bermaksud semacam menjaganya. Dalam hal ini lebih baik menghapusnya. Perbuatan yang Diharamkan Sebab Janabah: Diam di dalam mesjid, membaca Alqur-an sekalipun sebagian ayat yang terdengar diri sendiri, dan meskipun ia kanak-kanak, mengenai yang ini (anak-anak yang junub), adalah bertentangan dengan pendapat Imam An-Nawawi. (Hal di atas, haram juga) atas wanita yang sedang menstruasi (dan nifas). Tidak diperbolehkan (haram) salat, membaca Alqur-an dan puasa, bagi wanita yang mengeluarkan darah Thalg (darah yang keluar akibat menahan rasa sakit waktu melahirkan -pen). Puasa yang tertinggal di sini wajib dikadha, sedangkan salat tidak wajib, atas dasar beberapa tinjauan. Thaharah Kedua: Mandi Mandi menurut arti bahasa: Mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan menurut syarak: Mengalirkan air pada semua badan dengan niat mandi. Mandi tidak wajib dikerjakan seketika, meskipun penyebab kewajibannya dikerjakan sebagai durhaka (umpama berzina). Lain halnya dengan mencuci najis yang dikerjakan akibat durhaka. Yang masyhur di kalangan fukaha, lafal لسغ adalah dengan dibaca dhammmah ghainnya. Tetapi membaca fat-hah ghainnya adalah lebih fasih. Kata-kata Ghusl mempunyai arti perbuatan mandi dan air yang digunakan-. nya. Hal-hal yang mewajibkan mandi ada empat: “Pertama: Keluar air mani yang pertama. Air mani bisa diketahui melalui salah satu dari tiga ciri-ciri: Waktu keluar terasa lezat, Keluar dengan tercurat: Waktu basah berbau adukan bahan roti dan setelah kering berbau putih telur. Bila tidak terdapat tanda-tanda di atas, maka tidak wajib mandi. Memang! Jika seseorang meragukan, apakah mani atau madzi, walaupun keluarnya dengan syahwat, ia boleh memilih: menganggap mini, lalu mandi: atau menganggap madazi, lalu mencuci dan berwudu. Jika seseorang melihat mani kering yang menempel pada pakaiannya, maka ia wajib mandi dan mengulangi salatnya yang diyakini dikerjakan setelah keluar mani tersebut, selagi tidak berlaku suatu kebiasaan, bahwa mani tersebut dari orang lain. Kedua: Masuknya kepala zakar (penis), atau tengkuknya, bagi orang yang tidak mempunyai kepala penis, walaupun dari penis lepasan, binatang ataupun orang mati. Ke dalam farji --kubul (vagina) atau dubur (anus)--, sekalipun farji binatang, misalnya ikan atau orang mati. Orang mati yang seperti ini tidak wajib dimandikan lagi, sebab sudah bukan mukalaf lagi. Ketiga: Haid (menstruasi): Artinya setelah terputus darah haid. Haid ialah: Darah yang keluar dari pangkal rahim wanita pada hari-hari tertentu. Usia termuda seorang wanita mengeluarkan darah haid, adalah 9 tahun gamaniyah, secara penuh. Memang! Jika seorang wanita mengeluarkan darah sebelum berusia 9 tahun kurang 16 hari, maka darah tersebut dinamakan juga dengan haid. Masa keluar darah haid paling sedikit I hari 1 malam, dan terpanjang 15 hari (15 malam, walaupun darah tersebut tidak berturut-turut keluarnya -pen), sebagaimana masa terpendek untuk suci di antara dua kali haid. Diharamkan sebab haid: Semua yang diharamkan sebab janabah dan hubungan seksual antara pusat dan lutut. Dikatakan: Tidak diharamkan selain persetubuhan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam An-Nawawi dalam kitab At-Tahqiq, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim: "Berbuatlah sesuka hatimu, selain bersetubuh." Manakala pendarahan itu sudah berhenti, diperbolehkan sebelum mandi, berpuasa, tidak boleh bersetubuh. Hal ini (bersetubuh) bertentangan dengan hasil pembahasan Al-'Allamah Al-Jalal As -Suyuthi r.a. Keempat: Nifas: artinya, setelah berhenti pendarahan. Nifas adalah kumpulan darah haid yang keluar setelah sempurna kelahiran. Masa minimalnya adalah setetes, biasanya 40 hari, dan batas maksimal 60 hari. Semua yang diharamkan sebab haid, adalah diharamkan sebab nifas. Juga diwajibkan mandi sebab melahirkan, sekalipun tidak basah dan yang keluar berupa segumpal darah atau daging: dan wajib mandi sebab mati bagi seorang muslim yang bukan syahid. Fardu Mandi Fardu mandi ada dua: Pertama: Niat menghilangkan janabah bagi orang yang junub, atau haid bagi yang haid. Maksudnya, menghilangkan hukum janabah dan haid. Boleh juga niat menunaikan . fardu mandi, menghilangkan hadas, bersuci dari hadas, atau niat menunaikan ibadah mandi. Begitu juga niat mandi untuk menunaikan salat. Tidaklah cukup jika niat mandi saja. Niat itu wajib bersama-sama permulaan mandi. Yakni: Basuhan tubuh yang pertama kali, sekalipun mulai membasuhnya dari bawah tubuh. Jika baru niat setelah membasuh sepotong anggota badan, maka wajib mengulangi basuhan anggota tersebut. Jika seseorang niat menghilangkan janabah dan mem, basuh sebagian badan, lalu tidur, setelah bangun ia bermaksud meneruskan basuhan yang lain, maka baginya tidak perlu mengulangi niatnya. Kedua: Meratakan air pada bagian badan, termasuk kuku, kulit bawah kuku, rambut luar-dalam, sekalipun tumbuh lebat: dan semua yang tampak, misalnya pangkal rambut yang telah lepas sebelum terbasuh, lubang telinga, bagian-bagian farji wanita yang tampak ketika duduk di atas dua telapak kakinya, dan lubang: lubang serta retak-retak pada badan. Termasuk juga yang harus dibasuh: Bagian dalam pada bisul cacar yang pucuknya menganga (terbuka). Tidak termasuk wajib dibasuh: Bagian dalam bekas koreng yang menonjol keluar dan tertutup rapat, sehingga tidak tampak bagian dalamnya, Haram membelah anggota tubuh yang tergandeng rapat asli, Termasuk wajib dibasuh: Bagian di bawah kulit kepala zakar (glans penis) bagi orang yang belum dikhitan (kulit kepala zakar masih utuh). Ia wajib membasuhnya, sebab pada dasarnya, kulit glans penis harus dihilangkan. Tidak termasuk wajib dibasuh: Dasar rambut yang tumbuh dengan sendirinya (pada tempattempat yang tidak biasa tumbuh), sekalipun banyak jumlahnya. Berkumur dan menyesap air ke hidung adalah tidak wajib, tetapi meninggalkannya adalah makruh (karena menghindari perselisihan dengan Imam Abu Hanifah r.a. yang mengatakan wajib -pen). (Membasuh anggota badan di atas) dengan menggunakan air yang menyucikan. Seperti keterangan yang telah lewat, bahwa perubahan air pada salah satu sifatnya adalah mempengaruhi atas dapat digunakan mandi janabah, meskipun perubahan tersebut terjadi di anggota badan orang yang mandi. Hal ini bertentangan dengan pendapat segolongan ulama. Untuk meratakan air pada kulit dan rambut, adalah cukup dengan adanya persangkaan, meskipun ia tidak merasa yakin adanya. Tetapi yang cukup adalah dengan suatu persangkaan, sebagaimana dalam masalah wudu. Sunah-sunah Mandi Disunahkan ketika mandi wajib dan sunah: 1. Diawali dengan membaca Basmalah. 2. Membuang kotoran yang suci, misalnya sperma dan ingus, dan kotoran yang najis, misalnya madzi --sekalipun menghilangkan hadas dan kotoran-- dapat dilakukan satu basuhan sekaligus. 3. Kencing sebelum mandi bagi orang yang wajib mandi sebab inzal (ejakulasi, keluar sperma), agar sisa sperma ikut keluar bersama air kencing itu. 4. Berkumur dan menyesap air ke dalam hidung dan berwudu dengan sempurna setelah membuang kotoran, karena ituba' kepada Rasul saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim. 5. Sunah bagi orang yang mandi melanggengkan wudunya dari hadas kecil sampai selesai mandi, sehingga jika ia berhadas di tengah-tengah mandi, baginya disunahkan berwudu lagi. Pendapat Imam Al-Muhamili, bahwa wudu hanya disunahkan dalam mandi wajib saja, adalah pendapat daif (lemah). Yang lebih utama tidak menunda membasuh kedua telapak kaki daripada mandi sediku --seperti yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah-- , walaupun ada keterangan mengenai penundaannya dalam kitab Al-Bukhari. Jika ia berwudu di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, mencukupi pula sebagai kesunahan, tetapi yang lebih utama adalah mendahulukan wudu sebelum mandi. Meninggalkan wudu dalam masalah mandi, adalah makruh (sebab menghindari ulama yang mengatakan wajib wudu -pen). Dalam wudu di sini hendaknya diniau sebagai sunah mandi, jika janabahnya sunyi dari hadas kecil. Jika berhadas kecil, maka hendaknya niat menghilangkan hadas itu dan sepadannya. Karena menghindari pendapat ulama yang menetapkan wajib wudu, dengan alasan, hadas kecil tidak dapat masuk dalam hadas besar. Jika wudunya batal setelah semua anggota wudu dibasuh, maka ia wajib wudu lagi secara tertib dengan niat (jika ia hendak melakukan salat -pen). 6. Memperhatikan dalam membasuh anggota-anggota yang berlipat-lipat, misalnya telinga, ketiak, pusat, ckor mata dan bagian-bagian yang retak-retak, Memperhatikan dalam membasuh pangkal rambut, Jalu menyiram kepala dengan siraman air yang banyak setelah rambut diurai. Bagi selain orang yang putus tangan kanan dan kirinya, ia tidak disunahkan mendahulukan bagian kanan kepalanya. Lantas membasuh badan bagian kanan dan diteruskan kirinya. 7. Menggosok-gosok bagian badan yang bisa dijamah oleh : tangannya-karena menghindari perselisihan dengan ulama yang mengatakan wajib menggosok-gosok (yaitu Imam Malik, sedangkan khuruj minal khilaf, mustahab -pen). 8. Mengulang tiga kali basuhan pada seluruh badan, menggosok badan, membaca Basmalah dan berdoa setelah mandi. Dalam masalah mandi dengan air yang mengalir, kesunahan mengulang tiga kali sudah berhasil dengan menggerakgerakkan badan sebanyak tiga kali, sekalipun telapak kaki tidak berubah dari asal (berpijak), atas dasar beberapa hasil peninjauan. 9. Menghadap kiblat, sambungmenyambung, tidak berbicara tanpa ada hajat, dan tidak menyeka air tanpa ada uzur. 10. Sesudah mandi, sunah membaca kalimat syahadat serta doa sambungannya, seperti yang ada dalam Bab Wudu. 11. Sunah untuk tidak mandi janabah dan lainnya, seperti wudu dengan air yang tidak mengalir yang tidak menjadi banyak, misalnya telaga yang tidak mengalir. Cabang: Jika seseorang mandi dengan niat mandi janabah dan semacam mandiJumat dengan niat sekaligus, maka hasillah keduaduanya. Meskipun yang lebih utama adalah memisahkan masing-masing dnegan mandi sendiri-sendiri. Atau niat dengan salah satunya, maka berhasillah apa yang diniati saja. Jika seseorang berhadas dan junub, maka cukuplah baginya sekali mandi saja, meskipun tidak diniati berwudu dan tidak membasuh anggota wudu secara tertib. Cabang: Orang yang junub, haid dan nifas setelah berhenti pendarahannya, bagi mereka disunahkan mencuci farji, dan berwudu bila akan tidur, makan dan minum. Jika mereka. (orang yang junub dan seterusnya) mengerjakan hal-hal tersebut sebelum berwudu, adalah makruh. Seyogianya, sebelum mandi jangan membuang rambut, kuku dan darah (baru). Sebab semua itu nanti di akhirat akan dikembalikan dalam keadaan junub Waktu mandi, boleh telanjang di tempat yang sepi, atau di hadapan orang yang boleh melihat auratnya, misalnya istri dan budak wanita. Namun, yang lebih utama adalah menutupnya. Hukumnya haram mandi dengan telanjang di hadapan orang yang haram melihat auratnya, sebagaimana haram telanjang di tempat sepi tanpa ada hajat. Diperbolehkan telanjang di tempat sepi, (jika memang ada. kepentingan), meskipun kepentingan itu kecil sekali, seperti yang akan diterangkan nanti.
One Comment