
Bab Kewajiban Pemberi Pinjaman (Musallif) Terhadap Peminjam (Musallaf) dari Syaratnya
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):
Jika peminjam menghadirkan barang yang dipesan (salam) berupa makanan, lalu terjadi perselisihan tentangnya, maka orang yang berilmu tentang hal itu harus dimintai pendapat. Jika syarat pembeli adalah makanan yang baik dan baru, maka ditanyakan, “Apakah ini baik dan baru?” Jika mereka menjawab, “Ya,” lalu ditanya lagi, “Apakah ini termasuk dalam kategori kualitas baik?” Jika mereka menjawab, “Ya,” maka peminjam wajib menerima minimal yang termasuk dalam kategori sifat tersebut, baik dari segi kualitas maupun lainnya. Pemberi pinjaman (musallif) terbebas dari tanggungan, dan peminjam (musallaf) wajib menerimanya.
Hal yang sama berlaku untuk pakaian. Misalnya, jika dikatakan, “Ini kain dari tenunan Yaman, jenis Yusufi, panjang sekian, lebar sekian, halus atau tebal, baik atau buruk, dan apakah termasuk kategori kualitas baik?” Jika mereka menjawab, “Ya,” maka minimal yang termasuk kategori kualitas baik membebaskan pemberi pinjaman dan mewajibkan peminjam.
Demikian pula untuk kain halus dan segala sesuatu yang disifati dengan kualitas tertentu. Jika barang memenuhi minimal sifat dan kualitas yang disyaratkan, maka itu membebaskan pemberi pinjaman. Sebaliknya, jika yang disyaratkan adalah barang buruk, maka barang buruk itulah yang wajib diterima.
(Imam Syafi’i berkata):
Said bin Salim Al-Qaddah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari Atha’, dia berkata, “Jika kamu memberi pinjaman (salam), maka ketika hakmu jatuh tempo, pastikan barang yang dipesan sesuai syarat yang telah kamu bayar. Kamu tidak punya hak pilih jika syarat telah dipenuhi.”
(Imam Syafi’i berkata):
Jika barang yang datang melebihi kualitas terbaik melebihi minimal yang termasuk kategori kualitas baik, maka kelebihan itu adalah bentuk kebaikan (tathawwu’) dari pemberi pinjaman, dan pembeli wajib menerimanya. Sebab, kelebihan dalam kategori kualitas baik adalah lebih baik baginya, kecuali dalam kondisi tertentu yang akan dijelaskan nanti, insya Allah Ta’ala.
[BAB PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA DUA PIHAK YANG BERJUAL BELI DALAM SALAF JIKA PIHAK YANG MEMBERI SALAF MELIHATNYA]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Seandainya seseorang memberikan salaf kepada orang lain berupa emas untuk makanan yang telah dijelaskan sifatnya, seperti gandum, kismis, kurma, jelai, atau lainnya, dan ia memberikan salaf untuk jenis kurma yang jelek, lalu si penerima salaf memberikan kurma yang lebih baik dari yang jelek atau yang bagus dengan yang lebih baik dari yang wajib diberikan—selama tidak keluar dari jenis yang disalafkan, baik itu kurma ‘ajwah, shaihani, atau lainnya—maka pihak yang memberi salaf wajib menerimanya. Sebab, yang jelek tidak mencukupi kecuali yang bagus, dan ada kelebihan padanya. Demikian pula jika kita mewajibkan standar minimal yang bisa disebut “bagus,” lalu ia memberikan yang lebih tinggi kualitasnya, maka yang lebih tinggi itu lebih mencukupi daripada yang lebih rendah. Ia telah memberikan yang lebih baik dari yang wajib, dan tidak keluar dari jenis yang wajib disebut “bagus,” sehingga tidak keluar dari syarat ke selain syarat. Namun, jika berbeda nama atau jenis, ia tidak boleh dipaksa menerimanya dan boleh memilih antara menolak atau menerima.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula pendapat ini berlaku untuk semua jenis kismis dan makanan yang diketahui takarannya. Beliau menjelaskan: Seandainya seseorang memberikan salaf untuk kurma ‘ajwah, lalu si penerima memberikan kurma barani (yang lebih baik berkali-kali lipat), aku tidak memaksanya untuk menerimanya karena itu berbeda jenis dari yang disalafkan. Bisa jadi ia menginginkan ‘ajwah untuk suatu keperluan yang tidak cocok dengan barani. Demikian pula semua makanan jika jenisnya berbeda, karena ini berarti memberikan di luar syarat, meskipun lebih baik.
(Imam Syafi’i berkata): Hal yang sama berlaku untuk madu. Dalam madu, tidak cukup tanpa menyebut sifatnya, apakah putih, kuning, atau kehijauan, karena warnanya mempengaruhi nilai. Demikian pula segala sesuatu yang memiliki warna yang membedakannya dari yang lain, baik hewan maupun selainnya.
Beliau berkata: Jika seseorang memberikan salaf berupa perak putih yang bagus, lalu si penerima membawa perak putih yang melebihi standar minimal “bagus,” atau jika ia memberikan salaf berupa emas merah yang bagus, lalu si penerima membawa emas merah yang melebihi standar minimal “bagus,” maka ia wajib menerimanya. Demikian pula jika ia memberikan salaf berupa kuning merah yang bagus, lalu si penerima membawa merah yang melebihi standar minimal “bagus,” ia wajib menerimanya.
Namun, jika ia memberikan salaf berupa kuning merah, lalu si penerima membawa putih—sementara putih cocok untuk keperluan yang tidak cocok untuk merah—maka ia tidak wajib menerimanya jika kedua warna berbeda dalam hal kegunaan, di mana salah satunya tidak cocok. Pembeli hanya wajib menerima yang sesuai dengan sifat yang disalafkan. Demikian pula jika warnanya mempengaruhi harga, pembeli hanya wajib menerima sesuai sifat salafnya. Adapun jika warnanya tidak mempengaruhi harga atau kegunaan bagi pembeli, dan salah satunya tidak lebih bernilai, maka perbedaannya hanya pada nama, sehingga warna tidak dipertimbangkan.
[BAB KEWAJIBAN DALAM SALAF JIKA BERBEDA DENGAN SIFAT]
(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang memberikan salaf untuk kain marwi yang tebal, lalu si penerima membawa kain tipis yang lebih mahal dari yang tebal, aku tidak mewajibkannya menerimanya. Sebab, kain tebal lebih menghangatkan daripada yang tipis dan mungkin lebih tahan lama. Selain itu, itu menyalahi sifat yang disepakati.
Beliau berkata: Demikian pula jika seseorang memberikan salaf untuk seorang budak dengan sifat tertentu, misalnya “tampan,” lalu si penerima membawa budak yang melebihi sifatnya kecuali dalam ketampanan, aku tidak mewajibkannya menerimanya karena ia tidak tampan dan keluar dari sifat yang disepakati.
Demikian pula jika ia memberikan salaf untuk budak dengan sifat “berbadan besar dan kuat,” lalu si penerima membawa budak yang tampan tapi tidak kuat—meskipun lebih mahal—ia tidak wajib menerimanya. Sebab, yang kuat lebih bermanfaat daripada yang tampan, sementara yang tampan lebih mahal. Aku tidak pernah mewajibkan penerimaan sesuatu yang lebih baik dari syarat kecuali jika sesuai dengan sifatnya dan melebihinya. Adapun jika ia menambah…
Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
[Pasal tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam salam]
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Tidak boleh melakukan salam (pesanan dengan pembayaran di muka) pada gandum dari tanah milik seseorang tertentu dengan sifat tertentu, karena bencana mungkin menimpanya pada waktu jatuh tempo salam, sehingga penjual tidak wajib memberikannya sesuai sifat yang disepakati dari sumber lain. Sebab transaksi terjadi pada barang tersebut, dan pembeli telah memanfaatkan uangnya untuk sesuatu yang tidak wajib dipenuhi. Jual beli terbagi dua tanpa ada ketiga: jual beli barang tunai tanpa tempo, dan jual beli berdasarkan sifat dengan tempo atau tanpa tempo, yang menjadi tanggungan penjual. Jika menjual berdasarkan sifat dari komoditas tertentu, pembeli boleh mengambil dari mana saja. Beliau berkata: Jika keluar dari jenis jual beli yang diperbolehkan, maka jual beli barang yang tidak diketahui lebih pantas untuk dibatalkan.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula buah dari kebun tertentu, hasil ternak tertentu, desa tertentu yang tidak terjamin, atau keturunan hewan tertentu. Jika yang dipesan adalah sesuatu yang biasanya terjamin tidak terputus sumbernya dan tidak berubah pada waktu jatuh tempo, maka boleh. Jika yang dipesan adalah sesuatu yang biasanya tidak terjamin kelestarian sumbernya, maka tidak boleh. Beliau berkata: Begitu pula jika memesan susu hewan ternak tertentu dengan takaran dan sifat tertentu, tidak boleh, meskipun diambil dan diperah saat itu juga, karena bencana mungkin terjadi sebelum semua pesanan terpenuhi. Kami tidak membolehkan dalam hal ini kecuali seperti yang telah dijelaskan: jual beli barang tertentu yang tidak menanggung selainnya jika rusak, atau jual beli berdasarkan sifat yang terjamin tidak langka di tangan orang saat jatuh tempo.
Adapun sesuatu yang mungkin langka di tangan orang, maka salam di dalamnya batal. (Imam Syafi’i berkata): Jika melakukan salam yang batal dan telah diterima, harus dikembalikan. Jika sudah habis, wajib mengganti dengan yang serupa jika ada, atau nilainya jika tidak ada, dan modal harus dikembalikan. Demikianlah seluruh pasal ini dan analoginya.
[Pasal tentang perbedaan pendapat antara pemberi dan penerima salam]
(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Jika pemberi dan penerima salam berselisih, misalnya pembeli berkata, “Aku memesan 100 dinar untuk 200 sha’ gandum,” sedangkan penjual berkata, “Engkau memesanku 100 dinar untuk 100 sha’ gandum,” maka penjual harus bersumpah bahwa ia hanya menjual 100 sha’ untuk 100 dinar yang diterimanya. Jika ia bersumpah, pembeli diberi pilihan: menerima 100 sha’ yang diakui penjual, atau bersumpah bahwa ia membeli 200 sha’ karena penjual mengklaim kepemilikan 100 dinar untuk 100 sha’, sementara pembeli mengingkarinya. Jika pembeli bersumpah, transaksi batal.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka berselisih tentang barang yang dibeli, misalnya pembeli berkata, “Aku memesan 200 dinar untuk 100 sha’ kurma,” sedangkan penjual berkata, “Tapi engkau memesanku 100 sha’ jagung,” atau pembeli berkata, “Aku memesan 100 sha’ kurma jenis Barhi,” sedangkan penjual berkata, “Tapi engkau memesanku 100 sha’ kurma Ajwah,” atau pembeli berkata, “Aku memesan barang dengan sifat tertentu,” sedangkan penjual berkata, “Tapi engkau memesanku barang tanpa sifat tertentu,” maka penyelesaiannya seperti yang dijelaskan: penjual bersumpah, lalu pembeli memilih antara menerima pengakuan penjual tanpa sumpah, atau bersumpah untuk membebaskan diri dari klaim penjual, dan transaksi batal.
(Ar-Rabi’ berkata): Jika pembeli mengambil barang sementara penjual mengingkarinya, maka jika penjual mengakui, pembeli boleh mengambilnya; jika tidak, tidak boleh.
Dia diperbolehkan jika mengingkarinya, dan akad salam (pesanan) batal setelah mereka berdamai.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika mereka sepakat tentang barang tetapi berbeda pendapat tentang tenggat waktu, di mana pemberi pinjaman mengatakan tenggatnya satu tahun, sedangkan penjual mengatakan dua tahun, maka penjual harus bersumpah dan pembeli diberi pilihan. Jika pembeli menerima, (itu sah). Jika tidak, dia harus bersumpah dan akadnya dibatalkan. Jika harga dalam semua kasus ini berupa dinar, dirham, atau makanan, maka harus dikembalikan dalam bentuk yang sama. Jika tidak ada, maka dikembalikan nilainya.
Demikian pula jika pinjamannya berupa barang yang tidak ditakar atau ditimbang, lalu barang itu hilang, maka harus dikembalikan nilainya. Beliau berkata: Pendapat yang sama berlaku untuk jual beli barang nyata jika mereka berselisih tentang harga, tenggat waktu, atau barang yang dijual. Misalnya, penjual mengatakan, “Aku menjual budak ini kepadamu dengan harga seribu,” dan budak itu sudah tidak ada, sedangkan pembeli mengatakan, “Aku membelinya darimu dengan harga lima ratus,” dan budak itu sudah mati. Maka keduanya harus bersumpah, dan nilai budak itu dikembalikan, meskipun nilainya kurang dari lima ratus atau lebih dari seribu. (Imam Syafi’i berkata): Demikian pula setiap perselisihan mengenai takaran, kualitas, atau tenggat waktu.
Beliau juga berkata: Jika mereka sepakat tentang jual beli dan tenggat waktu, lalu penjual mengatakan, “Belum ada bagian dari tenggat waktu yang berlalu,” atau “Hanya sedikit yang berlalu,” sedangkan pembeli mengatakan, “Seluruhnya sudah berlalu,” atau “Hanya tersisa sedikit,” maka perkataan penjual yang diikuti sumpahnya yang diterima, dan pembeli harus mendatangkan bukti.
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Akad jual beli mereka tidak batal dalam hal ini karena mereka telah sepakat tentang harga, barang, dan tenggat waktu. Adapun jika mereka berselisih tentang dasar akad, seperti pembeli mengatakan, “Aku membeli dengan tenggat satu bulan,” sedangkan penjual mengatakan, “Aku menjual dengan tenggat dua bulan,” maka keduanya harus bersumpah dan saling mengembalikan, karena perselisihan mereka terkait hal yang membatalkan akad, sedangkan dalam kasus sebelumnya tidak ada perselisihan.
(Imam Syafi’i berkata): Seperti halnya seseorang yang menyewa orang lain selama satu tahun dengan sepuluh dinar, lalu pekerja mengatakan, “Waktunya sudah habis,” sedangkan penyewa mengatakan, “Belum habis,” maka perkataan penyewa yang diterima, dan pekerja harus mendatangkan bukti, karena dia mengakui sesuatu yang dia klaim telah keluar darinya.
[Bab Salam (Pesanan) pada Barang Tertentu, Baik yang Hadir Maupun Tidak]
(Imam Syafi’i berkata) – rahimahullah -: Jika seseorang meminjamkan seratus dinar kepada orang lain untuk barang tertentu dengan syarat barang itu diterima setelah satu hari atau lebih, maka akad salam itu rusak. Jual beli barang tertentu tidak sah jika barang itu dijamin oleh penjual dalam segala kondisi, karena tidak ada jaminan barang itu tidak hilang, dan pemiliknya tidak memiliki hak untuk mengambilnya kapan saja dia mau. Penjual tidak boleh menghalangi pembeli untuk mengambil barang begitu harga dibayarkan, meskipun dengan tenggat waktu, karena barang itu bisa rusak dalam waktu tersebut, sekalipun sebentar. Dengan demikian, pembeli membeli sesuatu yang tidak dijamin oleh penjual dalam kondisi tertentu yang harus dipenuhi, sementara penjual tidak memiliki kepemilikan penuh atas barang itu untuk diserahkan ketika hak pembeli sudah jatuh tempo dan dia mampu menerimanya.
(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, tidak sah menyewa hewan tunggangan tertentu dengan bayaran di muka untuk dikendarai setelah satu hari atau lebih, karena hewan itu bisa mati atau mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dikendarai. Namun, boleh meminjamkan dengan jaminan muatan yang diketahui. Jual beli barang tertentu tidak sah dengan tenggat waktu; yang boleh ditangguhkan hanyalah jual beli yang dijamin dengan sifat tertentu.
Demikian pula, tidak boleh mengatakan, “Aku menjual budak perempuanku ini dengan budakmu, dengan syarat kamu menyerahkan budakmu setelah satu bulan,” karena budak itu bisa melarikan diri, mati, atau berkurang nilainya dalam waktu satu bulan.
(Imam Syafi’i berkata): Kerusakan akad semacam ini karena keluar dari ketentuan jual beli yang diakui dalam Islam, dan karena harga di dalamnya tidak diketahui. Yang dianggap diketahui adalah apa yang diterima pembeli atau apa yang dia tinggalkan penerimaannya, sementara penjual tidak boleh menghalanginya.
Beliau berkata: Tidak masalah jika aku menjual budakku ini atau menyerahkannya kepadamu dengan imbalan budak yang sudah jelas sifatnya, dua budak, satu unta, dua unta, satu kayu, atau dua kayu, asalkan itu jelas sifatnya dan dijamin, karena hakku terletak pada sifat yang dijamin oleh pembeli, bukan pada barang yang bisa rusak, berkurang, atau hilang sehingga tidak dijamin.
[Bab Penghalang Pemegang Hak untuk Mengambil Haknya]
(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Jika hak seorang Muslim telah jatuh tempo, dan haknya telah jatuh tempo dengan cara apa pun, lalu pihak yang berhak dipanggil untuk mengambilnya tetapi menolak, maka… (terjemahan dilanjutkan sesuai teks asli).
Hak yang ada pada pemilik hak untuk mengambil haknya, namun jika pemilik hak menolak, maka penguasa wajib memaksanya untuk mengambil haknya agar pemilik utang terbebas dari kewajibannya dan menyerahkan apa yang menjadi haknya tanpa pengurangan sedikit pun, serta tidak ada kerugian yang ditimpakan kecuali pemilik hak berkenan membebaskannya tanpa imbalan apa pun. (Imam Syafi’i berkata): Jika dia menawarkan untuk mengambil haknya sebelum jatuh tempo, dan haknya berupa emas, perak, tembaga, bijih, atau barang selain makanan, minuman, atau hewan yang memerlukan pakan atau biaya, maka dia dipaksa untuk mengambil haknya kecuali jika dibebaskan. Sebab, haknya telah diberikan lebih awal sebelum jatuh tempo, dan aku tidak mempertimbangkan perubahan nilainya. Jika pada waktunya nilainya lebih tinggi atau lebih rendah, aku akan berkata kepada pemilik hak: “Jika engkau mau, tahanlah.” Bisa jadi pada saat jatuh tempo, nilainya lebih tinggi atau lebih rendah dari saat penyerahan.
(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apa dalil dari apa yang engkau jelaskan?” Aku menjawab: Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik mencatat perjanjian pembebasan budaknya dengan pembayaran berjangka. Budak itu ingin mempercepat pembayaran agar bisa merdeka, tetapi Anas menolak menerimanya sebelum jatuh tempo. Budak itu kemudian mendatangi Umar bin Khattab—semoga Allah meridhainya—dan menceritakan hal tersebut. Umar berkata, “Anas menginginkan warisan,” lalu dalam hadis itu disebutkan bahwa Umar memerintahkan Anas untuk menerima pembayaran tersebut dan membebaskan budak itu.
(Imam Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan qiyas. (Dia berkata): Jika utang itu berupa makanan atau minuman, pemilik hak tidak boleh dipaksa menerimanya sebelum jatuh tempo, karena dia mungkin ingin mengonsumsinya dalam keadaan segar pada waktunya. Jika dipercepat, dia terpaksa meninggalkan konsumsinya atau menerimanya dalam keadaan sudah berubah karena disimpan lebih awal.
(Imam Syafi’i berkata): Jika utang itu berupa hewan yang memerlukan pakan atau penggembalaan, pemilik hak tidak boleh dipaksa menerimanya sebelum jatuh tempo, karena dia akan menanggung biaya pakan atau penggembalaan hingga waktunya tiba, sehingga menimbulkan beban tambahan. Adapun selain itu, seperti emas, perak, bijih, pakaian, kayu, batu, dan lainnya, jika diserahkan, maka utang telah lunas, dan penerima dipaksa untuk menerimanya dari yang berutang.
(Imam Syafi’i berkata): Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya. Aku tidak mengetahui pendapat lain yang dibolehkan selain yang kujelaskan, atau ada yang mengatakan bahwa tidak boleh memaksa seseorang untuk menerima sesuatu yang menjadi haknya sebelum jatuh tempo. Jadi, dia tidak boleh dipaksa menerima dinar atau dirham sebelum waktunya, karena mungkin dia tidak memiliki tempat penyimpanan yang aman, atau barang itu bisa rusak di tangannya, sehingga dia lebih memilih untuk dijamin oleh pihak yang mampu daripada menerimanya dan mengalami kerusakan karena berbagai alasan, termasuk yang telah kusebutkan. Di antaranya juga, bisa saja ada penagih utang atau keluarga yang meminta jika mengetahui bahwa dia telah menerima haknya. Namun, kami melarang hal ini karena kami tidak melihat ada yang berbeda pendapat bahwa jika seseorang memiliki utang kepada orang lain, lalu yang berutang meninggal, maka hartanya diserahkan kepada para kreditur meskipun ahli waris tidak menginginkannya, agar warisan dan wasiat tidak tertahan. Mereka dipaksa menerimanya karena itu lebih baik bagi mereka. Namun, utang piutang (salam) berbeda dengan utang biasa dalam beberapa hal.
[Bab: Salam pada Kurma yang Habis]
(Imam Syafi’i berkata)—semoga Allah merahmatinya—jika seseorang memberikan pembayaran di muka (salam) untuk kurma atau anggur yang akan matang pada waktu tertentu, maka itu boleh. Jika kurma atau anggur itu habis hingga tidak tersisa sama sekali di daerah tempat salam dilakukan, ada yang berpendapat bahwa pemberi salam boleh memilih: jika mau, dia bisa mengambil sisa uang salamnya. Misalnya, jika dia memberikan salam seratus dirham untuk seratus mud, lalu dia telah menerima lima puluh mud, maka dia bisa mengambil kembali lima puluh dirham. Atau jika mau, dia bisa menunggu hingga musim kurma berikutnya, lalu mengambil kurma dengan sifat dan takaran yang sama seperti yang disepakati. Hal yang sama berlaku untuk anggur dan buah-buahan basah lainnya yang habis pada musim tertentu. Ini adalah satu pendapat.
Dia juga berkata: Ada yang berpendapat bahwa jika seseorang memberikan salam seratus dirham untuk sepuluh sha‘ kurma, lalu dia menerima—
Lima wasaq kurma basah telah habis, maka lima wasaq itu setara dengan lima puluh dirham karena itu adalah bagiannya dari harga. Akad jual beli dibatalkan untuk sisa kurma basah, dan lima puluh dirham dikembalikan kepadanya.
(Imam Syafi’i berkata): “Ini adalah pendapatku, dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.” Seandainya ia memberikan salam (pesanan) untuk kurma basah, ia tidak wajib menerimanya dalam keadaan kering atau campuran, dan ia berhak menerima kurma basah seluruhnya. Ia juga tidak wajib menerimanya kecuali yang baik, tidak pecah, tidak cacat karena busuk, kekeringan, atau lainnya. Demikian pula anggur, ia hanya boleh menerimanya dalam keadaan matang tanpa cacat. Begitu pula semua jenis buah-basah yang dipesan, ia hanya boleh menerimanya sesuai sifatnya tanpa cacat.
Dia berkata: “Demikian pula segala sesuatu yang dipesan, ia tidak boleh menerimanya dalam keadaan cacat. Jika memesan susu yang telah diaduk, ia tidak boleh menerimanya dalam keadaan basi atau telah diaduk dengan air yang tak diketahui takarannya, karena air bukanlah susu.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang memesan sesuatu, lalu diberikan dalam keadaan cacat (yang mungkin tersembunyi), lalu separuhnya dimakan atau rusak, sementara separuh lainnya masih ada—misalnya kurma basah yang separuhnya dimakan atau rusak—ia berhak menerima separuhnya dengan separuh harga dan dapat menuntut pengurangan selisih harga antara kurma cacat dan yang baik. Jika terjadi perselisihan tentang cacat tersebut sementara barang masih di tangan pembeli dan belum digunakan, lalu penjual berkata: ‘Aku menyerahkannya kepadamu dalam keadaan bebas cacat,’ sedangkan pembeli berkata: ‘Tidak, engkau menyerahkannya dalam keadaan cacat,’ maka perkataan penjual yang diterima, kecuali jika cacat yang diklaim biasanya tidak muncul setelah penyerahan. Jika barang telah rusak, dan penjual berkata: ‘Yang rusak darinya bebas cacat, sedangkan yang tersisa cacat,’ maka perkataan penjual yang diterima, kecuali jika barang tersebut adalah satu kesatuan yang tidak mungkin rusak sebagian tanpa merusak seluruhnya, seperti satu semangka atau satu labu. Dalam semua kasus yang perkataan penjual diterima, ia harus bersumpah.”