
4. Berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, karena ittiba’ kepada Nabi saw.
Setidak-tidaknya: Memasukkan air ke mulut dan hidung.
Untuk memperoleh asal sunah, tidak disyaratkan memutar-mutar air dalam mulut, membuang dan menyemburkan (mengeluarkan)nya dari hidung, tapi ketiga hal tersebut hanyalah sebagai kesunahan belaka, seperu juga masalah menyangatkan dalam memutar-mutar air kumur dan sesapan bagi orang yang tidak berpuasa. Ini semua karena berdasarkan perintah melakukan keduanya.
Sunah mengumpulkan berkumur dan menghirup air pada tiga ceduk: masing-masing ceduk digunakan berkumur dan mengshirup air.
5. Meratakan usapan ke seluruh kepala. Karena ittiba’ kepada Rasul saw. dan menghindari perselisihan terhadap Imam Malik dan Ahmad r.a. (mereka mewajibkan mengusap seluruh . — kepala -pen).
Jika yang berwudu mencukupkan dengan usapan sebagian kepala, maka yang lebih utama adalah mengusap ubun-ubun.
Cara mengusap yang lebih utama, adalah meletakkan kedua tangannya pada bagian depan kepala, dalam posisi telunjuk saling bertemu, dua ibu jari diletakkan pada dua pelipis, lantas memutar-mutarnya beserta jari-jari lain ke belakang sampai tengkuk, lalu kembali lagi ke depan.
Jika kepalanya berambut, rambutnya sampat membalik: dan jika tidak berambut, maka cukup memutar tangan saja.
Sesudah mengusap ubun-ubun, sunah menyempurnakan usapan pada serban atau kopiah, jika memakainya. Karena ittiba’ kepada Nabi saw.
6. Mengusap dua telinga secara merata, luar atau dalam serta dua lubangnya. Karena ittiba’.
Mengusap leher hukumnya tidak sunah, sebab tidak ada satu pun dasarnya. ‘
Imam Nawawi berkata: Mengusap leher hukumnya adalah bid’ah, dan yang menerangkannya adalah Maudhu’ (palsu).
7. Menggosok-gosok anggota. Yaitu menggosokkan tangan pada anggota setelah terkena air. Karena hal ini menghindari perselisihan ulama yang menetapkan wajib (Imam Malik).
8. Menyela-nyela jenggot yang tebal. Cara yang lebih utama adalah dengan menggunakan jari-jari kanan, dimulai dari bawah serta mengurai dan dengan satu siuk khusus. Dasarnya adalah ittiba’. Jika diunggalkan adalah makruh.
9. Menyela-nyela jari-jari kedua tangan dengan berpanca dan jari-jari kaki dengan cara apapun.
Cara yang paling utama: Menyelanyelai jari-jari kaki dari bawah dengan kelingking tangan kiri, mulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. Artinya, menyela-nyela jari-jari dengan jari kelingking tangan kiri, dari bawah kaki, yang dimulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri.
10. Memanjangkan basuhan muka. Yaitu dengan cara membasuh muka serta bagian depan kepala, dua telinga dan dua lembar kuduknya.
11. Memanjangkan basuhan kedua tangan dan kaki. Yaitu mengikutkan kedua bahu ketika membasuh kedua tangan: dan dua betis ketika membasuh kedua kaki. Batas maksimalnya adalah meratakan basuhan pada bahu dan betis.
Berdasarkan hadis Bukhari-Muslim: “Sesungguhnya di hari Kiamat umatku dipanggil dalam keadaan wajah, dua langan dan kaki yang memancarkan sinar karena bekas- bekas wudunya. .Maka, barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan basuhannya, hendaknya ia mau melakukan.” Imam Muslim memberj tambahan: “Dan
memanjangkan basuhan kedua tangan serta kaki.” Maksud dari hadis di atas: Mereka nanti di hari Akhir dipanggil dalam keadaan wajah, tangan dan kaki bersinar. :
Paling tidak, memanjangkan basuhan bisa terjadi dengan melebihkan sedikit atas perkara yang wajib. Sedangkan untuk sempurnanya, adalah meratakan basuhan pada anggota-anggota yang telah lewat.
12. Mengulang tiga kali setiap basuhan, usapan, gosokan, selaselaan, bersiwak, Basmalah dan zikir setelah berwudu. Karena berdasarkan ittiba’ kepada Nabi saw.
Penigakalian bisa terjadi dengan umpama memasukkan tangan —walaupun ke air yang sedikit– lalu menggerakkannya dua kali dalam air itu.
Jika ia mengulang-ulang air basuhan yang kedua, maka berhasillah hukum penigakalian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita (Ibnu Hajar AlHaitami).
Penigakalian tidak bisa mencukupi (tidak sah), jika dilakukan sebelum basuhan wajib, dan tidak mencukupi sesudah sempurna wudunya.
Membasuh kurang dari tiga kali hukumnya makruh, sebagaimana melebihinya dengan niat wudu, sebagaimana yang dibahas oleh segolongan ulama. Jika tambahan: tersebut dengan air wakaf persediaan bersuci, maka hukumnya adalah haram.
Cabang:
Orang yang di tengah-tengah berwudu merasa ragu dalam hal pemerataan atau jumlah basuhan, maka ia watib mengambil yang di yakini dalam perkara yang wajib (seperti ragu dalam masalah basuhan pertama atau pemerataannya terhadap anggota. Maka dalam keadaan seperti ini, ia wajib menyempurnakan basuhan itu – pen), dan sunah ” mengambil perkara yang diyakini dalam hal yang sunah (misalnya dalam basuhan kedua atau ketiga – pen), Meskipun air yang di pergunakan berwudu adalah air wakaf.
Adapun ragu setelah selesai berwudu, adalah tidak membawa pengaruh apa-apa.
One Comment