Fiqh

Terjemahan Kitab Fathul Muin

Keempat: Persentuhan  kulit laki-laki dengan  wanita, meskipun tidak syahwat, dan sekalipun salah satunya terpaksa atau orang mati, bagi yang mati wudunya tidak batal.

Yang dimaksudkan dengan kulit di sini, adalah selain rambut, gigi dan kuku. Guru kami berpendapat: Dan selain biji mata.

Hal itu berdasarkan firman Allah: “atau bila kalian menyentuh wanita.” Arti daripada lafal “Laa mastum” adalah menyentuh (bukan bersetubuh, seperti pendapat Imam Abu Hanifah -pen).

Jika seseorang masih ragu: Yang disentuh itu rambut ataukah kulit, maka wudunya tidak batal. Seperti halnya jika tangannya menyentuh kulit, ia sendiri tidak mengerti: Apakah kulit laki-laki atau perempuan, atau ragu menyentuh mahram atau orang lain.

Guru kami (Ibnu Hajar AlHaitami) di dalam kitab Syahril ‘Ubab berkata: Kalau diberi tahu oleh orang adil, bahwa yang ia sentuh itu wanita, atau bahwa ketika ia tidur dengan merapatkan pantatnya, keluarlah kentut dari duburnya, maka wajib menerima pemberitahuan tersebut.

Kedua-duanya sudah dewasa.

Persentuhan kulit antara dua anak kecil, atau satu anak kecil, sedangkan yang lain dewasa, adalah tidak membatalkan wudu, karena tidak adanya daya tarik.

Yang dimaksudkan dengan anak kecil, ialah semua orang yang menurut ketentuan umum belum ada daya tarik seks (syahwat).

Persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang ada hubungan mahram –baik dari arah nasab, susuan, atau perkawinan (mertua)–, adalah tidak membatalkan wudu, sebab tidak adanya daya tarik birahi.

Jika perempuan mahramnya berada di tengah-tengah perempuan-perempuan mirip lain yang jumlahnya dapat dihitung (diketahui dengan mudah). lalu ia menyentuh satu darinya, maka wudunya tidak batal. Begitu juga, jika jumlah perempuan tersebut tidak mudah dihitung. Atas dasar beberapa tinjauan.

Keyakinan masih punya wudu atau telah berhadas, tidak bisa hilang lantaran persangkaan kebalikannya, Demikian pula –lebih-lebih– dengan keraguan atas kebalikan dari keyakinan, karena melangsungkan keadaan semula (sstishhab). Karena itu, keyakinanlah yang harus diambil.

Penutup:

Sebab hadas, seseorang diharamkan melakukan salat, tawaf, sujud ulawah atau syukur, membawa Mushaf, membawa sesuatu yang bertuliskan Algur-an, yang disediakan untuk belajar, sekalipun hanya sebagian ayat, misalnya batu tulis.

Penilaian adanya tujuan menggunakan tulisan ayat untuk belajar dan tabaruk (mencari berkah), adalah terletak ketika penulisannya, bukan sesudah itu, atau terletak pada penulisnya, baik untuk dirinya sendiri atau orang lain secara cuma-cuma (tabaru’): jika tidak dengan cuma-cuma, maka terletak pada orang yang memerintahkan menulis.

Tidaklah haram membawa Mushaf, jika bersama barangbarang lain, di mana Mushaf tidak dimaksudkan untuk dibawa.

Haram pula memegang lembaran Mushaf, meskipun bagian kosong: atau memegang bungkusnya yang disediakan untuk membungkus.

Tidak haram membalik lembaran  Mushaf dengan  semacam  kayu  kecil, asal kayu tersebut tidak melekat padanya.

Tidak haram pula membawa kitab Tafsir Alqur-an yang tafsirannya lebih banyak, walaupun tidak secara persis diketahui (untuk kitab Tafsir Jalalain, yang lebih hati-hati, adalah membawanya dengan keadaan punya wudu – pen).

Anak mumayiz yang sedang menanggung hadas –sekalipun junub–, tidak dilarang membawa atau menyentuh Mushaf, untuk belajar, membaca dan wasilah mempelajarinya, seperti membawa ke meja dan menghadapkan ke depan guru untuk belajar.

Haram hukumnya memberi peluang memegang (membawa) Mushaf dan sesamanya terhadap anak yang belum tamyiz (sebab khawatir akan menyia-nyiakan’nya), meskipun hanya sebagian ayat.

Haram juga menulisnya dengan selain huruf Arab.

Demikian pula meletakkan semacam uang dirham di tempat – yang tertulis Al-qur’an atau ilmu syarak, atau menyisipkannya pada lembaran-lembaran Mushaf ‘ —berbeda dengan pendapat Guru kami–: merobek dengan maksud menghina, menelan sesuatu yang bertuliskan  Algur-an  –kalau  meminum  air  leburan  Algur-an,  tidak apa-apa–: merentangkan kaki ke arah Mushaf yang terletak tidak tebih tinggi.

Sunah berdiri menghormati Alqur-an, sebagaimana menghormati orang alim, bahkan menghormau Alqur-an itu lebih utama.

Makruh hukumnya membakar sesuatu yang bertuliskan Alguran, kecuali jika bermaksud semacam menjaganya. Dalam hal ini lebih baik menghapusnya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker