Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[Pengakuan atas Kandungan]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang mengatakan, “Barang ini—yang dia jelaskan—di tangannya adalah budak, rumah, harta, seribu dirham, atau sekian takar gandum untuk kandungan wanita ini,” baik wanita merdeka atau ummu walad (budak yang melahirkan anak tuannya), maka ayah janin atau walinya berhak menuntut hal itu. Jika dia mengakuinya untuk kandungan budak wanita milik seseorang, maka pemilik budak wanita itu yang berhak menuntut.

Jika pengakuan tidak dikaitkan dengan sesuatu yang spesifik, maka pengakuannya mengikat asalkan wanita itu melahirkan anak hidup dalam waktu kurang dari enam bulan. Jika dia melahirkan dua anak, laki-laki dan perempuan, dua laki-laki, atau dua perempuan, maka pengakuan itu dibagi rata di antara mereka. Jika dia melahirkan satu hidup dan satu mati, pengakuan itu berlaku untuk yang hidup. Jika semuanya lahir mati, pengakuan itu gugur.

Demikian pula, jika dia melahirkan satu atau dua anak hidup setelah genap enam bulan sejak pengakuan, pengakuan itu gugur; karena mungkin janin terbentuk setelah pengakuannya. (Imam Syafi’i berkata): Aku hanya menerima pengakuan jika diketahui bahwa itu ditujukan untuk manusia yang sudah tercipta. Jika dia mengakui untuk janin, lalu wanita itu melahirkan dua anak—satu sebelum enam bulan dan satu setelah enam bulan—maka pengakuan itu sah untuk keduanya, karena mereka adalah satu janin yang sebagian keluar sebelum enam bulan, dan hukum yang keluar setelahnya sama.

Jika seseorang mengaku untuk kandungan seorang wanita, lalu seseorang memukul perutnya sehingga keguguran janin mati, pengakuan itu gugur. Jika janin lahir hidup lalu mati, maka jika jelas bahwa janin sudah terbentuk sebelum pengakuan, pengakuan itu tetap berlaku. Jika meragukan atau mungkin terbentuk setelah pengakuan, maka pengakuan itu gugur.

(Imam Syafi’i berkata): Aku menerima pengakuan untuk kandungan wanita karena kandungan itu bisa dimiliki melalui wasiat. Selama ada kemungkinan kepemilikan, aku tidak membatalkan pengakuan kecuali jika dikaitkan dengan sesuatu yang tidak mungkin dimiliki oleh kandungan, seperti mengatakan, “Dia meminjamkan seribu dirham untuk kandungan wanita ini,” atau “Dia membebaskan seribu dirham atas kandungan wanita ini,” atau hal serupa yang tidak mungkin berlaku bagi kandungan.

Namun, jika dia mengatakan, “Untuk kandungan wanita ini, ada budak atau seribu dirham miliknya yang aku rampas,” maka pengakuan itu mengikat; karena mungkin dia mewasiatkan sesuatu untuk janin itu lalu dirampas. Demikian juga jika dia mengatakan, “Aku menzaliminya,” atau “Aku meminjam darinya,” karena mungkin ada wasiat untuk janin itu yang dipinjam. Begitu pula jika dia mengatakan, “Aku menghilangkannya untuknya,” karena ini berbeda dengan mengatakan, “Aku meminjaminya untuk kandungannya,” sebab kandungan tidak mungkin meminjam.

Jika dia mengatakan, “Untuk kandungan wanita ini, ada seribu dirham yang diwasiatkan ayahku untuknya,” maka itu menjadi milik janin. Jika wasiat itu batal karena janin lahir mati, seribu dirham itu kembali ke ahli waris ayahnya. Jika dia mengatakan, “Fulan mewasiatkannya untuknya melalui aku,” lalu wasiat itu batal, maka seribu dirham itu untuk ahli waris si pemberi wasiat.

Jika dia mengatakan, “Untuk kandungan wanita ini, ada seribu dirham yang dipinjamkan ayahnya kepadaku atau yang aku rampas dari ayahnya,” maka pengakuan itu untuk ayahnya. Jika ayahnya sudah meninggal, maka itu menjadi harta warisan.

Dari dia, dan jika masih hidup maka itu miliknya, dan dia tidak berkewajiban atas apa yang ada di dalam perut wanita, meskipun dia berkata kepadanya, “Atas seribu dirham yang engkau rampas dari milikku atau yang ada dalam kepemilikanku,” lalu aku memaksanya untuk mengaku, kemudian janin itu keluar dalam keadaan mati, maka ahli warisnya meminta untuk mengambilnya dari orang yang mengaku. Jika dia mengingkari, aku akan menyumpahnya, dan aku tidak membebankan apa pun padanya.

Jika dia berkata, “Si fulan mewasiatkan ini untuknya, lalu aku merampasnya,” atau “Aku mengaku merampasnya dengan dusta,” maka itu dikembalikan kepada ahli waris si fulan. Jika dia berkata, “Aku menghadiahkan rumahku untuk janin ini,” atau “Aku menyedekahkannya untuknya,” atau “Aku menjualnya kepadanya,” maka tidak ada kewajiban atasnya karena semua ini tidak sah untuk janin, dan janin juga tidak memiliki kewajiban.

Jika seseorang mengaku tentang sesuatu yang ada di perut seorang budak perempuan, maka pengakuannya tidak sah.

[Pengakuan Merampas Sesuatu yang Ada dalam Sesuatu]

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang berkata, “Aku merampas ini darimu dalam ini,” maka perkataannya dianggap hanya pada yang dirampas, bukan wadahnya. Misalnya, jika dia berkata, “Aku merampas bajumu atau budakmu atau makananmu pada bulan Rajab tahun ini,” maka dia menyebut waktu perampasan dan jenis barang yang diakuinya dirampas. Begitu pula jika dia berkata, “Aku merampas gandum darimu di negeri ini,” atau “di padang pasir,” atau “di tanah si fulan,” atau “di tanahmu,” maka yang dimaksud adalah bahwa tempat itu hanya penunjuk lokasi perampasan, bukan bagian dari yang dirampas, seperti bulan yang menunjukkan waktu perampasan.

Contohnya seperti perkataanmu:

– “Aku merampas gandum darimu di tanah,” atau “gandum dari tanah.”

– “Aku merampas minyak dalam wadah,” atau “minyak dari wadah.”

– “Aku merampas kapal di laut,” atau “kapal dari laut.”

– “Aku merampas unta di padang rumput,” atau “unta dari padang rumput,” atau “unta di negeri ini,” atau “unta dari negeri ini.”

– “Aku merampas domba jantan di antara kuda,” atau “domba jantan dari kumpulan kuda,” artinya domba itu berada bersama kuda.

– “Aku merampas budak di antara budak perempuan,” atau “budak dari budak perempuan,” artinya budak itu berada bersama budak perempuan.

– “Aku merampas budak di antara kambing,” atau “budak di antara unta,” atau “budak dari kambing,” atau “budak dari unta.”

Ini seperti perkataannya, “Aku merampas budak dalam karung,” atau “budak di dekat penggilingan,” bukan berarti karung atau penggilingan itu yang dirampas, melainkan hanya menjelaskan bahwa budak itu berada di situ, seperti dia menyebut budak itu di antara unta atau kambing.

Demikian pula jika dia berkata, “Aku merampas gandum darimu di kapal,” atau “di karung,” atau “di keranjang,” atau “dalam takaran,” maka yang dirampas adalah gandumnya, bukan wadahnya. Perkataan “di kapal” atau “di karung” sama maknanya dengan “dari kapal” atau “dari karung,” tidak ada perbedaan.

Begitu juga jika dia berkata:

– “Aku merampas bajumu yang bagus di saputangan,” atau “pakaian di karung.”

– “Aku merampas sepuluh baju dalam satu baju,” atau “satu baju dalam sepuluh baju.”

– “Aku merampas dinar dalam kantong.”

Semua ini sama saja, baik dia mengatakan “di dalam ini” atau “dari ini.” Dia hanya menanggung apa yang dia akui merampasnya, bukan wadahnya.

Imam Syafi’i juga berkata:

– Jika dia berkata, “Aku merampas batu permata di cincin,” atau “cincin di batu permata,” atau “pedang di sarung,” atau “sarung di pedang,” maka yang dirampas adalah yang disebut, bukan pasangannya. Batu permata bisa dilepas dari cincin, dan cincin bisa dilepas dari batu permata. Pedang bisa digantung di sarung atau dilepas darinya.

– Jika dia berkata, “Aku merampas hiasan pedang,” atau “hiasan di pedang,” maka yang dirampas adalah hiasannya, karena hiasan bisa dilepas dari pedang.

– Jika dia berkata, “Aku merampas gagang pedang,” atau “sarung pedang,” maka yang dirampas adalah bagian itu, bukan pedang utuhnya.

Contoh lain:

– Jika dia berkata, “Aku merampas burung di sangkar,” atau “burung di jaring,” atau “burung di tali,” maka yang dirampas adalah burungnya, bukan sangkar, jaring, atau talinya.

– Jika dia berkata, “Aku merampas minyak di tempayan,” atau “minyak di kantong,” atau “madu di tempayan kecil,” atau “kurma di karung,” maka yang dirampas adalah minyak, madu, atau kurmanya, bukan wadahnya.

Demikian pula jika dia berkata:

– “Aku merampas tempayan berisi minyak,” atau “sangkar berisi burung,” atau “tempayan kecil berisi samin,” maka yang dirampas adalah tempayan, sangkar, atau tempayan kecilnya, bukan isinya. Dia tidak dianggap merampas keduanya kecuali jika dia menjelaskan, seperti berkata, “Aku merampas tempayan kecil dan saminnya,” atau “tempayan dan minyaknya.” Jika dia berkata seperti itu, barulah dia dianggap merampas kedua hal tersebut.

Dan perkataannya yang dipegang adalah jika dia berkata, “Aku merampas samin dalam tempayan kecil,” atau … (terjemahan berlanjut sesuai teks asli).

Kami menyebutkan sebuah guci lemak yang tidak mengandung lemak, maka perkataannya dianggap valid mengenai lemak apa yang dia akui dan guci apa yang dia akui. Jika dia berkata, “Aku merampas pelana di atas keledaimu atau gandum di atas keledaimu,” maka dia dianggap merampas pelana saja, bukan keledainya, dan gandum saja, bukan keledainya. Demikian pula jika dia berkata, “Aku merampas keledaimu yang ada pelananya atau keledaimu yang berpelana,” maka dia dianggap merampas keledainya saja, bukan pelananya. Begitu juga jika dia berkata, “Aku merampas pakaian dalam sebuah kotak,” maka dia dianggap merampas pakaiannya saja, bukan kotaknya. Dan jika dia berkata, “Aku merampas kotak yang berisi pakaian,” maka dia dianggap merampas kotaknya saja, bukan pakaiannya.

[Pengakuan Merampas Sesuatu dengan atau tanpa Jumlah]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Aku merampas sesuatu darimu,” tanpa menyebut lebih dari itu, maka perkataannya tentang sesuatu itu dianggap valid. Jika dia mengklaim tidak merampas apa pun, hakim wajib memaksanya untuk mengakui sesuatu yang bisa disebut sebagai “sesuatu.” Jika dia menolak, dia harus dipenjara sampai mengakui hal tersebut. Jika dia mengaku, maka pengakuan itu diterima jika penggugat membenarkannya. Jika tidak, dia harus bersumpah bahwa dia hanya merampas apa yang disebutkan, lalu dibebaskan dari tuntutan lainnya. Jika dia meninggal sebelum mengakui apa pun, maka perkataan ahli warisnya dianggap valid, dan mereka harus bersumpah bahwa dia tidak merampas selain yang disebutkan. Harta almarhum ditahan sampai mereka mengakui sesuatu dan bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui hal lain.

Jika dia berkata, “Aku merampas sesuatu darimu,” lalu mengaku merampas sesuatu—baik karena dipaksa hakim atau tanpa paksaan—itu sama saja, dan dia hanya terikat dengan pengakuan itu. Jika yang diakui adalah sesuatu yang halal dimiliki, dia dipaksa untuk menyerahkannya. Jika barang itu sudah tidak ada, dia harus membayar nilainya jika memang memiliki nilai. Perkataannya tentang nilai barang itu dianggap valid. Jika barang itu tidak halal dimiliki, dia hanya disumpah bahwa dia tidak merampas selain yang disebutkan dan tidak dipaksa menyerahkannya.

Contohnya, jika dia mengaku merampas budak, hewan ternak, pakaian, uang, atau keledai, dia dipaksa menyerahkannya. Begitu juga jika dia mengaku merampas anjing, dia dipaksa menyerahkannya karena anjing halal dimiliki. Jika anjing itu mati di tangannya, dia tidak dipaksa membayar apa pun karena anjing tidak memiliki nilai jual. Jika dia mengaku merampas kulit bangkai yang belum disamak, dia dipaksa menyerahkannya. Jika sudah tidak ada, dia tidak dipaksa membayar nilainya karena tidak bernilai kecuali jika sudah disamak. Jika sudah disamak, dia harus menyerahkan kulit itu atau nilainya jika sudah hilang.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengaku merampas khamar (minuman keras) atau babi, dia tidak dipaksa menyerahkannya. Khamar harus dituangkan, dan babi harus disembelih serta dianggap tidak bernilai jika salah satu pihak adalah Muslim. Keduanya tidak memiliki nilai dan tidak halal dimiliki dalam keadaan apa pun. Jika dia mengaku merampas gandum dan gandum itu sudah tidak ada, dia harus menggantinya dengan yang sejenis. Jika tidak ada yang sejenis, dia harus membayar nilainya. Hal ini berlaku untuk semua barang yang memiliki pengganti sejenis.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang yang kaya berkata, “Aku merampas sesuatu dari si fulan yang juga kaya,” atau “sesuatu yang menjadi miliknya,” maka hukumnya sama seperti orang miskin yang mengaku kepada orang miskin. Apa pun yang dia akui—baik uang, sebutir gandum, atau lainnya—perkataannya dianggap valid dengan disertai sumpah.

Jika dia berkata, “Aku merampas beberapa barang darimu,” maka dia disuruh menyerahkan tiga barang karena itu adalah jumlah minimal dalam bahasa umum masyarakat. Tiga barang apa pun yang dia sebutkan—entah tiga uang logam, satu uang logam dan satu dirham dan satu kurma, tiga kurma, tiga dirham, tiga budak, atau satu budak, satu budak perempuan, dan satu keledai—semuanya dianggap valid karena masing-masing bisa disebut sebagai “sesuatu,” baik beragam atau sejenis.

Jika dia hanya berkata, “Aku merampas darimu,” tanpa tambahan, atau “Aku merampas darimu apa yang kamu tahu,” maka dia tidak diwajibkan menyerahkan apa pun karena bisa saja yang dia maksud adalah merampas kebebasanmu, seperti memaksamu masuk masjid atau rumah tanpa maksud buruk, atau merampas hakmu dengan melarangmu masuk rumah. Dia tidak dihukum sampai dia berkata, “Aku merampas sesuatu darimu.”

Jika dia berkata, “Aku merampas sesuatu darimu,” lalu mengklaim, “Maksudku adalah dirimu sendiri,” maka itu tidak diterima karena ucapan “Aku merampas sesuatu darimu” secara jelas berarti merampas suatu benda. Jika dia berkata, “Aku merampas darimu,” dan mengulanginya berkali-kali, maka tetap dianggap sebagai satu pengakuan.

Saya tidak memberatkannya dengan sesuatu apa pun; karena dia mungkin telah memaksakan dirinya sendiri seperti yang telah saya jelaskan. Dia berkata: “Jika dia ditanya dan menjawab, ‘Saya tidak memaksanya untuk sesuatu apa pun, termasuk dirinya sendiri,’ maka saya tidak memberatkannya dengan apa pun; karena dia tidak mengakui bahwa dia telah memaksanya untuk sesuatu.”

[Pengakuan tentang merampas sesuatu, kemudian si perampas mengklaim]

(Imam Syafi’i —rahimahullah— berkata): Jika seseorang mengakui bahwa dia telah merampas tanah milik orang lain, baik yang memiliki tanaman atau tidak, atau rumah yang memiliki bangunan atau tidak, atau sebuah tempat tinggal, maka semua ini termasuk tanah, dan tanah tidak dapat dipindahkan. Meskipun bangunan dan tanaman mungkin bisa dipindahkan, jika si pengakui perampasan setelah atau bersamaan dengan ucapannya mengatakan, “Saya hanya mengakui merampas sesuatu darimu di daerah tertentu,” maka perkataannya diterima. Apa pun yang dia serahkan di daerah tersebut yang sesuai dengan nama yang dia akui, maka tidak ada kewajiban lain baginya. Jika pihak yang dirampas mengklaim selain itu, si perampas harus bersumpah bahwa dia tidak merampas selain itu, dan perkataannya yang dipegang. Jika si perampas meninggal, maka perkataan ahli warisnya yang dipegang. Jika mereka berkata, “Kami tidak mengetahui apa pun,” maka pihak yang dirampas diperintahkan untuk mengklaim apa saja yang sesuai dengan deskripsi tersebut di daerah itu. Jika dia mengklaim, ahli waris diperintahkan untuk bersumpah bahwa mereka tidak mengetahuinya. Jika mereka bersumpah, mereka terbebas; jika tidak, mereka wajib memberikan sebagian yang sesuai dengan pengakuan si perampas. Jika mereka menolak bersumpah, pihak yang dirampas dapat bersumpah dan berhak atas apa yang dia klaim.

Jika pihak yang dirampas menolak bersumpah, begitu pula ahli waris, maka harta si mayit ditahan sampai ahli waris memberikan sedikitnya yang sesuai dengan pengakuan si perampas dan mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengetahui perampasan lainnya. Mereka tidak boleh mewarisi hartanya kecuali dengan cara yang telah dijelaskan.

Seandainya si perampas berkata, “Saya merampas sebuah rumah di Mekah,” kemudian dia berkata, “Saya mengakuinya tanpa dasar, dan saya tidak mengenal rumah yang saya rampas darinya,” maka dikatakan kepadanya, “Jika kamu memberikannya sebuah rumah di Mekah, apa pun rumahnya, dan kamu bersumpah bahwa kamu tidak merampas selain itu, maka kamu terbebas. Jika kamu menolak dan dia mengklaim rumah tertentu, maka kamu diperintahkan untuk bersumpah bahwa kamu tidak merampasnya. Jika kamu bersumpah, kamu terbebas; jika tidak, dia boleh bersumpah dan berhak atas rumah itu.” Jika dia menolak dan enggan bersumpah, dia akan dipenjara selamanya sampai dia memberikan sebuah rumah dan bersumpah bahwa dia tidak merampas selain itu.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengakui bahwa dia merampas barang yang dapat dipindahkan, seperti budak, hewan, pakaian, makanan, emas, atau perak, lalu dia berkata, “Saya merampas ini darimu di daerah tertentu,” dengan ucapan yang jelas, tetapi pihak yang dirampas membantah dan berkata, “Kamu tidak merampasnya di daerah itu,” maka perkataan si perampas yang dipegang, karena dia hanya mengakui perampasan di daerah yang dia sebutkan. Jika yang dia akui merampas adalah dinar, dirham, emas, atau perak, maka dia harus menyerahkannya dalam bentuk apa pun, karena tidak ada biaya untuk membawanya. Begitu pula jika dia meminjamkan dinar atau dirham atau menjualnya di suatu daerah, dia harus menyerahkannya di mana pun diminta.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula dengan batu permata, zamrud, atau mutiara yang dia akui merampasnya di suatu daerah, maka dia harus menyerahkannya di tempat itu. Jika tidak memungkinkan, maka dia membayar nilainya. Jika yang dia akui merampas adalah budak, pakaian, barang bawaan, hewan, atau hamba sahaya yang memerlukan biaya pengangkutan, maka pihak yang dirampas boleh menunjuk wakil untuk mengambilnya di daerah tersebut. Jika si perampas meninggal sebelum menyerahkannya, maka nilai barang itu dibayarkan di daerah tersebut, atau dia boleh mengambil nilainya di daerah tempat perampasan diakui. Dia tidak diwajibkan memberikan makanan yang sama di daerah itu karena perbedaan kualitas, kecuali jika kedua belah pihak sepakat, maka transaksi itu dibolehkan.

(Imam Syafi’i berkata): Hal serupa berlaku untuk pakaian dan barang lain yang memerlukan biaya pengangkutan. Begitu pula jika seorang budak dirampas di suatu daerah, kemudian si perampas berkata, “Budak itu telah melarikan diri atau hilang,” maka dia dihukum untuk membayar nilainya. Tidak ada yang dianggap sebagai utang dalam hal ini. Jika dia dihukum membayar nilai barang yang hilang, baik budak, makanan, atau lainnya, si perampas tidak boleh memilikinya. Dia wajib menyerahkannya kepada pemilik asli yang dirampas. Jika pemilik asli hadir, dia dipaksa untuk menerimanya dan mengembalikan uangnya. Jika pemilik tidak memiliki uangnya, dia diperintahkan untuk menjual budak itu kembali dengan harga yang disepakati jika kedua belah pihak rela, sehingga kepemilikan sah baginya. Jika tidak, budak itu dijual atas nama pemilik, dan si perampas diberi ganti rugi sesuai yang dia ambil. Jika ada kelebihan, dikembalikan kepada pemilik; jika tidak, tidak ada yang dikembalikan.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:

Jika harga budak itu berkurang dari yang diberikan kepadanya karena perubahan pasar, maka budak itu dikembalikan kepada pemiliknya dengan kelebihan (selisihnya).

(Imam Syafi’i berkata): Jika pemilik budak memiliki hutang, aku tidak akan melibatkan para kreditur dalam harga budak tersebut, karena budak itu telah diberikan nilainya kepada si perampas. Beliau berkata: Demikian juga yang aku lakukan terhadap ahli waris orang yang dirampas jika orang yang dirampas itu meninggal. Aku memutuskan budak itu untuk si perampas, tetapi aku hanya menerapkan hal itu pada harta orang yang meninggal, bukan pada harta mereka sendiri.

Demikian pula dengan makanan yang dirampas, lalu dihadirkan, dan si perampas bersumpah bahwa itu adalah makanan yang sama, juga pakaian dan lainnya seperti budak—tidak ada perbedaan. Jika si perampas menghadirkan budak dalam keadaan mati, maka itu dianggap seperti tidak menghadirkannya, dan aku tidak membatalkan keputusan pertama. Namun, jika budak itu dihadirkan dalam keadaan cacat—apapun cacatnya, baik sakit atau sehat—aku menyerahkannya kepada pemiliknya dan menghitung hasil kerja budak sejak hari perampasan serta kerugian akibat cacat pada tubuhnya, lalu aku mewajibkan si perampas sebagaimana yang telah kujelaskan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika si perampas menghadirkan makanan dalam keadaan rusak, aku mewajibkannya untuk mengganti makanan itu dan membebankan kerugian akibat kerusakan padanya. Jika makanan itu sudah busuk hingga tidak bisa dimanfaatkan dan tidak memiliki nilai, aku mewajibkan si perampas untuk menggantinya, dan itu dianggap seperti kehancuran atau kematian budak. Dia wajib mengganti dengan makanan sejenis jika ada, atau nilainya jika tidak ada yang sejenis.

Jika hakim berkata ketika barang rampasan (seperti budak atau lainnya) tidak hadir, “Berikan nilainya kepada si perampas,” lalu si perampas melakukannya, kemudian hakim berkata kepada yang dirampas, “Bebaskan dia dari penahanan atau jadikan itu sebagai milikmu dengan kerelaan hatimu,” dan kepada si perampas, “Terimalah itu,” maka itu lebih kusukai. Namun, aku tidak memaksa salah satu dari mereka untuk menerimanya.

[Pengakuan Merampas Rumah Lalu Menjualnya]

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang mengaku, “Aku merampas rumah ini, budak ini, atau apapun,” maka pengakuannya dicatat dan disaksikan. Namun, jika sebelumnya dia telah menjualnya kepada seseorang, menghadiahkannya, menyedekahkannya, memberikannya sebagai wakaf, atau semacamnya, maka ada dua pendapat.

Pertama: Pemilik rumah diberitahu, “Jika kamu memiliki bukti kepemilikan atau pengakuan si perampas sebelum barang itu dialihkan, maka rumah itu diambil untukmu. Jika tidak ada bukti, pengakuan si perampas tidak diterima karena dia tidak memilikinya saat mengaku.” Kita memutuskan agar barang rampasan diganti dengan nilainya karena dia mengaku telah menghabiskannya padahal itu milik orang lain. Hal yang sama berlaku jika itu budak lalu dibebaskan.

Begitu juga jika dua orang menuduhnya merampas rumah yang sama, lalu si perampas mengaku merampasnya dari salah satu mereka dan mengakuinya sebagai miliknya, kemudian mengaku merampasnya dari orang lain dan mengakuinya sebagai miliknya, sementara yang pertama tidak pernah memilikinya, maka rumah itu diberikan kepada yang pertama karena dia telah memilikinya melalui pengakuan, sedangkan nilainya diberikan kepada yang kedua karena si perampas mengaku telah merusaknya.

Beliau berkata: Demikian pula segala sesuatu yang diakui dirampas dari seseorang, lalu diakui dirampas dari orang lain.

Pendapat kedua: Jika keduanya hanya menuntut bahwa dia merampas rumah atau barang yang dia akui untuk mereka, maka itu menjadi milik yang pertama, dan yang kedua tidak mendapatkan apa pun dari si perampas karena keduanya membebaskannya dari tanggungan barang yang diakuinya.

Orang yang berpendapat ini berkata: “Bagaimana jika dia mengaku menjual rumah ini kepada si A seharga seribu, lalu mengaku menjualnya kepada si B seharga seribu juga, padahal rumah itu bernilai ribuan? Apakah kamu akan menjadikannya sebagai penjualan untuk si A dan mewajibkan si B menerima nilainya, lalu si perampas membayar seribu karena telah merusaknya? Atau, bagaimana jika dia membebaskan budak, lalu mengaku menjualnya kepada seseorang sebelum pembebasan? Apakah kamu akan memberikan nilainya kepada pembeli sementara pembebasan tetap berlaku? Atau, bagaimana jika dia menjual budak, lalu mengaku telah membebaskannya sebelum penjualan? Apakah penjualan itu batal atau tetap sah? Seharusnya, budak itu bisa berkata, ‘Kamu menjualku dalam keadaan merdeka, maka berikanlah harganya.’ Bagaimana jika si perampas meninggal, lalu ahli warisnya berkata, ‘Kamu menjual ayah kami dalam keadaan merdeka, maka berikanlah harganya atau lebih karena kamu telah merusaknya’—apakah dia wajib membayar sesuatu? Ataukah pengakuannya tentang kepemilikan orang lain tidak sah sehingga dia tidak perlu menanggung apa pun?”

[Pengakuan merampas sesuatu dari salah satu dari dua orang ini]

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang mengaku bahwa dia telah merampas budak ini atau benda tertentu ini dari salah satu dari dua orang, sementara keduanya sama-sama mengklaimnya dan menyatakan bahwa pihak lain yang bersengketa tidak pernah memiliki bagian apa pun darinya, dan dia diminta bersumpah atas pengakuan perampasan tersebut, maka dikatakan kepadanya:

– Jika engkau mengakui untuk salah satunya dan bersumpah untuk yang lain, maka benda itu menjadi milik orang yang engkau akui, dan engkau tidak bertanggung jawab kepada yang lain.

– Jika engkau tidak mengaku, engkau tidak dipaksa lebih dari bersumpah dengan nama Allah bahwa engkau tidak tahu dari siapa benda itu dirampas. Kemudian benda itu dikeluarkan dari tanganmu dan ditahan untuk diselesaikan, sementara keduanya menjadi pihak yang bersengketa.

Jika keduanya sama-sama menghadirkan bukti, maka tidak ada yang lebih berhak atas yang lain, karena salah satu bukti membatalkan yang lain, dan statusnya tetap seperti sebelum adanya bukti. Kemudian masing-masing bersumpah bahwa budak ini adalah miliknya dan telah dirampas oleh yang lain.

– Jika keduanya bersumpah, maka benda itu tetap ditahan selamanya sampai mereka berdamai.

– Jika salah satu bersumpah dan yang lain menolak, maka benda itu menjadi milik yang bersumpah.

– Jika salah satu menghadirkan bukti sementara yang lain tidak, maka benda itu diberikan kepada yang memiliki bukti, dan si perampas tidak bertanggung jawab atas apa pun yang telah dijelaskan.

Jika seseorang mengatakan: “Aku merampas budak atau hamba sahaya tertentu ini dari orang ini,” sementara orang itu mengklaim bahwa keduanya dirampas bersamaan, maka dikatakan kepada yang mengaku:

– “Bersumpahlah bahwa engkau tidak merampas salah satunya yang engkau pilih, dan serahkan yang lain.”

– Jika dia berkata: “Aku bersumpah tidak merampas keduanya,” itu tidak diperbolehkan, dan dikatakan: “Salah satunya menjadi miliknya karena pengakuanmu, jadi bersumpahlah atas salah satu yang engkau pilih.”

– Jika dia menolak, maka dikatakan kepada penggugat: “Bersumpahlah atas salah satu yang engkau pilih.” Jika dia bersumpah, maka benda itu menjadi miliknya.

– Jika dia berkata: “Aku bersumpah untuk keduanya,” maka dikatakan kepada tergugat: “Jika engkau bersumpah, baik. Jika tidak, kami akan meminta penggugat bersumpah dan menyerahkan keduanya kepadanya.”

Jika benda itu hilang di tangannya atau salah satunya, maka hukumnya tetap berlaku seolah-olah masih ada, kecuali jika kami memaksanya untuk bertanggung jawab atas salah satunya, maka dia harus mengganti nilainya karena kehilangan.

Jika keduanya menolak untuk bersumpah, dan pihak yang dirampas meminta agar benda itu ditahan, maka ditahan sampai si perampas mengaku salah satunya dan bersumpah.

Jika si perampas mengaku salah satunya untuk pihak yang dirampas, tetapi pihak yang dirampas mengklaim bahwa budak itu mengalami cacat saat di tangannya, maka perkataan si perampas diterima dengan sumpahnya—jika cacat itu wajar terjadi di pihak yang dirampas.

[Pinjaman]

(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i berkata: Semua pinjaman adalah tanggungan, baik hewan ternak, budak, rumah, maupun pakaian—tidak ada perbedaan di antara semuanya. Barangsiapa meminjam sesuatu lalu barang itu rusak di tangannya, baik karena perbuatannya atau bukan, ia tetap menanggungnya. Barang-barang tidak lepas dari dua kemungkinan: menjadi tanggungan atau bukan. Barang yang termasuk tanggungan, seperti hasil rampasan atau semisalnya, maka baik kerusakannya terlihat jelas atau tersembunyi, tetap menjadi tanggungan bagi yang merampas atau yang meminjam, baik ia berbuat zalim atau tidak. Adapun barang yang bukan tanggungan, seperti titipan, maka baik kerusakannya terlihat atau tersembunyi, pernyataan tentangnya adalah hak yang dititipkan disertai sumpahnya.

Sebagian orang menyelisihi pendapat kami tentang pinjaman. Mereka berkata, “Tidak ada yang ditanggung kecuali jika ada pelanggaran.” Lalu ditanyakan kepada mereka, “Dari mana pendapat ini?” Mereka mengklaim bahwa Syuraih pernah berkata demikian. Lalu mereka bertanya, “Apa dalil kalian tentang kewajiban menanggung pinjaman?” Kami menjawab, “Rasulullah ﷺ pernah meminjam dari Shafwan, lalu beliau bersabda, ‘Pinjaman ini adalah tanggungan yang wajib dikembalikan.’”

Mereka berkata, “Bagaimana jika kami katakan bahwa jika peminjam mensyaratkan tanggungan, maka ia menanggung; tetapi jika tidak mensyaratkan, ia tidak menanggung?” Kami menjawab, “Jika demikian, engkau telah meninggalkan pendapatmu sendiri.” Mereka bertanya, “Di mana?” Kami berkata, “Bukankah pendapatmu bahwa pinjaman tidak ditanggung kecuali jika ada syarat?” Mereka mengiyakan. Kami bertanya lagi, “Lalu apa pendapatmu tentang titipan jika yang menitipkan mensyaratkan penanggung atau mudharib (pengelola)?” Mereka menjawab, “Tidak menjadi penanggung.” Kami bertanya lagi, “Apa pendapatmu tentang orang yang meminjam jika ia mensyaratkan bahwa ia tidak menanggung?” Mereka menjawab, “Syaratnya tidak berlaku, dan ia tetap menanggung.” Kami berkata, “Lalu mengembalikan amanah kepada asalnya dan barang tanggungan kepada asalnya, sehingga syarat pada keduanya batal?” Mereka menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Maka seharusnya engkau juga berkata demikian tentang pinjaman. Dan itulah yang disyaratkan Nabi ﷺ bahwa pinjaman adalah tanggungan, dan tidak disyaratkan kecuali yang wajib.” Mereka bertanya, “Lalu mengapa beliau mensyaratkan?” Kami menjawab, “Karena ketidaktahuan Shafwan; saat itu ia masih musyrik dan tidak mengetahui hukum. Seandainya ia mengetahuinya, syarat itu tidak berpengaruh karena pada dasarnya pinjaman adalah tanggungan tanpa syarat, sebagaimana syarat jaminan dan pembebasan akad dalam jual beli tidak berpengaruh. Seandainya tidak disyaratkan pun, ia tetap wajib menjamin, membebaskan, atau mengembalikan sebelum rusak. Adakah yang berpendapat demikian?” Kami berkata, “Cukup dalam hal ini.”

Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga pernah berkata bahwa pinjaman adalah tanggungan. Pendapat Abu Hurairah tentang unta yang dipinjam lalu rusak adalah bahwa ia wajib menanggungnya.

Jika dua orang berselisih tentang seekor hewan, pemiliknya berkata, “Aku menyewakannya untuk pergi ke tempat tertentu dengan bayaran sekian,” sedangkan pengendaranya berkata, “Aku mengendarainya sebagai pinjaman darimu,” maka pernyataan pengendara yang diterima disertai sumpahnya, dan ia tidak wajib membayar sewa.

(Asy-Syafi’i berkata): Kemudian, pernyataan yang diterima adalah pernyataan pemilik hewan, dan ia berhak mendapatkan sewa yang semisal. Jika pengendara berkata, “Engkau meminjamkannya kepadaku,” sedangkan pemilik hewan berkata, “Engkau merampasnya dariku,” maka pernyataan peminjam yang diterima.

(Asy-Syafi’i berkata): Orang yang dititipi tidak menanggung kecuali jika melanggar. Jika ia melanggar, ia tidak akan terbebas dari tanggungan selain dengan menyerahkan barang titipan kepada pemiliknya. Bahkan jika ia mengembalikannya ke tempat semula, karena awalnya ia adalah penerima amanah, lalu keluar dari status amanah, maka pemilik barang tidak memberinya kepercayaan baru. Ia tidak terbebas sampai menyerahkan barang tersebut kepada pemiliknya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker