
[Penambahan dalam Gadai dan Syarat di Dalamnya]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Jika seseorang menggadaikan barang kepada orang lain dan barang gadai itu telah diterima oleh penerima gadai, kemudian si pemberi gadai ingin menggadaikan barang yang sama kepada pihak selain penerima gadai pertama atau menambah nilai gadainya, hal itu tidak diperbolehkan. Jika ia tetap melakukannya, gadai kedua tidak sah. Sebab, penerima gadai pertama berhak menahan kepemilikan barang tersebut hingga dijual untuk melunasi haknya.
Jika seseorang menggadaikan barang senilai seribu, lalu ia meminta penerima gadai untuk menambah seribu lagi dan menjadikan barang gadai pertama sebagai jaminan tambahan bersama seribu pertama, maka gadai kedua tidak sah. Barang itu tetap tergadai hanya untuk seribu pertama dan tidak tergadai untuk seribu tambahan. Sebab, barang itu telah sepenuhnya menjadi jaminan untuk seribu pertama, sehingga tidak ada hak tambahan untuk menahan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya atau dari para kreditur selain hak yang telah ditetapkan sebelumnya.
Hal ini berbeda dengan seseorang yang menyewa rumah selama setahun dengan harga sepuluh, lalu menyewanya lagi tahun berikutnya dengan harga dua puluh. Sebab, tahun pertama berbeda dengan tahun berikutnya. Jika rumah itu runtuh setelah tahun pertama, ia berhak mendapatkan kembali dua puluh yang merupakan hak untuk tahun berikutnya. Namun, dalam gadai, hanya ada satu akad gadai yang tidak boleh dipisah menjadi dua, atau digadaikan dua kali dengan dua syarat berbeda sebelum akad pertama dibatalkan.
Sebagaimana tidak boleh seseorang menyewa rumah yang sama dalam satu tahun dengan harga sepuluh, lalu menyewanya lagi di tahun yang sama dengan harga dua puluh kecuali sewa pertama dibatalkan. Begitu pula, tidak boleh seseorang membeli sesuatu dengan seratus, lalu membelinya lagi dengan dua ratus kecuali pembelian pertama dibatalkan dan dilakukan akad baru. Jika ia ingin menggadaikan barang yang sama dengan akad baru, ia harus membatalkan akad gadai pertama dan membuat akad baru dengan nilai dua ribu.
Jika akad gadai tidak dibatalkan, tetapi penerima gadai bersaksi bahwa barang gadai itu dipegangnya dengan nilai dua ribu, kesaksian itu sah dan gadai dianggap bernilai dua ribu selama tidak diketahui bagaimana prosesnya. Namun, jika kedua pihak mengakui bahwa ini adalah gadai kedua setelah gadai pertama tanpa pembatalan, maka gadai tetap sah hanya untuk seribu pertama, sedangkan seribu tambahan tidak memiliki jaminan.
Jika seseorang memiliki piutang seribu dirham kepada orang lain, lalu ia menggadaikan barang sebagai jaminan, gadai itu sah karena sebelumnya tidak ada kewajiban gadai. Demikian pula jika ia menambah seribu lagi dan menggadaikan barang untuk kedua nilai itu, gadai tersebut sah. Namun, jika ia memberikan seribu dan menggadaikan barang, lalu setelahnya ia meminta agar seribu sebelumnya juga dijadikan jaminan bersama, hal itu tidak sah kecuali dengan membatalkan akad pertama dan membuat akad baru untuk kedua nilai sekaligus.
Jika seseorang memiliki piutang seribu dirham tanpa gadai, lalu ia meminta tambahan seribu dengan syarat menggadaikan barang untuk kedua nilai itu secara bersamaan, gadai itu batal karena tambahan seribu itu merupakan utang baru yang dikaitkan dengan gadai sebelumnya.
Jika seseorang berkata, “Beli budak ini dengan seribu, dengan syarat aku memberimu rumahku sebagai gadai untuk utang seribu ini dan utang seribu sebelumnya yang tanpa jaminan,” maka jual beli itu batal. Syarat semacam ini dalam gadai tidak sah karena termasuk penambahan utang atau bagian dari jual beli yang tidak jelas.
Jika seseorang menggadaikan barang senilai seribu dan telah diterima penerima gadai, lalu ia menambah barang gadai lain bersama barang pertama untuk utang yang sama, gadai pertama dan tambahannya sah. Sebab, gadai pertama tetap utuh untuk seribu, sedangkan tambahannya adalah jaminan baru yang diberikan oleh pemberi gadai, sehingga diperbolehkan sebagaimana bolehnya seseorang memiliki hak tanpa gadai, lalu menggadaikan sesuatu untuk hak tersebut.
[Pasal Syarat yang Merusak Gadai]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): Diriwayatkan dari Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—”Barang gadai boleh dikendarai dan diperah susunya.” Hal ini tidak boleh kecuali jika pengendarian dan pemerahan itu dilakukan oleh pemilik barang (pemberi gadai), bukan penerima gadai. Sebab, hak mengendarai dan memerah hanya dimiliki oleh pemilik aset, sedangkan kepemilikan aset berbeda dengan pemanfaatan seperti mengendarai atau memerah.
Jika seseorang menggadaikan budak, rumah, atau barang lain, maka hak menempati rumah, menyewa budak, atau memanfaatkan barang gadai tetap milik pemberi gadai. Penerima gadai tidak berhak atas manfaat apa pun. Jika penerima gadai mensyaratkan agar ia boleh menempati rumah, menggunakan budak, atau memanfaatkan barang gadai, syarat itu tidak sah.
Sesuatu manfaat gadai, baik yang ada maupun dari jenis gadai apa pun, baik itu rumah, hewan, atau lainnya, maka syarat tersebut batal. Jika seseorang meminjamkan seribu dengan syarat menggadaikan barang sebagai jaminan, dan penerima gadai mensyaratkan manfaat gadai untuk dirinya sendiri, maka syarat itu batal karena itu merupakan tambahan pada pinjaman. Jika seseorang menjual barang seharga seribu dengan syarat pembeli menggadaikannya seharga seribu dan penerima gadai mendapat manfaat gadai, maka syarat itu rusak dan jual belinya juga rusak. Sebab, manfaat tambahan dari gadai merupakan bagian dari harga yang tidak diketahui, padahal jual beli hanya sah dengan harga yang jelas.
Tidakkah kamu lihat, jika seseorang menggadaikan rumah dengan syarat penerima gadai boleh menempatinya sampai hutang dilunasi, maka hutang bisa dilunasi besok atau bertahun-tahun kemudian. Namun, nilai sewa dan bagiannya dalam jual beli tidak diketahui, padahal bagian jual beli harus jelas. Selain itu, transaksi ini juga rusak karena menggabungkan jual beli dan sewa. Jika dibuat jelas, misalnya, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu selama setahun dengan syarat kamu boleh menempatinya selama tahun itu,” maka jual beli dan gadainya tetap rusak karena ini adalah gabungan jual beli dan sewa yang tidak jelas porsinya. Tidakkah kamu lihat, jika sewa batal karena rumah disita atau runtuh, lalu kamu menilai sewa dan barang yang dijual seharga seribu, lalu mengurangi bagian sewa dari seribu itu, maka seribu itu dianggap sebagai harga jual beli. Namun, jika pembeli tidak diberi hak khiyar (hak memilih), berarti dua kepemilikan dibeli dengan seribu, lalu salah satunya gugur, dan pembeli tidak diberi hak khiyar atas sisanya, padahal dia membelinya bersama yang lain. Atau jika kamu memberi hak khiyar, berarti jual beli kepemilikan berkurang karena disertai sewa yang bukan bagian dari kepemilikan.
Tidakkah kamu lihat, jika rumah runtuh di awal tahun, lalu kamu menilai sewa tahun itu di awal, nilai sewa di akhir tahun tidak diketahui karena bisa naik atau turun? Segala sesuatu dinilai berdasarkan harga pasarnya saat itu, dan tidak bisa dinilai jika tidak ada pasar yang jelas. Jika kamu berkata, “Aku akan menilai setiap waktu yang telah berlalu dan menunda sisanya sampai tiba waktunya,” maka kamu akan ditanya, “Apakah kamu membiarkan harta orang ini tertahan di tangan orang lain sampai waktu tertentu, padahal tidak ada penundaan yang disepakati?”
Jika ada yang bingung dan berkata, “Kamu membolehkan ini dalam sewa jika berdiri sendiri, seperti menyewa rumah setahun lalu rumah runtuh setelah sebulan, maka sisa sewa dikembalikan,” jawabannya adalah: Ya, tetapi bagian sewa bulan yang telah diambil sudah jelas karena kita hanya menilainya setelah diketahui berapa yang telah berlalu, dan tidak ada jual beli di sini. Ini murni sewa. Jika seseorang menggadaikan barang dengan syarat penerima gadai tidak boleh menjualnya saat jatuh tempo kecuali dengan harga tertentu, atau tidak boleh menjualnya sampai mencapai nilai tertentu, atau tidak boleh menjualnya jika pemilik gadai tidak ada, atau tidak boleh menjualnya kecuali dengan izin seseorang, atau tidak boleh menjualnya kecuali dengan keridhaan pemilik gadai, atau tidak boleh menjualnya jika pemilik gadai meninggal sebelum jatuh tempo, atau tidak boleh menjualnya setelah jatuh tempo kecuali setelah sebulan, maka gadai dalam semua kondisi ini rusak dan tidak sah, sehingga tidak ada penghalang untuk menjualnya saat jatuh tempo.
(Imam Syafi’i berkata:) Jika seseorang menggadaikan budak dengan syarat jika hutang jatuh tempo dan gadai sedang sakit, maka tidak boleh dijual sampai sembuh, atau kurus tidak boleh dijual sampai gemuk, atau syarat sejenisnya, maka gadai dalam semua kondisi ini batal. Jika seseorang menggadaikan kebun dengan syarat hasil buahnya termasuk dalam gadai, atau tanah dengan syarat tanamannya termasuk dalam gadai, atau hewan ternak dengan syarat anaknya termasuk dalam gadai, maka hanya kebun, tanah, atau hewan ternak itu sendiri yang sah sebagai gadai, sedangkan buah kebun, tanaman, atau anak hewan tidak termasuk jika gadai untuk hutang yang sudah ada sebelum gadai.
(Rabi’ berkata:) Ada pendapat lain: Jika seseorang menggadaikan kebun dengan syarat hasil buahnya termasuk dalam gadai, atau tanah dengan syarat tanamannya termasuk dalam gadai, maka seluruh gadai batal karena menggadaikan sesuatu yang diketahui dan tidak diketahui, yang ada dan yang belum ada, bahkan jika jumlah yang akan ada diketahui. Karena itu, gadai menjadi batal.
(Rabi’ berkata:) Pembatalan lebih utama. (Imam Syafi’i berkata:) Ini seperti seseorang menggadaikan rumah dengan syarat menambah rumah lain yang serupa, atau budak dengan nilai tertentu. Namun, jika jual beli terjadi dengan syarat gadai ini, maka gadai batal dan penjual berhak memilih karena syaratnya tidak terpenuhi. Jika seseorang menggadaikan hewan ternak dengan syarat pemiliknya berhak atas susu dan anaknya, atau kebun dengan syarat pemiliknya berhak atas buahnya, atau budak dengan syarat tuannya berhak atas hasil kerjanya, atau rumah dengan syarat pemiliknya berhak atas sewanya, maka gadai itu sah karena itu adalah hak pemiliknya meskipun tidak disyaratkan.
(Imam Syafi’i berkata:) Setiap syarat…
Pembeli mensyaratkan kepada penjual bahwa syarat tersebut adalah untuk pembeli. Seandainya pembeli tidak mensyaratkannya, syarat itu tetap diperbolehkan seperti syarat ini, karena memang haknya meskipun tidak disyaratkan.
[Kumpulan Hal yang Boleh dan Tidak Boleh Dijadikan Rahn]
(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata):
Rahn yang diterima dari pihak yang boleh merahnkan dan yang boleh dirahankan terbagi menjadi tiga jenis: sah, cacat, dan rusak.
Rahn yang Sah:
Yaitu segala sesuatu yang kepemilikannya sempurna bagi orang yang merahnkannya, rahn tersebut tidak terkait dengan tindak pidana (jinaayah) yang membebani dirinya sendiri, sehingga pihak yang dirugikan lebih berhak atasnya daripada pemiliknya sampai haknya terpenuhi. Kepemilikan tersebut juga tidak mewajibkan hak bagi selain pemiliknya, baik berupa rahn, sewa, jual-beli, kitabah (perjanjian pembebasan budak), budak perempuan yang melahirkan atau dimerdekakan sebagian, atau hak lain yang lebih diutamakan daripada pemiliknya sampai masa tersebut berakhir. Jika pemilik merahankan barang ini kepada seseorang dan penerima rahn (murtahin) menerimanya, maka ini adalah rahn yang sah tanpa cacat.
Rahn yang Cacat:
Misalnya seseorang memiliki budak laki-laki, budak perempuan, atau rumah, lalu budak tersebut melakukan kejahatan (jinaayah) terhadap seseorang—baik sengaja atau tidak—atau merusak harta orang lain, sementara korban atau walinya tidak menuntut sampai pemiliknya merahankan budak atau rumah itu dan murtahin menerimanya. Jika bukti kejahatan sudah ada sebelum rahn atau pemilik rahn (raahin) dan murtahin mengakuinya, maka rahn tersebut batal dan terhapus. Demikian pula jika pemilik kejahatan membebaskan budak dari tuntutan atau berdamai dengan pemiliknya, rahn menjadi batal karena walinya lebih berhak atas hak dalam kepemilikan budak tersebut sampai ganti rugi kejahatan atau nilai kerusakan hartanya terpenuhi.
Jika nilai kejahatan hanya satu dinar, sementara nilai budak ribuan dinar, kelebihan nilainya tidak boleh dijadikan rahn. Jika pemiliknya merahankan sebagian kemudian merahankan sisanya setelah rahn pertama, rahn kedua tidak sah karena menghalangi penjualan dan menambah hak murtahin pertama yang lebih berhak daripada pemiliknya. Baik murtahin mengetahui kejahatan itu sebelum atau setelah rahn, atau mengatakan, “Aku menerima rahn dari kamu atas sisa setelah dikurangi nilai kejahatan,” rahn tetap tidak sah karena masih ada beban kejahatan.
Demikian pula, tidak boleh merahnkan sesuatu yang masih terikat rahn lain atau tidak memiliki sisa nilai yang bebas.
Contoh lain: Jika seseorang merahnkan budak atau rumah senilai 100 dinar, lalu melunasi 99 dinar dan masih tersisa 1 dinar, kemudian dia merahkannya lagi kepada orang lain, rahn kedua tidak sah karena nilai rumah atau budak bisa berkurang dan tidak diketahui seberapa besar pengurangannya.
Rahn yang Rusak:
Jika seseorang merahnkan budak lalu murtahin menerimanya, kemudian raahin mengakui bahwa budak tersebut telah melakukan kejahatan sebelum rahn dan walinya menuntut, ada dua pendapat:
– Pendapat pertama: Perkataan raahin diterima karena dia mengakui hak atas budaknya, sementara utang kepada murtahin belum lunas.
– Pendapat kedua: Murtahin harus bersumpah bahwa dia tidak mengetahui kejahatan itu sebelum rahn. Jika dia bersumpah dan menyangkal atau tidak mengakui kejahatan sebelum rahn, maka pengakuan raahin bahwa budaknya berbuat jahat sebelum rahn diperdebatkan dengan dua pendapat:
Budak tetap sebagai rahn, dan tidak diambil hartanya meskipun pemiliknya mampu, karena raahin hanya mengakui satu hal dengan dua hak milik dua orang (hak korban kejahatan dan hak murtahin).
Jika budak itu mampu, diambil dari pemilik nilai terendah antara harga budak atau ganti rugi kejahatan untuk diberikan kepada korban, karena pemilik mengakui adanya hak dalam kepemilikan budak yang merugikan korban dengan merahkannya. Ini seperti memerdekakan budak yang telah berbuat jahat dalam keadaan mampu.
Ada juga yang berpendapat bahwa pemilik wajib menanggung nilai terendah antara harga budak atau ganti rugi, sementara status rahn tetap berlaku dan tidak boleh dibatalkan karena pemilik tidak bisa dipercaya sepenuhnya atas murtahin. Dia hanya merugikan korban, bukan murtahin.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Pihak yang menggadaikan, meskipun dalam kesulitan finansial, barang gadainya tetap dalam status gadai. Jika barang gadai keluar dari status gadai dan masih dalam kepemilikannya, maka tanggung jawab kerusakan ada padanya. Jika barang gadai keluar dari status gadai karena dijual, tanggung jawabnya berada pada pemilik sebelumnya, dengan nilai yang lebih rendah antara harga jual atau kerusakan.
Jika ada saksi yang bersaksi tentang kerusakan sebelum barang digadaikan, dan barang gadai adalah dua budak, maka wali korban bersama saksinya harus bersumpah. Kerusakan lebih diutamakan daripada status gadai hingga korban mendapatkan ganti rugi, kemudian sisa nilai barang gadai menjadi penggantinya. Jika pihak yang menggadaikan ingin bersumpah bahwa budak tersebut merusak, hal itu tidak diperbolehkan karena hak atas kerusakan ada pada orang lain, dan seseorang tidak boleh bersumpah atas hak orang lain.
Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain tetapi belum diserahkan, lalu pemilik mengaku membebaskannya, atau budak tersebut melakukan kerusakan, atau digadaikan sebelumnya, maka pengakuan tersebut sah karena budak belum sepenuhnya menjadi barang gadai. Barang gadai menjadi sah ketika sudah diserahkan. Jika setelah digadaikan dan diserahkan, pemilik mengaku membebaskannya, atau mengaku budak tersebut melakukan kerusakan, maka jika pemilik mampu, nilai budak diambil dan dijadikan barang gadai. Jika pemilik tidak mampu dan penerima gadai menolak, budak dijual sesuai hak penerima gadai. Jika ada sisa, sisa tersebut dibebaskan. Jika budak terbebas dari status gadai karena pengakuan pembebasan, maka budak tersebut bebas. Jika dijual, pemilik sebelumnya dapat memilikinya kembali dengan cara apa pun, karena dia telah mengaku bahwa budak tersebut merdeka.
Jika seseorang menggadaikan budak perempuan dan diserahkan, lalu dia mengaku telah menyetubuhinya sebelum gadai, maka jika budak tersebut tidak melahirkan, status gadai tetap berlaku. Jika ada bukti bahwa dia menyetubuhinya sebelum gadai, budak tersebut tidak keluar dari status gadai hingga melahirkan. Jika dia melahirkan dan ada bukti pengakuan penyetubuhan sebelum gadai, maka budak tersebut keluar dari status gadai. Jika dia mengaku menyetubuhinya sebelum gadai dan budak melahirkan kurang dari enam bulan sejak gadai, anak tersebut diakui sebagai anaknya, dan budak tersebut keluar dari status gadai.
(Berkata Ar-Rabi’): Abu Ya’qub Al-Buwaithi berkata, demikian juga menurutku, jika budak melahirkan dalam waktu maksimal kehamilan wanita, yaitu empat tahun, anak tersebut diakui sebagai anaknya, meskipun pengakuan penyetubuhan sebelum gadai. Ar-Rabi’ berkata, ini juga pendapatku.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika budak melahirkan enam bulan atau lebih sejak gadai, dan pemilik mengaku menyetubuhinya, pengakuan tersebut dianggap seperti pengakuan pemiliknya membebaskannya atau lebih lemah. Status gadai tetap berlaku, dan budak tidak dijual hingga melahirkan. Anaknya diakui sebagai anak merdeka karena pengakuannya. Kapan pun dia memilikinya, budak tersebut menjadi umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya). Jika penerima gadai tidak mengakui atau menyangkal dalam semua masalah ini, dikatakan: Jika kamu menyangkal dan bersumpah, kami akan menganggap barang gadai sebagai milikmu. Jika tidak bersumpah, kami akan meminta pemilik bersumpah atas apa yang dikatakannya sebelum gadai, dan kami akan mengeluarkan barang gadai dari status gadai karena pembebasan atau karena budak tersebut sebagai umm walad. Demikian juga jika dia mengaku melakukan kerusakan dan penerima gadai tidak bersumpah atas pengetahuannya, korban atau walinya lebih berhak atas budak tersebut jika mereka bersumpah.
Jika seseorang membeli budak perempuan, menggadaikannya, dan diserahkan, lalu dia atau penjual mengatakan bahwa pembelian dilakukan dengan syarat tertentu, dan syarat tersebut tidak sah, maka ada dua pendapat. Pertama: gadai batal karena hanya boleh menggadaikan apa yang dimiliki, dan dia tidak memiliki apa yang digadaikan. Demikian juga jika dia menggadaikannya lalu mengaku merampasnya dari seseorang atau menjualnya sebelum gadai. Pemilik harus bersumpah atas apa yang dikatakan kepada penerima gadai, sedangkan pihak yang diakui tidak perlu bersumpah.
Pendapat kedua: gadai tetap sah, dan pengakuan tidak membatalkan gadai. Ada dua pendapat tentang pengakuan tersebut. Pertama: dia harus membayar ganti rugi kepada pihak yang diakuinya sebagai perampas. Jika budak dikembalikan, dia bisa menyerahkannya kepada pihak yang diakui jika mau dan mengembalikan uangnya. Jika budak dikembalikan karena dijual kepada yang diakuinya sebagai pembeli, atau dikembalikan kepada yang diakuinya sebagai penjual dalam transaksi tidak sah. Ar-Rabi’ berkata, ini pendapat yang lebih benar.
(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang menggadaikan budak laki-laki atau perempuan yang murtad dari Islam dan diserahkan kepada penerima gadai, gadai tersebut sah. Mereka harus diminta bertobat. Jika bertobat, baik; jika tidak, mereka dihukum mati karena murtad. Demikian juga jika mereka merampok, mereka dihukum mati jika membunuh. Jika mencuri, tangan mereka dipotong. Jika ada hukuman had yang harus dijalankan, hukuman tersebut tetap dilaksanakan meskipun mereka dalam status gadai. Dalam semua ini, status gadai tidak berubah, baik hukuman dijalankan atau dibatalkan, karena ini adalah hak Allah atas mereka, bukan hak manusia. Demikian juga jika mereka melakukan hal-hal tersebut setelah gadai, status gadai tidak berubah. Jika mereka digadaikan setelah melakukan kerusakan, korban lebih berhak atas mereka daripada pemilik yang menggadaikan. Jika pemilik memaafkan atau menebus mereka, atau kerusakan kecil sehingga salah satunya dijual, maka status gadai batal karena korban lebih berhak atas mereka daripada penerima gadai saat gadai terjadi. Jika mereka digadaikan dan diserahkan, lalu melakukan kerusakan setelah gadai, kemudian dibebaskan dari kerusakan karena dimaafkan oleh korban…
Atas dirinya atau walinya, perdamaian, atau cara apa pun yang membebaskan dari jual beli, keduanya tetap dalam status gadai; karena asal gadai itu sah dan hak atas keduanya telah gugur.
Jika seseorang memerdekakan budaknya setelah masa tertentu (tadbir) lalu menggadaikannya, gadai itu batal karena kemerdekaan budak itu mungkin terjadi sebelum jatuh tempo gadai, sehingga kemerdekaan tidak gugur dan gadai tidak sah. Jika dia berkata, “Aku mencabut tadbir atau membatalkan tadbir lalu menggadaikannya,” maka ada dua pendapat:
Gadai itu sah. Begitu pula jika dia berkata setelah gadai, “Aku telah mencabut tadbir sebelum menggadaikannya,” maka gadai itu sah. Namun, jika dia berkata setelah gadai, “Aku mencabut tadbir dan menetapkan gadai,” maka gadai tidak sah kecuali dengan memperbarui akad gadai setelah pencabutan tadbir.
Gadai tidak sah, dan pencabutan tadbir tidak berlaku kecuali dengan mengeluarkan budak dari kepemilikannya melalui jual beli atau cara lain sehingga tadbir batal. Jika dia memilikinya lagi lalu menggadaikannya, gadai itu sah karena kepemilikan kedua berbeda dari yang pertama. Ini seperti memerdekakan budak secara bertahap yang tidak batal kecuali jika budak keluar dari kepemilikannya sebelum merdeka. Hal serupa berlaku bagi yang memerdekakan budak pada waktu tertentu.
Jika seseorang berkata, “Jika aku masuk rumah, kamu merdeka,” lalu menggadaikannya, maka berlaku ketentuan di atas. Jika dia menggadaikan budak lalu melakukan tadbir setelahnya, tadbir itu tertunda hingga hak gadai jatuh tempo. Kemudian dikatakan, “Jika ingin menetapkan tadbir, bayarlah hak si pemberi gadai atau berikan nilai budak yang ditadbir sebagai pembayaran haknya. Jika tidak mau, batalkan tadbir dengan menjual budak itu.” Jika pencabutan tadbir dilakukan setelah hak gadai jatuh tempo, kami akan mengambil nilai budak dan memberikannya kepada si pemberi gadai. Jika tidak ditemukan, budak yang ditadbir dijual untuk melunasi haknya.
Alasan kami tidak mengambil nilainya sebelum hak gadai jatuh tempo adalah karena hak itu memiliki tempo. Jika budak bebas dari tadbir, si penerima gadai tidak boleh menjualnya, dan tadbir bukan kemerdekaan instan yang bisa batal. Karena itu, kami menunda pengambilan nilainya hingga hak gadai jatuh tempo, baru keputusan diambil.
Jika seseorang menggadaikan budak lalu melakukan tadbir, kemudian si pemberi gadai meninggal:
– Jika ada harta warisan yang cukup untuk melunasi hak gadai, budak yang ditadbir merdeka dari sepertiga harta.
– Jika tidak ada harta selain budak yang ditadbir, budak itu dijual sebesar hak gadai. Jika ada sisa, sepertiga sisa itu merdekakan budak.
– Jika ada harta yang bisa melunasi sebagian hak gadai, sebagian dibayar dan budak dijual untuk sisa utang, lalu sisa budak dimerdekakan dari sepertiga.
(Asy-Syafi’i berkata:) Jika seseorang menggadaikan budak yang telah dimerdekakan dalam setahun atau lebih, gadai itu batal karena kemerdekaan yang melekat padanya. Ini lebih jelas daripada kasus tadbir—gadai sama sekali tidak sah dalam kondisi ini. Jika dia menggadaikan budak lalu memerdekakannya dalam setahun atau lebih, ketentuannya sama seperti budak yang digadaikan lalu ditadbir.
Jika seseorang menggadaikan budak hasil pembelian yang tidak sah, gadai itu batal karena dia tidak memiliki objek gadai. Jika kasusnya tidak diajukan ke hakim hingga dia memiliki budak itu secara sah, pengakuan atas gadai pertama tidak berlaku kecuali dengan memperbarui akad gadai setelah kepemilikan sah.
Jika seseorang menggadaikan budak milik orang lain yang tidak diketahui (hidup atau sudah meninggal), lalu penerima gadai menerimanya, kemudian diketahui bahwa si meninggal mewasiatkan budak itu kepada si pemberi gadai, gadai batal karena saat menggadaikan, dia tidak memilikinya. Jika si pemberi gadai menerima wasiat itu, gadai tetap batal hingga dia menggadaikannya lagi dalam status kepemilikan sah.
Jika tidak ada bukti dan penerima gadai mengklaim bahwa si pemberi gadai memiliki budak itu saat menggadaikan, maka gadai dianggap sah, dan penerima gadai harus bersumpah bahwa budak itu milik si pemberi gadai saat digadaikan. Jika dia enggan bersumpah, si pemberi gadai boleh bersumpah bahwa dia tidak memilikinya saat menggadaikan, lalu gadai batal.
Jika seseorang menggadaikan sari buah yang masih manis (belum fermentasi), gadai sah selama masih dalam kondisi itu. Jika berubah menjadi cuka, minuman campuran, atau sesuatu yang tidak memabukkan dalam jumlah banyak, gadai tetap sah. Ini seperti menggadaikan budak yang kemudian cacat, atau budak cacat yang sembuh—gadai tetap sah karena objek gadai masih sama. Namun, jika berubah menjadi minuman memabukkan yang haram dijual, gadai batal karena objeknya menjadi haram, seperti menggadaikan budak yang kemudian meninggal.
Jika sari buah digadaikan lalu si pemberi gadai menambahkan cuka, garam, atau air sehingga menjadi cuka, gadai tetap sah. Jika berubah menjadi khamr lalu ditambahkan cuka, garam, atau air sehingga menjadi cuka, gadai batal sejak menjadi khamr karena khamr haram dimiliki. Menurut pendapatku, khamr tidak halal. Wallahu a’lam.
Jika suatu barang rusak karena perbuatan manusia, kemudian sari buah berubah menjadi khamr lalu menjadi cuka tanpa campur tangan manusia, maka statusnya tetap sebagai gadai. Aku tidak mengira ia akan kembali menjadi khamr lalu berubah lagi menjadi cuka tanpa perbuatan manusia, kecuali jika awalnya memang cuka. Maka, tidak perlu mempertimbangkan perubahan yang terjadi dari sari buah hingga menjadi cuka, karena peralihannya dari rasa manis ke asam sama seperti peralihan dari rasa manis awal ke rasa lainnya. Hukumnya mengikuti status akhirnya jika perubahan terjadi tanpa campur tangan manusia.
Jika pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin) sepakat untuk menggadaikan sari buah tertentu, lalu sari buah itu diterima sebagai gadai, kemudian berubah menjadi khamr di tangan murtahin, maka status gadainya batal. Penjual tidak berhak membatalkan akad jual beli karena rusaknya barang gadai, sebagaimana jika ia menggadaikan budak lalu budak itu meninggal, ia tidak boleh membatalkan akad karena kematian budak tersebut.
Jika mereka berdua berakad untuk menggadaikan sari buah ini, lalu ketika digadaikan langsung berubah menjadi khamr, maka pihak rahin berhak memilih (khiyar) karena akad gadai tidak sempurna. Jika mereka berselisih tentang status sari buah tersebut—rahin mengatakan, “Aku menggadaikannya sebagai sari buah, lalu berubah menjadi khamr di tanganmu,” sedangkan murtahin berkata, “Engkau menggadaikannya sebagai khamr”—maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Perkataan rahin yang diterima, karena perubahan seperti ini mungkin terjadi. Seperti jika seseorang menjual budak, lalu ditemukan cacat yang bisa muncul setelahnya. Jika pembeli berkata, “Engkau menjualnya dalam keadaan cacat,” sedangkan penjual berkata, “Cacat itu muncul di tanganmu,” maka perkataan penjual diterima dengan disertai sumpah. Menurut pendapat ini, khamr harus dibuang, tidak sah sebagai gadai, tetapi akad jual beli tetap berlaku.
Pendapat kedua: Perkataan murtahin yang diterima, karena rahin tidak mengakui telah menyerahkan sesuatu yang halal digadaikan dalam kondisi apa pun, sebab khamr haram dalam segala keadaan. Ini berbeda dengan cacat yang tidak menghalangi kepemilikan budak. Murtahin berhak memilih antara menetapkan haknya tanpa gadai atau membatalkan akad jual beli.
Jika seseorang menggadaikan barang dengan syarat murtahin boleh memanfaatkannya—seperti menempati rumah atau menunggang hewan—maka syarat tersebut batal. Seandainya akad jual beli dilakukan dengan syarat seperti ini, penjual berhak memilih antara membatalkan akad atau melanjutkannya tanpa syarat tersebut. Gadai tidak batal selama murtahin menghendakinya, karena yang batal adalah syarat tambahan, bukan akad gadainya.
(Berkata Ar-Rabi’): Ada pendapat lain bahwa jika jual beli dilakukan dengan syarat seperti ini, maka akadnya batal secara mutlak, dan ini yang lebih sahih.
(Berkata Asy-Syafi’i): Tidak mengapa seseorang menggadaikan budak perempuan yang memiliki anak kecil, karena ini tidak termasuk memisahkan anak dari ibunya.