Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

Bab Zakat Buah
(Imam Syafi’i berkata)—semoga Allah merahmatinya—buah dijual dalam dua jenis: buah yang ada zakatnya dan buah yang tidak ada zakatnya. Untuk buah yang tidak ada zakatnya, jual belinya sah tanpa masalah, karena semuanya milik pembeli. Adapun buah yang ada zakatnya, jual belinya sah dengan syarat dia mengatakan, “Aku menjual kepadamu kelebihan dari buah kebunku ini setelah zakat,” dan zakatnya adalah sepersepuluh atau setengah sepersepuluh jika disiram dengan tenaga. Ini seperti yang kami jelaskan dalam pengecualian, seolah-olah dia menjual sembilan per sepuluh kebun atau sembilan per sepuluh buahnya dan setengah per sepuluh buahnya.

(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada Atha’, ‘Bolehkah aku menjual buah kebunku ini seharga empat ratus dinar selain zakat?’ Dia menjawab, ‘Ya, karena zakat bukan milikmu, melainkan milik orang miskin.’”

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia menjual buah kebunnya dan diam tentang bagian zakat dan jumlahnya, maka ada dua pendapat. Pertama, pembeli memiliki pilihan untuk mengambil kelebihan setelah zakat sesuai bagiannya dari total harga, yaitu sembilan per sepuluh atau sembilan setengah per sepuluh dari total, atau membatalkan jual beli karena dia tidak menerima semua yang dibeli. Kedua, jika dia mau, dia bisa mengambil kelebihan setelah zakat dengan seluruh harga, atau meninggalkannya.

(Ar-Rabi’ berkata): Imam Syafi’i memiliki pendapat ketiga dalam hal ini, yaitu bahwa seluruh transaksi batal karena dia menjual sesuatu yang dimiliki dan tidak dimiliki. Karena transaksi menggabungkan jual beli yang haram dan halal, maka seluruh transaksi batal.

(Imam Syafi’i berkata): Jika penjual kebun berkata, “Zakatnya tanggunganku,” maka jual beli tidak mengikat pembeli kecuali jika dia mau. Itu karena pemerintah berhak mengambil zakat dari buah yang ada di tangannya, dan tidak wajib mengambil buah lain sebagai gantinya. Begitu juga kurma basah tidak dianggap sebagai buah, karena pemerintah berhak mengambil sepersepuluh kurma basah. Jika pemerintah memutuskan untuk mengganti sepersepuluh kurma basah dengan buah seperti kurma basah jika menjadi kurma kering, atau pembeli membelinya setelah itu, aku berharap jual beli itu sah. Namun, jika pembelian dilakukan sebelum ini, maka itu seperti seseorang yang membeli dari buah kebun yang ada zakat sepersepuluh, karena zakat diambil dari kurma basah. Sebagian orang mengatakan bahwa zakat diambil dari sepersepuluh harga kurma basah karena dia adalah mitra dalam kepemilikan. Jika demikian, maka jual beli terjadi atas seluruhnya, dan pembeli tidak menerima semuanya. Dalam salah satu pendapat, dia memiliki pilihan antara mengambil sembilan per sepuluh dengan sembilan per sepuluh harga atau mengembalikan semuanya.

(Imam Syafi’i berkata): Sebagian sahabat kami membolehkan jual beli antara mereka jika kedua pihak tahu bahwa ada zakat pada buah, sehingga pembeli membeli dan penjual menjual kelebihan setelah zakat, dan zakat diketahui oleh mereka.

(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Atha’ berkata, “Jika kamu menjual buahmu dan tidak menyebutkan zakat, baik kamu maupun pembelimu, maka zakat menjadi tanggungan pembeli.” Dia berkata, “Zakat itu untuk kebun.” Atha’ menjawab, “Itu untuk pembeli.” Ibnu Juraij berkata, “Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu menjualnya sebelum atau setelah diperkirakan?’ Dia menjawab, ‘Ya.’”

(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Imam Syafi’i mengabarkan kepada kami, Sa’id mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij bahwa Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah berkata hal yang sama dengan Atha’, “Zakat itu untuk pembeli.”

(Imam Syafi’i berkata): Apa yang mereka berdua katakan adalah benar. Zakat itu untuk benda tertentu, di mana pun dia berpindah, zakat tetap berlaku. Tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang mewarisi, zakat diambil dari kebunnya? Begitu juga jika buahnya dihibahkan, disedekahkan, atau dimiliki dengan cara apa pun.

(Imam Syafi’i berkata): Ada pendapat lain dalam hal ini: Jika zakat sudah wajib pada buah, lalu dijual, maka zakat tetap pada buah, dan pembeli memiliki pilihan antara mengambil selain zakat sesuai bagiannya dari harga atau membatalkan jual beli.

(Imam Syafi’i berkata): Adapun jika buah dihibahkan, disedekahkan, atau diwarisi dari seseorang, dan zakat sudah wajib atau belum, maka semua ini tercatat dalam kitab zakat dengan perinciannya.

(Imam Syafi’i berkata): Ada juga yang berpendapat bahwa zakat menjadi tanggungan penjual, dan jual beli sah, serta seluruh buah menjadi milik pembeli.

(Imam Syafi’i berkata): Jika pemerintah berhak mengambil zakat dari buah, maka buah itu tidak sepenuhnya menjadi milik pembeli. Jika penjual kebun berkata akan memberinya buah lain sebagai gantinya, maka dia telah mengalihkan zakat ke benda lain yang bukan tempat wajib zakat, padahal benda aslinya masih ada.

(Imam Syafi’i berkata): Orang yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa jika seseorang wajib membayar satu dinar dari empat puluh dinar, maka dia boleh memberikan satu dinar lain sebagai gantinya. Begitu juga pendapatnya tentang hewan ternak dan jenis zakat lainnya.

(Imam Syafi’i berkata): Firman Allah Ta’ala, “Ambillah zakat dari harta mereka” (QS. At-Taubah: 103), menunjukkan bahwa jika zakat wajib pada harta tertentu, maka zakat diambil dari harta itu, bukan dari lainnya. Karena itu, aku berpendapat dan memilih pendapat pertama bahwa jual beli mengikat untuk bagian yang tidak ada zakatnya dan tidak mengikat untuk bagian yang ada zakatnya, jika penjual dan pembeli tahu apa yang dijual dan dibeli.

(Imam Syafi’i berkata): Jika penjual menyebutkan zakat kepada pembeli dan menjelaskannya, lalu pemerintah mengambil lebih dari itu, maka pemerintah seperti perampas untuk kelebihan yang diambil. Pendapat tentang ini seperti pendapat tentang perampas. Orang yang tidak menanggung musibah berkata, “Ini adalah orang yang merampas hartaku, dan penjual tidak bersalah atas perbuatan orang lain. Pembeli telah menerima apa yang dibeli.” Adapun orang yang menanggung musibah, dia menanggungnya karena penerimaan belum sempurna. Sepertinya dia wajib mengurangi harga sesuai kezaliman yang terjadi dan memberi pilihan setelah kezaliman untuk membatalkan jual beli atau mengambil sesuai bagiannya dari harga, karena dia tidak menerima seperti yang dijual.

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata, “Kezaliman bukan musibah,” maka dijawab, “Apa makna musibah? Bukankah itu kerusakan harta seseorang? Kezaliman adalah kerusakan.” Jika dia berkata, “Musibah adalah yang berasal dari langit,” maka dijawab, “Bagaimana pendapatmu tentang sesuatu yang kubeli tetapi belum kuterima, lalu terkena musibah dari langit yang merusaknya, apakah jual beli batal?” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Jika terkena musibah dari manusia, maka aku memiliki pilihan antara membatalkan jual beli atau mengambilnya dan menuntut manusia itu dengan nilainya.” Jika dia menjawab, “Ya,” maka dikatakan, “Kamu telah menyamakan musibah dari langit dengan musibah dari manusia atau lebih

Lalu aku memberikan hak khiyar (memilih) kepada pembeli. Aku telah menimbulkan kerugian bagi penjual karena mengharuskan mencabut tanaman di kebun dan tanah yang dibeli, kemudian pembeli berhak mengembalikannya tanpa adanya cacat, sehingga hal ini banyak merugikan penjual.

(Dia berkata): Ini berbeda dengan budak yang dibeli dalam keadaan tidak hadir atau barang dagangan. Keduanya bisa diperlihatkan kepada pembeli melalui orang yang dipercaya untuk mendeskripsikannya, lalu pembeli membelinya. Kemudian pembeli memiliki hak khiyar melihat. Dalam hal ini, penjual tidak dirugikan saat pembeli melihatnya, berbeda dengan kerugian yang dialami penjual jika tanaman yang sudah dicabut.

Jika aku membolehkan penjualan tanpa adanya cacat, maka pembeli akan terikat meskipun ada cacat kecil, besar, atau bentuk yang tidak normal. Dengan demikian, pembeli membeli sesuatu yang belum dilihat dan aku memaksanya menerima sesuatu yang tidak disukainya.

Jika aku membolehkan penjualan berdasarkan sifat yang ditimbang, berarti aku membolehkan penjualan sifat-sifat yang tidak dijamin. Padahal, sifat hanya boleh dijual jika dijamin.

(Dia berkata): Jika barang diserahkan dengan sifat dan timbangan tertentu, lalu barang itu sesuai dengan sifatnya, maka salaf (pesanan) itu sah. Sebab, penjual berkewajiban menyediakannya di mana pun tanpa terkait tanah yang tanamannya mungkin rusak atau baik. Oleh karena itu, tidak boleh menjual sesuatu dalam kondisi seperti ini kecuali dengan sifat yang dijamin dan ditimbang, atau sampai tanaman dicabut dan dilihat oleh pembeli.

(Dia berkata): Ini tidak seperti kacang, telur, atau semisalnya yang tidak bisa dinilai kecuali setelah matang, lalu dikeluarkan dan dijual apa yang tersisa, seperti sayuran. Itu tidak bisa dinilai kecuali jika tetap dalam kulitnya. Jika kulitnya terlihat, bisa diketahui isinya. Namun, dalam hal ini, tidak ada indikasi tentang isinya. Bahkan jika luarnya terlihat, daunnya mungkin besar tetapi isinya kecil atau besar.

[Pasal tentang Pembelian Barang yang Bagian yang Dimakan Ada di Dalamnya]

(Imam Syafi’i berkata): Siapa yang membeli jeruk, kenari, almond, kacang tanah, atau telur, lalu memecahkannya dan menemukannya rusak atau cacat, kemudian ingin mengembalikannya dan mengambil kembali uangnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

Dia boleh mengembalikannya dan mengambil kembali uangnya, karena tidak mungkin mengetahui cacat, kerusakan, atau kebaikannya kecuali dengan memecahkannya. Jika tujuan pembelian adalah isinya, maka penjual memberinya hak untuk itu. Ini adalah satu pendapat.

(Dia berkata): Siapa yang berpendapat demikian seharusnya juga mengatakan bahwa pembeli yang memecahkan wajib mengembalikan kulitnya kepada penjual jika kulit itu memiliki nilai. Jika kulitnya tidak berguna seperti kulit jeruk atau lainnya, maka dia boleh mengembalikannya. Jika tidak, nilai kulit diperhitungkan, dan isinya dianggap baik. Pembeli dikurangi bagian harga kulit yang tidak dikembalikan dan berhak mendapatkan sisa uangnya, meskipun nilai kulit hanya satu bagian dari seribu.

Pendapat kedua: Jika pembeli memecahkannya, dia tidak boleh mengembalikannya kecuali jika penjual mengizinkan. Dia hanya berhak mendapatkan selisih antara harga barang dalam kondisi baik dan rusak.

Telur ayam yang rusak tidak memiliki nilai karena kulitnya tidak berguna. Jika dipecahkan, pembeli berhak mendapatkan uangnya kembali. Adapun telur burung unta, kulitnya memiliki nilai. Maka, pembeli tetap bertanggung jawab, karena terkadang nilai kulitnya lebih mahal daripada isinya. Jika dia tidak mengembalikan kulit dalam keadaan utuh, dia hanya berhak mendapatkan selisih nilai antara yang tidak rusak dan yang rusak.

Dalam pendapat pertama, dia boleh mengembalikannya tanpa kewajiban apa pun, karena penjual memberinya hak untuk membuka isinya, kecuali jika dia merusaknya saat memecahkan, padahal bisa memecahkannya tanpa merusak. Maka, dia hanya berhak mendapatkan selisih harga tanpa mengembalikan barang.

(Imam Syafi’i berkata): Adapun mentimun, blewah, atau buah yang basah, pembeli boleh mencicipinya dengan alat tipis dari besi atau kayu yang dimasukkan ke dalamnya untuk mengetahui rasanya—apakah pahit atau blewahnya asam. Dia boleh mengembalikannya tanpa kewajiban apa pun atas lubang kecilnya dalam kedua pendapat, karena penjual memberinya hak untuk itu atau lebih, dan lubang kecil tidak merusak.

Namun, pendapat yang mengatakan dia tidak boleh mengembalikannya tetap berlaku.

Kecuali sebagaimana dia mengambilnya dengan mengatakan bahwa dia mengembalikan selisih antara nilainya dalam keadaan utuh dan nilainya dalam keadaan rusak.

(Dia berkata): Jika dia memecahkannya, dia tidak boleh mengembalikannya, tetapi dia harus mengganti selisih nilai antara barang dalam keadaan utuh dan rusak, kecuali jika penjual bersedia menerimanya dalam keadaan pecah dan mengembalikan harganya. Karena dia sebenarnya bisa merasakan isinya jika barang itu utuh, tidak seperti kenari yang tidak bisa dirasakan isinya hanya dengan melubanginya—yang tercium hanya aromanya, bukan rasanya. Adapun cacing, tidak bisa diketahui dengan mencicipi. Jadi, jika dia memecahkannya dan menemukan cacing, menurut pendapat pertama dia boleh mengembalikannya, sedangkan menurut pendapat kedua dia hanya boleh meminta selisih nilai.

Jika seseorang membeli sesuatu yang masih basah seperti mentimun atau melon, lalu menyimpannya sampai mengering dan rusak, kemudian menemukannya sudah busuk karena pahit atau berulat, maka jika kerusakan itu disebabkan oleh hal yang biasa terjadi pada pembeli, kesaksian dan sumpah penjual yang diutamakan. Contohnya seperti telur yang disimpan lama kemudian ditemukan busuk—kerusakan telur adalah hal yang wajar. Wallahu a’lam.

[Masalah jual beli gandum dalam tangkainya]

Ar-Rabi’ meriwayatkan: Aku berkata kepada Asy-Syafi’i bahwa Ali bin Ma’bad meriwayatkan hadits dari Anas: “Rasulullah SAW membolehkan jual beli gandum dalam tangkainya jika sudah memutih.” Asy-Syafi’i menjawab: “Jika hadits itu sahih, kami akan mengikutinya. Ini merupakan pengecualian dari kaidah umum, karena Nabi SAW melarang jual beli gharar (penipuan), sementara jual beli gandum dalam tangkainya termasuk gharar karena tidak terlihat. Begitu juga jual beli rumah dan fondasi yang tidak terlihat, atau jual beli tumpukan barang yang sebagian tertutup. Kami membolehkannya sebagaimana Nabi SAW membolehkannya, sehingga ini menjadi pengecualian dari kaidah umum. Demikian pula, kami membolehkan jual beli gandum dalam tangkainya jika sudah memutih—jika hadits itu sahih—sebagaimana kami membolehkan jual beli rumah dan tumpukan barang.”

[Pasal jual beli tebu dan anting]

Ar-Rabi’ berkata: Asy-Syafi’i menyampaikan dari Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’, bahwa dia berkata tentang tebu: “Tidak boleh dijual kecuali dalam bentuk potongan atau ikatan.”

Asy-Syafi’i berkata: “Inilah pendapat kami. Anting tidak boleh dijual kecuali sepasang, dan pembeli harus segera memotongnya setelah membeli, tidak boleh menundanya lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk memotongnya pada hari itu.”

Jika seseorang membelinya dalam keadaan masih tumbuh dengan syarat dibiarkan beberapa hari agar tumbuh lebih panjang atau lebih besar, lalu dalam waktu itu ada pertambahan, maka jual beli itu tidak sah dan harus dibatalkan. Sebab, akarnya milik penjual, sedangkan pertumbuhan yang terlihat milik pembeli. Jika dibiarkan tumbuh, berarti ada bagian dari harta penjual yang berpindah ke pembeli tanpa transaksi yang jelas. Ini berarti memberikan pembeli sesuatu yang tidak dia beli dan mengambil dari penjual sesuatu yang tidak dia jual—sesuatu yang tidak jelas, tidak terlihat, tidak bisa diukur, dan tidak bisa dibedakan mana milik penjual dan mana milik pembeli. Maka, jual beli itu batal dari berbagai sisi.

Jika dia membelinya untuk dipotong tetapi menundanya padahal memotongnya masih mungkin dalam waktu yang lebih singkat, maka jual beli itu batal karena syarat awalnya tidak terpenuhi, yaitu tercampurnya harta penjual yang tidak bisa dibedakan. Seperti jika seseorang membeli gandum secara borongan dengan syarat jika ada gandum tambahan yang dituangkan, itu termasuk dalam pembelian, lalu dituangkan gandum milik penjual yang tidak dijual, maka jual beli itu batal. Karena barang yang dibeli tidak bisa dibedakan dan tidak diketahui jumlahnya dari yang tidak dibeli, sehingga tidak bisa diberikan yang dibeli dan ditahan yang tidak dibeli. Ini sama seperti menjual sesuatu yang sudah ada dan sesuatu yang belum ada tanpa jaminan apakah masuk dalam jual beli atau tidak. Jual beli semacam ini tidak diperselisihkan keabsahannya di kalangan Muslim—sudah pasti batal.

Contoh lain, jika seseorang mengatakan, “Aku menjual kepadamu sesuatu yang akan tumbuh di tanahku dengan harga sekian. Jika tidak tumbuh atau hanya sedikit yang tumbuh, kamu tetap harus membayar,” maka jual beli itu batal. Begitu juga jika dia mengatakan, “Aku menjual kepadamu sesuatu yang akan datang dari daganganku dengan harga sekian. Jika tidak datang, kamu tetap harus membayar.”

Namun, jika dia membelinya seperti yang dijelaskan dan menundanya tanpa syarat selama beberapa hari—padahal memotongnya masih mungkin dalam waktu lebih singkat—maka pembeli boleh memilih: membiarkan kelebihan itu tanpa harga atau membatalkan jual beli.

Seperti halnya jika seseorang menjual gandum borongan, lalu dituangkan gandum miliknya, maka penjual boleh memilih: menyerahkan yang dijual dan kelebihannya, atau membatalkan jual beli karena tercampurnya yang dijual dan yang tidak dijual.

Jika jual beli itu batal dan tebu terkena kerusakan yang menghancurkannya di tangan pembeli, maka pembeli harus menanggung nilainya. Jika kerusakan hanya mengurangi nilainya, pembeli menanggung selisihnya, dan tanaman kembali ke penjual. Setiap pembeli dalam jual beli yang rusak wajib mengembalikan barang seperti saat diterima atau lebih baik, serta menanggung kerusakan atau penyusutan nilainya jika terjadi pada segala sesuatu.

BAB HUKUM BARANG YANG DIBELI SEBELUM DAN SESUDAH DITERIMA
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) : Ia berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, ia berkata, diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amr bin Dinar dari Thawus dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – ia berkata, “Adapun yang dilarang oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk dijual sebelum diterima adalah makanan.” Ibnu Abbas menambahkan dengan pendapatnya, “Dan aku mengira segala sesuatu serupa dengannya (tidak boleh dijual sebelum diterima).”

(Berkata Asy-Syafi’i) : “Inilah pendapat yang kami ambil. Barangsiapa membeli sesuatu, apapun itu, ia tidak boleh menjualnya hingga menerimanya. Sebab, orang yang menjual apa yang belum diterima telah masuk dalam makna yang diriwayatkan oleh sebagian orang dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau berkata kepada ‘Itab bin Usaid ketika mengutusnya ke penduduk Mekah: ‘Larang mereka menjual apa yang belum mereka terima dan mengambil keuntungan dari apa yang belum mereka tanggung.’

(Berkata Asy-Syafi’i) : “Ini adalah menjual apa yang belum diterima dan mengambil keuntungan dari apa yang belum dijamin. Ini juga sesuai dengan qiyas dari hadis Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau melarang menjual makanan hingga diterima. Barangsiapa membeli makanan dengan takaran, maka penerimaannya adalah dengan menakar. Dan barangsiapa membelinya secara borongan (tanpa takaran), maka penerimaannya adalah memindahkannya dari tempatnya jika barang semisalnya biasa dipindahkan.” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa dahulu mereka biasa membeli makanan secara borongan, lalu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengutus seseorang untuk memerintahkan mereka memindahkannya dari tempat pembelian ke tempat lain. Ini tidak lain agar mereka tidak menjualnya sebelum dipindahkan.”

(Berkata Asy-Syafi’i) : “Dan barangsiapa memiliki makanan karena disahkan oleh akad jual beli dari…”

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

Jual beli tidak boleh dilakukan sebelum barang diterima. Jika seseorang memiliki barang karena warisan, ia boleh menjualnya karena barang tersebut tidak dijamin oleh orang lain dengan harga. Demikian pula, barang yang dimiliki melalui cara selain jual beli boleh dijual sebelum diterima, kecuali jika barang tersebut dijamin oleh orang lain dengan kompensasi yang harus dibayar jika barang hilang.

Ransum yang dibagikan oleh penguasa kepada masyarakat boleh dijual sebelum diterima, tetapi orang yang membelinya tidak boleh menjualnya sebelum menerimanya karena pembeli belum menerimanya, dan barang tersebut masih dijamin oleh penjual dengan harga pembelian sampai diterima atau uang dikembalikan kepada penjual.

Jika seseorang membeli makanan dari orang lain, lalu pembeli menulis surat kepada penjual untuk menerimakan makanan tersebut kepada dirinya sendiri, maka penjual tidak dianggap telah menerimakan makanan kepada dirinya sendiri. Penjual tetap bertanggung jawab sampai makanan tersebut diterima oleh pembeli atau wakil pembeli (bukan penjual), baik ada saksi maupun tidak.

Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk membelikan makanan, lalu wakil tersebut membelinya, kemudian diwakilkan lagi untuk menjualnya kepada orang lain, maka penjualan harus dilakukan secara tunai, bukan dengan utang. Jika diizinkan untuk berutang, maka itu diperbolehkan, seolah-olah ia sendiri yang membeli dan menjualnya. Namun, jika diwakilkan untuk menjual kepada dirinya sendiri, maka penjualan tersebut tidak sah.

Jika wakil mengatakan telah menjual kepada orang lain, lalu uangnya hilang atau pembeli melarikan diri, dan penjual mempercayainya, maka sesuai dengan perkataannya. Jika penjual tidak mempercayainya, maka wakil harus membuktikan bahwa ia telah menjualnya. Wakil tidak bertanggung jawab jika pembeli melarikan diri, bangkrut, atau uang yang diterima darinya hilang, karena dalam hal ini wakil berstatus sebagai penjaga amanah.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual makanan kepada seorang Nasrani, lalu Nasrani tersebut menjualnya lagi sebelum menerimanya, maka penjual tidak boleh menakar untuk Nasrani tersebut sampai Nasrani atau wakilnya hadir untuk menakarnya sendiri.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman berupa makanan, lalu menjual makanan tersebut sebelum menerimanya, maka tidak sah. Namun, jika ia menjual makanan dengan spesifikasi tertentu dan berniat untuk memenuhinya dari makanan tersebut, maka tidak masalah karena ia boleh memenuhinya dari makanan lain. Jika makanan yang diterima tidak sesuai spesifikasi, ia tidak wajib memberikannya. Jika sesuai, ia boleh menahannya. Jika makanan tersebut hilang, ia harus memberikan pengganti dengan spesifikasi yang sama.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman atau menjual makanan, lalu pembeli hadir saat penakaran dan berkata, “Takarlah untukku,” maka tidak sah karena itu termasuk menjual makanan sebelum diterima. Jika pembeli berkata, “Takarlah untuk diriku sendiri, lalu ambil dengan takaran yang aku hadirkan,” juga tidak sah karena ia menjual takaran. Penjual tidak terbebas sampai makanan ditakar oleh pembeli, dan kelebihan atau kekurangannya menjadi tanggungan pembeli. Ini sesuai hadis Nabi ﷺ yang melarang menjual makanan sebelum ditakar.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual makanan yang masih menjadi tanggungannya, lalu makanan tersebut jatuh tempo dan penjual membawa pemilik makanan ke tempat penyimpanan dan berkata, “Pilih makanan yang kamu suka untuk kuberikan,” maka hal ini tidak disukai. Jika pemilik makanan memilih dan penjual membelikannya lalu menyerahkannya, maka tidak sah karena penjual membeli lalu menjual sebelum menerimanya. Jika penjual menerimanya untuk dirinya sendiri lalu menakarnya untuk pembeli, maka sah. Pembeli boleh mengembalikannya jika tidak sesuai spesifikasi, karena kepuasan hanya mengikat sebagian penerimaan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika makanan telah jatuh tempo, penjual tidak boleh memberikan uang kepada pemilik makanan untuk membeli makanan untuk dirinya sendiri, karena ia tidak bisa menjadi wakil untuk dirinya sendiri dalam penerimaan. Ia harus mewakilkan orang lain untuk menyerahkannya.

Jika seseorang membeli makanan, lalu makanan tersebut keluar dari tangannya sebelum diterima—baik karena hadiah, sedekah, atau pelunasan utang—maka tidak boleh dijual oleh penerima sampai ia menerimanya, karena penerima hanya menerima atas nama pembeli seperti wakil pembeli.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki buah lalu menjualnya dengan menyisihkan sebagian tertentu, maka penjualan hanya berlaku untuk bagian yang dijual, bukan yang disisihkan. Bagian yang disisihkan tetap menjadi miliknya dan boleh dijual karena tidak termasuk dalam pembelian.

(Imam Syafi’i berkata): Pinjaman tidak sah sampai pemberi pinjaman menyerahkan uang kepada penerima pinjaman sebelum mereka berpisah dari tempat transaksi. Pinjaman harus dengan takaran umum yang diketahui, bukan takaran khusus yang tidak jelas jika hilang. Makanan harus memiliki spesifikasi yang jelas, baik, bersih, dan waktu penyerahan yang pasti. Makanan harus dari daerah yang umum, bukan khusus, dan harus baru (hasil satu atau dua tahun). Tidak boleh mengatakan “yang terbaik” atau “yang terburuk” karena batasannya tidak jelas. Pinjaman makanan boleh dilakukan untuk penyerahan segera atau tempo.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman dinar untuk makanan dengan beberapa waktu jatuh tempo yang berbeda, maka tidak sah menurutku karena waktu jatuh tempo harus satu dan pembayaran terpisah. Makanan dengan jatuh tempo lebih dekat lebih berharga daripada yang lebih jauh. Namun, ulama lain membolehkannya seperti jual beli barang yang berbeda. Ini berbeda karena barang yang berbeda dibayar tunai, sedangkan ini tempo, dan barang tersebut berasal dari satu jenis.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang membeli makanan yang dijamin dengan spesifikasi tertentu, baik untuk penyerahan segera atau tempo, lalu mereka berpisah sebelum uang diterima, maka transaksi batal karena ini utang dengan utang.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dengan spesifikasi tertentu yang dijamin saat panen, sebelum atau sesudah panen, maka tidak masalah. Jika membeli dari tanah tertentu tanpa spesifikasi, maka tidak baik karena bisa jadi baik atau buruk. Jika membeli dari lumbung yang dijamin, juga tidak baik karena bisa hilang sebelum ditumbuk.

(Imam Syafi’i berkata): Pinjaman makanan untuk satu tahun sebelum ditanam diperbolehkan asalkan tidak untuk tanaman tertentu. Pinjaman untuk gandum atau biji-bijian yang beragam tidak baik karena kualitasnya berbeda.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan yang telah jatuh tempo, lalu peminjam ingin mengalihkan kepada orang lain yang memiliki makanan serupa dari pembelian, maka tidak baik karena ini sama dengan menjual makanan sebelum diterima. Namun, jika peminjam menjadikannya wakil untuk menerima makanan, maka boleh. Jika makanan hilang di tangan wakil, ia berstatus penjaga amanah. Jika tidak hilang dan peminjam ingin melunasinya, maka sah.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika seseorang membeli makanan yang telah jatuh tempo, lalu mengalihkannya kepada orang lain yang memiliki makanan dari pinjaman, maka tidak sah karena ini termasuk menjual makanan sebelum diterima. Pengalihan ini adalah penjualan makanan yang dimiliki kepada orang lain dengan makanan yang menjadi tanggungannya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dengan takaran, lalu pembeli membenarkan takarannya, maka tidak boleh untuk tempo. Jika makanan telah diterima, maka klaim tentang takaran didasarkan pada penerima dengan sumpah, baik kurang banyak atau sedikit, atau lebih sedikit atau banyak. Ini berlaku untuk pembelian tunai atau tempo. Hal ini berdasarkan hadis Nabi ﷺ. Aku mewajibkan siapa pun yang mensyaratkan takaran atau spesifikasi untuk memenuhinya. Jika ada yang berkata, “Pembeli telah membenarkannya, mengapa tidak dibebaskan seperti cacat?” Jawabannya: Jika pembenaran bisa menggantikan pembebasan cacat, maka jika disyaratkan seratus tetapi hanya ditemukan satu, pembeli tidak boleh menuntut apa pun, seperti jaminan keselamatan yang jika dibebaskan dari cacat, pembeli tidak boleh menuntutnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan dengan takaran, ia tidak boleh mengambilnya dengan timbangan kecuali membatalkan transaksi pertama dan memulai transaksi baru dengan timbangan. Ia juga tidak boleh mengambilnya dengan takaran lain kecuali takaran yang digunakan dalam pembelian, kecuali takaran tersebut dikenal setara. Ini berlaku untuk satu jenis makanan atau dua jenis yang berbeda. Ini rusak dari dua sisi: pertama, mengambil dengan syarat yang berbeda; kedua, mengambil pengganti yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari yang seharusnya. Pengganti ini menggantikan penjualan dan minimal bersifat tidak diketahui apakah sama, lebih sedikit, atau lebih banyak.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman gandum dengan spesifikasi tertentu, lalu saat jatuh tempo penjual memberikan gandum yang lebih baik dengan kerelaan atau lebih buruk dengan kerelaan pembeli, maka tidak masalah. Keduanya rela dengan kelebihan atau kekurangan. Ini bukan jual beli makanan dengan makanan. Jika penjual memberikan selain gandum, seperti jelai atau jenis lain, maka tidak sah karena ini jual beli makanan dengan lainnya sebelum diterima. Hal yang sama berlaku untuk kurma dan jenis makanan lainnya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan untuk tempo, lalu mempercepat penyerahan sebelum jatuh tempo dengan kerelaan, baik makanan yang sama atau lebih buruk, maka tidak masalah. Aku tidak pernah mempertimbangkan prasangka dalam hukum, hanya memutuskan berdasarkan yang tampak.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman gandum, lalu saat jatuh tempo ingin mengambil tepung atau sari gandum, maka tidak sah. Ini rusak dari dua sisi: pertama, mengambil yang berbeda dari pinjaman; kedua, ini jual beli makanan sebelum diterima. Meskipun dikatakan satu jenis, ini mengambil yang tidak diketahui dari yang diketahui, seperti menjual satu takar gandum dengan satu takar tepung yang mungkin setara dengan satu sepertiga takar gandum. Hal yang sama berlaku untuk sari gandum.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan yang telah jatuh tempo, lalu peminjam meminta penjual untuk menjualnya makanan lain dengan tempo untuk diterimakan, maka tidak baik jika kesepakatan dibuat atas hal ini. Kami tidak membolehkan kesepakatan yang memberi hak kepada seseorang untuk melarang orang lain memperlakukan hartanya sesuai keinginannya, karena penjualan belum sempurna. Namun, jika penjual menjualnya tanpa syarat, tunai atau tempo, maka tidak masalah. Demikian pula jika menjual selain makanan. Jika kedua pihak berniat untuk melunasi dengan pembelian tunai atau tempo tanpa kesepakatan penjualan, maka tidak masalah.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula, jika seseorang memberikan pinjaman makanan untuk tempo, lalu saat jatuh tempo meminta penjual untuk menjualnya makanan dengan tunai atau tempo untuk melunasi, maka jika kesepakatan dibuat atas hal ini, tidak sah. Jika dijual tanpa syarat, maka tidak masalah, baik tunai atau tempo.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memberikan pinjaman makanan, lalu menerimanya, kemudian membelinya kembali dari pemberi pinjaman dengan tunai atau utang setelah penerimaan, maka tidak masalah karena makanan telah menjadi tanggungan penerima dan pemberi pinjaman telah terbebas. Jika makanan telah jatuh tempo dan peminjam berkata, “Lunasi dengan syarat aku membelinya,” lalu melunasinya dengan makanan yang sama atau lebih rendah, maka tidak masalah. Ini hanya janji yang boleh dipenuhi atau tidak. Jika diberikan makanan yang lebih baik dengan syarat ini, maka tidak sah karena syarat tidak mengikat dan mengambil kelebihan yang tidak seharusnya. Wallahu a’lam.

Bab Larangan Menjual Kaki Kuda dan Senjata Saat Terjadi Fitnah
(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata):

Prinsip yang aku pegang adalah bahwa setiap akad yang sah secara zahir tidak aku batalkan karena kecurigaan atau kebiasaan tertentu antara penjual dan pembeli. Aku tetap membolehkannya selama zahirnya sah, namun aku membenci niat mereka jika niat itu—sekiranya diungkapkan—akan merusak keabsahan jual beli. Sebagaimana aku tidak suka seseorang membeli pedang dengan niat untuk membunuh, tetapi tidak haram bagi penjual untuk menjualnya kepada orang yang diduga akan menggunakannya untuk membunuh secara zalim, karena mungkin saja pedang itu tidak digunakan untuk membunuh. Aku juga tidak membatalkan transaksi ini.

Demikian pula, aku tidak menyukai seseorang menjual anggur kepada orang yang diduga akan memfermentasinya menjadi khamr, tetapi aku tidak membatalkan penjualannya karena ia menjualnya sebagai sesuatu yang halal, dan mungkin saja anggur itu tidak akan dijadikan khamr sama sekali. Begitu pula dengan pemilik pedang, mungkin ia tidak akan membunuh siapa pun dengannya. Sebagaimana aku membatalkan nikah mut’ah.

Jika seorang menikahi wanita dengan akad yang sah, tetapi berniat hanya menahannya sebentar (sehari atau lebih), nikahnya tidak aku batalkan. Yang kubatalkan hanyalah akad yang rusak sejak awal.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker