Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[BAB PENANGGUNGAN]

(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) (Berkata Asy-Syafi’i) – rahimahullah – : Jika seseorang menanggung atau menjamin hutang orang lain, lalu penanggung meninggal sebelum hutang jatuh tempo, maka pihak yang ditanggung boleh menagih hutang tersebut dari penanggung. Jika hutang telah dibayar, maka pihak yang berhutang dan penanggung terbebas dari kewajiban. Ahli waris penanggung tidak boleh menuntut balik dari pihak yang ditanggung atas apa yang telah mereka bayarkan sampai hutang tersebut jatuh tempo. Demikian pula jika pihak yang berhutang meninggal, pemilik hak boleh menagih dari hartanya. Jika hartanya tidak mencukupi, pemilik hak tidak boleh menagih sampai hutang jatuh tempo.

Dalam riwayat lain tentang penangguhan: (Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) : Berkata, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i: Jika seseorang menanggung atau menjamin hutang orang lain, lalu penanggung meninggal sebelum hutang jatuh tempo, maka pihak yang ditanggung boleh menagih hutang tersebut dari penanggung. Jika hutang telah dibayar, pihak yang berhutang dan penanggung terbebas dari kewajiban. Ahli waris penanggung tidak boleh menuntut balik dari pihak yang ditanggung atas apa yang telah mereka bayarkan sampai hutang tersebut jatuh tempo. Demikian pula jika pihak yang berhutang meninggal, pemilik hak boleh menagih dari hartanya. Jika hartanya tidak mencukupi, pemilik hak tidak boleh menagih sampai hutang jatuh tempo.

(Berkata Asy-Syafi’i) : Jika seseorang memiliki hutang pada orang lain, lalu orang lain menjamin hutang tersebut, maka pemilik hutang boleh menagih dari keduanya atau salah satunya. Tidak ada yang terbebas sampai hutang dilunasi jika penjaminan bersifat mutlak. Jika penjaminan dengan syarat, pemilik hutang boleh menagih penjamin sesuai syarat yang disepakati, bukan di luar itu.

Jika seseorang berkata kepada orang lain: “Apa yang diputuskan untukmu atas si fulan, atau yang disaksikan untukmu atasnya, atau semisalnya, maka aku menjaminnya,” ini bukanlah jaminan yang mengikat karena keputusan atau kesaksian bisa ada atau tidak. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban atasnya. Ini bukanlah penangguhan, melainkan hanya risiko.

Jika seseorang menanggung hutang orang yang telah meninggal setelah mengetahuinya dan mengetahui kepada siapa hutang itu, maka penanggungan itu mengikat, baik mayit meninggalkan harta atau tidak. Jika budak yang diizinkan berdagang menjadi penjamin, penjaminannya batal karena penjaminan adalah mengonsumsi harta, bukan memperolehnya. Karena kita melarangnya menghabiskan hartanya, sedikit atau banyak, maka kita juga melarangnya menjadi penjamin yang akan membebani hartanya.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah dari Harun bin Ri`ab dari Kananah bin Nu’aim, dari Qabishah bin Al-Mukhariq, ia berkata: “Aku pernah menanggung hutang, lalu aku mendatangi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan meminta izin. Beliau bersabda: ‘Wahai Qabishah, meminta-minta itu haram kecuali dalam tiga kondisi: seseorang yang menanggung hutang, maka halal baginya meminta.’” (Dan disebutkan haditsnya).

(Berkata Asy-Syafi’i) : Jika seseorang mengakui bahwa ia menjamin hutang untuk orang lain dengan syarat memiliki hak pilih (khiyar), sementara pihak yang dijamin membantah adanya hak pilih dan tidak ada bukti, maka jika pengakuan dianggap utuh, ia harus bersumpah bahwa ia hanya menjamin dengan hak pilih, lalu dibebaskan. Padahal penjaminan dengan hak pilih tidak sah. Jika ada yang berpendapat bahwa pengakuannya sebagian mengikat, maka ia tetap dibebani penjaminan setelah pihak yang dijamin bersumpah bahwa penjaminan diberikan tanpa hak pilih. Penjaminan dengan hak pilih tidak diperbolehkan.

Berlaku tanpa pilihan, maka penjamin tidak diwajibkan membayar kecuali jika disebutkan sejumlah harta yang dijaminnya.

Penjaminan tidak berlaku dalam had, qisas, atau hukuman. Penjaminan hanya berlaku terkait harta. Jika seseorang menjamin orang lain terkait luka yang disengaja, maka jika yang diinginkan adalah qisas, penjaminannya batal. Namun jika yang diinginkan adalah diyat (ganti rugi) atas luka tersebut, maka penjaminan tetap berlaku karena itu adalah penjaminan dengan harta. Jika seseorang membeli rumah dari orang lain, lalu seseorang menjamin tanggungan atau kebebasan rumah tersebut, kemudian rumah itu diklaim oleh pihak lain, maka pembeli dapat menuntut kembali harganya kepada penjamin jika dia mau, karena penjamin telah menjamin kebebasannya, dan kebebasan itu adalah harta yang harus diserahkan. Jika seseorang mengambil penjamin untuk dirinya, lalu mengambil penjamin lain lagi, sedangkan penjamin pertama belum dibebaskan, maka keduanya tetap sebagai penjamin untuk dirinya.

[Perusahaan]

(Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami): Dia berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, dia berkata: “Perusahaan mudharabah (bagi hasil) adalah batal, dan aku tidak mengetahui sesuatu di dunia ini yang batal jika bukan perusahaan mudharabah yang batal. Kecuali jika dua orang yang berserikat menganggap mudharabah sebagai pencampuran harta dan kerja dalam harta tersebut serta pembagian keuntungan, maka ini tidak masalah. Inilah perusahaan yang sebagian orang dari timur menyebutnya sebagai perusahaan ‘inan (modal bersama). Jika keduanya berserikat secara mudharabah dan mensyaratkan bahwa mudharabah bagi mereka adalah makna ini, maka perusahaannya sah. Dan apa yang diperoleh salah satu dari mereka di luar harta yang mereka serikatkan, baik dari perdagangan, sewa, harta karun, hibah, atau selain itu, maka itu miliknya sendiri tanpa melibatkan rekannya. Namun, jika mereka menganggap bahwa mudharabah bagi mereka adalah berserikat dalam segala sesuatu yang mereka peroleh dengan cara apa pun, baik karena harta maupun lainnya, maka perusahaan antara keduanya rusak. Aku tidak mengetahui perjudian kecuali dalam hal ini atau yang lebih ringan darinya, yaitu dua orang berserikat dengan dua ratus dirham, lalu salah satu dari mereka menemukan harta karun, maka harta itu dibagi antara keduanya. Bagaimana pendapatmu jika mereka mensyaratkan hal ini tanpa mencampurkan harta, apakah itu diperbolehkan? Atau bagaimana pendapatmu jika seseorang diberi hibah atau menyewakan dirinya untuk suatu pekerjaan lalu memperoleh harta dari pekerjaan atau hibah, apakah orang lain ikut menjadi sekutu dalam harta tersebut? Sungguh, mereka telah mengingkari hal yang lebih ringan dari ini.”

[Agensi]

(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’) : Dia berkata, Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Asy-Syafi’i secara imla’, dia berkata: Jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil (agensi), maka wakil tersebut tidak boleh menunjuk orang lain sebagai penggantinya, baik karena sakit, kepergian, atau alasan lainnya. Sebab, pihak yang memberi kuasa hanya merelakan orang tersebut sebagai wakilnya dan tidak merelakan orang lain. Namun, jika dia berkata, “Dia boleh menunjuk siapa pun yang dia anggap layak,” maka hal itu diperbolehkan dengan persetujuan pemberi kuasa.

Jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil tetapi tidak menyatakan dalam kuasanya bahwa wakil tersebut berwenang untuk mengakui (tuntutan), berdamai, membebaskan (kewajiban), atau menghibahkan, maka segala tindakan wakil dalam hal tersebut batil. Sebab, dia tidak diberi kuasa untuk itu, sehingga tidak sah menjadi wakil dalam hal yang tidak didelegasikan.

Jika seseorang menunjuk wakil untuk menuntut hudud atau qisas, agensi tersebut diterima untuk memastikan bukti. Namun, ketika had atau qisas hendak dilaksanakan, aku tidak akan menjatuhkan hudud atau qisas sampai pihak yang berhak hadir. Sebab, dia mungkin mencabut kuasanya sehingga qisas batal atau memaafkan.

Jika seseorang memiliki piutang pada orang lain, lalu datang seseorang mengaku diwakili oleh pemilik piutang dan pihak yang memegang harta membenarkannya, aku tidak akan memaksanya untuk menyerahkan harta itu kecuali jika pemilik piutang mengakui pemberian kuasa atau ada bukti yang sah. Begitu pula jika pengaku wakil tersebut menuntut hutang kepada pemilik harta, pihak yang memegang harta tidak dipaksa untuk menyerahkannya. Sebab, pengakuannya atas nama orang lain tidak sah.

Jika seseorang menunjuk wakil di hadapan hakim untuk suatu perkara, hakim mencatat bukti agensi dan menetapkannya sebagai wakil, baik lawan hadir atau tidak. Lawan tidak berhak menolak hal ini.

Jika seseorang bersaksi bahwa dia memberi kuasa kepada orang lain untuk segala urusan, besar maupun kecil, tanpa penjelasan lebih lanjut, agensi tersebut tidak sah. Sebab, kuasa tersebut bisa mencakup jual-beli, penjagaan harta, pembayaran, atau hal lain. Karena mengandung banyak kemungkinan, agensi tidak sah sampai dijelaskan secara rinci, seperti untuk jual-beli, sewa, penyimpanan, sengketa, pengelolaan, atau lainnya.

(Asy-Syafi’i berkata): Aku menerima agensi dari laki-laki atau perempuan, baik yang memiliki uzur maupun tidak. Dahulu, Ali -radhiyallahu ‘anhu- pernah menunjuk Abdullah bin Ja’far sebagai wakil di hadapan Utsman saat Ali hadir. Utsman pun menerimanya. Sebelumnya, Ali juga pernah menunjuk Aqil bin Abi Thalib sebagai wakil, dan aku menduga hal itu terjadi di masa Umar, mungkin juga di masa Abu Bakar. Ali pernah berkata, “Sungguh, berdebat itu melelahkan, dan setan hadir di dalamnya.”

[Ringkasan tentang apa yang boleh diakui jika tampak jelas]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): «Ma’iz mengakui perbuatan zina di hadapan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau merajamnya.» «Dan Nabi memerintahkan Anas untuk mendatangi istri seorang lelaki, jika ia mengaku berzina, maka rajamlah ia.»

(Imam Syafi’i berkata): Ini sesuai dengan ketetapan Allah -Tabaraka wa Ta’ala- bahwa seseorang bertanggung jawab atas apa yang ia nyatakan secara lahir, dan ia adalah penanggung jawab atas dirinya sendiri. Maka, siapa pun yang mengaku—dari kalangan orang dewasa yang tidak terganggu akalnya—terhadap sesuatu yang mengharuskan hukuman badan, baik hadd, qishash, pukulan, potong tangan, atau hukuman mati, maka pengakuannya itu mengikat, baik ia merdeka atau budak, dalam keadaan terbatas haknya atau tidak. Sebab, semua ini termasuk kewajiban yang berkaitan dengan badan, dan pengakuan tidak gugur terkait hal yang membebani badannya. Karena pembatasan hanya berlaku pada hartanya, bukan badannya. Begitu pula budak, meskipun ia adalah milik orang lain, sebab kerugian pada badannya adalah kewajiban yang tetap berlaku, sebagaimana ia wajib berwudhu untuk shalat. Ini adalah pendapat yang tidak aku ketahui ada perselisihan di antara ulama yang kuriwayatkan. Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah memerintahkan potong tangan seorang budak yang mengaku mencuri, baik hukuman itu karena hak Allah atau hak manusia.

(Imam Syafi’i berkata): Apa yang diakui oleh dua orang merdeka yang sudah baligh dan tidak terbatas haknya dalam harta, maka pengakuan itu mengikat sesuai apa yang mereka akui. Sedangkan pengakuan dua orang merdeka yang terbatas haknya dalam harta, tidak mengikat keduanya—baik selama masih dalam pembatasan maupun setelahnya—dalam hukum dunia. Namun, di hadapan Allah -‘Azza wa Jalla-, mereka tetap wajib menunaikannya jika keluar dari pembatasan kepada pihak yang diakui. Hal ini berlaku sama dari sisi mana pun pengakuan itu terjadi, selama hanya berkaitan dengan harta mereka, seperti pengakuan atas kesalahan tidak sengaja atau sengaja yang tidak ada qishash, jual beli, memerdekakan budak, atau menghabiskan harta. Semua itu gugur dalam hukum dunia.

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka mengaku melakukan kesengajaan yang mengharuskan qishash, maka itu mengikat, dan wali korban berhak memilih antara qishash atau mengambil diyat dari harta mereka. Sebab, keduanya memiliki kewajiban terkait jiwa mereka. Ketika Allah -‘Azza wa Jalla- menetapkan qishash, itu menunjukkan bahwa wali korban boleh memaafkan qishash dan mengambil diyat, sebagaimana ditunjukkan oleh Sunnah. Maka, pengakuan dua orang yang terbatas haknya tetap mengikat, dan wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil ganti rugi. Begitu pula budak yang sudah baligh jika mengaku melukai atau membunuh yang mengharuskan qishash, wali korban boleh memilih qishash atau memaafkan dengan diyat yang dibebankan pada kemerdekaan budak, meskipun budak itu adalah milik tuannya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika budak mengaku melakukan kesalahan sengaja tanpa qishash atau tidak sengaja, maka tidak ada kewajiban selama masih budak, tetapi ia wajib menanggungnya jika suatu hari merdeka dengan hartanya.

(Imam Syafi’i berkata): Pengakuan dua orang yang terbatas haknya atau budak terkait perampasan, pembunuhan, atau selainnya yang tidak ada hadd, maka pengakuan itu batal. Batal bagi orang merdeka yang terbatas haknya dalam segala hal, dan batal bagi budak selama masih dalam perbudakan. Namun, ia wajib membayar diyat atas kesalahan yang diakui jika merdeka, sebab pembatalan itu karena ia tidak memiliki hak milik selama masih budak—berbeda dengan pembatasan pada orang merdeka dalam hartanya.

(Imam Syafi’i berkata): Sama saja, baik budak yang diizinkan berdagang atau tidak, yang berakal atau kurang akal, selama ia sudah baligh dan tidak terganggu akalnya—kecuali pengakuan budak dalam hal yang didelegasikan dan diizinkan padanya, seperti perdagangan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang merdeka yang terbatas haknya atau budak mengaku mencuri dalam kasus yang mengharuskan potong tangan, maka mereka semua dipotong tangannya. Dua orang merdeka itu wajib mengganti nilai curian dari hartanya, sedangkan budak menanggungnya dengan kebebasannya.

(Imam Syafi’i berkata): Jika gugur kewajiban ganti rugi bagi yang terbatas haknya karena pembatasan atau bagi budak karena pengakuan terkait kebebasannya, maka aku tidak memotong tangan salah satu dari mereka. Sebab, keduanya tidak gugur kecuali bersama, dan tidak sah kecuali bersama.

Bersama-sama.

(Imam Syafi’i berkata): Dan jika mereka mengaku bersama-sama atas pencurian, berapa pun jumlahnya, tidak ada potong tangan dalam hal ini.

Aku membatalkan pengakuan mereka bersama-sama dari orang yang berada di bawah perwalian, karena keduanya dilarang mengelola harta mereka, dan dari budak, karena dia mengaku dengan lehernya tanpa hukuman pada tubuhnya. Demikian pula, apa yang diakui oleh murtad dari mereka dalam keadaan kemurtadannya, aku tetap memberlakukannya sebagaimana sebelum kemurtadannya.

[Pengakuan yang Belum Balig]

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seorang laki-laki yang belum balig atau perempuan yang belum haid, dan belum genap 15 tahun, mengaku atas hak Allah atau hak manusia terkait tubuh atau hartanya, maka semua itu gugur darinya. Karena Allah -Azza wa Jalla- hanya mewajibkan perintah dan larangan kepada orang yang berakal dan balig.

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini, kami tidak melihat bukti, dan perkataan yang diterima adalah pengakuan orang tersebut jika dia berkata, “Aku belum balig,” sedangkan beban pembuktian ada pada penggugat.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang khuntsa musykil (tidak jelas jenis kelaminnya) yang sudah mimpi basah tetapi belum genap 15 tahun mengaku, maka pengakuannya ditangguhkan. Jika dia mengalami haid dalam keadaan musykil, pengakuannya tidak sah sampai dia genap 15 tahun. Demikian pula jika dia haid tetapi belum mimpi basah, pengakuan khuntsa musykil tidak diterima dalam keadaan apa pun sampai dia genap 15 tahun. Ini berlaku sama untuk orang merdeka dan budak. Jika majikan budak atau ayah anak berkata, “Dia belum balig,” sedangkan budak atau anak itu berkata, “Aku sudah balig,” maka perkataan anak atau budak itu yang diterima jika sesuai dengan kenyataan. Jika tidak sesuai, perkataannya tidak diterima meskipun ayahnya membenarkannya. Tidakkah kamu lihat bahwa jika dia mengaku, sementara secara umum diketahui bahwa orang seperti itu belum genap 15 tahun, pengakuannya tidak diterima? Jika aku membatalkan pengakuannya dalam keadaan ini, aku tidak memberlakukan hukuman atas orang merdeka atau budak setelah balig atau setelah merdeka. Namun, mereka tetap wajib menunaikan hak-hak sesama di hadapan Allah -Azza wa Jalla-.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker