
Bab Perbedaan Pendapat tentang Pembatasan (Hajr)
(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Sebagian orang menyelisihi kami dalam masalah hajr (pembatasan). Mereka berkata, “Tidak ada pembatasan atas orang merdeka yang baligh, baik laki-laki maupun perempuan, meski mereka bodoh (safih).” Sebagian ahli ilmu yang membela pendapat ini bertanya kepadaku, “Dari mana kamu mengambil dalil pembatasan atas dua orang merdeka yang berhak atas harta mereka?” Aku menyebutkan apa yang ada dalam kitabku atau sebagian maknanya. Dia berkata, “Ada sesuatu yang perlu kamu pertimbangkan.” Aku bertanya, “Apa itu?” Dia berkata, “Bagaimana jika orang yang dibatasi (mahjur) memerdekakan budaknya?”
Aku menjawab, “Itu tidak sah.”
Dia bertanya, “Mengapa?”
Aku berkata, “Seperti halnya budak atau mukatab tidak boleh memerdekakan diri.”
Dia berkata, “Karena itu merugikan hartanya?”
Aku menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Bukankah talak dan memerdekakan sama, baik dalam keadaan serius atau main-main?”
Aku berkata, “Siapa yang berhak melakukannya? Jika seorang laki-laki menjual lalu berkata, ‘Aku main-main,’ atau mengakui hak orang lain lalu berkata, ‘Aku main-main,’ jual beli dan pengakuannya tetap sah, dan dikatakan kepadanya, ‘Kamu bermain-main atas dirimu sendiri.’”
Dia bertanya, “Apakah talak dan memerdekakan berbeda?”
Aku menjawab, “Ya, menurut kami dan kamu.”
Dia berkata, “Bagaimana bisa, padahal keduanya merugikan harta?”
Aku menjawab, “Talak memang merugikan harta, tetapi suami dihalalkan dalam pernikahan sesuatu yang sebelumnya tidak halal. Dia diberi wewenang untuk mengharamkan yang halal itu—bukan mengharamkan harta yang dikelola orang lain. Itu adalah pengharaman dengan ucapannya atau perbuatannya. Sebagaimana dia berkuasa atas faraj (istri) yang tidak dimiliki orang lain, demikian pula dia berkuasa mengharamkannya. Tidakkah kamu melihat bahwa jika dia meninggal, istrinya tidak mewarisinya, tetapi dia boleh menghibahkan atau menjualnya?”
Maka tidak halal bagi orang lain untuk mengambilnya sebagai hadiah, atau menjualnya. Budak itu diwariskan darinya dan dijual atas namanya sehingga dimiliki oleh orang lain. Dia boleh mengurus dirinya sendiri dengan menjual atau menghadiahkannya sehingga dimiliki oleh orang lain. Jadi, budak adalah harta dalam segala kondisi, sedangkan wanita bukan harta dalam kondisi apa pun. Wanita hanyalah kesenangan, bukan harta yang dimiliki. Kita mengeluarkan nafkah untuknya dan mencegahnya dari kerusakan. Tidakkah kamu melihat bahwa budak diizinkan untuk menikah dan berdagang, sehingga dia memiliki hak untuk menceraikan atau mempertahankan istrinya tanpa campur tangan tuannya? Namun, tuannya berhak mengambil semua hartanya jika tidak ada utang, karena harta adalah kepemilikan, sedangkan kemaluan dalam pernikahan adalah kesenangan, bukan kepemilikan seperti harta.
Aku berkata kepadanya: “Kamu menafsirkan Al-Qur’an tentang sumpah dengan saksi, tetapi menurut kami, penafsiranmu tidak tepat, sehingga kamu membatalkan sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku menemukan bahwa Al-Qur’an menunjukkan adanya pembatasan hukum (hajr) terhadap orang dewasa, maka aku meninggalkan pendapatmu.” Aku juga berkata kepadanya: “Kamu berkata tentang salah seorang sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika dia mengatakan suatu pendapat, sedangkan dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang secara zhahir bertentangan dengan pendapatnya, kami tetap mengikuti pendapatnya karena dia lebih memahami Kitabullah – azza wa jalla. Namun, kami menemukan sahabatmu meriwayatkan tentang hajr dari tiga sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tetapi kamu menyelisihi mereka padahal mereka bersama Al-Qur’an.”
Dia bertanya: “Siapa sahabat yang kamu maksud?” Aku menjawab: “Muhammad bin Al-Hasan atau orang lain yang terpercaya dalam hadits mengabarkan kepada kami dari Ya’qub bin Ibrahim dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya, bahwa Abdullah bin Ja’far melakukan suatu transaksi jual beli. Maka Ali – radhiyallahu ‘anhu – berkata: ‘Aku akan mendatangi Utsman dan meminta agar kamu dibatasi (dihajr).’ Ketika hal itu sampai kepada Ibnu Ja’far, Az-Zubair berkata: ‘Aku adalah mitramu dalam transaksimu.’ Ali pun mendatangi Utsman dan berkata: ‘Batalkan transaksi ini!’ Az-Zubair berkata: ‘Aku adalah mitranya.’ Utsman lalu berkata: ‘Apakah aku akan membatalkan transaksi seseorang yang mitranya adalah Az-Zubair?’ Ali – radhiyallahu ‘anhu – tidak akan meminta pembatasan kecuali jika dia melihatnya diperlukan. Sedangkan Az-Zubair, seandainya hajr itu batil, tentu dia akan berkata: ‘Tidak boleh membatasi orang merdeka yang sudah baligh.’ Begitu pula Utsman. Semua mereka memahami hajr dalam hadits sahabatmu.”
Dia berkata: “Sahabat kami, Abu Yusuf, telah kembali kepada pendapat tentang hajr.” Aku menjawab: “Kembalinya dia kepada pendapat itu tidak menambah kekuatannya, dan meninggalkannya juga tidak melemahkannya. Jika dia meninggalkannya lalu kembali kepadanya, hanya Allah yang tahu bagaimana pendapatnya dalam hal ini.”
Dia bertanya: “Apa yang kamu ingkari?” Aku menjawab: “Kamu mengklaim bahwa dia kembali berpendapat bahwa jika seorang merdeka mengurus hartanya dengan bijak, lalu dia membeli dan menjual, kemudian keadaannya berubah setelah sebelumnya dianggap bijak, maka hajr diberlakukan atasnya. Kami juga berpendapat demikian. Namun, kamu juga mengklaim bahwa jika hajr diberlakukan, semua transaksi jual beli sebelumnya dibatalkan. Bagaimana menurutmu jika seorang saksi awalnya adil sehingga kesaksiannya diterima, lalu keadaannya berubah, apakah putusan hukum berdasarkan kesaksiannya dibatalkan atau tetap berlaku sejak hari dia berubah?” Dia berkata: “Dia memang mengatakan hal itu, dan kami mengingkarinya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dia bertanya: “Apakah ada di antara sahabatmu yang menyelisihi pendapatmu tentang hajr dan hak asuh anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan?” Aku menjawab: “Tidak ada seorang pun dari sahabatku terdahulu yang menyelisihi pendapatku dalam hal ini. Bahkan, sebagian dari mereka menyampaikan hal yang sama dengan pendapatku.”
Dia bertanya lagi: “Apakah kamu menemukan seseorang di daerahmu yang berpendapat berbeda dengan pendapatmu ini?” Aku menjawab: “Telah diriwayatkan kepadaku dari sebagian ulama di daerah kami bahwa mereka menyelisihi pendapatku. Aku juga berkata bahwa ada yang berpendapat lain tentang harta wanita jika dia menikah dengan seorang laki-laki.” Dia bertanya: “Apa pendapat mereka?” Aku menjawab: “Sesuatu yang tidak perlu kamu dengar.” Kemudian aku menyampaikan sesuatu yang aku hafal dan dia juga menghafalnya. Dia berkata: “Kesalahan dalam hal ini sangat jelas bagi orang yang mendengarnya dengan akal sehat.”
(Asy-Syafi’i berkata): Seorang pengklaim mengabarkan kepadaku bahwa orang yang berpendapat demikian mengatakan: “Jika seorang wanita menikah dengan mahar seratus dinar, dia dipaksa untuk membeli perhiasan yang sesuai dengan maharnya. Begitu pula jika maharnya sepuluh dirham. Jika suaminya menceraikannya sebelum berhubungan, dia berhak mengambil kembali separuh dari apa yang telah dibelinya.”
(Asy-Syafi’i berkata): Dia juga wajib membagikan kapur barus, arsenik, dan wewangian kepadanya. Jika ada yang bertanya: “Apa konsekuensi bagi orang yang berpendapat demikian?” Dikatakan kepadanya: “Konsekuensinya lebih besar daripada pendapat lainnya.” Jika dia bertanya: “Apa itu?” Dikatakan kepadanya: “Allah – azza wa jalla – berfirman: ‘Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh, padahal kamu sudah menetapkan mahar untuk mereka, maka (berikanlah) separuh dari apa yang telah kamu tetapkan.’ (QS. Al-Baqarah: 237). Jika mahar yang ditetapkan dan diberikan adalah seratus dinar, maka orang yang berpendapat demikian mengatakan bahwa suami berhak mengambil kembali separuh dari barang yang dibeli, bukan dinar. Ini bertentangan dengan ketetapan Allah – tabaraka wa ta’ala.”
Jika ada yang berkata: “Kami berpendapat demikian karena kami mewajibkannya atas wanita.”
(Ar-Rabi’ berkata): Maksudnya, mereka mewajibkan wanita untuk membeli perhiasan dari mahar yang diberikan, dan suami berhak mengambil kembali separuh dari perhiasan tersebut menurut pendapat mereka. Sedangkan menurut pendapat Asy-Syafi’i, suami hanya berhak mengambil separuh dari apa yang diberikan, baik berupa dinar atau lainnya, karena wanita tidak diwajibkan membeli perhiasan kecuali jika dia menghendakinya. Ini sesuai dengan makna firman Allah – tabaraka wa ta’ala -: ‘Maka separuh dari apa yang telah kamu tetapkan.’ (QS. Al-Baqarah: 237).”
[PERDAMAIAN]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) berkata: Asy-Syafi’i -rahimahullah- mendiktekan kepada kami, beliau berkata: Pada dasarnya, perdamaian itu seperti jual beli. Apa yang diperbolehkan dalam jual beli, maka diperbolehkan dalam perdamaian, dan apa yang tidak diperbolehkan dalam jual beli, maka tidak diperbolehkan dalam perdamaian. Kemudian, perdamaian bercabang-cabang dan berlaku atas sesuatu yang memiliki nilai, seperti luka-luka yang memiliki diyat (kompensasi), antara seorang wanita dan suaminya yang memiliki mahar, dan semua ini menggantikan harga.
Menurutku, perdamaian tidak boleh kecuali atas perkara yang diketahui (ma’ruf), sebagaimana jual beli tidak boleh kecuali atas perkara yang diketahui. Diriwayatkan dari Umar -radhiyallahu ‘anhu-: “Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” Termasuk perkara haram dalam perdamaian adalah jika dilakukan atas sesuatu yang tidak diketahui (majhul), yang seandainya itu adalah jual beli, maka haram.
Jika seseorang meninggal dan ahli warisnya adalah seorang wanita, anak, atau kalalah (kerabat tanpa orang tua atau anak), lalu sebagian ahli waris berdamai dengan sebagian lainnya, maka jika perdamaian itu dilakukan dengan pengetahuan dari para pihak yang berdamai tentang hak-hak mereka atau pengakuan mereka atas hak-hak mereka, serta kedua pihak saling menerima sebelum berpisah, maka perdamaian itu sah. Namun, jika dilakukan tanpa pengetahuan mereka tentang jumlah hak mereka atau hak para pihak yang berdamai, maka perdamaian itu tidak sah, sebagaimana tidak sah menjual harta seseorang yang tidak diketahui.
Jika seseorang menuntut orang lain atas budak atau lainnya, atau menuntutnya atas kejahatan yang disengaja atau kelalaian yang boleh diperjualbelikan, maka perdamaian boleh dilakukan secara tunai atau utang. Namun, jika pihak yang dituntut mengingkari, maka perdamaian itu batal, dan keduanya kembali pada hak asalnya. Pihak penuntut dapat menuntut kembali tuntutannya, dan pihak yang memberi dapat mengambil kembali apa yang telah diberikannya.
Jika perdamaian dibatalkan, baik si penuntut mengatakan, “Aku membebaskanmu dari apa yang kutuntut darimu,” atau tidak mengatakannya sebelumnya, maka pembebasan itu hanya berlaku jika apa yang diambilnya telah sempurna. Ini tidak lebih dari seperti jual beli yang rusak. Jika jual beli itu tidak sempurna, maka masing-masing kembali pada hak miliknya sebagaimana sebelum transaksi.
Jika dua orang ingin berdamai, tetapi pihak yang dituntut enggan mengakui, maka tidak mengapa jika seorang pihak asing mengakui atas nama pihak yang dituntut atas kejahatan atau harta yang dituntut, lalu membayarkan sebagai perdamaian, maka itu sah. Pihak yang memberi tidak boleh menuntut kembali kepada pihak yang berdamai yang dituntut, dan pihak yang berdamai yang menuntut tidak boleh menuntut kembali pihak yang dituntut, karena ia telah menerima kompensasi dari haknya, kecuali jika perdamaian mereka didasarkan pada kerusakan, maka mereka kembali seperti sebelum perdamaian.
(Asy-Syafi’i) berkata: Jika seseorang menuntut hak atas rumah kepada orang lain, lalu pihak yang dituntut mengakui tuntutannya dan berdamai dengan memberikan unta, sapi, kambing, budak, kain yang jelas, dinar, dirham yang jelas, atau makanan dengan tempo tertentu, maka perdamaian itu sah, sebagaimana sah jika itu dijual dengan tempo tersebut.
Jika seseorang menuntut bagian dari rumah, lalu pihak yang dituntut mengakuinya dan berdamai dengan memberikan rumah tertentu yang dimilikinya atau hak tinggal untuk beberapa tahun, maka itu sah, sebagaimana sah jika mereka membagi atau menyewakan bagian rumahnya. Namun, jika ia berkata, “Aku berdamai denganmu untuk tinggal di rumah ini,” tanpa menyebut waktu, maka perdamaian itu rusak, karena ini tidak boleh, kecuali dengan tempo yang diketahui. Demikian pula jika berdamai untuk menyewa tanah ini selama beberapa tahun untuk ditanami atau bagian dari rumah lain, jika disebutkan dan jelas, maka sah, sebagaimana sah dalam jual beli dan sewa. Jika tidak disebutkan, maka tidak sah, sebagaimana tidak sah dalam jual beli dan sewa.
(Asy-Syafi’i) berkata: Jika seseorang memasang atap atau teras di jalan umum, lalu seseorang menuntutnya untuk melarangnya, lalu mereka berdamai dengan sesuatu agar ia membiarkannya, maka perdamaian itu batal, karena ia mengambil sesuatu yang tidak dimilikinya. Perlu dilihat: jika pemasangannya tidak merugikan, maka dibiarkan, tetapi jika merugikan, maka dilarang.
Demikian pula jika ia ingin memasang atap di jalan milik seseorang atau sekelompok orang yang bukan jalan umum, lalu ia berdamai dengan mereka dengan mengambil sesuatu agar mereka membiarkannya memasang, maka perdamaian ini batal, karena ia memasang di temboknya sendiri dan di udara yang tidak dimilikinya di bawah atau atasnya. Jika ia ingin menetapkan kayu dan syarat antara dia dan mereka sah, maka hendaknya ia meletakkannya di kayu yang ditopang oleh tembok mereka dan temboknya sendiri, sehingga itu menjadi pembelian kayu penyangga. Kayu itu harus jelas atau jelas letaknya, atau ia memberi mereka sesuatu sebagai imbalan agar mereka mengizinkannya memasang kayu dan menjadi saksi.
Mereka sendiri telah mengakui kepadanya mengenai muatan kayu ini dan jumlah ketentuannya dengan hak yang mereka ketahui untuknya, sehingga setelah itu mereka tidak boleh mencabutnya.
Dia berkata: Jika seseorang mengklaim hak atas sebuah rumah atau tanah, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan menyelesaikan klaim tersebut dengan memberikan pelayanan budak, menunggang hewan, menggarap tanah, menempati rumah, atau sesuatu yang termasuk dalam kategori sewa, kemudian pihak pengklaim atau yang diklaim meninggal (atau salah satunya), maka penyelesaian itu sah. Para ahli waris pengklaim berhak atas hunian, tunggangan, penggarapan tanah, pelayanan, atau apa pun yang telah disepakati dalam perdamaian tersebut.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika hewan yang disepakati untuk ditunggangi, rumah yang disepakati untuk ditempati, atau tanah yang disepakati untuk digarap rusak—jika kerusakan terjadi sebelum pihak yang berdamai mengambil manfaat apa pun—maka haknya atas rumah tetap ada, dan perjanjian sewa menjadi batal. Namun, jika kerusakan terjadi setelah dia mengambil sebagian manfaat, maka perdamaian tetap berlaku sesuai dengan apa yang telah dia terima (separuh, sepertiga, atau seperempat), sedangkan sisanya batal, dan dia dapat kembali pada hak aslinya atas hunian yang disepakati.
Dia berkata: Demikian pula jika dia berdamai dengan memberikan budak tertentu, pakaian tertentu, atau rumah tertentu, tetapi belum menerimanya sebelum barang itu rusak, maka perdamaian itu batal, dan dia kembali pada pengakuan aslinya. Namun, jika dia berdamai dengan memberikan budak berdasarkan sifat tertentu (dengan deskripsi atau tanpa deskripsi), pakaian dengan sifat tertentu, dinar, dirham, takaran, atau timbangan dengan sifat tertentu, maka perdamaian itu sah, dan pihak yang berdamai wajib memberikan sesuai dengan sifat yang disepakati.
Jika dia berdamai dengan memberikan seperempat bagian tanah dari rumah yang diketahui, itu sah. Jika dia berdamai dengan memberikan beberapa hasta dari rumah tertentu, dan dia mengetahui ukuran rumah tersebut serta pihak yang berdamai juga mengetahuinya, maka itu sah—ini dianggap sebagai bagian dari keseluruhan. Namun, jika dia berdamai dengan memberikan beberapa hasta tanpa mengetahui total ukurannya (apakah sepertiga, seperempat, lebih, atau kurang), maka itu tidak sah karena ketidakjelasan jumlah.
Jika dia berdamai dengan memberikan makanan secara global (tanpa takaran), uang secara global, atau seorang budak, itu sah. Namun, jika hak atas barang tersebut disangkal sebelum atau setelah penerimaan, atau barang itu rusak sebelum diterima, maka perdamaian batal. Jika dia berdamai dengan memberikan budak tertentu tetapi tidak menyerahkannya, maka dia berhak memilih untuk melihatnya. Jika memilih menerimanya, perdamaian sah; jika memilih menolaknya, perdamaian batal.
(Ar-Rabi’ berkata): (Asy-Syafi’i berkata) kemudian: Tidak boleh membeli budak tertentu atau barang lain dengan pembayaran tertunda sambil memberikan hak pilih untuk melihatnya, karena jual beli tidak boleh melebihi jual beli barang yang dilihat oleh pembeli dan penjual saat transaksi, atau jual beli berdasarkan deskripsi yang dijamin sampai waktu tertentu, di mana penjual wajib menyediakannya dari mana pun. Adapun budak tertentu dengan pembayaran tertunda—jika rusak, jual beli batal—maka terkadang jual beli sah dan terkadang batal, padahal jual beli hanya sah jika pasti berlaku dalam segala kondisi.
(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula segala sesuatu yang disepakati dalam perdamaian berupa barang tertentu yang tidak hadir, maka ada hak pilih untuk melihatnya.
(Ar-Rabi’ berkata): Asy-Syafi’i menarik kembali pendapatnya tentang hak pilih melihat barang tertentu.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika dia menerimanya lalu barang itu rusak di tangannya dan terdapat cacat, dia boleh menuntut ganti rugi sebesar nilai cacat tersebut. Jika tidak ada cacat tetapi sebagian barang itu disangkal haknya (misalnya separuh atau satu bagian dari seribu bagian), maka penerima budak berhak memilih: melanjutkan perdamaian sesuai bagian yang sah atau membatalkan seluruh perdamaian.
(Ar-Rabi’ berkata): Pendapat Asy-Syafi’i adalah jika suatu barang dijual lalu sebagiannya disangkal haknya, maka seluruh jual beli batal karena transaksi itu menggabungkan hal yang halal dan haram, sehingga seluruhnya batal. Demikian pula dengan perdamaian.
(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang mengklaim hak atas rumah, lalu seorang pihak asing (bukan tergugat) mengakui klaim itu atas nama tergugat dan berdamai dengan memberikan budak tertentu, itu sah. Namun, jika budak itu ternyata cacat dan dikembalikan atau haknya disangkal, maka pihak asing tidak berkewajiban apa pun, dan pengklaim kembali pada tuntutan aslinya atas rumah. Demikian pula jika perdamaian dilakukan dengan barang tertentu. Jika pihak asing berdamai dengan memberikan dinar, dirham, barang berdasarkan deskripsi, atau budak berdasarkan deskripsi, lalu menyerahkannya, tetapi kemudian haknya disangkal, maka pengklaim boleh menuntut penggantian dengan dinar, dirham, atau barang serupa sesuai deskripsi.
Jika pihak asing berdamai dengan memberikan dinar tertentu (dengan koin spesifik), itu sama seperti budak tertentu—jika haknya disangkal atau ada cacat lalu dikembalikan, pengklaim tidak bisa menuntut pihak asing dan harus kembali pada klaim aslinya. Jika pihak asing berdamai tanpa izin tergugat dan memberikan sesuatu secara sukarela, dia tidak boleh menuntut pengembalian dari tergugat. Dia hanya boleh menuntut jika tergugat memerintahkannya untuk berdamai.
Dia berkata: Jika seseorang mengklaim hak atas rumah kepada orang lain, lalu berdamai dengan menempati rumah tertentu untuk tahun-tahun yang ditentukan, atau atas atap (salah satu bagian rumah), itu sah.
Jika suatu hak yang dikenal (ma’ruf) ditempatkan pada sebuah rumah yang diperbolehkan, lalu rumah atau atapnya runtuh sebelum ditempati, maka hak tersebut kembali ke pemilik aslinya. Namun, jika kerusakan terjadi setelah ditempati, kesepakatan (shulh) tetap berlaku sesuai lamanya hunian, dan hak yang tersisa batal sebanding dengan sisa waktu yang belum digunakan.
Jika seseorang mengklaim hak atas sebuah rumah yang berada di tangan orang lain sebagai pinjaman, titipan, atau sewa, dan kedua pihak mengakuinya atau ada bukti yang sah, maka tidak ada perselisihan antara pemilik klaim dan orang yang memegang rumah. Jika seseorang tidak setuju untuk memutuskan perkara atas orang yang tidak hadir, maka kesaksiannya tidak diterima. Jika ia khawatir saksi-saksinya akan meninggal, ia dapat meminta mereka bersaksi atas kesaksian mereka.
Jika orang yang memegang rumah mengakui klaim tersebut, putusan tidak boleh didasarkan pada pengakuannya karena ia mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Namun, jika mereka berdamai atas sebagian klaim, perdamaian itu sah, dan pihak yang berdamai bertindak sukarela. Jawaban dalam hal ini sama seperti kasus sebelumnya di mana pihak asing berdamai atas klaim.
Jika seseorang mengklaim sesuatu tanpa merincinya dan berdamai atas sebagian dari klaim tersebut, perdamaian itu tidak sah. Demikian pula, tidak sah jika klaim diajukan atas sesuatu yang spesifik tanpa pengakuan terlebih dahulu. Namun, jika pengakuan diberikan, perdamaian diperbolehkan.
Jika seseorang mengakui klaim yang diajukan secara umum dengan mengatakan, “Kamu benar dalam klaimmu terhadapku,” lalu berdamai atas sebagian dari klaim itu, perdamaian itu sah—seperti halnya jika mereka sepakat atas transaksi jual-beli yang hanya diketahui melalui perkataan mereka meskipun barangnya tidak disebutkan secara spesifik. Misalnya, seseorang mengatakan, “Inilah yang kubeli darimu, yang kita sama-sama ketahui. Setelah ini, aku tidak memiliki tuntutan lagi atasmu terkait apa yang telah kubeli.”
Jika sebuah rumah dimiliki oleh dua orang dan mereka berselisih atas seluruh kepemilikan, lalu berdamai dengan pembagian satu pihak mendapat sepertiga dan pihak lain dua pertiga, atau satu pihak mendapat satu bagian rumah dan pihak lain sisanya, perdamaian itu sah jika dilakukan setelah pengakuan. Namun, jika dilakukan dalam keadaan saling menyangkal, perdamaian tidak sah, dan mereka kembali ke klaim awal.
Jika seseorang mengklaim hak atas orang lain dan berdamai setelah pengakuan, tetapi tidak ada bukti yang jelas, misalnya pihak yang berdamai mengatakan, “Aku berdamai denganmu atas tanah ini,” sedangkan pihak lain mengatakan, “Tidak, aku berdamai denganmu atas pakaian,” maka perkataan pihak yang didukung sumpah dianggap benar, dan ia berhak menuntut tanah tersebut.
(Abu Muhammad berkata): Menurut dasar pendapat Syafi’i, jika dua pihak berselisih tentang isi perdamaian, mereka harus saling bersumpah, dan mereka kembali ke posisi awal perselisihan—sama seperti dalam jual beli. Jika mereka berselisih dan bersumpah, tidak ada transaksi yang sah setelah sumpah.
(Syafi’i berkata): Jika sebuah rumah dimiliki oleh beberapa ahli waris, lalu seseorang mengajukan klaim atasnya—sementara sebagian ahli waris tidak hadir atau hadir—dan salah satu ahli waris mengakui klaim tersebut lalu berdamai dengan menyerahkan sejumlah dinar atau dirham yang dijamin, perdamaian itu sah. Ahli waris yang berdamai bertindak sukarela dan tidak boleh menuntut kembali apa yang telah ia berikan kepada saudara-saudaranya karena ia memberikannya tanpa perintah mereka, terutama jika mereka menolak klaim tersebut.
Jika ia berdamai dengan menyatakan bahwa haknya terpisah dari saudara-saudaranya, maka ia hanya membeli haknya sendiri. Jika saudara-saudaranya menolak, mereka berhak menuntut. Jika ia berhasil mendapatkan haknya, ia boleh mempertahankannya, dan saudara-saudaranya berhak menuntut hak mereka melalui syuf’ah (hak beli preferensial). Jika ia gagal, ia dapat membatalkan perdamaian dan mengambil kembali apa yang telah diberikan. Sementara itu, ahli waris lain berhak atas bagian yang diakui untuk mereka.
(Syafi’i berkata): Jika sebuah rumah dipegang oleh dua orang yang mewarisinya, lalu seseorang mengklaim hak atas rumah itu—salah satu ahli waris menolak, sedangkan yang lain mengakui dan berdamai atas haknya sendiri tanpa menyertakan hak saudaranya—perdamaian itu sah. Jika saudaranya ingin menggunakan hak syuf’ah atas bagian yang didamaikan, ia boleh melakukannya.
Jika dua orang mengklaim sebuah rumah yang dipegang orang lain, mengatakan bahwa itu warisan dari ayah mereka, dan orang itu menolak—lalu salah satu dari mereka berdamai atas klaimnya—perdamaian itu batal. Namun, jika orang itu mengakui klaim salah satu pihak dan berdamai atas bagian yang diakui, saudaranya boleh bergabung dan menuntut separuh dari bagian yang diakui—karena mereka menyatakan bahwa hak itu dibagi dua.
Jika kasusnya sama, tetapi masing-masing menuntut separuh tanah yang dipegang orang itu—lalu ia mengakui separuh untuk satu pihak dan menolak separuh untuk pihak lain—maka separuh yang diakui menjadi milik pihak yang diakui, sedangkan separuh yang ditolak tetap dalam sengketa. Jika ia berdamai atas bagian yang ditolak, perdamaian itu hanya berlaku untuk dirinya, bukan saudaranya.
Jika ia mengakui seluruh tanah untuk satu pihak—padahal klaim awal hanya separuh—dan tidak mengakui separuh untuk pihak lain, maka pihak yang diakui berhak atas seluruh tanah tanpa tuntutan balik. Namun, jika klaim awal menyatakan separuh, ia berhak menuntut separuh yang tersisa.
(Syafi’i berkata): Jika dua orang mengklaim sebuah rumah sebagai warisan, dan orang yang memegangnya mengakui klaim mereka lalu berdamai dengan salah satu pihak, saudaranya tidak boleh ikut serta dalam perdamaian itu tetapi berhak menuntut syuf’ah.
Jika seseorang mengklaim rumah milik orang lain, dan orang itu mengakuinya lalu berdamai setelah pengakuan dengan membolehkan penghunian oleh pemegang rumah, maka statusnya menjadi pinjaman (ariyah) jika ia menghendakinya.
Selesaikanlah, dan jika dia berkehendak tidak menyelesaikannya, dan jika yang lebih tinggi tidak mengakui untuk menempatinya maka perdamaian itu batal, dan keduanya kembali pada asal perselisihannya. Jika seseorang membeli rumah lalu membangunnya menjadi masjid, kemudian datang orang lain mengklaimnya, dan pembangun masjid mengakui klaim tersebut, maka jika ada sisa dari rumah itu, itu miliknya. Jika dia tidak menyedekahkan masjid, maka itu miliknya, dan dia dapat menuntut ganti rugi atas bagian rumahnya yang dihancurkan. Jika dia berdamai dalam hal ini, maka itu diperbolehkan.
Jika tergugat mengingkari, tetapi orang-orang yang masjid dan rumah berada di antara mereka mengakui dan berdamai, maka perdamaian itu sah. Jika seseorang menjual rumah kepada orang lain, lalu seseorang mengklaim sesuatu atas rumah itu, dan penjual mengakui klaim tersebut serta berdamai, maka perdamaian itu sah. Demikian pula jika seseorang merampas rumah orang lain, baik menjualnya atau tidak, lalu orang lain mengajukan klaim, dan dia berdamai setelah mengakui klaim tersebut atas sesuatu, maka perdamaian itu sah. Hal yang sama berlaku jika rumah itu berada di tangannya sebagai pinjaman atau titipan.
Jika seseorang mengklaim rumah yang ada di tangan orang lain, dan orang itu mengakuinya kemudian mengingkarinya, lalu berdamai, maka perdamaian itu sah, dan pengingkaran tidak merugikannya karena haknya telah tetap dengan pengakuan pertama, baik dengan kesepakatan atau bukti. Jika penerima harga rumah dalam perdamaian mengingkari bahwa dia mengakui rumah itu, dan berkata, “Aku hanya berdamai atas pengingkaran,” maka perkataannya diterima dengan sumpah, dan perdamaian dibatalkan, sehingga keduanya kembali pada perselisihan.
Jika seseorang berdamai atas klaim yang diakuinya dengan pelayanan budak selama setahun, lalu budak itu terbunuh tanpa sengaja, maka perdamaian batal. Pihak yang berdamai tidak wajib membelikan budak lain, dan pemilik budak juga tidak wajib membelikan budak lain. Demikian pula jika perdamaian atas hak tinggal di rumah, lalu rumah itu dihancurkan atau roboh. Jika perdamaian atas pelayanan budak tertentu selama setahun, lalu pemiliknya menjualnya, maka pembeli boleh memilih: melanjutkan penjualan dan mendapatkan hak pelayanan, atau membatalkan penjualan. Pendapat lain menyatakan penjualan batal karena menghalangi haknya.
Jika budak itu dimerdekakan oleh pemiliknya, maka pembebasan sah, dan pelayanan tetap berlaku hingga akhir tahun, dengan hak menuntut pemilik. Penyewaan dianggap seperti jual beli dalam pandangan kami, tidak dibatalkan selama penyewa masih utuh. Pemilik pelayanan boleh menyuruh orang lain melayani atau menyewakan kepada orang lain untuk pekerjaan serupa, tetapi tidak boleh membawanya keluar kota tanpa izin pemilik.
Jika seseorang mengklaim rumah, tergugat mengakuinya, lalu berdamai dengan memberikan budak senilai 100 dirham dan 100 dirham tunai, tetapi sebelum budak diserahkan, budak itu melukai orang merdeka atau budak lain, maka pihak yang berdamai boleh memilih: menerima budak lalu menebusnya, menyerahkannya untuk dijual, mengembalikannya kepada pemilik dan membatalkan perdamaian, atau tidak boleh menerima sebagian perdamaian sebesar 100 dirham. Jika budak sudah diterima lalu melukai, perdamaian tetap sah, seperti budak yang dibeli lalu melukai.
Jika ditemukan cacat pada budak, dia tidak boleh mengembalikannya dan menahan 100 dirham, karena ini satu transaksi yang harus diterima atau ditolak seluruhnya, kecuali jika pihak lain setuju. Jika budak itu diklaim orang lain, dia boleh memilih: menerima 100 dirham sebagai separuh perdamaian dan mengembalikan separuhnya, karena transaksi melibatkan dua hal, salah satunya tidak sah.
(Rabi’ berkata): Prinsipnya, jika sebagian perdamaian atau jual beli terbukti tidak sah, maka seluruhnya batal karena transaksi menggabungkan hal halal dan haram. (Syafi’i berkata): Jika yang tidak sah adalah cacat pada dirham, dan penjualan dilakukan dengan dirham tertentu, maka berlaku seperti pada budak. Jika dijual dengan dirham bernilai, maka dikembalikan dengan dirham serupa. Jika perdamaian dengan budak dan penerima menambahkan pakaian, lalu budak itu diklaim orang lain, maka perdamaian batal, dan dia dapat mengambil kembali pakaiannya atau nilainya jika sudah rusak.
Jika setelah serah terima, budak terluka, perdamaian tidak bisa dibatalkan, seperti halnya membeli budak lalu terluka. Jika ditemukan cacat pada pakaian, dia boleh memilih: menerima atau mengembalikan dan membatalkan perdamaian, tidak boleh mengembalikan sebagian. Jika budak diklaim orang lain, perdamaian batal, kecuali jika dia memilih menerima bagian selain budak tanpa menuntut nilainya.
(Rabi’ berkata): Jika budak diklaim orang lain, perdamaian batal dalam makna…
Imam Syafi’i berkata dalam tempat lain:
(Imam Syafi’i berkata): “Jika perdamaian melibatkan seorang budak dan seratus dirham, lalu pihak tergugat menambahkan seorang budak atau lainnya, kemudian ternyata budak yang diterima (salah satunya) adalah orang merdeka, maka perdamaian itu batal. Keadaannya seperti seseorang yang membeli budak, lalu budak itu ternyata merdeka. Jika budak yang diklaim sah miliknya adalah budak yang diberikan oleh penggugat atau tergugat, maka dikatakan kepada pihak yang memegang budak tersebut: ‘Anda berhak membatalkan perdamaian, kecuali jika Anda rela meninggalkan pembatalan dan menerima apa yang ada di tangan Anda bersama budak itu.’ Ia tidak boleh dipaksa untuk membatalkannya. Demikian pula semua klaim sah terkait hal yang didamaikan. Jika ini adalah transaksi salam (pesanan), lalu budak yang dipesan ternyata merdeka dalam barang yang dijelaskan hingga waktu yang ditentukan, maka transaksi salam itu batal.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika yang dipesan adalah dua budak dengan nilai yang sama, lalu salah satunya ternyata merdeka, maka pihak yang memesan berhak memilih antara membatalkan transaksi salam dan mengembalikan budak yang tersisa di tangannya, atau melanjutkan transaksi dengan membayar separuh harga untuk budak yang sah hingga waktu yang ditentukan.”
(Ar-Rabi’ berkata): “Semua ini batal dan terputus.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika sebuah rumah berada di tangan dua orang, masing-masing menempati bagian terpisah, lalu mereka berselisih tentang halaman, maka halaman itu dibagi dua karena berada di tangan keduanya. Jika salah satu ingin bersumpah, kami meminta rekannya bersumpah atas klaimnya. Jika keduanya bersumpah, maka halaman itu dibagi dua. Jika tidak bersumpah dan berdamai dengan salah satu pihak mengakui hak lainnya, perdamaian itu sah. Demikian pula jika rumah itu terdiri dari satu atau beberapa bagian, bagian bawah dipegang satu pihak yang mengklaimnya dan bagian atas dipegang pihak lain yang juga mengklaimnya, lalu mereka berselisih tentang halaman, maka halaman itu dibagi dua seperti yang dijelaskan.”
“Jika ada tembok antara dua rumah, satu milik seseorang dan lainnya milik orang lain, dan tembok itu tidak terhubung dengan bangunan salah satunya secara langsung, melainkan hanya menempel atau terhubung dengan bangunan keduanya, lalu mereka berselisih tanpa bukti, maka mereka bersumpah dan tembok itu dibagi dua. Dalam hal ini, tidak diperhatikan siapa yang memiliki bagian luar, dalam, setengah bata, atau ikatan tali, karena tidak ada petunjuk dalam hal itu. Jika keadaan masalah tetap sama dan salah satu memiliki tiang, sementara yang lain tidak memiliki apa-apa, maka keduanya disumpah, tiang diakui sebagaimana adanya, dan tembok dibagi dua karena seseorang bisa memanfaatkan tembok orang lain dengan tiang, baik dengan izin atau tanpa izin.”
“Jika tembok ini terhubung dengan bangunan salah satu pihak secara langsung (sejak awal pembangunan) dan terpisah dari bangunan pihak lain, maka tembok itu diberikan kepada pemilik bangunan yang terhubung. Jika tembok terhubung setelah selesai, seperti dengan mengganti satu bata dengan yang lebih panjang, maka keduanya disumpah dan tembok dibagi dua. Jika mereka berselisih lalu berdamai dengan saling mengakui klaim, perdamaian itu dibolehkan. Jika diputuskan tembok itu milik bersama, tidak boleh ada yang membuat lubang atau membangun di atasnya tanpa izin rekannya. Mereka diajak untuk membaginya jika mau. Jika lebarnya satu hasta, masing-masing mendapat setengah hasta sepanjang tembok, lalu dikatakan: ‘Jika ingin menambah lebar dari rumahmu satu hasta lagi agar tembok itu sepenuhnya milikmu, itu boleh. Jika ingin membiarkannya seperti itu tanpa pembagian, silakan.’”
“Jika tembok antara dua orang dirobohkan, lalu mereka berdamai bahwa satu pihak mendapat sepertiga dan pihak lain dua pertiga, dengan syarat masing-masing boleh membangun sesuai keinginan, maka perdamaian itu batal. Jika mereka ingin membagi tanahnya, itu diperbolehkan, baik atas keinginan bersama atau salah satu saja. Jika dibiarkan, saat dibangun kembali, tidak boleh ada yang membuat pintu atau lubang tanpa izin rekannya.”
(Imam Syafi’i berkata): “Jika sebuah rumah dipegang satu orang lalu diklaim orang lain, lalu mereka berdamai bahwa satu pihak mendapat atap tanpa bangunan di atasnya dan bagian bawah untuk pihak lain, maka menurut pendapatku, perdamaian hanya sah dengan pengakuan. Jika keduanya mengakui, aku membolehkannya dan memberikan bagian atas untuk satu dan bagian bawah untuk lainnya. Aku membolehkan pihak yang diakui haknya untuk membangun sesuai keinginan jika ia mengakui boleh membangun di atasnya. Tidak sah jika ia membangun tanpa pengakuan, baik ada bangunan di atasnya atau tidak. Jika seseorang menjual atap rumah tanpa bangunan di atasnya dengan syarat pembeli boleh…”
Dia membangun di temboknya dan tinggal di atapnya, dan dinamakan puncak bangunan, aku memperbolehkan hal itu sebagaimana aku memperbolehkan menjual tanah tanpa bangunan di atasnya. Tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali dalam satu hal: bahwa siapa pun yang menjual rumah tanpa bangunan di atasnya, maka pembeli boleh membangun sesukanya. Namun, jika seseorang menjual atap beserta tanahnya atau tanah beserta puncak tembok, aku perlu mengetahui seberapa besar bangunannya karena ada bangunan yang tidak mampu ditopang oleh tembok-tembok tersebut.
Dia berkata: Jika ada sebuah rumah di tangan seseorang yang memiliki tangga di bagian bawah menuju bagian atas, lalu pemilik bagian bawah dan atas memperdebatkan tangga tersebut, dan tangga itu merupakan jalan bagi pemilik bagian atas, maka tangga itu milik pemilik bagian atas, bukan pemilik bagian bawah, setelah sumpah. Baik tangga itu berbentuk melengkung atau tidak, karena tangga dibuat sebagai jalur meskipun dimanfaatkan bagian bawahnya. Jika orang-orang membuat tangga untuk dimanfaatkan dan membuat punggungnya sebagai anak tangga tanpa menjadikannya sebagai jalan, maka tangga itu dibagi antara pemilik bagian bawah dan atas karena memiliki dua manfaat: satu di tangan pemilik bagian bawah dan satu lagi di tangan pemilik bagian atas setelah keduanya bersumpah.
Jika rumah bagian bawah di tangan satu orang dan bagian atas di tangan orang lain, lalu mereka memperdebatkan atapnya, maka atap itu dibagi antara keduanya karena bagi masing-masing, atap itu adalah penutup bagi bagian bawah dan lantai bagi bagian atas. Jadi, atap itu dibagi setengah setelah tidak ada bukti dan setelah keduanya bersumpah. Jika mereka sepakat untuk meruntuhkan bagian atas dan bawah karena alasan tertentu atau tanpa alasan, itu boleh bagi mereka, dan mereka harus membangun kembali bersama seperti semula. Pemilik bagian bawah wajib membangun jika dia meruntuhkannya dengan janji akan membangun kembali atau meruntuhkannya tanpa alasan. Jika rumah itu roboh, pemilik bagian bawah tidak dipaksa untuk membangun. Jika pemilik bagian atas rela membangun bagian bawah seperti semula dan membangun bagian atasnya, itu diperbolehkan, tetapi dia tidak boleh melarang pemilik bagian bawah untuk tinggal atau meruntuhkan tembok kapan pun dia mau. Jika pemilik bagian bawah datang dengan nilai bangunannya, dia boleh mengambilnya, dan bangunan itu menjadi milik pemilik bagian bawah, kecuali jika si pembangun memilih untuk meruntuhkan bangunannya, maka itu haknya. Lebih baik bagi pemilik bagian atas untuk membangunnya dengan keputusan hakim.
Jika mereka mengakui bahwa pemilik bagian bawah menolak membangun dan pemilik bagian atas membangun tanpa keputusan hakim, itu diperbolehkan seperti halnya dengan keputusan hakim. Jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain yang tumbuh tinggi hingga cabangnya menjalar ke rumah orang lain, maka pemilik pohon harus memotong bagian yang masuk ke rumah tersebut, kecuali jika pemilik rumah mengizinkannya tetap ada. Jika pemilik rumah mengizinkannya, itu haknya. Jika dia ingin mengizinkannya dengan imbalan tertentu, itu tidak diperbolehkan karena jika itu dianggap sebagai sewa atau pembelian, itu seperti menyewa udara tanpa tanah atau dasar. Tidak masalah membiarkannya sebagai bentuk kebaikan. Jika dua orang berselisih tentang mata air, sumur, sungai, atau aliran air, lalu mereka berdamai dengan melepaskan klaim masing-masing atas salah satu mata air, sumur, atau sungai tersebut, dan menyepakati bahwa satu mata air utuh menjadi milik satu pihak dan mata air lainnya milik pihak lain, maka perdamaian itu sah setelah pengakuan dari keduanya, seperti halnya menjual sebagian hak atas suatu benda.
Jika sebuah sungai dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan mereka sepakat untuk memperbaikinya dengan membangun atau menimbun, dengan biaya ditanggung bersama, itu diperbolehkan. Jika sebagian mengajak bekerja sama dan sebagian menolak, yang menolak tidak bisa dipaksa selama tidak ada kerugian. Begitu pula jika ada kerugian, mereka tidak bisa dipaksa. Allah lebih tahu. Katakan kepada mereka: “Jika kalian mau, relakanlah perbaikan itu, dan ambil air bersama. Kapan pun kalian ingin meruntuhkan bangunannya, kalian boleh melakukannya, karena kalian pemilik bangunan itu sampai dia memberikan bagian biayanya dan memiliki bersama kalian.” Hal yang sama berlaku untuk mata air dan sumur.
Jika seseorang mengklaim kayu, talang, atau lainnya di tembok orang lain, lalu pemilik tembok berdamai dengan memberinya sesuatu, itu diperbolehkan jika diakui. Jika seseorang mengklaim tanaman di tanah orang lain dan berdamai dengan sejumlah uang, itu sah karena dia boleh menjual tanamannya yang masih hijau kepada yang memotongnya. Jika tanaman itu milik dua orang dan salah satunya berdamai dengan menyerahkan separuh tanaman, itu tidak sah karena tanaman tidak boleh dibagi dalam keadaan hijau. Tidak diperbolehkan memotongnya kecuali disetujui. Jika seseorang mengklaim sesuatu dalam rumah dan berdamai dengan rumah, kebun, atau lainnya, dia berhak memilih melihatnya terlebih dahulu seperti dalam jual beli. Jika dia mengaku sudah melihatnya sebelum berdamai, tidak ada hak memilih kecuali jika keadaannya berubah dari saat dilihat.
Dia berkata: Jika seseorang mengklaim…
Seorang laki-laki mengakui adanya hutang dirham kepada orang lain, lalu mereka berdamai dengan menggantinya dengan dinar. Jika mereka saling menerima sebelum berpisah, maka itu diperbolehkan. Namun, jika mereka berpisah sebelum saling menerima, maka hutang dirham tetap berlaku dan perdamaian tidak sah. Jika sebagian telah diterima dan sebagian lagi belum, perdamaian sah untuk bagian yang telah diterima dan batal untuk bagian yang belum, asalkan pihak yang menerima dinar rela.
(Rabi’ berkata): Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa perdamaian ini tidak sah sama sekali karena ia berdamai dengan menukar dinar dengan dirham yang akan diterimanya. Ini mirip dengan pertukaran mata uang (sharf); jika tersisa satu dirham, seluruh transaksi pertukaran batal. Ini sesuai dengan makna pendapat Syafi’i di tempat lain:
Jika seseorang mengklaim bagian dalam sebuah rumah, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan berdamai dengan menyerahkan budak tertentu, pakaian tertentu, atau barang yang dijelaskan sifatnya dengan tempo tertentu, itu diperbolehkan. Namun, ia tidak boleh menjual barang yang dijadikan alat damai sebelum menerimanya, sebagaimana ia tidak boleh menjual barang yang dibeli sebelum menerimanya. Perdamaian adalah bentuk jual beli; apa yang sah dalam jual beli, sah dalam perdamaian, dan apa yang batal dalam jual beli, batal pula dalam perdamaian. Baik barang itu bersifat tertentu atau terdeskripsi, ia tidak boleh menjualnya sebelum menerima. Begitu pula segala sesuatu yang dijadikan alat damai, seperti takaran atau barang tertentu, tidak boleh dijual sebelum diterima, baik dari pihak damai maupun pihak lain. Sebab, “Nabi ﷺ melarang menjual makanan yang dibeli sebelum diterima.” Segala sesuatu yang dibeli dalam pandangan kami memiliki status yang sama, karena ia masih menjadi tanggungan penjual, sehingga tidak boleh menjual sesuatu yang masih menjadi hak orang lain.
Jika seseorang mengklaim sesuatu kepada orang lain, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan berdamai dengan menyerahkan dua budak tertentu, kemudian satu budak diterima sementara yang lain mati sebelum diserahkan, maka pihak yang berdamai boleh memilih: mengembalikan budak yang sudah diterima dan menuntut haknya atas rumah, atau melanjutkan perdamaian untuk bagian budak yang sudah diterima sementara haknya atas rumah disesuaikan dengan bagian budak yang mati sebelum diserahkan. Jika perdamaian hanya atas satu budak lalu budak itu mati, perdamaian batal dan haknya atas rumah tetap berlaku. Jika budak tidak mati, tetapi ada orang yang melukainya hingga tewas, ia boleh memilih: melanjutkan perdamaian dan menuntut pelaku, atau membatalkan perdamaian dan menyerahkan tuntutan kepada pemilik budak (penjual). Hal yang sama berlaku jika budak dibunuh oleh budak lain atau orang merdeka.
Jika perdamaian berupa pelayanan budak selama satu tahun, lalu budak itu dibunuh dan pemiliknya menerima uang tebusan, pihak yang berdamai tidak bisa dipaksa untuk memberikan budak pengganti. Jika sebagian pelayanan sudah dilakukan, perdamaian sah untuk bagian yang sudah dilaksanakan dan batal untuk sisa pelayanan yang tidak terpenuhi. Jika budak tidak mati tetapi terluka, lalu pemiliknya memilih untuk menjualnya, statusnya sama seperti kematian atau kepemilikan paksa.
Jika seseorang mengklaim sesuatu kepada orang lain, lalu pihak yang diklaim mengakuinya dan berdamai dengan memberikan aliran air, maka sah jika ia menyebut lebar tanah yang dialiri, panjangnya, dan batasnya, asalkan ia memiliki tanah tersebut. Jika tidak disebutkan rinciannya, perdamaian tidak sah kecuali dengan menyatakan, “Air mengalir di tempat ini dan itu untuk waktu tertentu,” sebagaimana sewa tidak sah kecuali dengan tempo tertentu. Jika hanya disebutkan “aliran air” tanpa rincian, tidak sah.
Jika ia berdamai dengan memberikan pengairan untuk tanahnya dari sungai atau mata air untuk waktu tertentu, itu tidak sah. Namun, sah jika ia berdamai dengan memberikan sepertiga atau seperempat mata air, asalkan ia memilikinya. Begitu pula jika ia berdamai dengan memberikan air untuk ternaknya selama satu bulan, itu tidak sah.
Jika sebuah rumah dimiliki dua orang, di mana satu pihak memiliki bagian lebih sedikit dan menolak pembagian karena tidak lagi bisa memanfaatkannya, ia tetap dipaksa untuk membagi. Begitu pula jika rumah dimiliki banyak orang dan hanya satu yang bisa memanfaatkannya sementara yang lain tidak, mereka dipaksa untuk membagi bagi yang mengajukan pembagian, dan bagian lainnya dikumpulkan jika mereka menghendaki. Pembagian dilakukan jika salah satu pihak bisa memanfaatkannya, meski sedikit, sementara jika merugikan semua, tidak perlu dibagi.
[Hawalah]
(Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman) berkata: Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i secara imla’, dia berkata: Pendapat kami – dan Allah Yang Maha Tinggi lebih mengetahui – adalah seperti yang dikatakan oleh Malik bin Anas: Jika seseorang mengalihkan haknya kepada orang lain (menghawalahkan), lalu orang yang dialihkan haknya (al-muhal ‘alaih) itu bangkrut atau meninggal, maka orang yang mengalihkan hak (al-muhil) tidak boleh menuntut kembali haknya selamanya. Jika ada yang bertanya, apa dalilnya? Malik bin Anas berkata: Diriwayatkan kepada kami dari Abuz-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Menunda pembayaran oleh orang yang mampu adalah kezaliman. Dan jika salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia menerimanya.” Jika ada yang bertanya, apa hubungannya ini dengan pendapatmu? Dikatakan: Bagaimana pendapatmu jika al-muhal (orang yang dialihkan haknya) boleh menuntut kembali al-muhil (seperti pendapat Muhammad bin Al-Hasan) ketika al-muhal ‘alaih bangkrut semasa hidup atau meninggal dalam keadaan bangkrut? Apakah hak itu kembali kepada al-muhil? Bagaimana jika dia dialihkan kepada orang yang bangkrut, sedangkan haknya itu menggantikan posisi al-muhil? Bukankah itu justru menambah kebaikan? Jika orang yang bangkrut itu mampu, maka haknya tetap ada. Jika tidak, haknya tetap pada tempatnya semula. Tidak ada kemungkinan lain kecuali seperti ini.
Adapun pendapat kami, jika kamu telah terbebas dari hakmu dan orang lain yang menanggungnya, maka kebebasan itu tidak boleh berubah menjadi tanggungan. Jika hawalah tidak diperbolehkan, bagaimana mungkin aku terbebas dari hutangku jika aku menghawalahkanmu? Jika kamu bersumpah dan aku bersumpah bahwa tidak ada hakmu atasku, maka kami telah bebas. Jika kemudian (al-muhal ‘alaih) bangkrut, lalu aku menuntutmu kembali setelah aku bebas dengan suatu transaksi yang telah disepakati sebagai hal yang sah di kalangan muslimin.
Muhammad bin Al-Hasan berargumen dengan perkataan Utsman tentang hawalah dan kafalah: “Pemiliknya boleh menuntut kembali, harta muslim tidak boleh diambil paksa.” Namun, dasar argumennya ini terbantah dari dua sisi. Sekalipun benar berasal dari Utsman, itu bukanlah dalil, karena statusnya masih diragukan dari Utsman. Dan sekalipun benar dari Utsman, hadis Utsman masih bisa ditafsirkan lain.
Jika seseorang mengalihkan hak kepada orang lain, lalu al-muhal ‘alaih bangkrut atau meninggal tanpa meninggalkan harta, maka al-muhtaal (pihak yang dialihkan haknya) tidak boleh menuntut kembali al-muhil, karena hawalah memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Apa yang telah dipindahkan tidak boleh dikembalikan. Hawalah berbeda dengan hamalah (jaminan). Apa yang telah dialihkan tidak kembali kecuali dengan perjanjian baru untuk mengembalikannya. Kami selalu mengambil hak dari al-muhal ‘alaih, bukan dari al-muhil dalam segala kondisi.