Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[Bab Pengampuan terhadap Orang yang Telah Baligh]

[Bab Perbedaan Pendapat tentang Pengampuan]

Bab Pengampuan terhadap Orang yang Telah Baligh (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Pengampuan terhadap orang yang telah baligh didasarkan pada dua ayat dalam Kitabullah -Azza wa Jalla-, yaitu firman Allah -Tabaraka wa Ta’ala-:

”Maka hendaklah yang berutang itu mengimlakan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun darinya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mengimlakan sendiri, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282).

(Imam Syafi’i berkata): Allah -Azza wa Jalla- hanya menyeru kewajiban-Nya kepada orang yang telah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, dan menjadikan pengakuan sebagai haknya. Dalam Kitabullah terdapat perintah Allah -Ta’ala- agar orang yang berutang mengimlakan sendiri, dan pengimlakan itu adalah pengakuannya. Ini menunjukkan kebolehan pengakuan bagi yang mengakuinya. Dan Allah -Yang Maha Mengetahui- tidak memerintahkan seseorang untuk mengimlakan sebagai pengakuan kecuali yang telah baligh, karena pengakuan orang yang belum baligh, diamnya, atau pengingkarannya adalah sama menurut ahli ilmu sepengetahuanku, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.

Kemudian Allah berfirman tentang orang yang berutang agar dia mengimlakan:

”Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mengimlakan sendiri, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Allah menetapkan perwalian atas orang yang lemah akal, lemah (keadaannya), atau yang tidak mampu mengimlakan sendiri, dan memerintahkan walinya untuk mengimlakan atas namanya karena Allah menempatkan wali tersebut dalam urusan harta yang tidak bisa dia kelola sendiri.

(Imam Syafi’i berkata): Telah dikatakan bahwa “yang tidak mampu mengimlakan” bisa berarti orang yang tidak waras akalnya, dan itu adalah makna yang paling mendekati. Wallahu a’lam.

Ayat lainnya adalah firman Allah -Tabaraka wa Ta’ala-:

”Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika kamu melihat mereka telah memiliki kematangan akal, maka serahkanlah harta mereka kepadanya.” (QS. An-Nisa: 6).

Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan agar harta mereka diserahkan jika mereka telah mencapai baligh dan kematangan akal. Jika Allah memerintahkan penyerahan harta ketika dua syarat terpenuhi, maka ini menunjukkan bahwa jika salah satu syarat tidak terpenuhi, harta tidak diserahkan. Jika tidak diserahkan, berarti mereka masih dalam pengampuan, sebagaimana jika mereka belum baligh meskipun sudah matang akalnya, harta tidak diserahkan. Demikian pula jika mereka telah baligh tetapi belum matang akalnya, harta tidak diserahkan, dan pengampuan tetap berlaku sebagaimana sebelum baligh.

Demikian pula pendapat kami dan mereka dalam setiap perkara yang disyaratkan dua hal atau lebih. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka tidak diterima. Kami berpendapat bahwa syarat Allah ”dari orang-orang yang kamu ridhai sebagai saksi” (QS. Al-Baqarah: 282) adalah dua orang yang adil, merdeka, dan Muslim. Jika dua orang itu merdeka dan Muslim tetapi tidak adil, atau adil tetapi tidak merdeka, atau adil dan merdeka tetapi bukan Muslim, maka kesaksian mereka tidak sah hingga ketiga syarat terpenuhi.

(Imam Syafi’i berkata): Penetapan tentang pengampuan -Wallahu a’lam- sudah cukup jelas tanpa perlu penafsiran lebih lanjut. Qiyas pun menunjukkan pengampuan. Bagaimana pendapatmu jika seseorang yang hampir baligh tetapi akalnya lemah tetap dalam pengampuan, lalu setelah baligh justru lebih lemah akalnya dan lebih merusak hartanya—bukankah dia harus tetap dalam pengampuan? Alasan pengampuan itu tetap ada padanya.

Jika dia menunjukkan kematangan akal sehingga hartanya diserahkan, lalu kemudian diketahui bahwa akalnya tidak matang lagi, maka pengampuan dikembalikan karena dia kembali pada kondisi yang mengharuskan pengampuan, sebagaimana jika seorang saksi awalnya adil lalu berubah, kesaksiannya ditolak. Jika kemudian dia kembali adil, kesaksiannya diterima lagi. Demikian pula jika dia menunjukkan perbaikan setelah sebelumnya merusak, hartanya boleh diberikan kembali. Perempuan dan laki-laki dalam hal ini sama.

Karena nama yatim mengumpulkan mereka dan nama ujian mengumpulkan mereka, dan Allah Ta’ala tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam harta mereka. Jika laki-laki dan perempuan keluar dari status sebagai wali, maka perempuan diperbolehkan atas hartanya sebagaimana laki-laki diperbolehkan atas hartanya, baik dia memiliki suami atau tidak. Kekuasaannya atas hartanya seperti kekuasaan laki-laki atas hartanya, tidak ada perbedaan.

(Imam Syafi’i berkata): Dalam firman Allah Azza wa Jalla, “Dan ujilah anak-anak yatim itu” (QS. An-Nisa: 6), maksudnya adalah ujilah mereka. Laki-laki menguji perempuan sesuai dengan kemampuan. Seorang laki-laki yang sering ke pasar dan bergaul dengan orang lain dalam transaksi sebelum, selama, dan setelah baligh, tidak sulit untuk mengetahui keadaannya berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dapat diketahui bagaimana akalnya dalam menerima dan memberi, serta bagaimana agamanya. Sedangkan laki-laki yang sedikit bergaul, pengujiannya lebih lambat dibandingkan yang telah disebutkan. Jika kerabat dekatnya mengenalinya dalam waktu tertentu—meski lebih lama—dan mereka memandangnya adil, memuji kebijakannya dalam menerima dan memberi, serta bersaksi bahwa dia baik dalam agama dan bijak dalam mengelola hartanya, maka keduanya telah mencapai kedewasaan dalam agama dan kehidupan. Wali mereka diperintahkan untuk menyerahkan harta mereka.

(Imam Syafi’i berkata): Jika perempuan diuji oleh orang-orang adil dari keluarganya atau yang mengetahui kebaikan agamanya serta kebijakannya dalam menerima dan memberi, maka dia berada dalam kondisi seperti dua laki-laki tadi—meski prosesnya lebih lambat karena sedikitnya pergaulannya dengan umum. Perempuan yang sering ke pasar dan tidak menjaga diri lebih cepat diuji dibanding yang menjaga diri, sebagaimana salah satu dari dua laki-laki tadi. Jika perempuan telah mencapai kedewasaan—sebagaimana dijelaskan pada laki-laki—walinya diperintahkan menyerahkan hartanya.

(Imam Syafi’i berkata): Aku melihat sebagian hakim memerintahkan untuk menguji orang yang tidak sepenuhnya dipercaya dengan memberikan sedikit hartanya. Jika dia mengelolanya dengan baik, sisanya diberikan. Jika merusak, kerusakan pada sedikit lebih ringan daripada seluruhnya. Kami melihat ini sebagai cara pengujian yang baik, wallahu a’lam.

Ketika harta diserahkan kepada perempuan atau laki-laki, sama saja—baik perempuan itu perawan, bersuami, atau janda—sebagaimana laki-laki dalam berbagai keadaannya. Dia berkuasa penuh atas hartanya seperti laki-laki, dan diperbolehkan baginya apa yang diperbolehkan baginya, baik dia memiliki suami atau tidak. Tidak ada perbedaan antara mereka dalam hal apa pun yang diperbolehkan atas harta masing-masing. Demikianlah hukum Allah Azza wa Jalla dan petunjuk Sunnah. Jika dia menikah, maharnya adalah hartanya sendiri, yang boleh dia pergunakan sesuka hati seperti harta lainnya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker