
[Bab tentang hibah orang yang bangkrut]
(Bab tentang hibah orang yang bangkrut – Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:) Jika seseorang memberikan hibah kepada orang lain dengan syarat imbalan, dan penerima hibah menerima serta mengambilnya, kemudian dia bangkrut sebelum memberikan imbalan, maka bagi yang membolehkan hibah dengan imbalan, penerima hibah diberi pilihan: memberikan imbalan atau mengembalikan hibah jika masih utuh. Si pemberi hibah juga memiliki hak memilih terkait imbalan. Jika dia memberikan imbalan, nilainya atau kelipatannya harus diberikan.
Nilai hibahnya, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menarik kembali hibahnya dan menjadikannya milik para kreditur. Jika imbalan yang diberikan kurang dari nilainya, namun dia rela, maka kerelaannya diperbolehkan, meskipun para kreditur tidak menyukainya.
(Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika seseorang memberikan hibah, maka hibah tersebut batal karena dia tidak rela memberikannya kecuali dengan imbalan. Karena imbalannya tidak diketahui, hibah itu batal, seperti halnya jika dia menjualnya dengan harga yang tidak diketahui, maka jual belinya batal. Ini adalah kepemilikan dengan imbalan, dan karena imbalannya tidak diketahui, maka lebih mirip dengan jual beli, karena jual beli melibatkan imbalan, dan ini juga melibatkan imbalan. Karena imbalannya tidak diketahui, maka hibah itu batal.
(Syafi’i berkata): Jika hibah telah hilang di tangan penerima hibah, maka imbalan yang diberikan dan disetujui oleh pemberi hibah diperbolehkan. Jika dia tidak rela, maka dia berhak atas nilai hibahnya. Jika seseorang memberikan hibah kepada orang lain dengan harapan mendapatkan imbalan, kemudian pemberi hibah bangkrut sementara hibah masih ada, maka jika dia memilih untuk tetap pada hibahnya atau menerima imbalan, imbalan itu menjadi milik pemberi hibah. Jika dia rela dengan sedikit imbalan meskipun para kreditur tidak menyukainya, itu diperbolehkan. Demikian juga jika dia memilih untuk tidak menerima imbalan dan berkata, “Aku tidak memberikannya untuk imbalan.” Jika dia tidak rela dengan nilainya, maka dia berhak atas hibahnya, baik nilainya berkurang atau bertambah. Ada pendapat lain bahwa dia tidak boleh menarik kembali hibahnya. Jika hibah itu hilang karena kematian, penjualan, atau pembebasan, maka pemberi hibah tidak mendapatkan apa-apa karena dia telah memilikinya tanpa syarat. Jika hibah itu hilang setelah menjadi miliknya, dia tidak mendapatkan apa-apa karena apa yang menjadi haknya telah hilang, dan tidak ada jaminan tertentu baginya, seperti halnya dalam syuf’ah (hak beli preferensial) yang hilang, maka dia tidak mendapatkan apa-apa.
[Bab Jatuh Tempo Utang Orang yang Meninggal dan Utang yang Ditanggung]
(Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang meninggal dan memiliki piutang dengan jatuh tempo tertentu, maka piutang itu tetap pada jatuh temponya dan tidak segera jatuh tempo karena kematiannya. Namun, jika utang orang yang meninggal memiliki jatuh tempo tertentu, maka menurut pendapat yang saya ketahui dari para ulama yang saya temui, utang itu segera jatuh tempo dan dibagikan kepada para kreditur. Jika ada sisa, maka itu menjadi hak ahli waris dan wasiatnya, jika ada. Dia juga berkata: Dan menurut pendapat yang lebih kuat -Wallahu a’lam- argumen dari mereka yang berpendapat demikian, dengan kesepakatan mereka, adalah bahwa karena para kreditur lebih berhak atas harta orang yang meninggal selama hidupnya daripada dirinya sendiri, maka mereka lebih berhak atas hartanya setelah kematiannya daripada ahli warisnya. Jika kita membiarkan utang mereka sampai jatuh tempo seperti saat hidupnya, berarti kita menghalangi orang yang meninggal untuk terbebas dari tanggungannya dan menghalangi ahli waris untuk mengambil kelebihan dari utang kreditur ayahnya. Mungkin juga argumen mereka adalah sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai utangnya dilunasi.”
(Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa’d dari ayahnya, dari Umar bin Abi Salamah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai utangnya dilunasi.”)
(Syafi’i berkata): Karena kafannya diambil dari pokok hartanya, bukan dari hak kreditur, dan jiwanya tergantung pada utangnya, serta harta adalah miliknya, maka lebih tepat jika utangnya segera dilunasi karena jiwanya tergantung pada utangnya. Tidak boleh harta orang yang meninggal hilang begitu saja tanpa diberikan kepada kreditur atau ahli warisnya, karena tidak boleh ahli waris mengambilnya tanpa memenuhi hak kreditur. Jika utangnya ditunda sampai jatuh tempo, maka ruhnya akan tetap tergantung pada utangnya, dan hartanya berisiko hilang sehingga tidak bisa melunasi tanggungannya, juga tidak menjadi hak ahli warisnya. Maka, tidak ada solusi yang lebih baik daripada segera melunasi utangnya, kemudian memberikan sisanya kepada ahli waris.
[Bab Utang Orang yang Bangkrut yang Jatuh Tempo dan yang Belum]
(Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang bangkrut dan memiliki utang dengan jatuh tempo tertentu, banyak ulama yang berpendapat bahwa utang-utang tersebut segera jatuh tempo, seperti halnya utang orang yang meninggal. Pendapat ini didasarkan pada analogi bahwa hartanya dihentikan seperti harta orang yang meninggal, dan dia dicegah untuk melunasi utang sesuai keinginannya. Ini juga mencakup bahwa jika mereka memberlakukan hukum seperti orang yang meninggal padanya…
Hendaknya mereka masuk dari orang yang mengakui sesuatu bersama para krediturnya, dan demikian pula mereka mengeluarkan dari tangannya apa yang dia akui untuk seseorang sebagaimana yang mereka lakukan terhadap orang sakit yang mengakui kemudian meninggal. Dan mungkin saja dijual kepada orang yang hutangnya telah jatuh tempo, sedangkan mereka yang hutangnya belum jatuh tempo ditunda; karena dia tidak mati, sebab dia masih bisa memiliki, sedangkan orang mati tidak bisa memiliki. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.
Dia berkata: Dan apa yang menjadi hak orang yang meninggal berupa hutang dari orang lain, maka itu sampai pada waktu jatuh temponya. Hartanya tidak menjadi halal karena kematiannya atau karena kepailitannya.