Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[Bab Tentang Pertukaran (Sharaf)]

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Tidak diperbolehkan menukar emas dengan emas, perak dengan perak, atau sesuatu yang termasuk makanan dan minuman dengan sesuatu yang sejenis, kecuali dengan takaran yang sama, serah terima langsung (tunai). Jika barang tersebut ditimbang, maka harus timbang dengan timbang. Jika ditakar, maka takar dengan takar. Tidak boleh menjual sesuatu yang asalnya ditimbang dengan sesuatu yang sejenisnya secara takaran, atau sesuatu yang asalnya ditakar dengan sesuatu yang sejenisnya secara timbangan.

Tidak boleh menjual emas dengan emas secara takaran, karena keduanya bisa memenuhi satu takaran tetapi berbeda beratnya, atau tidak diketahui berapa berat masing-masing. Begitu pula kurma dengan kurma secara timbangan, karena keduanya bisa berbeda meskipun beratnya sama dalam takaran, sehingga menjadi tidak jelas takarannya.

Tidak ada kebaikan jika kedua pihak yang bertransaksi berpisah dari tempat transaksi sebelum saling menerima barang, dan tidak ada hak yang tersisa bagi salah satu pihak atas yang lain. Jika masih ada hak yang tersisa, maka transaksinya batal. Baik pembeli membeli untuk dirinya sendiri atau sebagai wakil orang lain, baik ia meninggalkan (haknya) karena lupa atau sengaja, transaksi tetap batal.

Jika jenis barang berbeda, seperti emas dengan perak, kurma dengan kismis, atau gandum dengan jelai, maka diperbolehkan adanya kelebihan pada salah satunya, asalkan serah terima langsung dan tidak berpisah sebelum saling menerima. Jika mereka berpisah sebelum menerima seluruh barang yang dibeli, maka seluruh transaksi batal. Tidak masalah jika mereka berlama-lama di tempat transaksi atau pergi bersama ke tempat lain untuk menyelesaikan pembayaran, karena mereka belum berpisah. Yang dimaksud berpisah adalah berpisah secara fisik, dan yang membatalkan transaksi adalah berpisah sebelum saling menerima.

Setiap makanan dan minuman yang sejenis diqiyaskan seperti ini. Jika jenisnya berbeda, maka boleh menjual salah satunya dengan yang lain secara borongan (tanpa takaran/timbangan), karena asal jual beli itu halal jika dilakukan secara borongan, dan kelebihan diperbolehkan jika jenisnya berbeda. Tidak ada makna lain dalam borongan selain ketidaktahuan mana yang lebih banyak. Jika seseorang sengaja tidak peduli mana yang lebih banyak, maka tidak masalah melakukan transaksi borongan.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh membeli emas yang bercampur atau disertai barang lain dengan emas, baik campurannya sedikit maupun banyak, karena prinsip yang kami pegang adalah bahwa emas dengan emas yang tidak jelas atau ada kelebihan adalah haram dari kedua sisi. Begitu pula perak dengan perak. Jika jenisnya berbeda, maka boleh membeli salah satunya dengan yang lain meskipun disertai barang lain.

Tidak masalah membeli perak yang dirangkai dengan manik-manik menggunakan emas, karena yang terjadi hanyalah kelebihan antara emas dan perak, dan itu diperbolehkan. Begitu pula membeli perak yang dirangkai dengan batu mulia menggunakan emas, karena kelebihan antara emas dan perak diperbolehkan. Setiap barang yang dijual dinilai sesuai bagiannya dari harga.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar satu dinar dengan dua puluh dirham, lalu ia menerima sembilan belas dirham dan tidak menemukan satu dirham lagi, maka tidak boleh berpisah sebelum menerima satu dirham tersebut. Namun, tidak masalah jika ia mengambil sembilan belas dirham sesuai nilai bagiannya dari dinar dan mengurangi nilai satu dirham yang belum diterima. Kemudian, jika ia mau, ia bisa membeli barang lain dengan sisa nilai dinar tersebut, asalkan saling menerima sebelum berpisah. Tidak masalah juga jika sisa nilai dinar itu ditahan sampai ia mengambilnya kapan pun ia mau.

(Ar-Rabi’ berkata): Abu Ya’qub Al-Buwaithi berkata: “Tidak masalah menerima dinar secara tunai.”

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar satu dinar dengan sepuluh dirham, atau beberapa dinar dengan beberapa dirham, lalu ditemukan satu dirham palsu, maka:

– Jika kepalsuannya karena cacat cetakan atau buruknya kualitas perak, pembeli boleh menerimanya atau mengembalikannya. Jika dikembalikan, maka seluruh transaksi batal karena itu satu transaksi. Jika disyaratkan boleh mengembalikan, maka transaksi sah dan syarat itu berlaku, baik disebutkan atau tidak. Jika disyaratkan tidak boleh mengembalikan, maka transaksi batal karena syarat tersebut.

– Jika kepalsuannya karena terbuat dari tembaga atau selain perak, maka pembeli tidak boleh menerimanya.

Sebelumnya, jika pembeli mengubah apa yang dibelinya, maka jual beli tersebut batal di antara mereka. Tidak mengapa seseorang menukar dirham dengan penukar uang, dan setelah menerimanya serta berpisah, ia menyimpannya. Jika seseorang menukar sesuatu, ia tidak boleh berpisah dari penukar sebelum menerimanya, dan tidak boleh mewakilkannya kepada orang lain kecuali jika jual beli dibatalkan, kemudian ia mewakilkan orang lain untuk menukarkannya. Tidak mengapa jika setelah penukaran dan serah terima, mereka pergi untuk menimbang dirham tersebut. Demikian pula, tidak mengapa jika ia pergi sendiri untuk menimbangnya.

Jika seseorang menggadaikan dinar kepada orang lain dengan dirham, kemudian menjual dinar tersebut dengan dirham dan menerimanya, tidak mengapa ia menerimanya setelah penukar menerimanya. Jika seseorang memiliki dinar titipan pada orang lain, lalu menukarkannya, dan orang yang memegang dinar tidak mengakui bahwa ia telah menghabiskannya sehingga ia menjadi penanggung, atau bahwa dinar tersebut masih ada di tangannya saat penukaran, maka penukaran tersebut tidak baik karena tidak dijamin atau tidak tersedia. Ada kemungkinan dinar tersebut telah hilang saat itu, sehingga penukaran menjadi batal.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan barang kepada orang lain, lalu mereka sepakat untuk membatalkan gadai tersebut dan menggantinya dengan barang lain, tidak mengapa selama gadai tersebut berupa dinar dan diganti dengan dirham, atau budak diganti dengan budak lain. Tidak ada unsur jual beli dalam hal ini, sehingga tidak berlaku hal-hal yang dibenci dalam jual beli. Kami tidak menyukai transaksi dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari riba, hasil haram, atau perolehan harta melalui perampasan dan segala yang haram. Namun, jika seseorang bertransaksi dengan orang seperti itu, kami tidak membatalkan transaksi tersebut karena mereka mungkin memiliki harta halal. Kami tidak mengharamkan sesuatu yang jelas haram kecuali jika seseorang membeli barang haram yang ia ketahui, atau dengan harga haram yang ia ketahui. Hal ini berlaku sama bagi Muslim, dzimmi, dan harbi, karena segala yang haram tetap haram.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh menjual emas dengan emas jika salah satunya mengandung unsur selain emas. Namun, tidak mengapa menjual emas dan pakaian dengan dirham.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang sepakat untuk menukar uang, tidak mengapa jika mereka membeli perak, lalu menyimpannya pada salah satu pihak hingga mereka menjualnya atau melakukan apa pun yang mereka inginkan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika salah satu dari mereka membeli perak, lalu mengajak orang lain sebagai mitra, dan mitra tersebut menerimanya, kemudian menyimpannya setelah penerimaan, tidak mengapa. Namun, jika ia berkata, “Aku mengajakmu sebagai mitra selama perak itu masih di tanganku hingga kita menjualnya,” maka hal itu tidak diperbolehkan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual pakaian kepada orang lain dengan harga setengah dinar, lalu menjual pakaian lain dengan harga setengah dinar secara tunai atau dengan tempo yang sama, maka ia berhak menerima satu dinar. Jika dalam akad jual beli terakhir disyaratkan bahwa ia berhak menerima satu dinar, syarat tersebut sah. Jika ia berkata, “Satu dinar tidak boleh diberikan dalam dua bagian, tetapi harus diberikan sekaligus,” maka jual beli pertama sah, sedangkan jual beli kedua tidak sah. Jika syarat ini tidak disebutkan, lalu ia memberikan satu dinar penuh, jual beli tersebut sah.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang memiliki emas yang telah dibentuk, lalu mereka sepakat bahwa salah satu membeli bagian yang lain dengan berat yang sama atau emas seberat itu, dan mereka saling menerima sebelum berpisah, tidak mengapa. Jika seseorang menukar uang dengan orang lain, tidak mengapa ia menerima sebagian dan memberikan sebagian yang telah diterimanya kepada orang lain, atau memerintahkan penukar untuk memberikan sisanya kepada orang lain, selama mereka belum berpisah dari tempat mereka hingga semua transaksi selesai. Bagaimana jika ia menukar satu dinar dengan dua puluh dirham, menerima sepuluh dirham, lalu menerima sepuluh dirham lagi sebelum berpisah? Hal ini tidak mengapa.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli perak dari orang lain dengan harga lima setengah dinar, lalu memberikan enam dinar dan berkata, “Lima setengah untuk yang ada padaku, dan setengahnya sebagai titipan,” tidak mengapa.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menukar atau menjual sesuatu, lalu wakil tersebut menjualnya kepada dirinya sendiri dengan harga lebih tinggi, sama, atau lebih rendah, hal itu tidak sah. Karena logikanya, jika seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual, ia tidak mewakilkannya untuk menjual kepada dirinya sendiri. Seperti jika ia berkata, “Jual ini kepada si fulan,” lalu wakil menjualnya kepada orang lain, jual beli tersebut tidak sah karena ia hanya mewakilkan kepada si fulan, bukan orang lain.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar satu dinar dengan sepuluh dirham, lalu penukar menimbang sepuluh setengah dirham, tidak mengapa jika ia memberikan setengah dirham dengan setengah perak, selama penjualan ini terpisah dari syarat pertama. Demikian pula, jika ia menjual pakaian dengan harga setengah dinar, lalu pembeli memberikan satu dinar, dan penjual pakaian memberikan setengah dinar emas, tidak mengapa karena ini adalah transaksi baru, bukan transaksi pertama. Namun, jika akad jual beli dilakukan untuk pakaian dan setengah dinar dengan satu dinar, akad tersebut batal karena satu dinar dibagi untuk setengah dinar dan pakaian.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar dirham dengan dinar, lalu dirham tersebut tidak mencukupi…

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia tanpa penjelasan:

Dirham-dirham itu dipinjamkan, lalu dia melunasi seluruh pembayarannya, maka tidak mengapa.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa menjual emas dengan perak secara kasar, baik yang sudah dicetak maupun belum, karena yang terpenting adalah salah satunya lebih banyak dari yang lain, dan ini tidak masalah. Juga tidak mengapa membeli dirham dari penukar uang dengan emas yang ditimbang, lalu menjual dirham tersebut kepadanya atau kepada orang lain dengan emas yang ditimbang atau kurang, karena setiap transaksi adalah terpisah. Ar-Rabi’ berkata: Jangan berpisah sebelum transaksi pertama selesai.

(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah SAW melarang emas dengan emas, dan yang dilarang hanyalah pertukaran dengan takaran dan timbangan yang sama, serta harus tunai. Untuk bahan pokok sejenis dengan emas, takaran harus sama. Tidak baik mengambil sesuatu dengan timbangan yang lebih sedikit, baik dalam bentuk jual beli yang dikenal atau tidak. Yang dikenal tidak serta-merta menghalalkan atau mengharamkan jual beli. Jika seseorang memberi hadiah satu dinar, dan yang lain membalas dengan dinar yang lebih berat atau ringan, tidak mengapa.

(Imam Syafi’i berkata): Untuk pinjaman, jika seseorang meminjamkan sesuatu lalu mengambil kurang dari yang dipinjamkan, tidak mengapa karena itu termasuk pemberian sukarela. Begitu juga jika hakim memberi lebih dari berat emasnya, tidak mengapa karena ini bukan termasuk jual beli. Jika ada pinjaman emas, lalu membeli perak dan saling menerima sebelum berpisah, semua ini boleh selama tunai. Jika ada emas yang dibayar kemudian, lalu datang dengan lebih banyak, tidak mengapa, baik itu kebiasaan atau tidak. Jika seseorang memiliki hutang dirham kepada orang lain, dan orang itu memiliki hutang dinar kepadanya, baik sudah jatuh tempo atau belum, lalu mereka menukarkannya, itu tidak boleh karena itu hutang dengan hutang. Malik berkata: Jika sudah jatuh tempo, boleh; jika belum, tidak boleh.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki hutang emas tunai kepada orang lain, lalu diberi perak tanpa transaksi jual beli tertentu, itu bukan jual beli, dan emas tetap menjadi hutang. Jika diberi perak untuk satu atau dua dinar dan saling menerima, tidak mengapa. Jika seseorang menyewa rumah dengan emas, lalu penyewa memberi sebagian haknya dalam bentuk emas, tidak mengapa. Tapi jika memberi perak padahal emas belum jatuh tempo, tidak baik. Jika seseorang menunda pembayaran dinar ke tempo tertentu, tidak mengapa, dan dia bisa mengambilnya kapan saja. Jika meminjamkan fulus atau dirham, lalu pemerintah membatalkannya, dia hanya berhak mendapatkan fulus atau dirham yang dipinjamkan.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa meminjamkan fulus untuk tempo tertentu karena tidak termasuk riba. Jika meminjamkan dirham dengan syarat setara satu dinar atau setengah dinar, dia hanya berhak mendapatkan dirhamnya, bukan dinar. Jika meminjamkan setengah dinar lalu diberi satu dinar, dan berkata, “Ambil setengah untukmu dan jual sisanya dengan dirham,” maka dia berhak atas setengah dinar emas. Jika dia berkata, “Jual dengan dirham, lalu ambil setengah untukmu dan kembalikan setengahnya,” maka itu menjadi hutang dirham, bukan setengah dinar.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual baju dengan syarat 20 dirham setara satu dinar, jual beli itu rusak karena nilai tukar 20 dirham tidak diketahui.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki hutang dinar atau dirham yang diangsur, lalu ingin melunasinya sekaligus, itu boleh. Jika seseorang memiliki hutang, lalu diberi sesuatu untuk dijual selain emas, dan menerima emas senilai itu, tidak ada masalah kecuali jika dikatakan, “Aku tidak akan melunasi kecuali kamu menjual untukku.” Ini tidak disukai sebagai kehati-hatian bagi hakim. Jika seseorang memiliki hutang satu dinar, lalu diberi dirham yang terkumpul tanpa penukaran sampai cukup untuk satu dinar, lalu ingin menukarkannya, tidak baik karena ini hutang dengan hutang. Jika dirham diberikan langsung lalu dijual, tidak mengapa. Tidak mengapa menggunakan dirham selama tidak diberikan sebagai pembayaran dinar, melainkan sebagai pinjaman. Jika perak dipadukan dengan benda lain seperti cincin, pedang, atau pisau, tidak boleh dibeli dengan perak karena nilainya tidak diketahui. Emas juga demikian. Jika perak ada pada pedang, boleh dibeli dengan emas. Jika ada emas, boleh dibeli dengan perak. Jika ada emas dan perak, tidak boleh dibeli dengan keduanya, tapi dengan barang lain.

(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa tidak boleh membeli benda yang mengandung perak seperti pedang dengan emas atau perak, karena dalam transaksi ini ada penukaran dan jual beli yang tidak jelas porsinya.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik membeli tanah tambang karena mengandung perak yang tidak diketahui jumlahnya. Tidak boleh membeli hasil tambang yang baru keluar satu atau dua hari. Jika seseorang meminjamkan 1000 dirham dengan syarat menukarnya dengan 100 dinar, transaksi itu rusak, dan 100 dinar harus dikembalikan.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminta orang lain melunasi satu dinar atau setengah dinar, lalu pemilik hutang menerima pakaian, makanan, atau dirham sebagai gantinya, hakim boleh mengambil yang lebih rendah antara satu dinar atau nilai yang dibayarkan. Tidak baik membeli perhiasan dari ahli waris dengan cara mengompensasi hutang almarhum.

(Abu Ya’qub berkata): Menurutku, maksudnya ahli waris tidak boleh menjual dan mengompensasi saat transaksi, lalu mengompensasi setelahnya, karena itu termasuk jual beli dengan tempo. Ini pendapat Abu Muhammad.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang meminta orang lain membeli perak untuk diajak kerjasama dan dibayarkan tunai, tidak baik, baik dengan maksud baik atau tidak.

(Imam Syafi’i berkata): Kerjasama dan penjualan ulang adalah bentuk jual beli yang halal selama memenuhi syarat jual beli. Jika seseorang menjual perhiasan atau mengajak kerjasama setelah menerima dan menimbang, dan tidak berpisah sebelum saling menerima, itu boleh. Jika berpisah sebelum saling menerima, transaksi rusak. Jika seseorang memiliki hutang dinar, lalu diberi lebih, kelebihan itu milik pemberi kecuali dihibahkan. Tidak mengapa menunda pembayaran selama bisa diambil kapan saja. Jika diberi kurang, sisanya tetap hutang. Tidak mengapa menundanya atau membayar dengan barang lain yang halal.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli makanan atau barang lain dengan satu dinar, lalu dinar itu kurang berat, penjual tidak wajib menerimanya kecuali jika cukup. Jika transaksi dibatalkan dan dijual setelah diketahui beratnya, tidak mengapa. Jika ingin memaksa transaksi dengan mengurangi nilai, itu tidak boleh bagi penjual atau pembeli.

(Imam Syafi’i berkata): Pelunasan bukan jual beli. Jika seseorang memiliki hutang emas, lalu diberi sebagian sebagai sukarela, tidak mengapa. Begitu juga jika pemilik hutang menerima kurang, ini tidak boleh dalam jual beli. Jika seseorang membeli baju dengan setengah dinar, lalu memberi satu dinar dan berkata, “Ambil setengah untukmu dan hutangkan setengahnya,” tidak mengapa. Jika memiliki hutang setengah dinar, lalu diberi satu dinar, melunasi setengah dan menunda setengahnya dengan barang tertentu sebelum berpisah, tidak mengapa.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli baju dengan satu dinar tempo satu bulan, dengan syarat jika dinar jatuh tempo ditukar dengan dirham tertentu untuk dua bulan, tidak baik dan haram karena tiga alasan: dua transaksi dalam satu, dua syarat dalam satu, dan emas dengan dirham tempo. Jika seseorang menukar emas dengan tambahan satu mitsqal, tidak mengapa membeli mitsqal itu dengan barang lain tunai atau tempo, asalkan jelas. Tidak mengapa membelinya dengan dirham tunai jika diterima sebelum berpisah. Jika salah satu emas lebih berat, tidak mengapa pemilik kelebihan memberikannya kepada yang lain, karena ini bukan transaksi pertama. Jika salah satu emas kurang, dan pemilik kelebihan memberikannya, tidak mengapa. Jika dalam satu transaksi ada dua barang berbeda nilai, seperti kurma Barhi dan Ajwa dijual bersama dengan takaran tertentu, itu tidak boleh karena nilai tidak seimbang.

Tidak mengapa menukar dinar Hashemiyah lengkap dengan yang kurang asalkan timbangan sama. Jika memiliki kelebihan berat atau kualitas, tidak mengapa selama timbangannya sama. Emas dengan emas harus sama timbangan dan tunai. Batas tunai adalah sebelum berpisah. Jika berpisah sebelum saling menerima, transaksi rusak. Penimbangan dilakukan dengan meletakkan emas di kedua sisi timbangan. Jika seimbang, transaksi sah. Jika menggunakan alat timbang lain dan seimbang, tidak masalah. Jika berbeda jelas, tidak sah.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli emas dengan emas, tidak mengapa menjual sebagian atau seluruhnya dengan dirham atau barang lain. Jika seseorang menjual barang dengan 100 dinar, dia berhak mendapatkan 100 dinar utuh, tidak lebih atau kurang kecuali disepakati. Jika seseorang melunasi 100 dinar dengan kualitas lebih rendah tetapi lebih banyak jumlah atau beratnya, tidak mengapa jika sukarela. Jika ada syarat saat transaksi atau pelunasan, tidak baik karena ini emas dengan emas lebih banyak.

Tidak mengapa menjual baju dengan satu dinar dikurangi sebagian emas yang diketahui, seperti seperempat atau sepertiga. Tidak baik menjual baju dengan satu dinar dikurangi satu dirham atau satu mud gandum, karena harganya tidak jelas. Tidak mengapa menjual baju dan dirham yang dilihat, atau baju dan satu mud kurma yang dilihat, dengan satu dinar.

(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa jika menjual baju dan emas yang dilihat, tidak boleh karena ada penukaran dan jual beli yang tidak jelas porsinya. Tapi jika menjual baju dan satu mud kurma dengan satu dinar yang dilihat, boleh karena ini murni jual beli.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik menyerahkan satu dinar dikurangi satu dirham, tapi boleh menyerahkan satu dinar dikurangi sekian.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli sesuatu dengan pecahan dirham, lalu mengambil perak atau barang lain senilai pecahan itu, tidak mengapa. Begitu juga jika membeli barang dengan setengah dinar, lalu memberi satu dinar dan mengambil sisa senilai setengah dinar dalam emas atau barang lain, tidak mengapa. Ini berlaku di semua negara. Tidak boleh sesuatu yang diharamkan di satu negara dihalalkan di negara lain. Tidak baik menukar perak dengan perhiasan perak dan memberi upah, karena ini perak dengan perak lebih banyak. Tidak baik memberi batu mulia kepada tukang emas untuk dibuat cincin dengan upah. Ini juga pendapat Malik.

(Imam Syafi’i berkata): Tidak baik seseorang memberi 100 dinar di Madinah dengan syarat diberi yang sama di Mekah untuk tempo tertentu atau tidak, karena ini bukan pinjaman atau jual beli. Pinjaman adalah sesuatu yang bisa diambil dan harus diterima di mana saja. Jual beli emas harus saling menerima di tempat sebelum berpisah. Jika ingin transaksi sah, pinjamkan emas. Jika menulis untuk dikirim ke suatu tempat dan diterima, tidak mengapa. Siapa pun yang ingin… (terjemahan berlanjut sesuai teks asli).

Mengambilnya dari pihak yang dibayar, pihak yang dibayar tidak boleh menolak, baik itu memiliki manfaat baginya atau tidak. Siapa yang memberikan pinjaman (salaf) lalu melunasinya dengan yang lebih baik dalam jumlah dan timbangan, maka itu tidak mengapa selama tidak disyaratkan dalam akad salaf. Jika seseorang menuntut harta kepada orang lain dan mendatangkan saksi, sementara pihak yang berutang mengingkari, lalu si berutang meminta agar diakui utangnya hingga satu tahun, jika ia berkata, “Aku tidak akan mengakuinya kecuali dengan penundaan,” maka hal itu dibenci baginya, kecuali jika diketahui bahwa harta itu memang menjadi haknya. Dalam hal ini, aku tidak membencinya bagi pemilik harta, tetapi aku membencinya bagi pihak yang berutang.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker