Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[Bab tentang Barang yang Selalu Basah]

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Jenis makanan atau minuman yang selalu basah jika disimpan (seperti minyak, mentega, lemak, susu, cuka, dll.) tidak termasuk dalam kategori barang yang bisa kering. Kecuali jika didinginkan hingga membeku atau diolah dengan panas hingga berubah sifat.

Perbedaan antara barang yang bisa kering (seperti kurma) dengan yang selalu basah:

Kelembaban kurma berasal dari sari makanan saat masih di pohon, sehingga jika dipisahkan dari sumbernya, ia akan kering. Sedangkan minyak atau susu tidak berkurang jika dipisahkan dari sumbernya dan tidak akan kering kecuali diolah.
Barang yang selalu basah tidak akan kering sendiri kecuali diubah dengan campuran atau pemanasan.

Oleh karena itu, hukumnya berbeda. Contoh:

– Susu segar boleh ditukar dengan susu asam, asalkan sama jenisnya (susu kambing dengan susu kambing, tidak boleh susu sapi dengan susu kambing), takaran dengan takaran, tunai.

– Tidak boleh menukar susu dengan keju kering (aqith) karena keju adalah susu yang diolah, sehingga pertukaran menjadi tidak jelas.

– Tidak boleh menukar mentega dengan minyak dari jenis yang sama, tetapi boleh jika jenisnya berbeda (seperti minyak zaitun dengan minyak lobak).

Barang yang tidak boleh dijual kecuali sama takaran/timbangan dan tunai juga tidak boleh dibagi dengan cara perkiraan (seperti membagi buah di pohon). Harus ditakar atau ditimbang. Kebutuhan mendesak tidak membolehkan yang haram, kecuali dalam keadaan darurat (seperti menyelamatkan nyawa).

Allah Yang Maha Tahu.

[Catatan: Terjemahan ini disesuaikan dengan gaya bahasa formal dan struktur hukum fikih dalam Bahasa Indonesia.]

(Diceritakan kepada kami) Ibnu ‘Uyainah dari Ibnu Syihab dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan dari Umar bin Al-Khaththab dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – seperti makna hadits Malik dan beliau bersabda: “Hingga datang kepadaku penjaga harta dari hutan,” maka aku menghafalnya tanpa keraguan.

(Asy-Syafi’i berkata): Diceritakan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Abu Sa’id Al-Khudri: bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan sebagian lainnya. Janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan sebagian lainnya. Janganlah kalian menjual yang tidak ada dengan yang ada.”

(Asy-Syafi’i berkata): Hadits Umar bin Al-Khaththab dan Abu Sa’id Al-Khudri dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menunjukkan beberapa makna, di antaranya pengharaman menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, serah terima langsung, dan tidak boleh menjual yang tidak ada dengan yang ada. Hadits Umar menambahkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa apa yang diharamkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berupa makanan yang ditakar sama seperti pengharaman pada emas dan perak, tidak berbeda. Dan ‘Ubadah telah menyebutkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – makna yang serupa, bahkan lebih banyak dan lebih jelas.

(Asy-Syafi’i berkata): Kami mengharamkan selain yang disebutkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dari makanan dan yang ditakar karena ia termasuk dalam makna yang disebutkan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Demikian pula kami mengharamkan makanan yang ditimbang karena takaran sepadan dengan timbangan, sebab ia adalah jual beli yang diketahui oleh penjual dan pembeli, dengan ukuran yang diketahui melalui takaran atau lebih, karena timbangan lebih mendekati kepastian daripada takaran. Maka tidak ditemukan makna yang lebih dekat pada kepastian selain takaran dan timbangan, sehingga keduanya disepakati bahwa tujuannya adalah agar diketahui dan bahwa keduanya adalah makanan. Maka timbangan diqiyaskan kepada takaran dalam maknanya, dan makanan yang ditakar namun tidak disebutkan namanya diqiyaskan kepada makna makanan yang telah disebutkan.

(Asy-Syafi’i berkata): Tidak boleh mengqiyaskan timbangan pada makanan dengan timbangan pada emas, karena emas bukanlah makanan. Demikian pula perak, seandainya kami mengqiyaskannya dan meninggalkan makanan yang ditakar, berarti kami mengqiyaskan kepada yang lebih jauh dari yang seharusnya dijadikan qiyas. Dan menurut para ulama, tidak boleh mengqiyaskan kepada yang lebih jauh sementara yang lebih dekat ditinggalkan. Kami pun berkewajiban untuk tidak membayar dinar dengan makanan yang ditimbang atau lainnya, sebagaimana tidak boleh membayar dinar dengan perak yang ditimbang. Dan aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan muslimin bahwa dinar dan dirham boleh dibayarkan untuk segala sesuatu, kecuali satu sama lain—tidak boleh emas dengan emas, tidak pula perak dengan perak, kecuali fulus (uang tembaga), karena sebagian ulama memakruhkannya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker