Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[Pengakuan Orang yang Tidak Sadar]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Siapa pun yang terkena penyakit apa pun, sehingga akalnya terganggu, lalu dia mengaku dalam keadaan tidak sadar, maka pengakuannya dalam segala hal gugur. Karena tidak ada kewajiban atasnya dalam keadaan tersebut. Baik penyakit itu disebabkan oleh sesuatu yang dia makan atau minum untuk pengobatan sehingga menghilangkan akalnya, atau karena sebab yang tidak diketahui.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang minum khamr atau anggur yang memabukkan hingga mabuk, maka pengakuan dan perbuatannya terkait hak Allah atau manusia tetap berlaku. Karena dia termasuk orang yang terkena kewajiban, dan ada hal yang haram dan halal baginya. Dia berdosa karena mengonsumsi yang haram, dan perbuatannya tidak gugur. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah memberikan hukuman cambuk karena minum khamr.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang dipaksa minum khamr hingga hilang akalnya, lalu dia mengaku, pengakuannya tidak sah karena dia tidak berdosa dalam hal itu.

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia mengaku dalam keadaan sehat bahwa dia melakukan sesuatu saat tidak sadar, maka tidak ada hukuman had baginya, baik hak Allah maupun manusia. Misalnya, jika dia mengaku memotong kaki, membunuh, mencuri, menuduh zina, atau berzina, maka tidak ada qishash, potong tangan, atau hukuman zina. Namun, wali korban pembunuhan atau luka boleh mengambil diyat dari hartanya jika mau. Demikian pula, korban pencurian boleh mengambil nilai barang curian. Sedangkan korban tuduhan zina tidak mendapat apa-apa karena tidak ada diyat untuk qadzaf (tuduhan zina). Hal yang sama berlaku untuk orang balig yang mengaku melakukan hal ini saat kecil. Tidakkah kamu lihat bahwa jika dia mengaku dalam keadaan tidak sadar atau saat kecil, lalu aku membatalkannya, tetapi kemudian ada bukti yang sah, maka aku mengambil dari hartanya, bukan dari tubuhnya? Pengakuannya setelah balig lebih kuat daripada bukti yang ada.

Jika dia mengaku setelah merdeka bahwa dia melakukan salah satu dari ini saat masih menjadi budak yang balig, maka aku memberinya hukuman budak dalam semua hal. Jika itu tuduhan zina, aku memberinya 40 cambuk; jika zina, 50 cambuk dan aku asingkan selama setengah tahun jika belum pernah dihukum sebelumnya.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Pengakuan dan Qishash

Jika seseorang mengaku memotong tangan atau kaki orang merdeka dengan sengaja, maka qishash diambil darinya, kecuali jika korban memilih untuk mengambil diyat (uang tebusan). Demikian pula jika ia membunuh. Jika ia mengaku melakukan hal itu terhadap budak, maka qishash juga diambil darinya, karena jika seorang budak melakukan kejahatan terhadap budak lain lalu dimerdekakan, ia tetap wajib qishash. Namun, ia berbeda dengan orang merdeka dalam hal pengakuan harta—jika ia dimerdekakan, pengakuannya tentang harta tetap mengikatnya, karena pengakuannya seperti pengakuan seseorang atas kesalahan tidak sengaja, sehingga menjadi tanggungan hartanya sendiri, bukan tanggungan keluarganya (aqilah). Jika ada bukti atas kejahatan tidak sengaja saat ia masih budak, maka tuannya wajib membayar nilai budak tersebut atau nilai kerusakan, mana yang lebih rendah, karena status kemerdekaannya menghalangi penjualannya.

Pengakuan Anak Kecil

(Imam Syafi’i berkata): Pengakuan anak kecil terkait hudud Allah, hak manusia, atau hak harta tidak sah, baik ia diizinkan berdagang oleh ayah, wali, atau hakim. Hakim pun tidak boleh mengizinkannya berdagang. Jika hal itu terjadi, pengakuannya batal, begitu pula jual belinya. Jika pengakuannya sah karena diizinkan berdagang, maka harusnya pengakuan lain seperti menceraikan istri, menuduh zina, atau melukai juga sah karena dilakukan atas perintah ayahnya. Namun, perintah ayah dalam berdagang bukanlah izin khusus untuk pengakuan, sehingga tidak ada yang mengikatnya seperti orang dewasa.

Paksaan dan Maknanya

(Imam Syafi’i berkata): Allah berfirman, ”Kecuali orang yang dipaksa namun hatinya tetap tenang dalam iman.” (QS. An-Nahl: 106).

Kekafiran memiliki konsekuensi seperti perceraian, hukuman mati, dan perampasan harta. Namun, Allah menggugurkan hukum paksaan dalam semua bentuk, karena jika yang terberat (kekafiran) dihapus, maka yang lebih ringan juga gugur.

Paksaan terjadi ketika seseorang berada di bawah kekuasaan orang yang tidak bisa ia lawan, seperti penguasa, perampok, atau penindas, dan ia benar-benar takut akan siksaan fisik atau kematian jika menolak perintah.

Jika ia dalam kondisi demikian, maka gugurlah hukum atas apa yang dipaksakan, baik dalam jual beli, pengakuan hak, hudud, pernikahan, pembebasan budak, atau talak. Namun, jika ia tidak benar-benar merasa terancam, maka pengakuannya tetap mengikat.

Jika seseorang dipenjara atau diancam lalu ia mengaku karena takut, tetapi kemudian dibebaskan dan mengaku lagi tanpa paksaan, maka pengakuan itu sah. Demikian pula jika ia disiksa lalu dibebaskan dan mengaku tanpa tekanan.

Jika ia dipenjara dan mengira penahanan hanya sebentar atau tidak separah yang dikhawatirkan, maka hukum paksaan tetap gugur karena ketidakpastian akan keselamatannya. Namun, jika setelah dibebaskan ia mengaku, maka pengakuannya sah.

Penyebab, maka ia menimbulkan sesuatu yang mengikatnya. Jika ada hal baru yang muncul baginya, itu tetap setelah penyebab pemukulan, dan pengakuannya gugur.

Dia berkata: Jika seseorang mengatakan kepada orang lain, “Aku mengakui padamu tentang ini, tapi aku dipaksa,” maka perkataannya diterima disertai sumpahnya. Sedangkan pihak yang diakui harus mendatangkan bukti bahwa pengakuan itu diberikan tanpa paksaan.

(Ar-Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa siapa pun yang mengakui sesuatu, maka itu mengikatnya kecuali jika diketahui bahwa ia dipaksa.

(Asy-Syafi’i berkata): Perkataannya diterima jika ia sedang dipenjara, meskipun ada saksi yang menyatakan bahwa ia tidak dipaksa. Jika dua saksi bersaksi bahwa si Fulan mengakui kepada si Fulan saat dipenjara atau di hadapan penguasa tentang sesuatu, lalu yang disangkakan berkata, “Aku mengaku karena tekanan penjara atau paksaan penguasa,” maka perkataannya diterima disertai sumpahnya, kecuali ada bukti bahwa ia mengaku di hadapan penguasa tanpa paksaan. Tidak perlu dikhawatirkan ketika mereka bersaksi bahwa ia mengaku tanpa paksaan atau tidak dipenjara karena hal yang diakuinya. Ini adalah ketentuan yang tercantum secara teks dalam kitab Al-Ikrah. Ar-Rabi’ ditanya tentang kitab Al-Ikrah, ia menjawab, “Aku tidak mengetahuinya.”

[Kumpulan Pengakuan]

(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Menurutku, tidak boleh memaksa seseorang untuk mengakui kecuali maknanya jelas. Jika pengakuannya mengandung dua makna, aku mengikatnya dengan yang paling ringan dan menjadikan perkataannya sebagai pegangan. Aku hanya mengikatnya dengan makna lahir yang jelas dari pengakuannya, meskipun hati cenderung pada makna lain. Demikian pula, aku tidak memperhatikan alasan pengakuan jika ucapannya memiliki makna lahir yang bisa berbeda dari alasannya, karena seseorang mungkin menjawab berlawanan dengan alasan pembicaraannya, sesuai dengan ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla dalam urusan antarmanusia yang didasarkan pada zahirnya.

[Pengakuan atas Sesuatu yang Tidak Dijelaskan]

(Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Jika seseorang mengatakan, “Si Fulan memiliki hak atas hartaku,” atau “padaku,” atau “di tanganku,” atau “telah…”

Telah menghabiskan harta yang besar atau dikatakan sangat besar atau besar sekali, maka semuanya sama dan dia akan ditanya tentang maksudnya. Jika dia berkata, “Aku maksudkan satu dinar, satu dirham, atau kurang dari satu dirham yang termasuk dalam kategori harta, baik sedikit maupun lainnya,” maka perkataannya diterima disertai sumpah. Begitu pula jika dia berkata, “harta yang kecil, sangat kecil, atau kecil sekali,” karena semua yang ada di dunia ini termasuk sedikit. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kenikmatan hidup di dunia ini hanyalah sedikit dibandingkan akhirat.” (QS. At-Taubah: 38). Sedikitnya harta di dunia bisa mendatangkan pahala atau siksa yang besar. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan jika (amalan itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan membalasnya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya: 47).

Segala sesuatu yang diberi pahala atau siksa atasnya disebut banyak. Demikian pula jika dia berkata, “Dia memiliki harta pertengahan, tidak sedikit dan tidak banyak,” karena jika ini berlaku untuk yang banyak, maka yang lebih sedikit lebih layak. Begitu juga jika dia berkata, “Dia memiliki harta yang banyak tetapi sedikit.” Atau jika dia berkata, “Fulan memiliki harta yang banyak kecuali sedikit,” maka itu diperbolehkan. Namun, tidak diperbolehkan jika dia berkata, “Dia memiliki harta,” kecuali jika masih ada sisa harta yang sedikit.

Jika dia berkata, “Dia memiliki harta yang melimpah, harta yang remeh, atau harta yang mencukupi,” maka semuanya termasuk dalam kategori harta yang banyak. Sebab, sedikit harta bisa mencukupi jika diberkahi, sedangkan banyak harta bisa sia-sia jika tidak dikelola dengan baik.

(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang mengakui hutang masih hidup, aku akan berkata kepadanya, “Berikanlah kepada orang yang kamu akui hutangnya sesuai keinginanmu dari apa yang termasuk dalam kategori harta, dan bersumpahlah bahwa kamu tidak mengakui lebih dari yang kamu berikan.” Jika dia menolak memberikan apa pun, aku akan memaksanya untuk memberikan sedikit harta yang sah dan bersumpah bahwa dia tidak mengakui lebih dari itu. Jika dia bersumpah, aku tidak akan memaksanya lebih. Jika dia menolak bersumpah, aku akan berkata kepada penggugat, “Tuntutlah apa yang kamu mau.” Jika dia menuntut, aku akan menyuruh orang itu bersumpah. Jika dia bersumpah, dia bebas. Jika dia menolak, aku akan mengembalikan sumpah kepada penggugat. Jika penggugat bersumpah, dia berhak menerima. Jika tidak, dia tidak mendapatkan apa pun karena penolakanmu, kecuali jika dia bersumpah meskipun kamu menolak.

(Imam Syafi’i berkata): Jika orang yang mengakui hutang tidak ada (ghaib) dan mengakui harta dalam bentuk yang dikenal seperti perak atau emas, lalu pengakunya meminta agar diberikan apa yang diakui, kami akan berkata, “Jika kamu mau, tunggulah kedatangannya, atau kami akan menulis kepada hakim di negerinya. Jika kamu mau, kami akan memberimu sedikit harta yang sah dari hartanya dan mempersaksikan bahwa itu adalah tanggunganmu. Jika dia datang dan mengakui lebih dari itu, kamu akan diberi sisanya. Jika dia tidak mengakui lebih atau menyangkal, kamu telah menerima sedikit harta yang sah.”

Jika dia hanya mengatakan “harta” tanpa merincinya, kami tidak akan memberikannya kecuali jika dia bersumpah atau jika dia meninggal, maka ahli warisnya bersumpah dan memberikan sedikit harta dari miliknya. Hal yang sama berlaku jika orang yang mengakui hadir tetapi tidak waras. Penggugat harus bersumpah bahwa dia tidak dibebaskan dari pengakuan tersebut dengan cara apa pun, dan orang yang tidak hadir atau tidak waras tetap memiliki hak pembelaan jika ada.

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika orang yang mengakui meninggal, maka ahli warisnya tetap memiliki hak pembelaan jika ada alasan untuk membantah pengakuan tersebut.

(Imam Syafi’i berkata): Jika pengakui ingin ahli waris orang yang meninggal bersumpah, aku tidak akan menyuruh mereka bersumpah kecuali jika mereka mengaku mengetahui lebih banyak. Jika mereka mengaku mengetahuinya, aku akan menyuruh mereka bersumpah bahwa ayah mereka tidak mengakui lebih dari yang telah diberikan.

[Pengakuan atas Sesuatu yang Terbatas]

(Imam Syafi’i rahimahullah berkata): Jika seseorang berkata, “Aku berhutang lebih dari harta Fulan,” kepada orang lain, baik dia mengetahui harta Fulan tersebut atau tidak, atau berkata, “Aku berhutang lebih dari apa yang ada di tangannya,” baik dia mengetahui jumlahnya atau tidak, maka hukumnya sama. Aku akan menanyakan maksudnya. Jika dia berkata, “Aku maksudkan lebih banyak karena hartaku halal dan halal itu banyak, sedangkan harta Fulan yang kusebut haram dan sedikit karena kenikmatan dunia itu sedikit,” atau jika dia berkata, “Aku berkata demikian karena hartaku lebih abadi,” maka itu lebih banyak dari segi keabadian dibanding harta Fulan atau apa yang ada di tangannya.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Ia merusaknya lalu menerima ucapannya beserta sumpahnya sesuai keinginannya, baik dalam jumlah maupun nilai, dan hal itu seperti pernyataan pertama. Jika ia meninggal, bisu, atau dikalahkan, maka seperti orang yang berkata kepadanya, “Aku punya banyak harta.” Jika ia berkata, “Si fulan memiliki lebih banyak dari sisa harta yang ada di tanganku atau jumlah harta yang ada di tangan si fulan,” maka keputusannya adalah jika ia tahu bahwa jumlah harta di tangan si fulan adalah sekian, maka pernyataan pengakuan bersama sumpahnya berlaku. Jika ia berkata, “Aku tahu bahwa jumlah harta di tangannya adalah sepuluh dirham, lalu aku mengaku untuknya sebelas dirham,” maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak mengaku lebih dari itu, dan keputusannya adalah ucapannya.

Jika pihak yang diakui menghadirkan saksi bahwa ia tahu ada seribu dirham di tangannya, aku tidak akan membebaninya lebih dari yang ia katakan. Jika sebelumnya diketahui bahwa ia tahu ada seribu dirham di tangannya, maka harta itu keluar dari tangannya dan menjadi milik orang lain. Demikian pula jika ia menghadirkan bukti bahwa ia berkata kepadanya atau saksi-saksi berkata, “Kami bersaksi bahwa ia memiliki seribu dirham,” lalu ia berkata kepadanya, “Aku memiliki lebih dari hartamu,” maka keputusannya adalah ucapannya. Sebab, ia mungkin mendustakan saksi-saksi dan mendustakan klaim tentang hartanya, meskipun hal itu terkait dengan ucapan mereka. Ia mungkin tahu bahwa jika ia membenarkan mereka, hartanya telah hilang, sehingga ia hanya dibebani sesuai pengakuannya. Jika ia berkata, “Aku tahu ia memiliki seribu dinar, lalu aku mengaku untuknya lebih dari jumlah itu dalam fulus,” maka keputusannya adalah ucapannya.

Demikian pula jika ia berkata, “Aku mengaku lebih dari jumlah itu dalam gandum atau lainnya,” maka keputusannya adalah ucapannya beserta sumpahnya. Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Kamu berutang seribu dinar kepadaku,” lalu ia menjawab, “Aku memiliki emas lebih dari yang kamu miliki, lebih dari seribu dinar emas,” maka keputusan tentang emas yang jelek atau yang belum dicetak adalah ucapan yang mengaku. Jika ia berkata, “Kamu berutang seribu dinar kepadaku,” lalu ia menjawab, “Aku memiliki lebih dari hartamu,” aku tidak akan membebaninya lebih dari seribu dinar dan aku akan bertanya, “Berapa hartamu?” Jika ia menjawab satu dinar, dirham, atau fulus, aku akan membebaninya kurang dari satu dinar, dirham, atau fulus, karena ia mungkin mendustakan klaim seribu dinar. Demikian pula jika ada saksi yang membuktikan hal itu, baik sebelum atau setelah kesaksian, karena ia mungkin mendustakan saksi. Aku tidak akan membebaninya kecuali ia berkata, “Aku tahu ia memiliki seribu dinar, lalu aku mengaku lebih dari itu dalam emas.” Jika ia berkata, “Aku berutang sesuatu,” aku akan membebaninya sesuai apa yang ia sebut sebagai sesuatu yang diakuinya.

[Pengakuan untuk Budak dan Orang yang Dibatasi Haknya]

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang mengaku kepada budak orang lain—baik yang diizinkan berdagang atau tidak—atau kepada orang merdeka, laki-laki atau perempuan, yang dibatasi haknya atau tidak, maka pengakuannya mengikat untuk masing-masing mereka. Pemilik budak berhak mengambil apa yang diakui untuk budaknya, dan wali orang yang dibatasi haknya berhak mengambil apa yang diakui untuk mereka. Demikian pula jika ia mengaku untuk orang gila, sakit, atau orang yang dilindungi (musta’man), mereka berhak menerimanya. Jika ia mengaku kepada seseorang di negeri perang tanpa paksaan, aku akan memberlakukan pengakuannya. Demikian pula pengakuan tawanan jika mereka musta’man di negeri perang kepada penduduk perang atau sesama mereka tanpa paksaan, aku akan memberlakukannya seperti Muslim memberlakukan di Darul Islam. Ia berkata: Demikian pula dzimmi dan harbi musta’man yang mengaku kepada Muslim, musta’man, atau dzimmi, aku akan memberlakukan semua itu.

[Pengakuan untuk Hewan]

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata:) Jika seseorang mengaku untuk unta milik orang lain, hewan ternaknya, rumahnya, atau unta ini…

Untuk hewan ini atau rumah ini atas sesuatu, aku tidak mewajibkannya sesuatu yang dia akui; karena hewan dan benda mati tidak memiliki sesuatu apa pun. Jika dia mengatakan, “Atas unta ini, hewan ini, atau rumah ini, begini dan begitu,” aku tidak mewajibkan pengakuannya; karena tidak ada kewajiban atasnya kecuali dia menjelaskannya. Misalnya, jika dia mengatakan, “Karena mereka, hutang dialihkan kepadaku atau dibebankan dariku atau dibebankan atas mereka,” padahal tidak ada pengalihan atau pembebanan atasnya. Namun, jika dia melanjutkan perkataannya dengan mengatakan, “Karena mereka, aku melakukan kesalahan yang mengharuskanku membayar begini dan begitu,” maka itu adalah pengakuan yang mengikat bagi pemiliknya.

Demikian pula, jika dia berkata kepada pemiliknya, “Atas mereka, begini dan begitu,” aku mewajibkannya, meskipun dia tidak menambahkan penjelasan lebih lanjut; karena dia mengaitkan pengakuan itu kepada pemilik, dan mungkin ada kewajiban yang timbul karenanya. Namun, jika dia berkata kepada pemilik unta ini, “Atas kandungannya, begini,” aku tidak mewajibkannya; karena tidak ada kewajiban atas kandungannya sama sekali. Jika itu adalah janin, tidak ada kesalahan yang berlaku karena janin belum lahir. Jika bukan janin, tentu lebih tidak mungkin ada kewajiban atas sesuatu yang tidak pernah menjadi sebab utang.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker