Fiqh

Terjemah Kitab Al Umm Jilid 3

[Bab: Penyempurnaan Gadai dengan Serah Terima]

Allah – ‘Azza wa Jalla – berfirman: “Maka hendaklah barang gadai itu diserahkan.” (QS. Al-Baqarah: 283).

(Asy-Syafi’i) berkata: “Karena telah dipahami bahwa barang gadai bukanlah kepemilikan penuh bagi penerima gadai (sehingga dia boleh menjualnya), dan juga bukan kepemilikan manfaat (sehingga dia boleh menyewakannya), maka gadai tidak sah kecuali dengan apa yang Allah – ‘Azza wa Jalla – tetapkan, yaitu harus diserahkan. Jika tidak sah, maka pemberi gadai berhak mengambil kembali barang yang belum diserahkan oleh penerima gadai. Demikian pula, jika pemberi gadai mengizinkan penerima gadai untuk menerimanya, tetapi penerima gadai belum menerimanya sampai pemberi gadai menarik kembali barang gadainya, maka itu boleh baginya. Sebab, gadai tidak sah kecuali dengan serah terima. Hal ini seperti hibah yang tidak sah kecuali dengan serah terima dan hal-hal yang semakna dengannya.”

“Jika pemberi gadai meninggal sebelum penerima gadai menerima barang gadai, maka penerima gadai tidak berhak mengambil barang tersebut, dan dia sama dengan para kreditur lainnya. Jika pemberi gadai tidak meninggal, tetapi bangkrut sebelum penerima gadai menerima barang gadai, maka penerima gadai dan para kreditur lainnya memiliki hak yang sama. Sebab, gadai belum sempurna. Jika pemberi gadai menjadi bisu atau gila sebelum penerima gadai menerima barang gadai, dan tidak ada kuasa untuk menyerahkannya, maka penerima gadai tidak berhak mengambil barang gadai tersebut. Bahkan jika pemberi gadai menyerahkannya dalam keadaan tidak waras, penerima gadai tidak boleh menerimanya. Barang gadai hanya sah jika pemberi gadai memiliki wewenang penuh atas hartanya pada saat menggadaikan dan pada saat menyerahkannya.”

“Jika seseorang menggadaikan budak, lalu budak itu melarikan diri dan pemberi gadai memberikan kuasa kepada penerima gadai untuk menangkapnya, tetapi penerima gadai tidak mampu menangkapnya sampai pemberi gadai meninggal atau bangkrut, maka itu bukanlah gadai. Jika penerima gadai tidak mampu menangkapnya sampai pemberi gadai menarik kembali barang gadainya, maka penerima gadai tidak berhak mengambilnya. Jika seseorang menggadaikan budak, lalu budak itu murtad dari Islam, kemudian pemberi gadai menyerahkannya dalam keadaan murtad atau menyerahkannya dalam keadaan muslim lalu budak itu murtad, maka status budak tetap sebagai barang gadai. Jika budak itu bertobat, maka statusnya tetap sebagai gadai. Jika dia dibunuh karena murtad, maka itu adalah hak yang mengikat, dan dia keluar dari kepemilikan pemberi dan penerima gadai.”

“Jika seseorang menggadaikan budak, tetapi belum diserahkan sampai dia menggadaikannya kepada orang lain dan menyerahkannya, maka gadai kedua yang diserahkan adalah sah, sedangkan gadai pertama yang tidak diserahkan dianggap tidak ada. Demikian pula, jika seseorang menggadaikan budak tetapi belum diserahkan sampai dia memerdekakannya, maka budak itu bebas dan keluar dari status gadai. Jika dia menggadaikannya tetapi belum diserahkan sampai dia membuat perjanjian pembebasan (mukatab), maka budak itu keluar dari status gadai. Demikian pula jika dia menghibahkannya, memberikannya sebagai mahar, mengakuinya sebagai milik orang lain, atau menjadikannya budak mudabbar (akan merdeka setelah tuannya meninggal), maka budak itu keluar dari status gadai dalam semua kasus ini.”

(Ar-Rabi’) berkata: “Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa jika seseorang menggadaikan budak, tetapi penerima gadai belum menerimanya sampai dia menjadikannya mudabbar, maka budak itu tidak keluar dari status gadai karena status mudabbar. Sebab, jika dia menggadaikannya setelah menjadikannya mudabbar, gadai itu tetap sah karena dia masih boleh menjualnya setelah status mudabbar. Karena dia boleh menjualnya, maka dia juga boleh menggadaikannya.”

(Asy-Syafi’i) berkata: “Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain, lalu dia meninggal…”

Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:

Sebelum menerima barang gadai, pemberi gadai berhak melarang penerima gadai mengambilnya dari ahli warisnya. Jika ia mengizinkan, ia dapat menyerahkannya sebagai gadai. Bahkan jika penerima gadai tidak meninggal tetapi kehilangan akal sehat sehingga harta kekayaannya diambil alih oleh hakim, pemberi gadai tetap berhak melarang orang yang ditunjuk hakim tersebut mengambil barang gadai, karena ia juga berhak melarang penerima gadai. Ia juga boleh menyerahkannya dengan status gadai seperti sebelumnya, sebagaimana ia berhak menyerahkannya kepada penerima gadai atau melarangnya.

Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan kepada orang lain tetapi belum menyerahkannya, lalu ia menyetubuhinya sebelum penyerahan, kemudian setelah persetubuhan itu ia menyerahkan budak tersebut dan ternyata hamil, serta pemberi gadai mengakui kehamilan itu, maka budak tersebut keluar dari status gadai karena tidak diserahkan dalam keadaan hamil, sehingga tidak sah menggadaikannya dalam keadaan hamil darinya.

Demikian pula jika ia menyetubuhinya sebelum akad gadai, lalu budak tersebut hamil dan diakui olehnya, maka budak itu keluar dari status gadai meskipun sudah diserahkan, karena ia menggadaikannya dalam keadaan hamil. Jika ia menggadaikan budak perempuan yang tidak bersuami tetapi belum menyerahkannya, lalu tuannya menikahkannya sebelum penyerahan, kemudian menyerahkannya, maka pernikahan itu sah dan status gadai tetap berlaku. Suaminya tidak boleh dilarang menyetubuhinya dalam keadaan apa pun.

Jika seseorang menggadaikan budak perempuan, ia tidak boleh menikahkannya tanpa izin penerima gadai, karena hal itu mengurangi nilai budak tersebut dan menghalangi penjualannya jika hamil, serta hak penjualannya telah jatuh. Penerima gadai juga tidak boleh menikahkannya. Jika salah satu pihak menikahkannya tanpa persetujuan pihak lain, pernikahan itu batal hingga keduanya sepakat.

Jika seseorang menggadaikan budak laki-laki dan memberikan kuasa kepada penerima gadai untuk menerimanya, lalu penerima gadai menyewakannya sebelum menerimanya dari pemberi gadai atau orang lain, maka budak tersebut belum dianggap sebagai barang gadai yang sah.

(Imam Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Aku menerima seorang budak sebagai gadai, lalu aku menyewakannya sebelum menerimanya.” Atha’ menjawab: “Itu belum dianggap sebagai penerimaan.” (Imam Syafi’i berkata): Penyewaan bukanlah penerimaan, dan barang tersebut belum sah sebagai gadai hingga diterima. Jika penerima gadai menerima barang gadai untuk dirinya sendiri atau seseorang menerimanya atas namanya dengan izinnya, maka itu dianggap sebagai penerimaan, seperti penerimaan oleh wakilnya.

(Imam Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Ibnu Juraij dari Amr bin Dinar bahwa ia berkata: “Jika engkau menerima seorang budak sebagai gadai dan menyerahkannya kepada orang lain, itu dianggap sebagai penerimaan.”

(Imam Syafi’i berkata): Jika wali orang yang berada di bawah pengampuan atau hakim menerima barang gadai untuk orang tersebut, maka penerimaan oleh hakim atau wali dianggap sah seperti penerimaan oleh orang yang tidak berada di bawah pengampuan untuk dirinya sendiri. Demikian pula jika hakim atau wali menunjuk orang lain untuk menerima barang gadai, penerimaan oleh orang tersebut dianggap sah. Pemberi gadai berhak melarang hakim atau wali mengambil barang gadai selama belum diterima. Wali boleh menggadaikan harta orang yang berada di bawah pengampuan untuk kepentingannya, dan keduanya boleh menggadaikannya dalam rangka pengelolaan yang baik, seperti menjual harta tersebut dan menggunakan kelebihan hasilnya sebagai gadai. Namun, tidak boleh meminjamkan harta mereka dan menggadaikannya, karena tidak ada kelebihan dalam pinjaman, dan ia bertanggung jawab atasnya. Orang yang berada di bawah pengampuan tidak boleh menggadaikan hartanya sendiri meskipun itu untuk kepentingannya, sebagaimana ia tidak boleh menjual atau membeli untuk dirinya sendiri meskipun itu menguntungkannya.

[Penerimaan Barang Gadai dan Hal-Hal yang Mengeluarkannya dari Status Gadai]

(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Dan barang-barang gadai yang diserahkan.” (QS. Al-Baqarah: 283). (Imam Syafi’i berkata): Jika barang gadai telah diterima sekali, maka akad gadai telah sempurna, dan penerima gadai lebih berhak atasnya daripada kreditur pemberi gadai. Pemberi gadai tidak boleh mengambilnya kembali hingga hutangnya lunas. Sebagaimana barang yang dijual menjadi tanggungan penjual hingga diterima pembeli, sekali diterima, tanggungan beralih kepada pembeli. Jika pembeli mengembalikannya kepada penjual dengan cara disewa atau dititipkan, barang tersebut tetap milik pembeli, dan tanggungannya tidak batal. Demikian pula hibah dan sejenisnya tidak sempurna hingga diterima penerima. Jika penerima hibah telah menerimanya sekali, lalu meminjamkannya kembali kepada pemberi hibah atau menyewakannya kepada orang lain, hal itu tidak membatalkan hibah.

Penerima gadai yang telah menerima barang gadai sekali lalu mengembalikannya kepada pemberi gadai dengan cara disewa, dipinjamkan, atau lainnya, tidak membatalkan status gadai selama pemberi gadai tidak membatalkan akad atau barang tersebut masih dalam penguasaannya. (Imam Syafi’i berkata): Sahabat kami, Sa’id bin Salim, mengabarkan dari Ibnu Juraij bahwa ia berkata kepada Atha’: “Aku menerima barang gadai, lalu aku menyewakannya kepada pemberi gadai.” Atha’ menjawab: “Ya, barang itu tetap milikmu, hanya saja engkau menyewakannya kepadanya.” Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya kepada Atha’: ‘Bagaimana jika pemberi gadai bangkrut dan barang itu masih bersamanya?’ Atha’ menjawab: ‘Engkau lebih berhak atasnya daripada krediturnya.’”

(Imam Syafi’i berkata): Maksudnya adalah seperti yang telah dijelaskan, bahwa jika engkau telah menerima barang gadai sekali lalu menyewakannya kepada pemberi gadai, statusnya seperti budak milikmu yang engkau sewakan kepadanya, karena mengembalikannya setelah penerimaan tidak mengeluarkannya dari status gadai.

Dia berkata: “Rahn (gadai) tidak dianggap diterima kecuali jika diterima oleh penerima gadai (murtahin) atau seseorang selain pemberi gadai (rahin) atas perintah penerima gadai, sehingga ia menjadi wakil dalam penerimaannya. Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain dan penerima gadai mewakilkan kepada pemberi gadai untuk menerimanya dari dirinya sendiri, lalu pemberi gadai menerimanya dari dirinya sendiri, maka itu tidak dianggap sebagai penerimaan. Seseorang tidak bisa menjadi wakil atas dirinya sendiri untuk orang lain dalam penerimaan, sebagaimana jika seseorang memiliki hak atas dirinya lalu mewakilkan dirinya untuk menerimanya dari dirinya sendiri, lalu melakukannya dan barang itu rusak, maka ia tidak terbebas dari hak tersebut, berbeda jika yang menerima adalah wakil orang lain. Seseorang tidak bisa menjadi wakil atas dirinya sendiri dalam keadaan apa pun kecuali dalam keadaan di mana ia menjadi wali bagi orang yang menerima untuknya, seperti jika ia memiliki anak kecil lalu membeli untuk anaknya dari dirinya sendiri dan menerimanya untuk anaknya, atau menghadiahkan sesuatu kepada anaknya dan menerimanya, maka penerimaan dari dirinya sendiri dianggap sebagai penerimaan untuk anaknya karena ia mewakili anaknya.

Demikian pula jika seseorang menggadaikan anaknya sebagai rahn lalu menerimanya dari dirinya sendiri untuk anaknya. Jika anaknya sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan, maka hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika anaknya sendiri yang menerimanya atau wakil anaknya selain ayahnya.

Jika seseorang memiliki budak yang disimpan sebagai titipan, rumah, atau barang di tangan orang lain, lalu ia menggadaikannya dan memberikan izin untuk menerimanya, kemudian telah berlalu waktu yang memungkinkan penerimaan sementara barang itu masih di tangannya, maka itu dianggap sebagai penerimaan. Jika pemberi gadai mengakui bahwa penerima gadai telah menerima barang gadai dan penerima gadai membenarkannya atau mengklaim telah menerimanya, maka barang gadai dianggap telah diterima meskipun tidak disaksikan oleh siapapun. Baik barang gadai itu tidak ada di tempat atau ada di tempat, karena penerima gadai bisa menerimanya di wilayah tempat ia berada, dan itu dianggap sebagai penerimaan kecuali dalam satu hal, yaitu jika keduanya sepakat atas sesuatu yang tidak mungkin diterima pada waktu itu, seperti jika seseorang berkata, ‘Saksikanlah bahwa hari ini aku menggadaikan rumahku yang berada di Mesir,’ sementara keduanya berada di Mekah, dan ia mengklaim telah menerimanya. Maka jelas bahwa jika gadai terjadi hari ini, tidak mungkin barang itu diterima di Mekah pada hari yang sama, dan hal-hal semacam ini.

Jika rumah berada di tangannya karena sewa atau titipan, statusnya sama seperti jika tidak berada di tangannya—tidak dianggap sebagai penerimaan sampai berlalu waktu yang memungkinkan barang itu berada di tangannya sebagai gadai, bukan karena sewa atau titipan, atau gadai bersama sewa/titipan atau salah satunya. Keberadaan barang di tangannya bukan karena gadai berbeda dengan keberadaannya karena gadai.

Jika tidak ditentukan waktunya dan pemberi gadai mengakui bahwa ia telah menggadaikan rumahnya di Mekah dan penerima gadai telah menerimanya, lalu pemberi gadai berkata, ‘Aku baru menggadaikannya hari ini,’ sementara penerima gadai berkata, ‘Tidak, engkau telah menggadaikannya kepadaku pada waktu yang memungkinkan penerimaan,’ maka perkataan penerima gadai yang selalu dipegang sampai pemberi gadai mengakui bahwa barang itu memang belum diterima.

Jika pemberi gadai meminta penerima gadai bersumpah atas klaimnya bahwa ia telah mengakui penerimaan padahal belum menerimanya, maka hal itu boleh dilakukan karena gadai tidak sah sampai barang benar-benar diterima. Dan Allah—Subhanahu wa Ta’ala—yang lebih tahu.

[Apa yang Dianggap sebagai Penerimaan dalam Gadai dan Apa yang Tidak, serta Apa yang Boleh Digadaikan]

(Imam Syafi’i—rahimahullah—berkata): “Segala sesuatu yang dianggap sebagai penerimaan dalam jual beli, maka itu juga dianggap sebagai penerimaan dalam gadai, hibah, dan sedekah, tanpa perbedaan. Oleh karena itu, boleh menggadaikan hewan, budak, dinar, dirham, tanah, dan lainnya. Boleh juga menggadaikan sebagian dari rumah, sebagian dari budak, sebagian dari pedang, sebagian dari mutiara, atau sebagian dari pakaian, sebagaimana semua ini boleh diperjualbelikan. Penerimaannya adalah dengan menyerahkan kepada penerima gadai tanpa penghalang, sebagaimana penerimaan dalam jual beli, seperti penerimaan budak, pakaian, atau apa saja yang boleh diambil penerima gadai dari tangan pemberi gadai.

Penerimaan atas barang yang tidak bisa dipindahkan, seperti tanah, rumah, atau tanaman, adalah dengan menyerahkannya tanpa penghalang. Penerimaan sebagian dari barang yang tidak bisa dipindahkan sama seperti penerimaan keseluruhannya, yaitu dengan menyerahkannya tanpa penghalang. Adapun penerimaan sebagian dari barang yang bisa dipindahkan, seperti pedang, mutiara, atau semisalnya, adalah dengan menyerahkan hak penerima gadai atasnya hingga penerima gadai dan pemberi gadai meletakkannya di tangan orang yang adil, atau di tangan rekan pemilik yang bukan pemberi gadai, atau di tangan penerima gadai. Jika salah satu dari ini terpenuhi, maka itu dianggap sebagai penerimaan. Jika setelah penerimaan, penerima gadai menyerahkannya kembali kepada pemberi gadai atau orang lain, itu tidak mengeluarkannya dari status gadai, sebagaimana telah dijelaskan. Barang gadai hanya keluar dari statusnya jika gadai dibatalkan atau hak yang menjadi dasar gadai telah dilunasi.

Jika pemberi gadai mengakui bahwa penerima gadai telah menerima barang gadai dan penerima gadai mengklaim hal yang sama, maka dihukumi bahwa gadai telah sempurna berdasarkan pengakuan pemberi gadai dan klaim penerima gadai. Bahkan jika barang gadai berupa sebagian dari sesuatu yang tidak ada di tempat, lalu pemberi gadai mengakui bahwa penerima gadai telah menerimanya dan penerima gadai mengklaim hal yang sama, maka hal itu tetap sah.”

Penerjemahan ke Bahasa Indonesia:

Penerima gadai (murtahin) membolehkan pengakuan (iqrar) karena mungkin barang gadai diterima untuknya, sementara dia tidak hadir, sehingga penerimaan dianggap sah melalui orang yang diperintahkan untuk menerimanya.

Jika seseorang memiliki budak yang berada di tangan orang lain melalui sewa atau titipan, lalu dia menggadaikan budak tersebut dan memerintahkan penerima gadai untuk menerimanya, maka ini dianggap sebagai gadai yang sah setelah berlalu waktu sejak penggadaian, selama budak tersebut masih berada di tangan penerima gadai. Sebab, budak tersebut telah diterima setelah proses gadai. Namun, jika budak yang digadaikan tidak hadir di hadapan penerima gadai, penerimaan tidak dianggap sah sampai budak tersebut dibawa ke hadapannya. Jika budak dibawa setelah diizinkan untuk menerimanya, maka penerimaan dianggap sah, seperti halnya dalam jual beli.

Jika budak berada di tangan penjual dan pembeli memerintahkan untuk menerimanya, penerimaan dianggap sah karena budak sudah berada di tangan pembeli. Dengan demikian, jual beli dianggap sempurna. Jika budak mati, maka kerugian ditanggung oleh pembeli. Namun, jika budak tidak hadir, penerimaan tidak dianggap sah sampai pembeli hadir setelah transaksi, barulah penerimaan dianggap sah setelah kehadirannya dan budak berada di tangannya.

Demikian pula, jika seseorang menitipkan pakaian atau barang lain yang tidak bergerak dengan sendirinya (seperti titipan, pinjaman, atau sewa), lalu menggadaikannya dan mengizinkan penerima gadai untuk menerimanya sebelum penerimaan fisik, selama barang tersebut tidak hilang dari rumahnya, maka penerimaan dianggap sah. Namun, jika barang tersebut tidak berada di rumahnya, penerimaan tidak dianggap sah sampai ada tindakan penerimaan.

Jika barang digadaikan di pasar atau masjid, sementara barang tersebut masih di rumah, dan penerima gadai diizinkan untuk menerimanya, penerimaan tidak dianggap sah sampai penerima gadai pergi ke rumah dan barang tersebut masih ada di sana. Penerimaan baru dianggap sah saat itu karena ada kemungkinan barang tersebut telah dibawa keluar dari rumah oleh pemiliknya atau orang lain. Penerimaan hanya dianggap sah jika barang benar-benar hadir di hadapan penerima gadai atau wakilnya tanpa ada penghalang.

Jika barang gadai berupa tanah atau rumah yang tidak hadir di hadapan penerima gadai, sementara barang tersebut statusnya titipan di tangan penerima gadai atau wakilnya, dan penerima gadai diizinkan untuk menerimanya, penerimaan tidak dianggap sah sampai penerima gadai atau wakilnya benar-benar hadir dan menerima barang tersebut tanpa penghalang. Sebab, jika barang tidak hadir, mungkin ada halangan yang mencegah penerimaan, sehingga penerimaan tidak sah kecuali jika penerima gadai atau wakilnya benar-benar menerimanya tanpa penghalang.

Jika dalam kasus-kasus ini telah berlalu waktu yang memungkinkan penerima gadai mengirim utusan untuk menerima barang gadai, lalu penerima gadai mengaku telah menerimanya, maka penerimaan dianggap sah karena penerimaan bisa dilakukan meskipun penerima gadai tidak hadir secara langsung.

Jika seseorang menggadaikan barang, lalu pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) sepakat menunjuk seorang penengah (adil) untuk menerima barang tersebut, dan penengah tersebut menyatakan telah menerimanya, tetapi kemudian pemberi gadai dan penerima gadai berselisih—pemberi gadai menyatakan penengah tidak menerimanya, sementara penerima gadai menyatakan penengah telah menerimanya—maka yang dipegang adalah pernyataan pemberi gadai. Penerima gadai harus membuktikan dengan bukti bahwa penengah benar-benar telah menerimanya. Sebab, penengah bertindak sebagai wakil penerima gadai, dan kesaksian penengah tidak dapat diterima karena dia bersaksi atas tindakannya sendiri.

Orang yang diperintahkan untuk menerima barang gadai tidak bertanggung jawab atas kerugian penerima gadai jika dia ditipu. Demikian pula, jika debitur bangkrut atau barang gadai rusak, dan dia mengaku telah menerimanya padahal tidak, maka dia tidak bertanggung jawab atas apa pun, tetapi dia telah berbuat salah dengan berbohong.

Jika semua barang gadai yang disebutkan sebelumnya berada di tangan penerima gadai karena pemberi gadai mengambilnya secara paksa (ghashab), lalu menggadaikannya sebelum penerima gadai menerimanya, dan penerima gadai diizinkan untuk menerimanya, maka gadai dianggap sah. Namun, barang tersebut tetap menjadi tanggungan orang yang mengambilnya secara paksa sampai dia mengembalikannya kepada pemilik asli atau pemilik asli membebaskannya dari tanggungan. Perintah untuk menerima barang tidak membebaskan orang yang mengambil secara paksa dari tanggungan.

Hal yang sama berlaku jika barang berada di tangan penerima gadai karena pembelian yang tidak sah (fasad), karena penerima gadai tidak bisa menjadi wakil pemilik barang untuk dirinya sendiri. Misalnya, jika dia diperintahkan untuk menerima hak untuk dirinya sendiri dari dirinya sendiri, lalu barang tersebut rusak, dia tidak dibebaskan dari tanggungan.

Namun, jika pemberi gadai dan penerima gadai sepakat menyerahkan barang kepada seorang penengah (adil), maka orang yang mengambil secara paksa atau pembeli dengan transaksi tidak sah dibebaskan dari tanggungan jika wakil pemilik barang mengaku telah menerimanya atas perintah pemilik. Pengakuan ini dianggap seperti pengakuan pemilik bahwa penerimaan telah dilakukan, dan gadai dianggap sah.

Jika penengah yang ditunjuk untuk menerima barang gadai kemudian menyatakan tidak menerimanya, maka pernyataan ini tidak dapat dipercaya untuk membebaskan orang yang mengambil secara paksa atau pembeli dengan transaksi tidak sah dari tanggungan. Mereka tetap bebas dari tanggungan, seperti halnya jika pemilik barang sendiri mengaku telah menerimanya. Penerimaan dianggap sah berdasarkan pengakuan penengah yang ditunjuk.

Jika seseorang menggadaikan dua budak, atau satu budak dan makanan, atau satu budak dan rumah, atau dua rumah, lalu salah satunya diterima sementara yang lain tidak, maka yang diterima dianggap sebagai gadai yang sah untuk seluruh hak, sementara yang tidak diterima dianggap keluar dari gadai sampai pemberi gadai menyerahkannya. Gadai yang telah diterima tidak batal hanya karena sebagian belum diterima.

Yang bersamanya dalam perjanjian gadai, dan tidak seperti jual beli dalam hal ini.

Demikian pula jika salah satu pihak menerima (barang gadai), sementara yang lain meninggal atau salah satu menerima dan yang lain menolak, maka yang diterima menjadi gadai dan yang tidak diterima keluar dari perjanjian gadai.

Begitu juga jika seseorang menghadiahkan dua rumah, dua budak, atau satu rumah dan satu budak, lalu salah satunya diserahkan dan yang lain ditahan, maka yang diserahkan menjadi milik penerima, sedangkan yang ditahan tidak menjadi haknya.

Demikian pula jika tidak ditahan tetapi salah satunya hilang, maka hibah atas yang hilang tidak sah sampai ia diberi kuasa untuk menerimanya dan menerimanya atas perintahnya.

Jika seseorang menggadaikan sesuatu, lalu barang gadai tersebut mengalami cacat—misalnya budak menjadi buta, terpotong, atau cacat lainnya—dan tetap diserahkan, maka statusnya tetap sebagai gadai.

Jika diterima kemudian mengalami cacat di tangan penerima gadai, statusnya tetap sebagai gadai.

Demikian pula jika berupa rumah yang runtuh, tembok yang pohon kurmanya roboh, atau mata airnya hancur, statusnya tetap sebagai gadai.

Penerima gadai berhak mencegah pemberi gadai menjual kayu pohon kurma atau bangunan rumah karena semuanya termasuk dalam jaminan gadai.

Kecuali jika yang digadaikan hanya tanah tanpa bangunan dan pohon, maka penerima gadai tidak berhak melarang apa pun yang tidak termasuk dalam jaminan.

Jika seseorang menggadaikan tanah rumah tanpa menyebut bangunan, atau menggadaikan tembok tanpa menyebut tanamannya, maka hanya tanah yang menjadi gadai, bukan bangunan atau tanaman.

Hanya yang disebutkan secara eksplisit yang masuk dalam perjanjian gadai.

Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan bangunan rumah,” maka hanya bangunan yang menjadi gadai, bukan tanahnya.

Tanah dan bangunan hanya menjadi gadai jika disebutkan secara jelas: “Aku menggadaikan tanah rumah, bangunannya, dan seluruh isinya.”

Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan pohon kurmaku,” maka hanya pohon kurma yang menjadi gadai, bukan tanah atau bangunan di atasnya.

Kecuali jika ditulis: “Aku menggadaikan tembokku dengan batas tanah, tanamannya, bangunannya, dan segala hak yang melekat padanya,” maka semuanya menjadi gadai.

Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan sebagian rumahku” atau “sebagian dari rumahku,” maka ini tidak sah sebagai gadai meskipun seluruh rumah diserahkan, kecuali disebutkan secara jelas berapa bagiannya—seperempat, kurang, atau lebih—sebagaimana dalam jual beli.

Demikian pula jika ia menyerahkan rumah sambil berkata, “Aku menggadaikannya kecuali bagian yang kita sepakati” atau “kecuali sebagiannya,” maka ini tidak sah sebagai gadai.

[Yang mengeluarkan gadai dari tangan penerima gadai dan yang tidak]

(Imam Syafi’i berkata):

Intinya, gadai keluar dari tangan penerima gadai jika pemberi gadai dibebaskan dari kewajiban yang dijamin dengan gadai—baik dengan pembayaran atau penghapusan hak oleh penerima gadai—atau jika hak yang dijamin dengan gadai itu gugur dengan cara apa pun.

Dengan demikian, gadai kembali ke kepemilikan pemberi gadai seperti sebelum digadaikan, atau jika penerima gadai menyatakan, “Aku membatalkan gadai” atau “Aku menghapus hakku atasnya.”

Jika seseorang menggadaikan berbagai barang—seperti tepung, unta, kambing, barang dagangan, dirham, dan dinar—sebagai jaminan atas seribu dirham, seratus dinar, atau sejenisnya, lalu pemberi gadai melunasi seluruh utangnya kecuali satu dirham atau sedikit gandum, maka seluruh barang gadai tetap menjadi jaminan atas sisa utang tersebut.

Pemberi gadai, krediturnya, atau ahli warisnya tidak berhak mengambil sebagian barang gadai sampai penerima gadai menerima seluruh haknya, karena gadai tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan, lalu penerima gadai mengizinkan pemberi gadai untuk memerdekakannya tetapi tidak dilaksanakan, atau mengizinkan untuk menikahinya tetapi tidak dilakukan, atau dinikahi tetapi tidak hamil, maka budak tersebut tetap statusnya sebagai gadai.

Gadai hanya batal jika penerima gadai mengizinkan pembebasan sebagaimana jika ia memerintahkan untuk memerdekakan budaknya sendiri dan budak itu benar-benar dimerdekakan.

Jika dia tidak membebaskannya, maka budak perempuan itu tetap dalam kepemilikannya sebagaimana keadaan semula. Demikian pula jika penerima gadai mengembalikannya kepada pemberi gadai setelah menerimanya sebagai gadai sekali saja, lalu berkata, “Nikmatilah hubungan intim dan pelayanannya,” maka budak itu tetap dalam status gadai tanpa keluar dari pegadaian. Jika budak perempuan itu hamil dari hubungan intim lalu melahirkan atau keguguran dengan janin yang sudah tampak bentuknya, maka dia menjadi umm walad bagi tuannya (pemberi gadai) dan keluar dari status gadai. Pemberi gadai tidak wajib menggantinya dengan gadai lain karena dia tidak melampaui batas dalam hubungan intim.

Begitu pula jika penerima gadai mengizinkannya untuk memukul budak itu, lalu dia memukulnya hingga meninggal, maka pemberi gadai tidak wajib menggantinya dengan budak lain sebagai pengganti gadai karena dia tidak melampaui batas dalam memukul.

Jika seseorang menggadaikan budak perempuan kepada orang lain, lalu dia menyewakannya, kemudian pemberi gadai berhubungan intim dengannya (baik dengan kerelaan atau paksaan), maka jika budak itu tidak melahirkan, status gadainya tetap berlaku, dan penerima gadai tidak berhak menuntut kompensasi (ʿaqr) karena budak itu adalah milik pemberi gadai. Namun, jika budak itu masih perawan dan hubungan intim mengurangi nilainya, penerima gadai berhak menuntut pemberi gadai atas kerugian tersebut, baik sebagai tambahan gadai atau sebagai ganti rugi sesuai keinginan pemberi gadai, sebagaimana layaknya tindakan kriminal terhadapnya. Hal yang sama berlaku jika budak itu sudah pernah menikah lalu hubungan intim merusak kesuciannya atau mengurangi nilainya. Jika hubungan intim tidak mengurangi nilainya, penerima gadai tidak berhak menuntut apa pun, dan budak itu tetap dalam status gadai.

Jika budak itu hamil dan melahirkan, padahal pemberi gadai tidak diizinkan berhubungan intim dan tidak memiliki harta lain selain budak tersebut, maka ada dua pendapat:

Budak itu tidak boleh dijual selama hamil. Setelah melahirkan, budak itu dijual, tetapi anaknya tidak dijual. Jika persalinan mengurangi nilainya, pemberi gadai wajib menanggung kerugian tersebut. Jika budak itu meninggal karena persalinan, pemberi gadai wajib mengganti nilainya dalam keadaan sehat sebagai pengganti gadai atau membayar ganti rugi jika mampu.
Jika pemberi gadai membebaskannya setelah menggadaikannya dan tidak memiliki harta lain selain budak itu, maka pembebasan itu batal, dan budak itu dijual untuk melunasi hutang. Jika nilainya seribu tetapi hanya digadaikan sebesar seratus, maka dia dijual sebesar seratus, dan sisanya tetap sebagai budak milik tuannya. Dia tidak boleh digauli dan akan merdeka jika tuannya meninggal (menurut pendapat yang menyatakan umm walad merdeka setelah tuannya wafat), tetapi tidak merdeka sebelumnya.

Jika pemberi gadai menggadaikan budak itu lalu membebaskannya sebelum melahirkan dan tidak memiliki harta lain, maka budak itu dijual sebesar hutang, dan sisanya merdeka. Jika hutangnya melampaui nilainya, sisa budak itu merdeka dan tidak dijual kepada pemegang hutang.

Pendapat kedua menyatakan bahwa jika pemberi gadai membebaskannya atau menjadikannya umm walad, maka budak itu merdeka dan tidak boleh dijual dalam kedua kondisi tersebut karena dia adalah pemilik yang merugikan dirinya sendiri, dan tidak ada kewajiban membayar nilai budak tersebut. Pendapat ini berlaku untuk semua budak, baik laki-laki maupun perempuan.

Jika umm walad dijual dalam status gadai seperti yang dijelaskan, lalu tuannya memilikinya kembali, maka dia menjadi umm walad baginya karena anak dan hubungan intim tersebut. Pembebasan atau hubungan intim tanpa izin penerima gadai adalah pelanggaran, berbeda jika dilakukan dengan izin.

Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih tentang hubungan intim atau pembebasan—misalnya, pemberi gadai mengaku diizinkan berhubungan atau membebaskan, sedangkan penerima gadai menyangkal—maka perkataan penerima gadai yang diikuti sumpah lebih diutamakan. Jika penerima gadai enggan bersumpah, pemberi gadai dapat bersumpah bahwa dia diizinkan, lalu budak itu keluar dari status gadai. Jika pemberi gadai tidak bersumpah, budak perempuan itu dapat disumpah apakah dia diizinkan dibebaskan atau digauli. Jika dia bersumpah, maka dia merdeka atau menjadi umm walad. Jika tidak bersumpah, status gadainya tetap.

Jika penerima gadai meninggal, dan pemberi gadai mengaku diizinkan membebaskan atau berhubungan hingga melahirkan, maka dia harus membawa bukti. Jika tidak ada bukti, status gadai tetap. Jika ahli waris penerima gadai bersedia bersumpah bahwa mereka tidak tahu ayah mereka mengizinkannya, maka sumpah itu cukup tanpa tambahan.

Jika pemberi gadai meninggal dan ahli warisnya mengklaim bahwa penerima gadai mengizinkan hubungan atau pembebasan, maka penerima gadai harus bersumpah bahwa dia tidak mengizinkannya seperti penjelasan sebelumnya.

Semua ini berlaku jika pemberi gadai tidak mampu. Jika dia mampu, maka nilai budak perempuan itu diambil darinya dalam kasus pembebasan atau kehamilan, lalu dia boleh memilih antara mengganti nilainya sebagai gadai (jika lebih besar dari hutang) atau membayar ganti rugi. Jika memilih ganti rugi dan ada kelebihan, kelebihan itu dikembalikan kepadanya.

Jika penerima gadai mengaku mengizinkan pemberi gadai berhubungan dengan budaknya, lalu berkata, “Anak dalam kandungan ini bukan darimu, melainkan dari suami yang kamu nikahkan atau budak lain,” sedangkan pemberi gadai mengakuinya sebagai anaknya, maka anak itu sah sebagai keturunannya tanpa perlu sumpah karena nasab telah tetap. Budak itu menjadi umm walad baginya berdasarkan pengakuannya, dan penerima gadai tidak dapat menyangkal anak itu. Sumpah tidak diperlukan karena keputusan telah mengeluarkan umm walad dari status gadai.

Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih—pemberi gadai mengaku diizinkan berhubungan hingga melahirkan, sedangkan penerima gadai menyangkal—maka perkataan penerima gadai lebih diutamakan disertai sumpah.

Perkataan adalah perkataan pemberi gadai. Jika pemberi gadai dalam keadaan kesulitan dan budak perempuan itu hamil, maka tidak boleh dijual sampai melahirkan, kemudian baru dijual. Anaknya tidak boleh dijual. Jika ada bukti bahwa pemberi gadai telah mengizinkan pemberi hutang untuk menggauli budak perempuannya selama periode tertentu dan kemudian melahirkan anak yang mungkin berasal dari tuannya dalam periode tersebut, maka anak itu diakui sebagai anaknya. Namun, jika tidak mungkin anak itu berasal dari tuannya sama sekali, dan pemberi gadai mengatakan anak itu dari orang lain, maka budak perempuan itu boleh dijual, tetapi anaknya tidak boleh dijual sama sekali, dan anak itu tidak termasuk dalam gadai bersama budak perempuan tersebut.

Jika seseorang menggadaikan budak perempuan yang sudah bersuami atau suaminya setelah gadai dengan izin pemberi gadai, maka suaminya tidak dilarang menggaulinya dan memiliki keturunan darinya. Jika budak itu melahirkan, anaknya tidak termasuk dalam gadai. Jika dia hamil, ada dua pendapat:

Tidak boleh dijual sampai melahirkan, kemudian budak perempuan itu tetap sebagai gadai, sedangkan anaknya tidak termasuk dalam gadai.
Boleh dijual dalam keadaan hamil, dan status anak mengikuti ibunya sampai terpisah. Setelah terpisah, anak itu tidak termasuk dalam gadai.

Jika seseorang menggadaikan budak perempuan, dia tidak boleh menikahkannya tanpa izin pemberi gadai karena itu mengurangi nilainya dan menghalangi penjualan jika hamil. Pemberi gadai juga tidak boleh menikahkannya karena dia tidak memilikinya. Hal yang sama berlaku untuk budak laki-laki yang digadaikan. Jika salah satu pihak menikahkan budak tersebut, pernikahannya batal kecuali jika keduanya setuju sebelum akad nikah.

Jika seseorang menggadaikan sesuatu sampai batas waktu tertentu, lalu pemberi gadai meminta izin pemberi hutang untuk menjual gadai tersebut dan diizinkan, maka penjualannya sah. Pemberi hutang tidak boleh mengambil sebagian dari harganya, dan pemberi gadai tidak boleh menggantinya dengan gadai lain. Selama belum dijual, pemberi gadai boleh mencabut izinnya. Jika dia mencabut izin dan penjualan tetap dilakukan, maka penjualannya batal.

Jika pemberi hutang mengizinkan penjualan dengan syarat harganya diberikan kepadanya, tetapi pemberi gadai menjualnya tanpa memenuhi syarat, maka penjualannya batal. Jika mereka berselisih tentang syarat tersebut, maka harus ada bukti. Jika terbukti bahwa izin diberikan dengan syarat harga harus diberikan kepada pemberi hutang, tetapi tidak dipenuhi, maka penjualannya batal.

Jika pemberi gadai mengizinkan penjualan gadai yang hutangnya belum jatuh tempo dengan syarat harganya diberikan kepadanya, maka penjualannya sah, dan pemberi gadai wajib menyerahkan harganya. Jika gadai itu rusak atau hilang di tangan pembeli, pembeli harus mengganti nilainya, kecuali pemberi hutang rela menerima pembayaran sebelum jatuh tempo tanpa syarat sebelumnya.

Jika pemberi gadai mengizinkan penjualan dengan syarat uangnya menjadi gadai baru, penjualannya tidak sah. Jika hutang sudah jatuh tempo dan pemberi gadai mengizinkan penjualan untuk melunasi hutang, maka penjualannya sah, dan pemberi gadai harus menyerahkan harganya. Jika harganya lebih kecil dari hutang, pemberi hutang berhak mengambil seluruhnya dari harta pemberi gadai.

Jika pemberi hutang mengizinkan penjualan tanpa syarat, pemberi gadai harus menyerahkan harganya, kecuali jika hutang lebih kecil dari harga gadai, maka cukup membayar hutangnya. Jika pemberi hutang mengizinkan penjualan sebelum jatuh tempo, dia boleh mencabut izin selama belum dijual. Setelah dijual, pemberi hutang tidak boleh menuntut harganya sebagai hutang, karena izin penjualan berarti melepaskan hak gadai.

Jika pemberi gadai mengizinkan penjualan, tanggung jawab ada pada pemberi gadai, dan dia boleh mencabut izin kecuali jika menyatakan telah membatalkan gadai.

Dia mengatakan bahwa tidak ada hak untuk menarik kembali gadai, dan dalam gadai dia seperti kreditur lainnya. Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan kepada orang lain, lalu penerima gadai menyetubuhinya, maka hukuman hadd diterapkan padanya. Jika budak itu melahirkan, anaknya adalah budak dan nasab mereka tidak diakui. Jika dia memaksanya, dia wajib membayar mahar, tetapi jika tidak memaksa, tidak ada mahar. Jika dia mengaku tidak tahu, dia tidak dimaafkan kecuali jika dia baru masuk Islam atau tinggal di daerah terpencil atau semacamnya.

Jika pemilik budak mengizinkannya dan dia tidak tahu, hukuman hadd dihindarkan, dan anak diakui sebagai miliknya dengan membayar nilai anak itu saat lahir, dan mereka bebas. Ada dua pendapat tentang mahar: satu mengatakan dia wajib membayar mahar seperti biasanya, yang lain mengatakan tidak ada mahar karena dia telah mengizinkannya. Jika dia memilikinya, budak itu tidak menjadi umm walad baginya, dan budak itu dijual sementara dia dan tuannya dihukum karena memberi izin.

(Rabi’ berkata): Jika dia memilikinya suatu hari, budak itu menjadi umm walad baginya dengan pengakuannya bahwa dia adalah ayah anaknya dan dia memilikinya.

(Syafi’i berkata): Jika dia mengaku bahwa pemberi gadai—sang pemilik—menghibahkan, menjual, meminjamkan, atau menyedekahkan budak itu kepadanya sebelum persetubuhan, atau memberikannya sebagai qisas, maka budak itu menjadi umm walad dan keluar dari gadai jika pemberi gadai membenarkannya atau ada bukti, baik pemberi gadai masih hidup atau sudah meninggal. Jika tidak ada bukti untuk klaimnya, budak dan anaknya tetap budak selama kepemilikan pemberi gadai diketahui, dan tidak keluar dari kepemilikannya kecuali dengan bukti yang sah.

Jika penerima gadai ingin, ahli waris pemberi gadai dapat disumpah tentang pengetahuan mereka terkait klaim kepemilikan budak itu. (Rabi’ berkata): Ada pendapat lain bahwa anaknya bebas dengan membayar nilainya, hukuman hadd dihindarkan, dan dia wajib membayar mahar yang setara.

[Kebolehan Syarat Gadai]

(Syafi’i berkata)—rahimahullah—: Allah Ta’ala mengizinkan gadai bersama utang, dan utang bisa berasal dari jual beli, pinjaman, atau hak lainnya. Gadai diperbolehkan dalam semua hak ini, baik disyaratkan dalam akad atau digadaikan setelah hak itu tetap. Gadai dipahami sebagai tambahan jaminan bagi pemilik hak, diizinkan dan halal, bukan bagian dari hak itu sendiri. Jika seseorang menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat menggadaikan barang tertentu yang diketahui kedua pihak, jual beli itu sah, tetapi gadai tidak sempurna sampai penerima gadai menerimanya atau melalui perantara yang disepakati. Jika diserahkan sebelum diajukan ke hakim, jual beli mengikat. Begitu juga jika penjual menyerahkannya untuk diterima tetapi pembeli meninggalkannya, jual beli tetap sah.

(Syafi’i berkata): Jika diajukan ke hakim dan pemberi gadai menolak menyerahkan barang gadai, hakim tidak bisa memaksanya karena gadai hanya sah dengan penerimaan. Begitu juga jika seseorang menghadiahkan sesuatu tetapi tidak menyerahkannya, hakim tidak bisa memaksa karena hadiah hanya sah dengan penerimaan. Jika seseorang menjual dengan syarat gadai tetapi pemberi gadai tidak menyerahkannya, penjual boleh memilih melanjutkan jual beli tanpa gadai atau membatalkannya karena dia tidak rela hanya mengandalkan tanggungan pembeli tanpa gadai. Begitu juga jika sebagian gadai diserahkan dan sebagian ditahan. Demikian pula jika dijual dengan syarat ada penjamin tertentu, tetapi penjamin tidak diberikan sampai penjamin meninggal, penjual boleh memilih melanjutkan jual beli tanpa penjamin atau membatalkannya karena dia tidak rela hanya mengandalkan tanggungan pembeli.

Jika situasinya tetap dan pembeli ingin membatalkan jual beli tetapi pemberi gadai atau penjamin menolak, pembeli tidak berhak karena tidak ada kerugian yang memicu hak pilih baginya. Jual beli tetap pada tanggungannya, dan tambahan gadai atau tanggungan orang lain tidak membebaninya. Tidak ada kerusakan dalam jual beli karena tidak ada pengurangan harga yang merusak akad, hanya pengurangan jaminan non-kepemilikan untuk penerima gadai, dan tidak ada syarat fasid yang merusak jual beli.

Hal yang sama berlaku untuk semua hak seseorang atas orang lain yang disertai syarat gadai atau penjamin. Jika hak itu timbal balik, seperti jual beli, dia boleh memilih menerima…

Penggantian sebagaimana dalam jual beli. Jika barang gadai ada dalam pinjaman tanpa jual beli atau ada hak sebelumnya tanpa gadai, lalu dia menggadaikan sesuatu tetapi tidak menyerahkannya, maka hak tetap seperti semula. Untuk pinjaman, dia boleh mengambilnya kapan saja, dan untuk hak selain pinjaman, dia boleh mengambilnya kapan saja jika hak itu tunai.

Jika seseorang menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat menggadaikan barang jaminan yang disetujui atau memberikan jaminan dan penjamin yang disepakati, atau apa pun yang disepakati pembeli dan penjual atau salah satunya tanpa menyebutkan barang tertentu, maka jual belinya batal karena ketidakjelasan bagi penjual dan pembeli atau salah satunya mengenai syarat yang disepakati. Tidakkah kamu lihat, jika dia datang dengan penjamin atau barang gadai lalu dia berkata, “Aku tidak menerimanya,” maka tidak ada alasan baginya untuk menerima barang gadai atau penjamin tertentu yang telah diberikan.

Jika dia menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat memberikan budaknya yang mereka kenal sebagai jaminan, lalu dia memberikannya sebagai gadai tetapi tidak diterima, maka dia tidak boleh membatalkan jual beli karena tidak mengurangi syarat yang telah mereka sepakati bersama. Demikian pula, jika dia menjual sesuatu seharga seribu dengan syarat menggadaikan hasil hari itu atau hamba sahaya yang datang dari perantauan atau semacamnya, maka jual beli itu batal dengan makna serupa atau lebih dari masalah sebelumnya.

Jika seseorang membeli sesuatu dengan syarat menggadaikan barang tertentu, lalu pembeli meninggal sebelum menyerahkan gadai kepada penerima gadai, maka gadai itu tidak sah, dan ahli warisnya tidak wajib menyerahkannya. Jika mereka menyerahkannya secara sukarela tanpa ada ahli waris lain atau pemilik wasiat, maka itu sah sebagai gadai, dan penerima gadai boleh menjualnya karena hutangnya telah jatuh tempo. Jika mereka tidak melakukannya, penjual boleh memilih antara membatalkan atau menyelesaikan jual beli.

Jika penjual yang mensyaratkan gadai adalah yang meninggal, maka hutangnya tetap sesuai tenggat jika berjangka atau tunai jika tunai. Ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika pembeli menyerahkan gadai kepada mereka, maka jual beli sah. Jika tidak, mereka boleh memilih membatalkan atau menyelesaikan jual beli sebagaimana hak orang tua mereka, jika gadai itu tidak ada.

(Imam Syafi’i berkata): Jika gadai atau barang yang dibeli tidak ada, maka dia boleh memilih antara menyelesaikan jual beli dengan mengambil harganya atau membatalkannya dengan mengambil nilainya, sebagaimana aku berikan pilihan jika dia menjual budak lalu budak itu mati. Pembeli berkata, “Aku membelinya dengan lima ratus,” sedangkan penjual berkata, “Aku menjualnya dengan seribu.” Dia boleh mengambil pengakuan pembeli atau mengambil nilainya setelah pembeli bersumpah atas klaimnya. Aku tidak menyuruhnya bersumpah di sini karena pembeli tidak mengklaim kebebasan dari sesuatu sebagaimana dia mengklaim kebebasan dari kelebihan lima ratus.

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual sesuatu dengan harga tunai atau berjangka, atau ada hak tanpa gadai, dan tidak ada syarat gadai saat akad, lalu pembeli secara sukarela menggadaikan barang tertentu dan menyerahkannya, kemudian pemberi gadai ingin mengambil kembali gadai karena itu sukarela, maka dia tidak boleh kecuali jika penerima gadai mengizinkan, sebagaimana jika gadai itu disyaratkan.

Demikian pula, jika gadai disyaratkan lalu diserahkan, kemudian dia menambah gadai lain atau beberapa gadai dan menyerahkannya, lalu dia ingin mengambilnya atau sebagiannya, maka itu tidak boleh, meskipun nilai gadai berlipat dari hutangnya. Jika dia menambah beberapa gadai atau menggadaikan beberapa sekaligus tetapi hanya menyerahkan sebagian, maka yang diserahkan sah sebagai gadai, sedangkan yang tidak diserahkan tidak sah, dan yang sudah diserahkan tidak batal karena yang tidak diserahkan.

Jika seseorang menjual sesuatu dengan syarat barang yang dijual itu sendiri menjadi gadai bagi penjual, maka jual beli itu batal karena pembeli tidak memiliki barang kecuali jika barang itu ditahan darinya. Ini berbeda dengan menggadaikan barang miliknya sendiri. Tidakkah kamu lihat, jika dia menghadiahkan barang miliknya sendiri, itu sah, tetapi jika dia membeli sesuatu dengan syarat menghadiahkannya, itu tidak sah.

Baik mereka mensyaratkan gadai diserahkan kepada penjual atau orang lain yang adil, jika penerima gadai meninggal, gadai tetap berlaku, dan ahli warisnya memiliki hak yang sama. Jika pemberi gadai meninggal, gadai tetap berlaku dan tidak batal karena kematiannya atau kematian salah satu dari mereka.

Ahli waris pemberi gadai memiliki hak yang sama untuk melunasi hutang dan mengambil gadai atau menjualnya karena hutang orang tua mereka telah jatuh tempo. Mereka boleh memaksa penerima gadai untuk menjualnya dan mencegahnya menahan gadai dari penjualan, karena gadai bisa rusak atau hilang selama ditahan, sehingga tanggungan orang tua mereka tidak lunas, dan mungkin ada kelebihan nilai dari hutang yang menjadi hak mereka.

Jika penerima gadai tidak ada, hakim dapat menunjuk seseorang untuk menjual gadai dan menyerahkan haknya kepada pihak yang adil jika tidak ada wakil yang bisa melakukannya.

Jika seseorang memiliki hak tanpa gadai, lalu dia menggadaikan sesuatu, maka gadai itu sah.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Jika hak itu tunai atau tempo, dan jika hak itu tunai atau tempo, lalu orang yang menggadaikan (rahin) berkata: “Saya menggadaikan kepada Anda dengan syarat Anda menambah tempo untuk saya,” lalu dilakukan, maka gadai itu batal. Hak yang tunai tetap seperti semula, dan hak yang tempo tetap pada tempo awalnya, sedangkan tempo tambahan tidak berlaku. Kreditur rahin dalam gadai yang batal memiliki hak yang sama dengan penerima gadai (murtahin). Demikian pula, jika tidak disyaratkan penundaan tempo, tetapi disyaratkan untuk menjual sesuatu, meminjamkan, atau mengerjakan sesuatu dengan imbalan harga sebagai syarat untuk menggadaikan, tetapi gadai tidak dilakukan, maka gadai tidak sah. Gadai juga tidak sah untuk hak yang wajib sebelum diserahkan, kecuali rahin secara sukarela menyerahkannya tanpa tambahan apa pun dari murtahin. Jika seseorang berkata: “Jual budakmu kepadaku dengan harga seratus dengan syarat aku menggadaikan kepadamu seratus dan hakmu yang sebelumnya sebagai gadai,” maka gadai dan jual beli semuanya batal. Jika budak itu binasa di tangan pembeli, ia bertanggung jawab atas nilainya. Jika penerima gadai mengakui bahwa barang gadai yang ada di tangannya telah diterimanya sebagai gadai, maka aku menganggapnya sebagai gadai, dan aku tidak menerima perkataan orang yang adil yang mengatakan: “Aku tidak menerimanya,” jika penerima gadai mengatakan bahwa orang yang adil itu telah menerimanya.

[Perbedaan Barang yang Digadaikan dan Hak yang Menjadi Dasar Gadai]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika rumah, budak, atau harta bergerak berada di tangan seseorang, lalu seseorang berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadamu untuk ini,” tetapi si Fulan berkata: “Aku tidak menggadaikannya kepadamu, tetapi aku menitipkannya, atau memberimu kuasa, atau kamu merampasnya,” maka perkataan pemilik rumah, harta, atau budak yang dipegang. Karena orang yang memegangnya mengakui kepemilikan pemilik dan mengklaim hak atasnya, maka klaimnya tidak diterima kecuali dengan bukti. Demikian pula, jika orang yang memegangnya berkata: “Aku menggadaikannya kepadamu dengan seribu,” dan tergugat berkata: “Aku berutang seribu kepadamu, tetapi aku tidak menggadaikannya seperti klaimmu,” maka perkataan tergugat yang diterima, dan ia wajib membayar seribu tanpa gadai sebagaimana pengakuannya. Jika ada dua rumah di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikan keduanya kepadaku dengan seribu,” tetapi si Fulan berkata: “Aku hanya menggadaikan salah satunya (disebutkan secara spesifik) dengan seribu,” maka perkataan pemilik rumah yang mengatakan bahwa itu bukan gadai selain yang disebutkan.

Demikian pula, jika ia berkata: “Aku menggadaikan salah satunya dengan seratus,” maka hanya sah sebagai gadai dengan seratus. Jika orang yang memegang keduanya berkata: “Aku menggadaikan keduanya dengan seribu,” tetapi pemilik dua rumah berkata: “Aku hanya menggadaikan salah satunya (tanpa menyebutkan yang mana) dengan seribu,” maka tidak ada satu pun yang sah sebagai gadai, dan ia tetap wajib membayar seribu berdasarkan pengakuannya tanpa gadai. Karena pada dasarnya tidak boleh seseorang berkata kepada orang lain: “Aku menggadaikan salah satu dari dua rumahku ini,” tanpa menyebutkan yang mana, atau “salah satu dari dua budakku,” atau “salah satu dari dua pakaianku.” Gadai tidak sah kecuali barangnya disebutkan secara spesifik.

Jika ada rumah di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadaku dengan seribu dan menyerahkannya kepadaku,” tetapi si Fulan berkata: “Aku menggadaikannya dengan seribu, tetapi tidak menyerahkannya kepadamu, melainkan kamu merampasnya, atau seseorang menyewanya dariku dan menempatinya, atau ia sendiri menyewanya dan menempatinya tanpa aku menyerahkannya sebagai gadai,” maka perkataan pemilik rumah yang diterima. Gadai tidak sah jika pemilik rumah mengatakan itu bukan gadai, sehingga perkataannya yang dianggap. Jika ia mengakui gadai tetapi penerima gadai tidak menerimanya, maka itu bukan gadai.

Jika ada rumah di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadaku dengan seribu dinar dan menyerahkannya kepadaku,” tetapi si Fulan berkata: “Aku menggadaikannya dengan seribu dirham atau seribu fulus dan menyerahkannya kepadamu,” maka perkataan pemilik rumah yang diterima.

Jika ada budak di tangan seseorang, dan ia berkata: “Si Fulan menggadaikannya kepadaku dengan seratus,” dan budak itu membenarkannya, tetapi pemilik budak berkata: “Aku tidak menggadaikannya dengan apa pun,” maka perkataan pemilik budak yang diterima, dan budak tidak memiliki hak bersuara.

Jika kasusnya sama, tetapi pemilik budak berkata: “Aku tidak menggadaikannya dengan seratus, tetapi aku menjualnya dengan seratus,” maka budak itu bukan gadai atau jual beli jika kedua pihak berselisih dalam klaim masing-masing.

Jika ada budak yang dimiliki dua orang, lalu seseorang berkata: “Kalian berdua menggadaikannya kepadaku dengan seratus dan aku menerimanya,” lalu salah satu pemilik membenarkannya, sedangkan yang lain berkata: “Aku tidak menggadaikannya dengan apa pun,” maka separuhnya sah sebagai gadai dengan lima puluh, dan separuhnya bebas dari gadai. Jika rekan pemilik budak bersaksi terhadap pemilik lain dengan klaim penerima gadai, dan ia orang yang adil, maka penerima gadai harus bersumpah bersamanya, dan separuh bagiannya sah sebagai gadai dengan lima puluh. Tidak ada pengaruh dari kesaksian penerima gadai yang menguntungkan dirinya sendiri atau menolak klaim terhadapnya.

kesaksiannya, dan aku tidak menolak kesaksian seorang lelaki yang memiliki sesuatu atasnya jika dia bersaksi untuk orang lain.

Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, dan berada di tangan dua orang yang mengklaim bahwa mereka menggadaikannya bersama sebesar seratus, lalu kedua orang itu mengakui bahwa salah satu dari mereka menggadaikannya sendirian sebesar lima puluh dan menyangkal klaim pihak lain, maka mereka terikat dengan apa yang mereka akui, dan tidak terikat dengan klaim pihak lain yang mereka sangkal. Jika mereka mengakui bersama bahwa budak itu digadaikan kepada keduanya, tetapi mereka berkata, “Dia digadaikan sebesar lima puluh,” sementara pihak lain mengklaim seratus, maka mereka hanya terikat dengan apa yang mereka akui.

Jika salah satu pemberi gadai berkata kepada salah satu penerima gadai, “Aku menggadaikannya kepadamu sebesar lima puluh,” dan yang lain berkata kepada penerima gadai lainnya, “Aku menggadaikannya kepadamu sebesar lima puluh,” maka hak masing-masing atas budak itu adalah separuh, yaitu seperempat budak digadaikan kepada yang diakui sebesar dua puluh lima. Pengakuan mereka terhadap diri sendiri diperbolehkan, tetapi tidak terhadap orang lain. Jika keduanya termasuk orang yang kesaksiannya diterima, dan masing-masing bersaksi terhadap rekannya dan dirinya sendiri, maka kesaksian mereka diterima, dan masing-masing diwajibkan membayar dua puluh lima dinar berdasarkan pengakuannya dan dua puluh lima dinar lagi berdasarkan kesaksian rekannya, jika penggugat bersumpah bersama saksi.

Jika seribu dinar berada di tangan seorang lelaki, lalu dia berkata, “Aku menggadaikannya sebesar seratus dinar atau seribu dirham,” tetapi pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikannya kepadamu sebesar satu dinar atau sepuluh dirham,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, karena penerima gadai mengakui kepemilikan seribu dinar tersebut, sementara dia menuntut hak atasnya. Perkataan pemberi gadai lebih diutamakan dalam hal klaim yang diajukan terhadapnya.

Jika pemberi gadai dan penerima gadai berselisih, dan penerima gadai berkata, “Kau menggadaikan budakmu yang bernama Salim kepadaku sebesar seratus,” sementara pemberi gadai berkata, “Tidak, aku menggadaikan budakku yang bernama Muwaffaq kepadamu sebesar sepuluh,” maka pemberi gadai harus bersumpah, dan Salim tidak tergadai sama sekali. Jika klaimnya benar bahwa Muwaffaq digadaikan sebesar sepuluh dinar, maka Muwaffaq sah sebagai gadai. Jika penerima gadai mendustakannya dan berkata, “Salim yang digadaikan sebesar itu,” maka Muwaffaq maupun Salim tidak sah sebagai gadai, karena hal itu membebaskan Muwaffaq dari status gadai.

Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu sebesar seribu,” tetapi pihak lain menyanggah, “Tidak, aku membelinya darimu sebesar seribu,” dan mereka sepakat bahwa seribu itu telah diterima, maka mereka harus saling bersumpah. Uang seribu itu tetap menjadi tanggungan pihak yang menerimanya tanpa status gadai atau jual beli. Demikian pula jika seseorang berkata, “Seandainya aku menggadaikan rumahku kepadamu sebesar seribu, maka aku telah menerimanya darimu,” tetapi pihak penerima gadai berkata, “Tidak, aku membeli budakmu dengan uang seribu itu,” maka mereka harus saling bersumpah. Rumah itu tidak sah sebagai gadai, dan budak itu tidak sah sebagai barang jualan. Uang seribu tetap menjadi tanggungan tanpa status gadai atau jual beli.

Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu sebesar seribu, dan aku telah menerima rumah itu, tetapi aku belum menerima uang seribu darimu,” sementara penerima gadai berkata, “Tidak, aku telah menerima uang seribu,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, karena dia tidak mengakui adanya utang seribu yang mengikatnya. Dia harus bersumpah bahwa dia tidak menerima uang seribu, lalu rumah itu bebas dari status gadai karena tidak ada uang yang diterima sebagai jaminan.

Jika seseorang memiliki utang seribu dirham atas orang lain, lalu dia menggadaikan sebuah rumah sebagai jaminan, dan pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikan rumah ini kepadamu sebesar seribu dirham untuk jangka waktu satu tahun,” sementara penerima gadai berkata, “Tidak, seribu dirham itu harus dibayar tunai,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti, dan penerima gadai harus membuktikan klaimnya.

Demikian pula jika pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikannya sebesar seribu dirham,” tetapi penerima gadai berkata, “Tidak, sebesar seribu dinar,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti. Dalam semua hal yang tidak dapat dibuktikan kecuali dengan perkataannya, maka perkataannya yang diutamakan. Sebab, jika dia berkata, “Aku tidak menggadaikannya kepadamu,” maka perkataannya yang diikuti.

Jika seseorang memiliki dua utang atas orang lain, satu dengan jaminan gadai dan satu tanpa jaminan, lalu dia melunasi seribu, kemudian mereka berselisih, di mana pemberi gadai berkata, “Aku melunasi utang yang dengan jaminan gadai,” tetapi penerima gadai berkata, “Tidak, yang tanpa jaminan,” maka perkataan pemberi gadai yang diikuti. Tidakkah kamu melihat bahwa jika dia datang dengan seribu dan berkata, “Ini uang seribu yang aku gadaikan kepadamu,” lalu penerima gadai menerimanya, maka dia wajib melepaskan jaminan gadainya dan tidak boleh menahannya dengan alasan, “Kau masih berutang seribu lainnya.” Jika dia menahannya setelah menerima pembayaran, maka dia telah melampaui batas dengan penahanan itu. Jika jaminan gadai itu rusak di tangannya, maka dia harus mengganti nilainya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti perkataan pihak yang membayar. Wallahu a’lam.

[Hukum Barang yang Boleh Digadaikan]

(Imam Syafi’i berkata—rahimahullah—):

Setiap barang yang boleh dijual dari orang dewasa merdeka yang tidak berada di bawah pengampuan, maka boleh digadaikan. Demikian pula, siapa saja yang berhak…

Untuk menggadaikan atau digadaikan oleh orang merdeka yang sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan, diperbolehkan baginya menggadaikan dengan atau tanpa pengawasan; karena ia boleh menjual atau menghibahkan hartanya dalam segala kondisi. Jika hibah hartanya diperbolehkan, maka menggadaikannya tanpa pengawasan juga diperbolehkan. Namun, seorang ayah tidak boleh menggadaikan harta untuk anaknya, begitu pula wali anak yatim, kecuali jika ada keuntungan bagi mereka. Meminjamkan harta mereka dengan jaminan gadai tidak diperbolehkan, dan siapa pun yang melakukannya harus menanggung kerugian atas harta yang dipinjamkannya.

Seorang mukatab (budak yang sedang menebus dirinya) dan budak yang diizinkan berdagang boleh menggadaikan harta jika hal itu bermanfaat bagi harta mereka dan menambah nilainya. Namun, meminjamkan harta dan menggadaikannya tidak diperbolehkan bagi mereka. Mereka boleh menjual hartanya, mengambil keuntungan, lalu menggadaikannya. Bagi mereka yang tidak diperbolehkan menggadaikan kecuali untuk kelebihan harta miliknya sendiri, anaknya, anak yatim yang diwalikan, mukatab, atau budak yang diizinkan, tidak boleh menggadaikan apa pun karena gadai adalah amanah dan utang adalah kewajiban. Gadai dalam segala hal merugikan mereka, kecuali dalam kondisi darurat seperti ketakutan akan pemindahan harta mereka atau situasi serupa.

Kami tidak membolehkan gadai dari pihak yang telah disebutkan, kecuali menurut pendapat yang menganggap bahwa seluruh gadai dijamin. Adapun harta yang tidak dijamin, menggadaikannya tanpa pengawasan tidak diperbolehkan karena bisa rusak, dan pemberi gadai tidak terbebas dari tanggungan. Baik laki-laki, perempuan, Muslim, atau non-Muslim, semua boleh menggadaikan harta sesuai ketentuan yang telah dijelaskan. Seorang Muslim boleh menggadaikan kepada non-Muslim, dan sebaliknya, tanpa paksaan, kecuali jika seorang Muslim menggadaikan mushaf Al-Qur’an kepada non-Muslim. Jika hal itu terjadi, kami tidak membatalkannya tetapi menyerahkannya kepada seorang Muslim yang adil dan memaksa non-Muslim tersebut jika menolak.

Saya tidak menyukai jika seorang non-Muslim menggadaikan budak Muslim, baik kecil maupun dewasa, agar Muslim tidak dihinakan di bawah kekuasaan non-Muslim atau dipaksa makan babi atau minum khamr. Jika hal itu terjadi, gadainya tidak dibatalkan. Saya juga tidak menyukai gadai budak perempuan dewasa atau hampir dewasa yang mungkin diinginkan oleh seorang Muslim, kecuali jika penerima gadai memegangnya dan menyerahkannya kepada pemiliknya, seorang wanita, atau mahramnya. Jika pemiliknya menggadaikannya kepada seorang laki-laki dan menyerahkannya, gadainya tidak dibatalkan. Hal yang sama berlaku jika digadaikan kepada non-Muslim, tetapi non-Muslim dipaksa untuk menyerahkannya kepada seorang Muslim yang adil, dan lebih disukai jika diserahkan kepada seorang wanita. Jika tidak ada wanita, diserahkan kepada laki-laki adil yang bersama seorang wanita adil. Jika pemberi dan penerima gadai sepakat untuk menyerahkan budak perempuan kepada orang yang tidak terpercaya, mereka dipaksa untuk menerima penyerahan kepada pihak yang adil. Jika mereka menolak, saya akan memilih pihak adil untuk mereka, kecuali jika mereka sepakat untuk menyerahkannya kepada pemilik atau penerima gadai.

Selain manusia, saya tidak keberatan dengan gadai hewan atau lainnya, baik dari Muslim maupun non-Muslim. Nabi SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi. Jika seorang wanita dewasa dan cakap, baik perawan atau janda, boleh menjual atau menggadaikan dirinya. Jika dia sudah menikah, boleh menggadaikan atau menjual dirinya tanpa izin suaminya, dan boleh menghibahkan hartanya kepada suaminya atau orang lain jika dia cakap, seperti suaminya dengan hartanya. Jika seorang wanita, laki-laki, Muslim, non-Muslim, merdeka, atau budak berada di bawah pengampuan, tidak boleh menggadaikan apa pun, sebagaimana tidak boleh menjualnya. Jika seseorang yang tidak boleh menggadaikan melakukannya, gadainya batal, dan penerima gadai tidak memiliki hak atas harta yang digadaikan.

Jika orang yang berada di bawah pengampuan menggadaikan sesuatu tetapi tidak diserahkan olehnya atau walinya kepada penerima gadai, dan tidak diajukan kepada hakim untuk dibatalkan sampai pengampuan dicabut, maka gadai pertama tidak sah sampai gadai baru dilakukan setelah pencabutan pengampuan dan diserahkan kepada penerima gadai. Jika hal itu dilakukan, gadainya sah. Jika seseorang menggadaikan harta dan penerima gadai menerimanya sebelum pengampuan, kemudian dia berada di bawah pengampuan, gadai tetap sah, dan penerima gadai berhak atasnya sampai haknya terpenuhi.

Seorang yang memiliki banyak utang boleh menggadaikan hartanya sampai penguasa menahan hartanya, sebagaimana dia boleh menjualnya sampai penguasa menahan hartanya. Jika orang yang tidak berada di bawah pengampuan menggadaikan harta kepada orang yang berada di bawah pengampuan, dan gadai itu terkait dengan penjualan, maka penjualannya batal, dan pemberi gadai harus mengembalikan barangnya jika masih ada atau nilainya jika tidak ada. Gadai juga batal jika hak yang menjadi dasar gadai batal. Hal yang sama berlaku jika seseorang menyewa rumah, tanah, atau hewan dan menggadaikannya, maka gadai dan sewa batal. Jika dia menempati, mengendarai, atau menggunakannya, dia harus membayar sewa atau upah yang setara. Demikian pula jika orang yang berada di bawah pengampuan meminjamkan harta dan orang yang tidak berada di bawah pengampuan menggadaikannya, gadainya batal karena pinjaman tersebut.

Batil dan atasnya dikembalikan salaf dengan yang sama, dan tidak boleh dia menginfakkan sesuatu darinya. Jika dia menginfakkannya, maka dia harus menggantinya dengan yang serupa jika ada, atau nilainya jika tidak ada yang serupa. Dan setiap gadai yang dibatalkan karena syarat dalam gadai, kerusakan gadai, atau kerusakan jual beli yang melatarbelakangi gadai, aku tidak meminta orang yang menggadaikan untuk membawa gadai lain dalam keadaan apa pun. Demikian pula, jika syarat dalam gadai dan jual beli sah tetapi gadai tersebut disita, aku tidak meminta orang yang menggadaikan untuk membawa gadai lain.

Dia berkata: Jika dua orang yang tidak terlarang melakukan jual beli yang rusak dan salah satunya menggadaikan kepada yang lain sebagai gadai, maka jual beli dan gadai tersebut batal. Kesimpulan ilmu ini adalah bahwa setiap hak yang asalnya sah boleh dijadikan gadai, dan setiap jual beli yang tidak sah maka gadainya rusak jika pembeli atau penyewa tidak memiliki apa yang dijual atau disewa. Penerima gadai tidak memiliki hak atas gadai tersebut. Gadai hanya sah bagi yang menggadaikan sesuai dengan apa yang dia berikan sebagai jaminan. Jika apa yang dia berikan batal, maka gadainya juga batal.

Jika seseorang menukar budak dengan budak, rumah dengan rumah, atau barang dengan barang, dan salah satunya menambah dinar yang ditangguhkan dengan syarat dia menggadaikan tambahan dinar tersebut sebagai gadai yang jelas, maka jual beli dan gadainya sah jika sudah diterima.

Jika seseorang menerima gadai dari orang lain untuk dirinya sendiri atau orang lain atas perintahnya dan pemilik gadai, maka gadainya sah. Jika yang menerima adalah anak orang yang menggadaikan, istrinya, ayahnya, atau kerabatnya, atau anak penerima gadai, atau salah satu dari yang disebutkan, atau budak penerima gadai, maka gadainya sah. Namun, jika budak orang yang menggadaikan yang menerima untuk penerima gadai, itu tidak sah karena penerimaan budaknya sama seperti penerimaan dirinya sendiri.

Jika seseorang menggadaikan budak kepada orang lain dan penerima gadai mengeluarkan biaya tanpa perintah orang yang menggadaikan, maka itu dianggap sukarela. Jika dia menggadaikan tanah kharaj, maka gadainya batal karena tanah itu tidak dimiliki. Jika ada tanaman atau bangunan milik orang yang menggadaikan, maka tanaman dan bangunan itu bisa dijadikan gadai. Jika dia membayar kharaj atasnya, itu dianggap sukarela dan tidak bisa menuntut kembali dari orang yang menggadaikan kecuali jika dia membayar atas perintahnya.

Demikian pula, jika seseorang menyewa tanah dari orang lain yang telah menyewanya, lalu penyewa membayar sewa untuk penyewa pertama, maka jika dia membayar dengan izinnya, dia bisa menuntut kembali. Jika tanpa izin, itu dianggap sukarela dan tidak bisa menuntut kembali.

Gadai sah dengan setiap hak yang melekat, seperti mahar atau lainnya, baik antara dzimmi, harbi yang mendapat perlindungan (musta’min), musta’min dengan muslim, sebagaimana sah antara muslim, tidak ada perbedaan.

Jika gadai dengan mahar lalu terjadi talak sebelum hubungan suami-istri, maka separuh hak batal dan gadai tetap seperti semula, kecuali sedikit dan gadai tetap berlaku.

Jika seseorang menerima gadai berupa kurma atau gandum, lalu hak jatuh tempo, kemudian dia menjual gadai yang ada di tangannya dalam bentuk kurma atau gandum, maka jual beli itu tertolak. Tidak boleh menjualnya kecuali dengan dinar atau dirham, lalu dibelikan gandum atau kurma untuk diberikan kepada pemilik hak.

Tidak boleh menggadaikan dalam akad qiradh karena gadai tidak dijamin kecuali jika pemilik modal mengizinkan qiradh untuk menggadaikan dengan utang yang diketahui. Demikian pula, tidak boleh menerima gadai kecuali jika pemilik modal mengizinkannya untuk menjual dengan utang. Jika dia menjual dengan utang, maka gadai adalah tambahan baginya. Gadai hanya sah dalam harta pemilik modal. Jika dia menggadaikan untuk orang lain, maka dia menanggungnya, dan gadai tidak sah.

[Cacat dalam Gadai]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Gadai ada dua jenis: gadai dalam hak asli yang tidak wajib kecuali dengan syarat, yaitu ketika seseorang menjual dengan syarat menggadaikan sesuatu yang mereka sebutkan. Jika seperti ini, lalu gadai memiliki cacat fisik atau cacat fungsi yang mengurangi nilainya, dan penerima gadai mengetahui cacat itu sebelum akad, maka dia tidak memiliki hak khiyar (pilihan), dan gadai serta jual beli tetap sah. Jika penerima gadai tidak mengetahuinya lalu mengetahuinya setelah jual beli, maka dia memiliki hak khiyar antara membatalkan jual beli atau menetapkannya, serta menetapkan gadai dengan pengurangan nilai.

Cacat yang memberikan hak khiyar adalah segala sesuatu yang mengurangi nilai, sedikit atau banyak, bahkan bekas yang tidak mengganggu fungsi. Jika dia sudah mengetahuinya, maka tidak ada hak khiyar. Jika gadai itu terbunuh atau murtad dan dia mengetahuinya…

Penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:

Jika barang gadai kemudian digadaikan, maka gadai tersebut tetap berlaku. Jika barang tersebut dibunuh (rusak) di tangan penerima gadai, maka penjualan tetap sah, dan gadai telah keluar dari tangannya. Jika tidak dibunuh (rusak), maka status gadai tetap seperti semula. Demikian pula jika barang tersebut dicuri lalu dipotong di tangan penerima gadai, status gadai tetap berlaku. Jika penerima gadai tidak mengetahui kemurtadan, pembunuhan, atau pencurian tersebut, lalu menggadaikannya, kemudian barang itu dibunuh atau dipotong di tangannya, ia berhak membatalkan penjualan.

Jika pemberi gadai tidak menipu penerima gadai dengan cacat pada barang dan menyerahkannya dalam keadaan baik, lalu barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat di tangan penerima gadai, maka gadai tetap berlaku. Namun, jika pemberi gadai menipu dengan cacat pada barang dan penerima gadai menerimanya, lalu barang tersebut mati sebelum ia memilih untuk membatalkan penjualan, ia tidak berhak membatalkannya karena barang gadai telah hilang. Ini berbeda jika barang dibunuh atau dipotong di tangannya. Hal yang sama berlaku untuk semua cacat pada barang gadai, baik hewan maupun lainnya.

Jika pemberi dan penerima gadai berselisih tentang cacat pada barang, dan pemberi gadai berkata, “Aku menggadaikan barang ini dalam keadaan baik,” sementara penerima gadai berkata, “Engkau menggadaikannya dalam keadaan cacat,” maka perkataan pemberi gadai yang diterima dengan sumpah jika cacat tersebut termasuk yang biasa terjadi. Penerima gadai harus membuktikan klaimnya. Jika ia berhasil membuktikannya, ia berhak memilih seperti yang telah dijelaskan.

Jika seseorang menggadaikan budak atau lainnya dengan syarat diberi pinjaman, maka apakah ia menemukan cacat pada barang gadai atau tidak, hal itu sama saja. Ia berhak memilih untuk mengambil pinjamannya segera, meskipun awalnya disebutkan sebagai pinjaman berjangka. Pinjaman tidak sama dengan penjualan, dan gadai yang diberikan secara sukarela oleh pemberi gadai. Misalnya, jika seseorang menjual barang secara kredit tanpa syarat gadai, lalu setelah akad jual beli selesai, pemberi gadai menggadaikan barang tersebut, maka gadai ini bersifat sukarela. Penerima gadai tidak berhak membatalkan penjualan jika terdapat cacat pada barang gadai, karena penjualan telah sah tanpa gadai. Namun, ia boleh membatalkan gadai jika ingin, atau membatalkan penjualan jika itu adalah haknya yang ia tinggalkan.

Boleh menggadaikan budak yang murtad, pembunuh, atau yang terkena hukuman had, karena hal itu tidak menghilangkan status perbudakannya. Jika budak tersebut dibunuh, maka ia keluar dari status gadai. Jika seseorang murtad dari Islam lalu menggadaikan budaknya, maka siapa yang membolehkan penjualan budak murtad, ia juga membolehkan penggadaiannya, dan sebaliknya.

(Imam Syafi’i berkata): “Gadai orang murtad boleh seperti halnya penjualannya.”

[Gadai mencakup dua hal yang berbeda, seperti pakaian, tanah, bangunan, dan lainnya.]

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seseorang menggadaikan tanahnya tanpa menyebut bangunan di atasnya, maka hanya tanah yang tergadai, bukan bangunannya. Demikian pula jika ia menggadaikan tanah tanpa menyebut pohon-pohonnya, baik yang tersebar atau tidak, maka hanya tanah yang tergadai, bukan pohon-pohonnya. Jika ia menggadaikan pohon-pohon dengan jarak di antaranya, maka hanya pohon yang tergadai, bukan jaraknya. Hanya yang disebutkan yang termasuk dalam gadai.

Jika seseorang menggadaikan buah yang sudah keluar dari pohon sebelum boleh dijual beserta pohonnya, maka pohon dan buahnya tergadai secara sah, karena jika pemberi gadai meninggal atau hutang jatuh tempo, penerima gadai boleh menjualnya segera. Demikian pula jika hutang berjangka, karena pemberi gadai rela menjualnya sebelum jatuh tempo atau jika ia meninggal sehingga hutang jatuh tempo.

Jika hutang dalam gadai ini berjangka, lalu buah sudah matang dan dijual, pemberi gadai boleh memilih apakah hasil penjualannya digunakan untuk melunasi hutang atau tetap digadaikan bersama pohon hingga hutang jatuh tempo.

Jika hutang sudah jatuh tempo dan penerima gadai ingin menjual buah sebelum matang tanpa pohon, itu tidak boleh. Demikian pula jika ia ingin memotong dan menjualnya tanpa izin pemberi gadai. Jika buah digadaikan tanpa pohon, baik masih kuncup, sudah diserbuki, atau dalam keadaan apa pun sebelum matang, gadai tidak sah, baik hutang jatuh tempo atau berjangka, kecuali jika disyaratkan bahwa penerima gadai boleh memotong atau menjualnya saat hutang jatuh tempo. Ini karena kebiasaan buah dibiarkan hingga matang.

Bukankah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang menjual buah sebelum matang? Ini agar diketahui bahwa buah harus dibiarkan hingga matang. Namun, boleh menjual buah dengan syarat dipotong sebelum matang, karena itu bukan larangan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Demikian pula semua buah dan tanaman yang digadaikan sebelum matang, jika tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan kecuali dengan syarat seperti itu.

Bahwa buah tersebut harus dipotong ketika hak jatuh tempo, lalu dijual dalam keadaan terpotong sebagaimana adanya. Jika penjualan buah telah jatuh tempo, maka gadainya juga jatuh tempo, baik hak itu berjangka maupun tunai. Jika buah telah matang tetapi hak belum jatuh tempo, pemilik tidak boleh menjualnya jika sudah kering kecuali dengan izin penerima gadai. Jika penerima gadai menyetujui, nilainya menjadi gadai, kecuali jika pemilik secara sukarela menjadikannya sebagai pelunasan. Saya tidak pernah menjadikan utang berjangka sebagai tunai, kecuali jika pemilik utang secara sukarela menyetujuinya. Jika seseorang menggadaikan buah, maka pertambahan dalam ukuran dan kualitasnya termasuk dalam gadai, sebagaimana pertambahan gadai di tangannya juga termasuk gadai. Jika ada sebagian harga yang keluar, maka itu digadaikan, dan jika setelahnya keluar lagi, maka yang keluar tidak terpisah dari yang pertama digadaikan, sehingga gadai pada yang pertama dan yang keluar tidak sah karena gadai saat itu tidak jelas. Gadai tidak sah sampai buah dipotong di tempatnya atau disyaratkan untuk dipotong dalam waktu tertentu sebelum buah yang keluar setelahnya muncul, atau setelah keluar sebelum menjadi jelas apakah itu termasuk gadai pertama atau tidak. Jika ini terpenuhi, maka gadai sah.

Jika dibiarkan hingga keluar buah setelahnya yang tidak dapat dibedakan sampai diketahui, ada dua pendapat. Pertama: gadai menjadi batal sebagaimana jual beli batal, karena saya tidak bisa membedakan yang tergadai dengan yang tidak. Kedua: gadai tidak batal, dan perkataan pemilik gadai dianggap benar mengenai jumlah buah yang digadaikan dari yang tercampur, seperti jika seseorang menggadaikan gandum atau kurma yang kemudian tercampur dengan gandum atau kurma milik pemilik. Pendapatnya dianggap benar mengenai jumlah gandum yang digadaikan disertai sumpah.

(Rabi’ berkata): Syafi’i memiliki pendapat lain dalam jual beli, yaitu jika seseorang menjual buah tetapi belum diserahkan hingga muncul buah lain di pohonnya yang tidak dapat dibedakan dari yang dijual sebelumnya, penjual memiliki hak memilih antara menyerahkan buah baru bersama yang pertama (sebagai tambahan) atau membatalkan jual beli karena tidak tahu berapa banyak yang dijual dari buah yang baru muncul. Menurut saya, gadai juga seperti itu. Jika penerima gadai rela menerima tambahan bersama gadai pertama, gadai tidak batal.

Jika seseorang menggadaikan tanaman dengan syarat dipanen ketika hak jatuh tempo dalam keadaan apa pun lalu dijual, tetapi tanaman bertambah dengan tumbuhnya yang belum ada sebelumnya, gadai tidak sah karena tidak bisa dibedakan antara yang tergadai dengan yang tumbuh setelahnya. Jika ada yang bertanya, apa bedanya buah yang awalnya kecil lalu menjadi besar dengan tanaman? Jawabannya: buah itu satu, hanya membesar seperti budak yang digadaikan bertambah besar atau gemuk setelah sebelumnya kurus. Ketika dipotong, tidak ada lagi yang tersisa, sedangkan tanaman dipotong bagian atasnya dan tumbuh lagi bagian bawahnya, lalu dijual sedikit demi sedikit. Yang keluar darinya bukan bagian gadai, sedangkan pertambahan pada buah masih termasuk buah. Tidak boleh menjualnya sedikit pun kecuali dipotong di tempatnya, lalu potongan lainnya dijual secara terpisah. Demikian juga, tidak boleh menggadaikannya kecuali seperti bolehnya menjualnya.

Jika seseorang menggadaikan buah, maka pemilik wajib menyiram, merawat, memanen, dan mengeringkannya, sebagaimana ia menanggung nafkah budak. Jika pemilik ingin memotongnya sebelum waktunya atau penerima gadai menginginkannya, keduanya dilarang melakukannya sampai ada kesepakatan. Jika sudah tiba waktunya, pemilik dipaksa memotongnya karena itu bagian dari perawatannya. Begitu juga jika penerima gadai menolak, ia dipaksa. Jika buah telah menjadi kurma, diserahkan kepada orang yang ditunjuk untuk menerima gadai atau lainnya. Jika orang yang ditunjuk menolak kecuali dengan upah, pemilik diperintahkan untuk menyediakan tempat penyimpanan karena itu bagian dari perawatan. Jika tidak, maka disewa untuknya.

Tidak boleh seseorang menggadaikan sesuatu yang belum halal dijual saat digadaikan, meskipun akan halal setelah beberapa waktu. Contohnya: menggadaikan janin budak perempuan sebelum lahir dengan syarat jika lahir menjadi gadai, atau menggadaikan apa yang dilahirkan budak atau hewan ternaknya, atau hasil pohon kurmanya dengan syarat dipotong di tempatnya. Tidak boleh menggadaikan sesuatu yang bukan miliknya sepenuhnya, seperti buah yang sudah matang tetapi tidak dimiliki melalui pembelian atau tidak memiliki pohonnya. Contoh lain: seseorang diberi sedekah bersama orang lain berupa buah kurma, sehingga mungkin ada yang mengurangi haknya tanpa tahu berapa yang digadaikan.

Tidak boleh seseorang menggadaikan kulit bangkai yang belum disamak karena harganya belum halal. Jika sudah disamak, boleh digadaikan karena harganya halal. Jika digadaikan sebelum disamak lalu pemilik menyamaknya, itu keluar dari gadai karena akad gadainya tidak sah saat penjualannya belum halal.

Seorang laki-laki diberi hibah atau sedekah yang tidak haram, lalu ia menggadaikannya sebelum menerimanya, kemudian ia menerimanya, maka barang itu keluar dari gadai karena ia menggadaikannya sebelum kepemilikannya sempurna. Jika ia membuat akad gadai setelah menerimanya, maka itu diperbolehkan.

Jika seseorang diwasiatkan seorang budak tertentu, lalu pemberi wasiat meninggal dan penerima wasiat menggadaikan budak itu sebelum ahli waris menyerahkannya kepadanya, maka jika wasiat itu termasuk dalam sepertiga harta, gadai itu sah karena ahli waris tidak boleh melarangnya jika termasuk dalam sepertiga. Penerimaan atau tidak penerimaan dalam hal ini sama saja. Pemberi hibah atau sedekah boleh melarangnya sebelum barang itu diterima.

Jika seseorang mewarisi seorang budak dari seseorang dan tidak ada ahli waris lain selain dirinya, lalu ia menggadaikan budak itu, maka gadai itu sah karena ia adalah pemilik budak tersebut melalui warisan. Demikian juga jika ia membeli seorang budak, melunasi harganya, lalu menggadaikannya sebelum menerimanya.

Jika seseorang menggadaikan budak mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) lalu budak itu gagal memenuhi kewajibannya sebelum keputusan pembatalan gadai, maka gadai itu batal karena yang diperhatikan adalah akad gadai, bukan keputusan.

Jika seseorang membeli seorang budak dengan hak khiyar (hak memilih) selama tiga hari, lalu ia menggadaikannya, maka gadai itu sah dan itu berarti ia telah melepaskan hak khiyarnya serta mengikatkan diri pada jual beli budak tersebut. Jika hak khiyar ada pada penjual atau pada kedua belah pihak (penjual dan pembeli), lalu pembeli menggadaikan budak itu sebelum tiga hari berlalu atau sebelum penjual memutuskan untuk melanjutkan jual beli, kemudian tiga hari berlalu atau pembeli memilih melanjutkan jual beli, maka gadai itu batal karena akad gadai terjadi saat kepemilikannya atas budak itu belum sempurna.

Jika dua orang mewarisi tiga budak dari seseorang dan belum membaginya, lalu salah satu dari mereka menggadaikan satu atau dua budak dari ketiganya, kemudian ia membagi warisan dengan rekannya dan mengambil budak yang digadaikannya, maka bagiannya dari budak itu tetap tergadai karena itulah yang ia miliki sebelumnya. Bagian yang ia dapatkan setelah gadai keluar dari gadai kecuali jika ia membuat akad gadai baru atasnya. Jika pemilik wasiat berhak atas sebagian dari budak itu, maka bagian yang diambilnya keluar dari gadai, dan bagian yang tidak diambilnya tetap tergadai.

(Rabi’ berkata:) Ada pendapat lain bahwa jika seseorang menggadaikan sesuatu yang sebagian miliknya dan sebagian milik orang lain, maka seluruh gadai itu batal karena akad gadai menggabungkan dua hal: yang ia miliki dan yang tidak ia miliki. Ketika akad menggabungkan keduanya, seluruhnya menjadi batal. Demikian juga dalam jual beli. (Ia berkata:) Pendapat ini lebih dekat dengan pandangan umum Syafi’i.

Jika seseorang memiliki saudara yang menjadi ahli warisnya, lalu saudaranya meninggal dan ia menggadaikan rumahnya tanpa mengetahui kematian saudaranya, kemudian terbukti bahwa saudaranya telah meninggal sebelum gadai rumah itu, maka gadai itu batal.

Gadai tidak sah kecuali jika orang yang menggadaikan adalah pemilik barang tersebut dan ia tahu bahwa dirinya adalah pemiliknya. Demikian juga jika ia berkata, “Aku telah mewakilkan pembelian budak ini, maka aku menggadaikannya kepadamu jika budak itu dibeli untukku,” lalu ternyata budak itu telah dibeli untuknya, maka itu bukanlah gadai.

Jika penerima gadai tahu bahwa barang itu telah menjadi milik pemberi gadai melalui warisan atau pembelian sebelum digadaikan, maka pemberi gadai harus bersumpah. Jika ia bersumpah, gadai itu batal. Jika ia menolak, penerima gadai boleh bersumpah atas klaimnya, dan gadai itu tetap sah.

Demikian juga jika seseorang melihat orang yang tidak ia kenali lalu berkata, “Jika orang ini si Fulan, maka aku menggadaikannya kepadamu,” maka itu bukanlah gadai kecuali jika ia menerimanya dan membuat akad gadai baru saat penerimaan, sebelumnya, atau sesudahnya.

Begitu pula jika seseorang melihat sebuah kotak dan berkata, “Dulu di dalam kotak ini ada pakaian tertentu,” dan pemberi gadai serta penerima gadai mengenali pakaian itu, lalu ia berkata, “Jika pakaian itu ada di dalamnya, maka itu menjadi gadai untukmu,” maka itu bukanlah gadai meskipun pakaian itu ada di dalamnya.

Demikian juga jika kotak itu berada di tangan penerima gadai sebagai titipan dan di dalamnya ada pakaian, lalu pemberi gadai berkata, “Aku telah menjadikan pakaianku yang tertentu di kotak ini sebagai gadai,” sementara di dalamnya ada pakaian lain atau pakaian yang ia sebut bersama pakaian lain, maka itu bukanlah gadai. Jika di dalamnya hanya ada pakaian yang ia sebut dan tidak ada yang lain, itu pun bukanlah gadai.

Begitu pula jika ia berkata, “Aku menggadaikan kepadamu apa yang ada di dalam karungku,” lalu ia menyerahkan karung itu sementara pemberi gadai tidak mengetahui isinya, maka itu bukanlah gadai. Demikian juga jika pemberi gadai tahu isinya tetapi penerima gadai tidak mengetahuinya. Gadai tidak sah kecuali jika pemberi dan penerima gadai mengetahui barangnya, dan pemberi gadai tahu bahwa itu adalah miliknya yang halal untuk dijual.

Tidak boleh menggadaikan klaim hak atas seseorang karena klaim hak bukanlah sesuatu yang dimiliki. Itu hanyalah kesaksian atas kewajiban seseorang. Sesuatu yang menjadi kewajiban bukanlah barang nyata yang boleh digadaikan. Hanya barang nyata yang boleh digadaikan, dan itu pun harus diketahui oleh pemberi dan penerima gadai serta harus diterima.

Jika seseorang menerima barang dagangan atau warisan yang sebelumnya tidak ia ketahui jumlahnya, lalu seseorang menerimanya atas namanya dengan atau tanpa perintah, kemudian pemilik yang menerimanya menggadaikan barang itu sementara ia sendiri tidak tahu jumlahnya, maka gadai itu tidak sah kecuali jika penerima gadai menerimanya dan mengetahui apa yang digadaikan sebagaimana pengetahuan pemberi gadai.

Wallahu a’lam.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52Laman berikutnya
Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker